Macam-Macam Taghût KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR
Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih
baik sebagaimana Firman-Nya : Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:
14
…
termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka
ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.
16
Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan
yang lainnya.
17
Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung
masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan :
Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang
dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi
kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan
hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di
pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan. Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta
prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini.
16
Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496
17
Ibnu Hayyan al-Bahru al- Muhith, h. 492
Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik manusia seseorang, sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan
untuk manusia tanpa seizin Allah. Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia,
syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian
dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia
dan dijadikan hakim pemutus oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi kekuasaan.
Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini, tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun
itu dianggap masalah kecil oleh manusia. Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur,
Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang
berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan
fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara
sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir,
fasik, dan zhalim.
Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti
mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin. Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak
ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk
kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak
ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada
Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam kafir.
Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah-an-
Nya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman,
Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan hakekat masalah ini.
Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di
bumi untuk manusia, Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan-Nya yang paling kecil, sedikit
maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta segala-galanya.
Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân Kuasa dan Kuat. Tidak ada
suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah,
Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam syariat-
Nya. Maka arti istislâm pasrah kepada syariat Allah sebelum yang lainnya adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya
serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang tidak pasrah terhadap syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek
kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah Zat yang hak disembah dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya Zat pemelihara dan Pencipta
segala. Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja, baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul
permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam. Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan
anggapan tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat undang-undang buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam
pembahasan ini; …
“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. al-Maidah : 50
Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan
kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat
buatan manusia itu melebihi menandingi syariat Allah dalam setiap keadaan dan dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman.
Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini yaitu antara hukum Allah dan hukum buatan Manusia dan dengan memakai kata-kata “man”
ﻦﻣ yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah dalam ilmu nahwu yang
menunjukan kepada pen-ta’miman mencakup siapa saja ditambah dengan kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali,
tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak
berhukum kepada al-Quran berarti kafir. Seperti yang telah kami sebutkan karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran apa-apa yang telah di
turunkan Allah, tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat ke- ulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang
menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum undang-undang.masa dan bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi
sesembahan, kendatipun pada mulanya tak ada kepercayaan seperti itu yang
menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan.
18
b. Para Pendeta dan Pastur Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah.
Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal sehingga kaumnya mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman
Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A masy dan Sufyan Tsauri
ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat Hudzaifah ra. pernah di tanya tentang ayat Taubah ayat 31:
dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk
mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para pendeta dan Pastur alim ulama sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka
menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka
bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan
realita.
20
Sesungguhnya nash al-Quran menyamakan sifat syirik dan menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima syariat
hukum dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyah- an nabi Isa dalam keyakinan dan dalam praktek. Keduanya ini sama dianggap
musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik menyekutukan Allah itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum
dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus
ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan
dan kesangsian kaum muslimin dalam masalah ini ketika itu dimana mereka menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka
20
Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka ahl al-Kitâb.
Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa
agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada
Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia
yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar musyrik dan kafir sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia
beriman. Karena hanya dengan sekedar dia ikut kepada hukum buatan manusia dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka manusia tersebut
untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti karena mereka memaksanya sehingga tak mampu mengelak.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân, Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan
yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal ada beberapa golongan.
Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan
menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran
para Rasul, sementara Allah dan Rasul-Nya pun menganggap bahwa perbuatan
tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka, dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang
dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama
seperti Bani Israil. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu
Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra, bahwa ketika dawah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu
pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw.
Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke
Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut
menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:Taubah 3l
Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata kepada beliau: Mereka tidak menyembah para pendeta dan pastur itu”.
Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.
21
Mentaati para pendeta dan pastur alim ulama dalam bermaksiat kepada Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang
21
Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat al- Taubah ayat 31:
22
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahibpendeta mereka sebagai Tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan al-
Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Yang senada dengan ayat diatas adalah:
mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan
oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan
penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut mereka, yang mereka namakan wilayah.
23
Sedang ibadah dan penyembahan kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan
kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu dan jahil.
24
Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan keledai yang memanggul kitab buku-buku, tak mengerti apa isinya. Maka
mulailah mereka membuat hukum undang-undang untuk ummat manusia berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada
dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa
adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah bangsa-
bangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang undang Hukum yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang
bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan “Tåghût”.
23
Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya.
24
Kitab Fathul-Majid Syarah Kitab at-Tauhid, h. 400
c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-A’râf:7175-176 dan al-
Isrâ:1736 :
manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw.
Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan
hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan
untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat
besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar.
Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di Akhirat.
Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat hukum islam itu tidak berlaku pada hal-hal perkara besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua
orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan
dengan ilmu tauhid. Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara
Muhkâmât ayat yang jelas tidak perlu ta’wil yang tidak mungkin mengundang perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut
tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman. Adapun masalah-masalah
yang membutuhkan Ijtihad mengikuti
perkembangan zaman, al-Qur’an pun telah menjelaskannya secara global. Inilah
masalah-masalah yang menjadi ajang pertentangan pendapat antara para mujtahid, tetapi bukan penyebab berpecah belah.
Ijtihad itu harus bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah bahkan pendapat- pendapat yang disandarkan kepada ijma atau Qiyas serta sumber-sumber hukum
islam lainya harus dikembalikan kepada kedua dasar hukum tersebut. Atas dasar ini maka tak ada pendapat pada ulama Islam, karena pendapat
dan kefanatikan serta pengagungan hanya kepada kedua sumber ijtihad tadi al- Quran dan Sunnah bukan kepada si Mujtahid. Oleh karena itu, kaum muslimin
menolak setiap pendapat yang tidak berdasar kepada keduanya dari siapapun datangnya. Kami tidak pernah menemukan seorang ulama pun yang
berkecimpung dalam dunia fiqih Islam dan dia terkenal sebagai seorang Mujtahid, ia tidak berpegang kepada dalil-dalil syara dalam mengistinbath menentukan
suatu hukum. Sungguh para ulama Islam adalah orang-orang pilihan dari ummat ini yang jauh berbeda dengan ummat-ummat terdahulu yang ulamanya terdiri dari
orang orang jahat. Karena Ulama kita pengganti para Rasul. Mereka menghidupkan kembali sunnah nya yang nyaris padam. Dengan sebab mereka
tegaklah kembali Kitabullah dan dengan Kitabullah mereka pun menjadi tegak dan bangkit.
Dengan sebab mereka al-Quran bisa bicara, dan dengan al-Quran mereka juga bisa bicara. Tak ada seorang ulama atau Imam pun dari para Imam yang
berkaliber dunia yang hasil pikirannya menjangkau seluruh ummat muslimin yang tidak berpegang teguh dan bersandar kepada al-Quran dan Sunnah, baik sedikit
maupun banyak, baik masalah yang kecil maupun yang besar. Mereka sepakat
bulat dengan yakin, bahwa mengikuti teladan sunnah itu wajib, dan setiap pendapat manusia boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali ucapan Rasulullah
saw. Dan apabila ada seorang Ulama yang ternyata pendapatnya hasil Ijitihadnya bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi saw, maka ia wajib
menarik pendapatnya atau meninggalkannya dan mengambil hadis tersebut. Di sana juga ada kesepakatan pandangan bagi ummat ini, bahwa para
Ulama dalam ijtihad dan fatwanya tidak bersandar kepada apa-apa yang bertentangan dengan teladan Rasulullah saw. Tak ada seorang pun dari mereka
yang keluar dari nash. Bila salah dalam Ijtihadnya, ia tetap seorang Mujtahid, mendapat pahala satu. Bila benar, ia mendapat pahala dua. Orang-orang yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, jika ia seorang mujtahid yang tujuanya meneladani Rasulullah, tetapi tersembunyi baginya
kebenaran dalam masalah tersebut, sementara dia juga betul-betul bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuanya, ia tidak akan disiksa oleh Allah
karena kesalahanya tersebut, ia tidak berdosa bahkan mendapat pahala atas hasil ijtihadnya.
Karena keputusannya yang berpijak di atas hasil ijtihadnya dengan motivasi baik, bahwa apa-apa yang ia perbuat tersebut semata-mata untuk
menghidmat kepada agama dan bukan karena pengaruh hawanafsunya, melainkan semata-mata mencari ridha Allah.
Adapun yang termasuk dosa atau maksiat dalam masalah ini adalah apabila seorang Ulama tingkatan mujtahid ia berijtihad dan ia tahu bahwa hasil
ijtihadnya itu salah dan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tetapi dia tetap mempertahankan pendapatnya, tidak mau rujuk kepada keduanya.
Imam ibnu taymiyyah, berkata; dan ia tahu bahwa hal ini salah, tetapi ia tetap mempertahankannya, tidak mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,
maka dia mendapat celaan dari Allah berupa Syirik, lebih-lebih jika hal itu didorong oleh hawa nafsunya dan ia pertahankan dengan argumentasi-
argumentasi palsu dari mulutnya atau dengan tangannya sama lainya ia disebut thâghût.
25
Oleh karena itu para ulama berkonsensus bahwa jika seorang ulama mengetahui yang hak,ia tidak boleh taqlid kepada orang lain yang bertentangan
denganya. Para ulama ini hanya mengambil dalil, walaupun dia tidak mampu untuk berijtihad mengeluarkan hukum dari dalil yang diketahuinya. Ini adalah
seperti seorang yang ada ditengah ummat Nasrani, tetapi ia tahu bahwa agama islam adalah hak.
d. Dukun dan Tukang Sihir Disebut “sihir”, karena pekerjaan tersebut tersembunyi, halus, licik dan
semata mata bersandar kepada makar dan tipu daya setan. Sihir terbagi 2 :
Pertama: yang berupa khayalan dan bukan sebenarnya sihir jenis ini bersandar kepada ilmu dan kepandaian serta ringannya gerakan. Yaitu si tukang sihir
menyulap sesuatu menjadi sesuatu yang lain dimana orang banyak
25
Muhammad Zein, “Thâghût, h. 161
menyaksikannya. Sebagaimana orang melihat fatamorgana dari kejauhan lalu ia sangka ia air.
Allah berfirman:
Berkata Musa: Silakan kamu sekalian melemparkan. Maka tiba-tiba tali- tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia
merayap cepat, lantaran sihir mereka. Thaha :66
Kedua: Sihir yang hakiki dengan sihir ini si tukang sihir berhasil menimpakan bahaya dan bencana kepada seseorang dengan istrinya. Sihir jenis ini terkadang
mengandalkan ajimat-ajimat, mantera dan buhul-buhul yang dapat mempengaruhi harta, dan badan seseorang sampai jatuh sakit bahkan mati disamping juga dapat
meruntuhkan rumah tangga orang. Allah Taala berfirman:
…
“…Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan isterinya”.
al-baqarah: 102.
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”al-Falaq:4
Sihir ini sihir yang sebenarnya hakiki yang memang ada, yang kita harus berlindung kepada Allah darinya. Kejahatan sihir ini tidak hanya terbatas
menimpa orang-orang awam kebanyakan tetapi juga adakalanya menimpa para ulama Wali Allah dan orang-orang shaleh, bahkan juga para Nabi. Hanya kalau
Nabi tidak sampai terpengaruh akal dan hatinya. Ia hanya menjadi satu penyakit seperti biasa lainnya.
26
Allah Swt , menyatakan bahwa tukang sihir dan orang yang mempelajari sihir itu kafir.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu
mengerjakan sihir, padahal Sulaiman tidak kafir tidak mengerjakan sihir, hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir mengerjakan sihir. Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan
sesuatu kepada
seorangpun sebelum
mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu
kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan isterinya.
Dan mereka itu ahli sihir tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada
26
Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Yang Benar, Jakarta,Penerbit: Rineka Cipta, 1988 Cet, pertama, h.16
seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi,
sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan
amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”.al-baqarah 102.
Dari ayat ini dapat kita ambil beberapa hukum, bahwa : 1. Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang yang mempelajari sihir itu
berarti membuang Kitabullah dan mendustakan Rasulullah saw. Allah swt berfirman:
…
“…dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa kitab yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang
yang diberi Kitab Taurat melemparkan Kitab Allah ke belakang punggung nya seolah-olah mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah Kitab Allah”
Al-baqarah: 102
Imam Suddy berkomentar, “Mereka itu membuang Kitab Taurat dan mengambil kitabnya Asif dan sihirnya Harut dan Marut”
27
Cukuplah bagi kita gambaran diatas bahwa, orang yang belajar sihir adalah orang yang membuang Kitabullah dan menjauhinya serta mendustakan nabi yang
membawa kitab tersebut.
27
Tafsir Qurthuby, juz,1, h. 41
2. Orang yang mempelajari sihir itu tidak lain mempelajari apa apa yang memberi bencana bualnya yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Firman
Allah:
…
…dan mereka mempelajari apa-apa yang memudaratkan mereka dan tidak memberi manfaat Al-Baqarah: 102
Bahaya Sihir ini terbukti nampak di dunia dan akan ada pula di akhirat nanti.
Allah swt berfirman: Sesungguhnya mereka itu telah tahu, siapa yang membeli sihir
mengerjakannya tidak adanya baginya bagian di akherat ” “Sesungguhnya orang-orang yang menjual dirinya dengan sihir jika
mereka mengetahui Al-Baqarah: 102. 3. Orang-orang yang mengerjakan sihir dan menyakiti orang lain menyakiti
suami dengan istrinya adalah perbuatan syetan. 4. Maka mereka mempelajari dari keduanya apa-apa yang akan
menceraikan suami dengan istrinya. Al-Baqarah: 102.
Karena syetan itu berbahagia dan senang jika suatu ummat mengikuti atau bertahkim kepada tâghût.
Di jalan inilah Tukang Sihir dan syetan bekerjasama sampai mereka betul- betul-betul menyesatkan manusia ke jalan yang sesat. Namun demikian, Tukang
sihir dan syetan tersebut tidak punya daya dan kemampuan kecuali dengan izin Allah. Bila Dia menghendaki, hal itu akan terjadi. Bila tidak, maka tidak akan
terjadi. Lanjutan Ayat diatas ialah :
Mereka itu tiada memberi madharat dan bencana kepada seorang jua pun kecuali dengan izin Allah. Al-Baqarah : 102.
Diantara sunnatullah di alam ini, yaitu membakar itu harus dengan api. Memotong harus dengan pisau. Dan bencana itu bisa terjadi dengan sihir.
Begitulah sunnatullah berlaku. Tetapi Allah swt. Maha Kuasa untuk tidak memperlakukan Sunnah-Nya tersebut, bila Dia menghendaki sebagai bukti, Dia
telah mencegah api membakar Nabi-Nya, Ibrahim sebagaimana pula Dia telah menumpulkan pisau sehingga tidak mempan menyembelih putranya, Ismail as.
Demikianlah bila Allah menghendakinya. Dukun tidak berbeda dengan Tukang Sihir. Hanya dia mengaku-ngaku
dengan kedustaanya bahwa dia mengetahui yang ghaib dan keadaan yang akan datang. Itulah makanya, orang-orang bodoh dan lemah imannya datang kepadanya
untuk menanyakan nasib,jodoh,kematian dan perkara perkara yang ghaib yang akan terjadi di masa yang akan datang atau yang sejenisnya.
Imam Ibnu al-Qayyim bertutur, Para dukun itu adalah utusan-utusan syetan dimana orang-orang musyrik berdatangan kepadanya untuk menanyakan
perkara-perkara besar dan penting. Dan mereka mempercayai kata-katanya. Menjadikannya hakim pemutus suatu perkara. Kepercayaannya ini penuh dan
teguh sebagaimana kepercayaan para pengikut Rasul kepada Rasul-Nya. Orang- orang musyrik itu berkeyakinan bahwa para dukun itu mengetahui perkara ghaib.
Para dukun tersebut dalam pandangan mereka tidak ubahnya seperti Rasul. Jadi seperti kami sebutkan diatas, bahwa para dukun itu adalah utusan
Syetan yang diutus kepada golongannya yang terdiri dari orang-orang Musyrik,
dan ia serupakan mereka seperti Rasul-rasul Allah yang jujur dan benar agar orang-orang Musyrik tersebut mempercayainya. Juga ia jadikan para dukun
tersebut seakan-akan orang-orang yang jujur yang mengetahui yang ghaib. Sehubungan dengan perbedaan amat kontras kedua kelompok ini Tukang
Nujumdukun dan para Rasul Allah. Rasulullah saw. bersabda:
dukun tersebut benar ucapannya dan tepat sehingga ia mempercayainya dan kafir kepada al-Quran.
Sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshary berkata, “Taghût-taghût itu adalah para dukun yang kepadanya syetan turun, yaitu pada setiap orang satu syetan”.
Para dukun itu telah menjadi tempat mengadu orang-orang ketika berselisih pendapat bahkan bagi semua persoalan. Mereka punya pengaruh besar
terhadap ummat manusia, dan Islam sesungguhnya telah menghancurkan kedudukan mereka dan menyingkirkannya dari alam kehidupan ini. Tetapi bintang
mereka kembali naik tatkala Iman yang berada pada pribadi-pribadi manusia menjadi layu dan lemah. Ketika agama dikalahkan oleh gelimang kehidupan
materialis. Pada saat manusia jauh tersesat dari Allah. Mereka para dukun itu bermunculan di berbagai negeri dan di banyak pelosok. Maka manusia itu
berbondong-bondong datang kepada mereka mengajukan berbagai perkara. Akibatnya timbullah perselisihan dan permusuhan sesama manusia. itu tidak lain
buah dari kepercayaan mereka terhadap kedustaan para dukun itu dengan mengatakan, yang mencuri golongan ini adalah golongan itu, atau ia menuduh
dengan mengatakan misalnya: Kau dibenci oleh si pulan dan sebagainya”. Para dukun itu pada zaman kita sekarang mempunyai organisasi dan
yayasan-yayasan yang dilindungi oleh negara dan dijamin keamananya. Mereka punya kepala yang bisa diangkat dan diberhentikan. Di beberapa surat kabar, saya
pernah membaca iklan besar yang dipasang oleh salah seorang dari mereka bahwa dia akan membuat sebuah markas besar di Paris. Ia menyebutkan, bahwa para
wakilnya tersebar hanya bertugas menyebarkan gambar-gambar mereka, alamat
dan umur mereka. Selain mereka tidak ada hubungan dengan yayasan-yayasan atau perkumpulannya. Dan diantara keberanian nya, ia berkata, “Kami tidak akan
menuntut apa-apa dari pelanggan kami sebelum berita dan apa-apa yang diucapkannya terbukti ter realisir dengan benar”.
Yang lebih hebat lagi dari itu, bahwa surat kabar dunia setiap tahun menyebarkan berita-berita mereka dan memuat ramalan-ramalan mereka tentang
akan berakhirnya kehidupan dunia ini. Sebagian dari mereka ada yang khusus menyebutkan para tokoh, pembesar, orang-orang top baik bintang-bintang film
maupun para penulis atau pengarang. Sehingga jadilah mereka idola yang top dimana orang-orang dari Eropa maupun Amerika datang kepadanya. Sebab yang
pokok adalah karena mereka orang-orang Barat itu kehilangan agama. kosong rohaninya sedang kaum muslimin sendiri lemah akidahnya.
Bahwa agama Islam menolak keras praduga dan anggapan serta sangkaan dusta Islam memerangi pada Dajjal yang mengaku-ngaku mengetahui yang ghaib
seperti para dukun-dukun dan tukang ramal itu. Karena yang mengetahui yang ghaib itu hanyalah Allah semata. Tak seorang pun yang mengetahuinya baik para
wali ataupun para Nabi, termasuk juga Rasul al-Musthafa. Allah swt berfirman:
“Katakanlah hai Muhammad: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allahal-Naml: 65.