Latar Belakang Masalah Penomena Golput Di Indonesia Pasca Orde Baru : Studi Kasus Pada Pemilu 2004

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum pemilu dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik, khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum voting merupakan kunci menuju suatu pemerintahan yang demokratis. 1 Pada momen pemilu itulah masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya. Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik. Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu 1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot 1 Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput Jakarta: PT Nimas Multima, 2004, h. 67. pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba. Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih golput. Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik. 2 Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman perlu untuk dikutip: “…Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orang- orang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan teman-teman berbicara, “ini sama juga bohong, katanya kita boleh memilih”…atas dasar itu kita memboikot pemilu….” 3 Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief Budiman dinamakan golongan putih golput karena mengacu pada rekomendasi 2 Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, h. 105. 3 Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Show Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, h. 41. kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong putih kertas pemilu. Putih disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor. 4 Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu, partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di tingkat akar rumput grass root terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili aspirasi masyarakat di bawah. 5 Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan- kawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan terhadap partai-partai politik. Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif 4 Diakses pada 29 November 2008 dari http:mohon-aaf.blogspot.com200804gerakan- golput-dan-masa-depan-bangsa.html 5 Ibid. dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsip- prinsip demokrasi universal. 6 Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan legitimacy kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada. 7 Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi terhadap partai politik 1973, munculnya kerusuhan Malari 1974, terbongkarnya kasus korupsi Pertamina 1975, dan kasus korupsi di departemen- departemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure groups seperti kelompok Petisi 50. 8 Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2. Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan ekonomi. 9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu politik yang paling penting. 6 Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, h.32. 7 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya Yogyakarta: LEKHAT, 1994, h.8. 8 Ibid., h. 8-10. 9 Ibid., h. 11-12. Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besar- besaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10 Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai sekitar 9,42. 11 Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya demokrasi di Indonesia. 12 Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004. 10 Ibid. , h. 11-12. 11 Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http:www.pspk-ugm.or.idartikel_detail.php?id=26 12 Diakses pada 11 Desember 2008 dari http:kontak.club.frApakahPemilu20199720 sah20dan20Suharto20harus20dipertahankan20.htm Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21. 13 Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN Soeharto dan kroni-kroninya. 14 Jika kita amati, ternyata fenomena ini baca: angka golput pasca Orde Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia LSI, menuliskan bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64, pemilu 1977 mencapai 8,40, pemilu 1982 mencapai 8,53, pemilu 1987 mencapai 8,39, pemilu 1992 mencapai 9,09, pemilu 1997 mencapai 9,42, pemilu 1999 mencapai 10,21 dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34. 15 Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.” Dengan kata lain saatnya rakyat berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya. 16 Sepanjang sejarahnya, baru 13 Mengenai 10,21 diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” diakses pada 18 Oktober 2008 dari http:www.pspk-ugm.or.idartikel_detail.php?id=26 “Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? Jakart: LSPP, 1999, h.7. 15 AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http:www.pspk-ugm.or.idartikel_detail.php?id=26 16 Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005, h. 3. tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian demokrasi terbesar. 17 Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu 2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar. Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh tingginya angka golput, 18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan 17 Ibid., h. 1. 18 Faisal Baasir, “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004,” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http:www.suaramerdeka.comharian040527opi03.htm begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi tinggi dikhawatirkan kurang stabil. Begitu juga dalam temuan Demos, 19 golongan putih golput masih bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan mencapai 34.509.246 suara 23,34 pada pemilu legislatif. Dengan meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik yang mengejutkan. 20 Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain, misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap DPT? Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap elit-elit politik yang berkuasa. 19 Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai politik pasca Orde Baru. 20 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http:www.demosindonesia.orgpdf3Demos25Jan 05. Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba. Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka mengaku tidak akan menghadiri bilik suaragolput, setidaknya mempunyai empat alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan 1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa, justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga, adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat, karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu. 21 Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal. Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul “setengah hati” dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri 21 Muhammad Asfar, Presiden Golput Surabaya: Jawa Pos Press, 2004, h. 244-247. bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak mampu mengagregasikan kepentingan rakyat. 22 Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih. 23 Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru era Reformasi yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah tulisan berbentuk skripsi dengan judul: “Fenomena Golput di Indonesia Pasca Orde Baru Studi Kasus pada Pemilu 2004.” 22 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http:www.demosindonesia.orgpdf3Demos25Jan 05 23 Diakses pada 27 November 2008 dari http:p4ndu3121990.wordpress.com2008083 Mengapa-golput

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah