BABA II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT
A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput
Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa
di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah
angka-angka tersebut masuk pada kategori golput? Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa
dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan
para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput itu sendiri.
Golput atau “golongan putih” adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula
didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada
sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk menentukan pemimpinnya.
24
Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku nonvoting
. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di
24
Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput Jakarta: PT Nimas Multima, 2004, h. 69.
beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam
bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara atau tidak mencoblos blank and spoiled ballots. Perilaku tidak memilih seperti
ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga
banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.
25
Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum KPU 2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang
memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah
kesadaran politik.
26
Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari Center for Strategic and International Studies CSIS, golput terbagi ke dalam tiga
kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni
semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak
punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir
orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput
pragmatis, yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput
25
Muhammad Asfar, Presiden Golput Surabaya: Jawa Pos Press, 2004, h. 241-242.
26
Diakses pada 27 November 2008 dari http:p4ndu3121990.wordpress.com20080813 mengapa-golput
memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput model ini mirip dengan fardu ‘ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni
bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang tidak ikut memilih tidak ada “dosa politik kolektif.” Orang-orang yang mencari
nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah
memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya
golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang
dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya
kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.
27
Sementara menurut Arief Budiman
28
, Sosiolog dan pengajar di Universitas Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput
yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang
demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua, golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan
politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,
27
Indra J. Piliang, “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http:64.203.71.11kompas-cetak040728opini1163352.htm
28
Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut.
Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat “Golongan putih”
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004, h.197.
dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena “kecelakaan”.
Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di
luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.
29
Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum
luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada golput karena teknis-teknis tertentu keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain,
berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain lembaga statistik, penyelenggara pemilu. Selanjutnya golput politis, mereka yang golput
menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak
percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme
demokrasi liberal dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
30
29
Arief Budiman, “Golput, Gejala dan Masa Depannya,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http:majalah.tempointeraktif.comidarsip20040719KLmbm.20040719.
KL93851id.html
30
Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan
semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen kelompok yang
protes saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep Sefuloh Fatah, “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta,” artikel diakses pada 08 Desember
2008 dari http:www.lsi.or.idliputan273analisis-politik-mengelola-golput-jakarta
Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas
suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan
suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.
31
Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk
mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi
dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara
tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:
golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif. Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.
B. Penyebab Seseorang Golput