Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004

Sedangkan untuk pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang golput sedikit mengalami penurunan menjadi 21,96, angka ini lebih kecil bila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Menurunnya angka golput menurut penulis, pertama disebabkan tata cara pemilihan presiden tidak serumit pada pemilu legislatif dan kontestan yang harus dicoblos juga tidak sebanyak gambar parpol. Kedua, adanya dampak dari surat edaran yang dikeluarkan KPU Nomor 115115VII2004 terkait dengan kasus salah colos, dengan surat edaran tersebut ternyata terbukti presentase suara tidak sah pada pemilu presiden putara pertama menjadi rata-rata 2,17 dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu legislatif yang sampai mencapai 8,81. 150 Sementara pada pilpres putara kedua, penulis menduga meningkatnya angka golput ada juga diantaranya disebabkan oleh kejenuhan atau kelelahan pemilih. Pemilih sudah merasa jenuh dengan mendatangi TPS-TPS, apalagi jika TPS-nya jauh dari tempat tinggal pemilih.

C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004

Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, bahwa meningkatnya golput pada pemilu 2004 bukan merupakan cerminan dari homogenitas sekelompok orang yang merasa kecewa saja baik terhadap partai politik, elit-elit politik, pemerintah maupun terhadap sistem politik yang ada. Akan tetapi, meningkatnya jumlah golput juga disebabkan karena adanya kesalahan teknis, seperti kesalahan pendataan KPU atau kesalahan teknis lainnya seperti dalam hal pencoblosan. Cara pencoblosan yang tidak benar akan mengakibatkan kertas suara menjadi rusak. 3 . + + . 5 3 6 Mengenai golput sendiri sebenarnya masih debatable, ada yang mengatakan bahwa golput khusus dialamatkan kepada orang yang memang sengaja tidak mau memilih akibat dari kekecewaan masyarakat, ada juga yang beranggapan pasca Orde Baru justru istilah golput mengalami pergeseran makna, tidak ditujukan hanya kepada homogenitas kelompok yang khusus tidak mau memilih saja akibat preferensi politik atau kekecewaan tadi, mengingat sistem pemilu sudah tidak direkayasa lagi oleh pemerintah dan juga karena banyakberagamnya alasan mengapa orang golput dan beragam pula alasan mengapa seseorang tidak mau memilih. Dalam hal ini tidak sedikit para pengamat juga menggolongkan golput pada beberapa kategori, mengingat golput yang secara sadar susah dideteksi seberapa besarnya dan kalaupun bisa hanya lewat lembaga-lembaga survei yang meneliti saja. Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas, penulis sendiri menarik kesimpulan bahwa golput yang terjadi pada pemilu 2004 dapat digolongkan pada tiga kategori seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Pertama, golput politis yakni golput yang disebabkan karena sikap kekecewaan masyarakat baik terhadap elit-elit politik, pemerintah berkuasa yang tidak bisa membawa perubahan dan elit-elit politik yang hanya mementingkan dirinya. Kedua, golput teknis administratif yang disebabkan karena kesalahan pendataan oleh KPU atau Biro Pusat Statistik BPS. Dan ketiga golput teknis non administratif yang disebabkan karena kesalahan dalam pencoblosan, tidak hadir karena alasan yang sangat mendesak seperti sakit keras, ke luar kota dan lain sebagainya yang bukan disebabkan karena kekecewaan.

1. Golput Politis

Mengenai golput politis sama seperti golput era 70an sebagaimana yang sudah penulis paparkan sebelumnya yaitu sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap pemerintah, terhadap sistem politik yang ada, maupun terhadap partai- partai saat itu yang selalu menjadi corong kekuasaan Orde Baru. Orang yang tidak mencoblos benar-benar dari kesadaran dirinya sendiri akibat dari kekecewaan masyarakat yang menganggap pemerintah atau elit-elit politik gagal membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Mereka lebih bersikap golput daripada harus memilih. Golput seperti ini biasanya dilakukan oleh kalangan terpelajar yang secara akademis relatif mumpuni. Mereka sudah bisa membaca dan menganalisa baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah, para anggota wakil rakyat di DPR, para elit-elit partai, maupun kekurangan-kekurangannya. Dengan penilaian tersebut mereka menjadi kritis terhadap pemerintah, sehingga cara mereka menentukan pemimpin pun benar-benar berdasarkan hitung-hitungan yang rasional, tidak asal coblos. Jika partai dianggap gagal menyalurkan aspirasinya, maka mereka akan golput. Sebaliknya jika partai dianggap mampu mengartikulasikan dan mengagregasi kepentinganya, maka mereka akan memilih partai tersebut. Sikap Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan akan golput disebabkan karena keputusan Komisi Pemilihan Umum KPU yang tidak meloloskan beliau, termasuk juga dalam kategori golput ini. Gus Dur golput karena merasa kecewa terhadap KPU dan Ikatan Dokter Indonesia IDI yang menurutnya diskriminatif, menghalangi pencalonannya untuk menjadi presiden. Sedangkan alasan Fadjroel Rahman tidak memilih karena dalam pandangannya tidak ada satu pun calon yang berani dan terbuka mengajukan program mengusut korupsi Orde Baru, menentang militerisme yang membela kekerasan masa lalu. 151 Dari pengalaman pemilu 2004 tersebut, menurut penulis, banyaknya kekecewaan masyarakat bukan disebabkan karena sistem politik atau karena sistem pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru, kekecewaan memang disebabkan oleh sistem politik yang otoriter dan sistem pemilu yang banyak direkayasa oleh pemerintah untuk selalu memenangkan Golkar dan partai politik yang ada waktu itu hanya dijadikan corong program-program pemerintah Orde Baru yang keberadaannya tidak punya daya kritis sama sekali. Pada pemilu 2004, sistem pemilu sudah banyak yang direvisi, Komisi Pemilihan Umum KPU sendiri sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah tidak bernaung di bawah lembaga pemerintahan lagi, KPU sudah independen, mandiri. Ketidakpusaan masyarakat pada pemilu 2004, menurut penulis lebih disebabkan karena faktor kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit politik, pemerintah yang kurang memperhatikan nasib rakyat, serta anggota DPR yang saat ini era Reforamsi tidak bisa membawa perubahan, mereka lebih mementingkan golongan sendiri-sendiri, KKN sering terdengar di mana-mana yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi terhadap elit- elit yang berkuasa. Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak memilih atas kesadaran sendiri yang disebabkan kekecewaan tersebut sangat sulit diketahui. Sebab hasil dari KPU pun tidak ada data yang pasti berapa jumlah orang yang golput atas kekecewaan tersebut, sebab hasil pemilu tidak disertai 3 . + + . 5 3 3- alasan mengapa ikut memilih, mengapa tidak ikut memilih, atau kenapa memilih secara salah. Informasi ini hanya dapat dilihat berdasarkan survei pemilih. 152 Dari hasil survei, Lembaga Survei Indonesia LSI yang dilakukan sebelum pemilihan umum legislatif 5 April 2004 lalu, diperoleh gambaran: 87 persen menyatakan akan ikut pemilu; 10,5 persen tidak ikut pemilu; 2,5 persen menjawab tidak tahu. Proporsi 10,5 persen dari pemilih yang melaporkan tidak ikut pemilu, apakah mereka golput dalam pengertian protes terhadap pemilu karena dianggap tidak jurdil, tidak ada gunanya bagi pemilih, dan sebagainya? Dari hasil temuan LSI, alasan di balik ketidakmauan ikut pemilu itu juga beragam. Yang memandang pemilu tidak ada gunanya bagi pemilih, hanya menguntungkan partai politik atau calon, amat kecil jumlahnya, sekitar 2,3 persen dari total warga yang punya hak pilih. 153 Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh survei LSI setelah pemilu dilaksanakan. Pertanyaan yang disampaikan kepada responden adalah Sejauh manakah pemilu 5 April berjalan secara bebas dan adil? dari pertanyaan tersebut 46,2 persen menyatakan amat jurdil tanpa masalah berarti; 26,9 persen menyatakan jurdil dengan sedikit masalah teknis; 17,9 persen menyatakan jurdil tetapi banyak hambatan teknis; 2,4 persen menyatakan tidak jurdil; dan selebihnya menyatakan tidak tahu. Yang menyebutkan pemilu legislatif 5 April tidak jurdil hanya 2,4 persen. Proporsi ini kurang lebih sama dengan hasil survei sebelum pemilu yang menyatakan tidak ikut pemilu karena tidak ada gunanya bagi pemilih. 154 3 1 : D : , 6 CC C 2 C 3C 3C C 6 - 3 3 Jika merujuk pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia LSI di atas dapat disimpulkan, proporsi golput karena protes terhadap keadaan politik, partai politik, atau terhadap calon yang bersaing dalam pemilu di matanya tidak ada yang layak hanya sekitar 2,4. Artinya mereka yang benar-benar golput atas kesadaran untuk tidak memilih yang disebabkan kekecewaan hanya sekitar 2,4. Ini pun jika hasil surveinya valid.

2. Golput Teknis Administratif

Yang dimaksud dengan golput pada kategori ini yaitu golput yang disebabkan karena kesalahan administrasi oleh KPU. Pemilih yang semestinya memilih terganjal oleh data yang tidak akurat, sehingga masyarakat tidak bisa memilih. Mereka tidak memilih bukan berdasarkan atas kekecewaan, akan tetapi memang benar-benar atas kesalah teknis oleh KPU atau petugas pencatat data. Seperti yang sudah di bahas di atas, bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh data-data yang kurang akurat tersebut. Ketidakakuratan data terlihat dengan banyaknya masyarakat yang mengaku belum terdaftar. Kelalaian seperti ini menyebabkan suara berharga dari masyarakat jadi sia-sia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ny. Nurul Hidayat, ketua PPS Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat, kepada tim pemantau PPK dan PPS Kota Jakarta Pusat, ia mengatakan bahwa di pemukimannya masih banyak warga yang belum terdaftar sebagai pemilih. Bahkan walaupun ada yang sudah di daftar P-4B tetap saja namanya tidak tercantum baik dalam DPT maupun dalam Daftar Pemilih Tetap Tambahan DPTT. 155 Ungkapan yang sama juga dilontarkan oleh 155 “Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http:www.pelita.or.idbaca.php?id=24136 Ketua PPS Kelurahan Bungur-Jakarta Pusat, Hasnan Manan, ia mengatakan bahwa banyak warga yang tidak terdaftar petugas P-4B. menurutnya kemungkinan pada saat pendaftaran, petugas statistik tidak melibatkan pengurus RTRW setempat, akan tetapi lebih kepada pendataan sistem per blok, akibatnya banyak warga yang terlewatkan. 156 Hal yang sama juga terjadi di Kuala Pembuang, ibu kota Kabupaten Seruyan, Palangkaraya-Kalteng. Di sini ribuan warga yang bermukim di pedalaman Kabupaten Seruyan, terancam tidak bisa mengikuti pemilu disebabkan belum terdaftar sebagai pemilih, terutama yang bersal dari daerah-daerah yang terisolasi serta para karyawan puluhan perkebunan besar swasta PBS kelapa sawit. Bupati Seruyan, Rasyidi Harun mengakui masih banyak warganya yang belum terdaftar sebagai pemilih. Ia mengatakan yang menjadi penyebab adalah kendala di daerah pedalaman yang mengakibatkan BPS kesulitan menjangkau mereka sehingga data pemilih dan data penduduk jauh dari kenyataan. 157 Data-data di atas merupakan gambaran dari sebagaian wilayah di Indonesia yang teryata banyak warga yang belum terdaftar akibat kurang akuratnya pendataan tersebut. Bahkan sampai batas limit 30 hari habis, di Kota Denpasar, sampai hari terakhir ada daftar warga yang masih tercecer. Dalam hal ini kritikan timbul dari ketua PPP Kota Denpasar, ia meragukan validitas data yang dikeluarkan panitia P-4B, pasalnya banyak pendatang musiman yang turut terdata sedangkan warga yang mengantongi KTP banyak lolos. 158 Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang berdasarkan atas kesalahan 3- 3 + A . . 1 , + B + 6 CC C 2 C C 3C C4 - 34 . , + B + 6 CC + C C C3C C pendatan, penulis tidak menemukan data pasti. Akan tetapi jika melihat hasil temuan survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pemantau Pemilihan Umum 2004 Jurdil Pemilu 2004 yang dilakukan selama 16-19 Februari 2004 atas 5.592 responden di 375 desakelurahan di 12 propinsi ternyata cukup mengejutkan. Menurut hasil survei lembaga ini, ditemukan 9 pemilih atau setara dengan 13,2 juta dari 147 juta pemilih belum terdaftar dan 4 5,88 juta pemilih merupakan pemilih hantu atau pemilih yang sebenarnya tidak ada. Rustam Ibrahim, Wakil Ketua Jurdil pemilu 2004 menerangkan bahwa hasil survei itu menunjukkan 91 benar-benar telah terdaftar. Sisanya 9 belum terdaftar karena namanya belum tercantum di DPT. 159 Mengenai masih adanya jumlah pemilih yang belum terdaftar diakui juga oleh Biro Pusat Statistik BPS, namun jumlah tersebut berbeda dengan hasil survei Jurdil di atas. Menurut BPS, jumlah pemilih yang belum terdaftar diperkirakan tidak sampai setengah persen dari jumlah pemilih yang mencapai 146 juta orang berdasarkan data per 10 Januari 2004. Selain belum terdaftar, menurut Soerdarti Surbakti, Kepala BPS, dalam pemilih tetap yang ada selama ini, ada kemungkinan beberapa nama yang salah. 160 Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Umum KPU 2004 juga mengakui, dari total pemilih terdaftar, terdapat sekitar 2,5 persen yang merupakan pemilih yang tidak dikenal ghost voters. 161

3. Golput Teknis Non-Administratif

36 + . 1 , + B + 6 C C 2 C C C C6 -36 - . 1 3E , + B + 6 CC C C C C 4 - 89 + CC 66 C 4C 4C C : 2 Golput teknis non administratif adalah golput yang terjadi karena kesalahan yang bukan disebabkan oleh pendataan penduduk seperti yang sudah dijelaskan di atas. Golput model ini misalnya disebabkan oleh kesalahan pencoblosan yang menyebabkan surat suara menjadi tidak sah, juga berhalangan hadir karena ada gangguan lain misalnya berhalangan hadir disebabkan karena sakit parah, ketiduran, keluar kota dan lain-lain. Golput model ini—meminjam ungkapan Eep Saefulloh Fatah—sebagai golput teknis-teknis tertentu. Penulis melihat pada pemilu 2004, bahwa terjadinya peningkatan angka golput juga disebabkan oleh faktor non teknis tersebut, misalnya untuk pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama lalu, KPU juga sudah sempat melontarkan alasan mengenai rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Penurunan tersebut diantaranya dikarenakan pada saat pemungutan suara 5 Juli 2004 lalu bertepatan dengan final Euro 2004. Faktor lokal lain seperti tingginya mobilitas masyarakat pada kota-kota besar dan buruknya cuaca di sejumlah tempat juga sempat disebut salah satu yang memengaruhi penurunan partisipasi pemilih pada pemilu 2004 lalu. 162 Selain faktor di atas, ada juga faktor lainnya seperti surat suara yang terlalu lebar, mengakibatkan surat suara tercoblos dua. Seperti yang sudah penulis paparkan di atas, kejadian tersebut sempat menjadi perdebatan petugas di TPS antara suara sah dan tidak. Walaupun pada akhirnya surat suara tersebut oleh KPU dinyatakan sebagai suara sah, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya surat suara yang tercoblos dua sampai menembus calon lain dan ini jelas menjadi suara tidak sah. Faktor lainnya juga, bahwa pemilu kali ini menggunakan sistem - proporsional terbuka dan rumit, tidak seperti biasanya yang hanya memilih lambang partai. Dengan sistem seperti ini, Masih banyak pemilih yang belum memahami pencoblosan dengan benar. Ditambah dengan banyaknya partai tidak sedikit dari pemilih yang kebingungan. Dari hasil survei LSI pra pemilu legislatif, yakni dua minggu menjelang pemilu dilangsungkan didapatkan bahwa “…sekitar 18 persen menyatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar….”Hasil survei LSI setelah pemilu juga tidak jauh berbeda dengan hasil survei pra pemilu. Dari hasil survei pasca pemilu didapatkan bahwa “…17,9 persen menyatakan jurdil tetapi banyak hambatan teknis….” 163 Ini artinya bahwa 17,9 persen tersebut adalah pemilih yang banyak mengalami kesulitan dalam pencoblosan disebabkan karena faktor ketidaktahuan tata cara pencoblosan tersebut. Proporsi ini hampir sama seperti hasil survei pra pemilu yakni 18 persen yang mengatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa 17,9 persen pemilih di atas yang mengatakan memilih banyak hambatan tidak bisa digeneralisir sebagai pemilih yang merusak surat suara akibat kurangnya pemahaman tersebut. Bisa jadi orang yang tidak memahami tata cara pencoblosan pun secara kebetulan ia mencoblos dengan benar. Yang jelas, hasil akhir suara yang tidak sah hanya sebesar 8,81 persen. Ini pun sulit dideteksi apakah jumlah suara tidak sah tersebut akibat dari kesalahan pencoblosan semata atau bukan.

D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru