1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Konsep- konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi
manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka
berada. Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa dia tidak saja
memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus
seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,tidak menyekutukanya
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.
1
Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat pragmatis. Agama dipandang sebagai pemicu pemberontakan, sumber
ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme
sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia
1
Manna khalil al-Qattan ’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’Jakarta, Lentera AntarNusa,Thn 2006, cet.9, h.10
modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama. Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi
sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang
baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan.
2
Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu
secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila
menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda keyakinan-
Tauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam
definisi kemusyrikan. Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu
pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa
modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di
televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang
mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka
2
. Gilles Kepel, Pembalasan Tuhan, Pustaka Hidayah, Jakarta,1997, h. 9
hanyalah manusia biasa. Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia
kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau
paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan. Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini
sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût.
3
Tâghût diyakini sebagai sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas
yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang
tidak berpijak kepada peraturan Allah.
4
Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu
yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka
memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh keuntungan.
Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar
keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk
3
Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz al-Quran, Jilid 1, Beirût: Dâr al- Fikr, tt, h. 115-116
4
Muhammad Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, Beirût:Dâr al-Fikr, 1992, h. 617
mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai
tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia tidak ternodai oleh unsur tâghût.
Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu
dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid.
B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah