Kesimpulan Penomena Golput Di Indonesia Pasca Orde Baru : Studi Kasus Pada Pemilu 2004

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sebutan yang dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang atau sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput baru lahir menjelang pemilu 1971 sebagai sikap kekecewaan sekelompok orang terhadap rezim Orde Baru yang dimotori oleh Arief Budiman dan kawan-kawan sebagai gerakan moral dalam rangka memboikot pemilu yang dianggapnya tidak jurdil, tidak demokratis, dan banyak dimanipulasi oleh pemerintah. Bagi pandangan kelompok ini, pemilu hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Pada masa ini banyak masyarakat yang dimobilisasi untuk mengikuti pemilu, seperti pegawai negeri sipil yang tergabung dalam korpri diharuskan memilih Golkar. Pada masa ini memilih terkesan sebagai kewajiban. Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti halnya partai-partai lain yaitu melakukan pendidiakan politik, membuat pernyataan-pernyataan di media cetak, dan menempelkan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertaskain dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara seperti ini, maka gerakan ini tidak hanya sebagai gerakan moral, akan tetapi sudah menyerupai kekuatan politik. Pasca tumbangnya Orde Baru, memilih tidak memilih merupakan hak dan tidak ada sanksi apapun bagi yang tidak memilih. Memilih atau tidak sama saja nilainya manakala dilakukan dengan bertanggung jawab. Dalam hal memilih merupakan hak, maka fenomena ini golput sudah tidak lagi mewakili homogenitas sekelompok orang yang secara sadar memboikot pemilu. Lagi pula banyakberagam alasan mengapa seseorang tidak memilih dan banyak alasan pula kenapa seseorang tidak ikut pemilu atau tidak memilih. Pada realitasnya golput juga oleh kebanyakan orang sering ditujukan untuk menggeneralisir suara yang tidak sah dan tidak memilih. Dengan arti kata, secara umum golput dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena misalnya tidak hadir ke bilik suara, kartu suara rusak baik disengaja maupun tidak, dan kartu suara kosong. Mengenai golput pasca Orde Baru, seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab II, beberapa tokohpengamat membagi golput kepada beberapa kategori: Indra J. Piliang mengelompokkan golput pada tiga jenis yaitu golput ideologis, politis dan pragmatis; Arief Budiman mengelompokkan golput menjadi tiga jenis yaitu golput karena politis, apatis, dan karena kecelakaan; adapun Eep Saefulloh Fatah mengelompokkan golput menjadi empat jenis yaitu golput teknis-teknis tertentu, golput teknis-politis, golput politis, dan golput ideologis. Sesuai dengan pengelompokkan golput di atas, penulis mengambil benang merahnya bahwa faktor-faktor penyebab mengingaktnya golput pada pemilu 2004 sesuai dengan temuan penulis berdasarkan data-data yang didapatkan menjadi tiga jenis: golput politis, golput administratif dan golput non administratif. Dari rumusan dan uraian yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, sebagai sikap kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit yang berkuasa, pemerintah, dan parlemen baik di pusat maupun di daerah meningkat tajam. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu memberikan perubahan yang sangat berarti: kemiskinan, korupsi merajalela, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Juga anggota dewan di parlemen yang disebut wakil rakyat kurang memperhatikan yang diwakilinya, malah mereka lebih setia kepada partai ketimbang kepada rakyat yang memilih. Di samping kekecewaan terhadap pemerintah dan parlemen, masyarakat juga menjadi antipati terhadap partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, elit-elit politik malah asyik dengan kepentingan kelompok-kelompoknya. Harapan dan aspirasi masyarakat dibiarkan begitu saja. Fungsi partai yang disebut sebagai wadah aspirasi rakyat, sebagai pereda konflik, sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat seolah-oleh tidak berfungsi. Tidak hanya itu, munculnya aktor-aktor lama pada pemilu presiden juga menjadi pemicu menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Bagi pemilih rasional, elit-elit lama tersebut dirasa tidak akan mampu memberikan perubahan yang signifikan. Mereka melihat bahwa fugur-figur yang bertarung ternyata figur- figur yang mempunyai track record kelam di masa lalu, sehingga mereka beranggapan bahwa diadakannya pemilu juga tidak akan membawa perubahan yang berarti. Kedua, meningkatnya golput juga disebabkan karena kendala teknis, baik administratif maupun non administratif. Teknis administratif misalnya pencatatan pendataan pemilih yang kurang akurat. Data-data yang dipakai rupanya tidak didukung dengan data-data baru dari RTRW di lapangan, sehingga yang terjadi adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar. Pendataan yang kurang akurat mengakibatkan suara berharga dari masyarakat hilang begitu saja. Adapun teknis administratif, misalnya disebabkan oleh tingkat moblitas masyarakat yang tinggi di kota-kota besar, pada saat pemungutan suara 5 Juli bertepatan dengan final Euro 2004, buruknya cuaca di sejumlah tempat, dan ada juga kemungkinan karena kasus salah coblos. Mengenai kesalahan pencoblosan menurut penulis terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya tata cara pencoblosan yang rumit dan berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni adanya sistem proporsional terbuka, dalam hal ini nama-nama calon terpampang dengan jelas. Tata cara pemilihan seperti ini, untuk pertama kalinya menyulitkan bagi pemilih apakah hanya memilih lambang partai saja atau kedua-duanya atau memilih nama calonnya saja. Dengan sistem yang baru ini, ditambah kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat bingung dalam menentukan pilihan yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos. Kenyataan tentang kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan sudah nampak pada saat simulasi di beberapa tempat, banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat hanya memilih lambang partai, sehingga mereka lebih mudah dalam menentukan pilihannya, sebab yang harus mereka coblos hanya lambang partai semata. Kedua, adanya pengaruh banyak partai membuat masyarakat juga bingung harus memilih partai yang mana. Ketiga, meningkatnya golput juga disebabkan oleh karena adanya dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru. Adanya liberalisasi politik antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Dalam hal ini setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya luapan kebebasan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan membentuk organisasi, termasuk kebebasan untuk menentukan pemimpin. Liberalisasi politik pada tataran akar rumput ditandai dengan adanya kebebasan dalam segala hal, bebas dalam menentukan pemimpin, termasuk bebas untuk tidak memilih golput. Dengan kondisi seperti ini rakyat akan lebih leluasa dalam menentukan pemimpinnya pada saat pemilu tiba. Mereka akan memilih jika elit-elit politik di matanya bisa membawa perubahan dan memperhatikan aspirasinya. Akan tetapi, mereka bisa golput jika elit-elit politik di matanya tidak bisa membawa perubahan yang berarti. Berbeda dengan masa Orde Baru kebebesan dikekang, sehingga tidak memilih kerap sering berhadapan dengan koersi dan refresi dari pemerintah. Masyarakat diwajibkan loyal pada negara, PNS tidak dibuat netral dan diwajibkan menyalurkan aspirasinya kepada Golkar. Dengan kata lain kebebasan dalam berpolitik tidak ada. Liberalisasi politik dalam tataran elit-elit politik dibuktikan dengan semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan partai dengan berbagai asas dan ideologinya. Akan tetapi sayangnya euporia politik tidak dibarengi dengan politisi-politisi yang memadai, dengan demikian banyak terjadi pragmentasi partai-partai politik, pertikaian di tubuh parpol sering terekspos oleh media. Dampak dari tidak adanya elit-elit yang baik di mata publik tersebut yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat, masyarakat menjadi antipati terhadap partai yang ada.

B. Saran-saran