Konsep taghut dalam al-quran (sebuah analisis makna taghut dalam al-quran serta korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah dalam realitas sosial)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)

Oleh : Andriansyah 1040 3400 1158

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta

Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam

Realitas Sosial

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)

Oleh : Andriansyah NIM: 1040 3400 1158

Dibawah Bimbingan:

Dr. Ahsin Sakho, MA. NIP. 1956 0221 199603 1001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

i

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Segala puji dan syukur kepada Allah swt. yang senantiasa melimpahkan

rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun sehingga hanya karena limpahan

nikmat-nikmat itu penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dengan

tertatih-tatih dan sangat sederhana. Salawat dan salam kami persembahkan kepada

junjungan Nabi Muhammad saw yang membawa umatnya dari alam kegelapan

karena kebodohan kepada alam yang terang benderang karena bertaburan ilmu

pengetahuan.

Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini kami

mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu,

penulis banyak berhutang jasa kepada berbagai pihak yang begitu tulus membantu,

baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis

pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis mengucapkan

rasa terima kasih yang mendalam.

Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis

sampaikan teruntuk:


(4)

ii

2.

Dr.Bustamin, M.Si. Ketua Jurusan dan Muslim, S.Th.I Sekertaris Jurusan

Tafsir Hadis, yang telah memberi saran dan informasi akademik serta yang

telah memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3.

Dr. Ahsin Sakho, MA Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan

saran dan kritik. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan

saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda

kegiatan, beliau masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4.

Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ushuludddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.

5.

Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin.

Terima kasih atas segala bantuannya yang memfasilitasi penulis dalam

mencari data-data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat

penyelesaian skripsi ini.

6.

Rasa Ta’zim dan terima kasih yang mendalam Kepada kedua orang tua

Ayahanda Dirham Syah dan Ibunda Kusti’ah atas dukungan moril dan

materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta cinta dan kasih sayang yang tak

pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah

swt, senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam belajar, juga atas

dan pengorbanan yang luar biasa mendidik dan mengajarkan arti kehidupan.

Penulis persembahkan skripsi ini


(5)

iii

7.

Demikian pula kakak-adik tercinta a adi, iwan, dzulkarnain, yang selalu

memberikan semangat, terutama khusus buat teteh ku (teh cindy) yang paling

baik, perhatian dikeluarga, supaya adik-adiknya sukses, dan selalu

memberikan motivasi, dorongan, semangat, Karena merekalah penulis

memutuskan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan akhir studi ke kampus

tercinta, yang lambat-laun semakin asing, karena perubahan yang begitu

drastis dalam waktu hanya setahun saya tinggalkan.

8. Tidak lupa juga buat teman-teman kosan seperjuangan dalam mencari ilmu. ijonk, (yang lagi mencari cinta sejati nya), onta, iwan susanto, mukhlas,dan anca, penulis ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan do’a, mudah-mudahan amal kebaikan kalian semua di terima Allah swt.

9. Terakhir, untuk teman-teman angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin: abdul mohay, anas, ardie,otoy, baehaqi, Aang Setiawan, abang agung, terutama buat bang ubay yang selalu memberikan wejangan agar penulis lebih serius dalam menyusun skripsi. Dan tak lupa pula kepada: “TH-B” yang ghoib dan tidak dapat penulis sebut namanya satu per satu dan semoga hubungan persahabatan (tali silaturrahmi) tidak akan terputus sampai kapanpun.

Mengakhiri kata pengantar ini, semoga amal dan jasa baik yang telah

diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah swt dengan pahala yang

berlimpah ganda.dan menjadikan amal saleh mereka.

Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada semoga Allah

swt senantiasa meridhoi setiap langkah kita amin.skripsi ini dapat bermanfaat bagi


(6)

iv

penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. penulis berharap semoga

keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada

umumnya.

Jakarta, 25 Nopember 2010


(7)

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI………...v

DAFTAR ISI……… viii

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah……….………..1

B.

Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah...4

C.

Tujuan Penelitian………..………....4

D.

Tinjauan Pustaka……….……….5

E.

Metodologi Penelitian……….………...6

F.

Sistematika Penulisan……….………...7

BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN

A.

Definisi Tâghût

1.1

Menurut Bahasa...9

1.2

Menurut Istilah...11

B.

Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir

1.3

Sayyid Quthb...12

1.4

M.Quraish Shihab...12

1.5

Hamka...15

BAB III

KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR

A.

Ibn Katsir dan Sayyid Quthb………....18


(8)

ix

C.

Macam-Macam Tâghût

a.

Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran...29

b.

Para Pendeta dan Pastur...37

c.

Kefanatikan Terhadap Ulama Islam………43

d.

Dukun dan Tukang Sihir………..47

D.

Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas

Sosial...56

BAB IV PENUTUP

A.

Kesimpulan………..67

B.

Saran-saran………..68


(9)

v

Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006.

Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab

Huruf Latin

Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

B

be

T

te

ث

Ts

te dan es

ج

J

Je

ح

H

h dengan garis bawah

خ

Kh

ka dan ha

د

D

De

ذ

Dz

de da zet

ر

R

Er

ز

Z

Zet

س

S

Es

ش

Sy

es dan ye

ص

S

es dengan garis di bawah


(10)

vi

ط

T

te dengan garis di bawah

ظ

Z

zet dengan garis di bawah

ع

Koma terbalik di atas hadap kanan

غ

Gh

ge dan ha

ف

F

ef

ق

Q

ki

ك

K

ka

ل

L

el

م

M

em

ن

N

en

و

W

we

ھ

H

ha

'

apostrop

ي

Y

ye

Vokal

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

َ

a

fathah

ِ

i

kasrah


(11)

vii

و

___

َ

___

au

a dan u

Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal Latin

Keterangan

ﺎـَـ

â

a dengan topi di atas

ْﻲِـ

î

i dengan topi di atas

ْﻮـُـ

û

u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

لا

, dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah.

Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah

atau

tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika

huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: kata

ةَرْوُﺮَﻀﻟا

tidak ditulis

ad-darûrah melainkan

al-darûrah, demikian seterusnya.


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Konsep-konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka berada.

Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa dia tidak saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,(tidak menyekutukanya) menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.1

Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat pragmatis. Agama dipandang sebagai pemicu pemberontakan, sumber ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia

1

Manna khalil al-Qattan ’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’(Jakarta, Lentera AntarNusa),Thn 2006, cet.9, h.10


(13)

modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama.

Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan.2

Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda keyakinan-Tauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam definisi kemusyrikan.

Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka


(14)

hanyalah manusia biasa.

Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan.

Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût. 3 Tâghût diyakini sebagai sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang tidak berpijak kepada peraturan Allah.4

Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh keuntungan.

Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk

3

Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz Quran, Jilid 1, (Beirût: Dâr

al-Fikr, tt), h. 115-116

4

Muhammad Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr, 1992), h. 617


(15)

mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia tidak ternodai oleh unsur tâghût.

Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid. B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan di atas, maka penulis akan membatasi permasalahan skripsi ini pada dua Konsep taghût masa klasik dan modern dalam perspektif al-Quran, serta budaya penyimpangan yang telah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebagai berikut:

-Bagaimana Konsep Taghût dalam Al-Quran dengan Penyimpangan Akidah di Realitas Sosial?

Sedangkan batasan masalah hanya pada pemaknaan taghût dengan ayat al-Quran yang disertai tafsir, adapun ayat lainnya bisa digunakan sebagai data pelengkap pembahasan. Taghût dalam al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan masuk ke dalam prilaku syirik akan dibahas secara proporsional sehingga batasan penyimpangan itu dapat diketahui..

C. Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat keilmuan. Penelitian dalam dunia keilmuan bertujuan memperkaya tubuh pengetahuan teoritis keilmuan dilegkapi dengan metode pemecahan masalah yang


(16)

dihadapi manusia. Adapun tujuan penelitian yang hedak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berkut:

a. Untuk menemukan dan menjelaskan makna taghût dalam al-Quran dalam konteks terkini beserta konsekuensinya.

b. Sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka menggali dan memperluas definisi taghût beserta implikasinya yang berupa penyimpangan-penyimpangan yang masih samar-samar.

c. Untuk mengingatkan opini masyarakat bahwa taghût tidak hanya berhenti pada aspek keluar dari garis yang ditetapkan Allah atau menyembah berhala saja . Akan tetapi lebih dari itu, taghût juga memiliki pengertian yang lebih luas dan mendasar yaitu mempercayai prediksi dan ramalan paranormal ketimbang kepercayaan dan keyakinan yang teguh kepada Allah.

d. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S 1 ) UIN SYARIF HIDAYATULLAH.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun kajian tentang konsep taghût secara umum, penulis menemukan pada sebuah skripsi yang berjudul “Kriteria Thaghut dan Bughat dalam al-Quran” (Tafsir Tematik atas upaya penyelesaian penyimpangan kekuasaan di Indonesia) yang ditulis oleh Rafikul Ihsan. Dalam skripsi yang disebutkan di atas, analisis makna thaghut difokuskan terhadap penyimpangan kekuasaan politik di Indonesia.


(17)

Sedangkan dalam skripsi yang akan dibahas oleh penulis adalah analisis makna taghût dalam al-Quran menurut kacamata akidah. Jika diteliti lebih jauh, penyimpangan akidah atau masalah iman mempunyai dampak serius kepada beragam bentuk penyimpangan di tubuh realita sosial. Karena masalah Iman dan Akidah mempunyai hubungan erat dengan realitas sosial. Maka dari itu, skripsi ini membahas bagaimana makna atau konsep thaghut dalam al-Quran serta kaitannya dengan berbagai penyimpangan dalam realita sosial.

Dengan demikian, dapat dikatakan, penelitian pada dasarnya merupakan penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan konsep taghût secara utuh dan terperinci. Kemudian secara khusus memfokuskan kajian secara mendalam pada berbagai macam penyimpangan akidah dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tehnik pengumpulan data, baik primer maupun sekunder yang dilengkapi dengan analisis data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian pustaka (Library research). Data primer yang dimaksud di sini adalah al-Qur’an, dan data-data diambil dari tulisan tokoh yang diangkat baik yang terdokumentasikan dalam bentuk buku, makalah-makalah seminar, dan artikel-artikel jurnal dan majalah. Data ini, merupakan sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.


(18)

ensiklopedi dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer yang bertujuan untuk memperkaya perolehan data guna memperkuat analisa dalam penelitian ini. Sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai mengenai taghût dalam al-Quran.

2. Metode Pembahasan

Metode pembahasan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif-analisis-kritis sebagai eksplorasi untuk mencermati pemikiran Hamka dan Quraish Shihab yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.

3. Metode Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004/2005.

F. Sistematika Penulisan

Mengacu pada penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikan sebagai berikut:


(19)

BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, indentifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini.

BAB II : Berisi tentang tâghût dalam al-Quran yang menjelaskan tentang pengertian tâghût menurut bahasa, Istilah, serta ragam bentuk kata tâghût dalam al-Quran menurut para mufassir.

BAB III : Menjelaskan tentang konsep tâghût dalam pandangan beberapa mufassir, di antaranya menurut Ibn Katsir,Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab. Macam-macam tâghût,Penyimpangan akidah serta analisanya.


(20)

9

TÂGHÛT DALAM AL-QURAN

A. Definisi Tâghût

1. 1 Asal-usul kata Tâghût Menurut Ahli Bahasa

Menurut madzhab Sibaweh bahwa tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah isim

Mudzakar Mufrad (Kata benda yang menunjukan nama yang berjenis laki-laki dan berbentuk tunggal) seakan-akan nama untuk semua jenis, baik sedikit maupun banyak.1

Imam Thabary berpendapat, bahwa tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) itu bentuk muannats

dari kata-kata “taghâ-yatghû” (

ﻰﻐﻃ

-

ﻰﻐﻄﯾ

) atau ‘taghâ-yatghû (

ﻰﻐﻃ

-

ﻮﻐﻄﯾ

) yang artinya melampaui batas, wazannya adalah fa’alût.2

Sedangkan madzhab Abu ‘Aly mengatakan, tâghût (

تﻮﻏ

) itu isim

masdar yang asalnya taghwût (

توﻮﻐﻃ

) seperti kata ‘rahabût’ (

تﻮﺒھر

) dan

“jabarût’ (

توﺮﺒﺟ

), yaitu yang menjadi sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak.

Lam fi’il lapadz taghâ yang asalnya berbentuk “thawagha” (

غﻮﻃ

) berubah kepada ain fi’il diganti dan ditukar menduduki lam Fi’il yaitu “tawagha” (

غﻮﻃ

)

1

Syaikh Ahmad Al-Qathan, Muhammad Zein, Thaghut, (Jakarta : Pustaka Kautsar,

1993), Cet ke III, h, 19

2


(21)

menjadi ‘taghawa” (

غﻮﻃ

) dan akhirnya menjadi “taghâ” (

ﻰﻐﻃ

) karena ia

berharakat dan huruf sebelumnya pun berharakat, sehingga menjadi “taghût” (

تﻮﻏ

ﺎﻃ

) 3

Menurut pendapat Imam Bahr, tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) dalam bahasa diambil

dari kata “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

), pendapat ini senada dengan pendapat Sayyid

Quthb, yang pengertiannya menyampaikan, tanpa isytiqââq (Tanpa menggunakan kata pecahan dari suatu kata dasar) seperti dikatakan untuk kata-kata : ‘aalu’ (

لا

)

dan kata “Lu`lu`” (

ﺆﻟﺆﻟ

)

Imam Mubarrid bertutur, kata-kata “tâghût” (

تﻮﻏﺎﻃ

) itu adalah bentuk

jamak, tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Athiyyah.

Ada pula yang mengatakan bahwa “ tâghût” (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah isim

‘ajami seperti kata-kata “hârût” (

تورﺎھ

) dan “Mârût” (

تورﺎﻣ

) kata

“taghût” tersebut dijadikan bahasa arab yang berlaku untuk tunggal ataupun jamak.4

Dari penjelasan yang di atas penulis telah paparkan setelah mencari sejumlah ayat yang berkaitan dengan kalimat tagha (

ﻰﻏﺎﻃ

), taghût (

تﻮﻏﺎﻃ

)

3 Imam Abu hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Beirut: Dar al-Hail, 1995),

h. 373


(22)

dan tughyân (

نﺎﯿﻐﻃ

) penulis lebih sependapat dengan uraian yang disebutkan

oleh Imam Abu Ali dan nantinya penulis mencoba saling mengaitkan ayat-ayat tersebut satu sama lain.

I.2. Kata tâghût Menurut Istilah

Bahwasanya definisi tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) ialah sebuah sifat yang

menggambarkan penyembahan kepada selain kepada Allah dalam berbagai bentuk karena katanya berbentuk sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak sebagaimana diterangkan Abu Ali di atas yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk tâghût itu sendiri menjadi beragam seperti lebih percaya (mendewakan), manusia kepada manusia (dukun atau paranormal), benda dalam hal ini uang, hawa nafsu (kekuasaan, jabatan).5

B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir Dalam beberapa literatur, penulis banyak menjumpai pengertian tâghût, yang secara umum kata tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain Allah.6 Sedangkan Dlohhak, Qotadah, Mujahid, Syi’biy mengartikan tâghût dengan syaithan dan Imam Ibn Sirin mengartikan dengan tukang sihir, dan Imam Jabir, Ibn Jabir, Rofi, serta Ibn Jarih mengartikan dengan dukun.7

5

Imam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Dar al-Hail, Th. 1995), h.373.

6 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 115-116


(23)

1.3 Sayyid Quthb

Dalam pandangan Sayyid Quthb, Kata tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah variasi

bentuk kata dari “thughyân”(

نﺎﯿﻐﻃ

) yang berarti segala sesuatu yang melampaui

kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah. Lebih jauh menurut beliau termasuk dalam kategori tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah juga setiap manhaj

tatanan,system yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah.8

1.4 M. Quraish Shihab

Menurut Quraish Shihab tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) terambil dari akar kata yang

berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal,Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari dengan tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

). Kata thagha

dalamberbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.9 Kata ini

pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini digunakan pula oleh al-Qur’an, antara lain pada surat al-Haqqah (69) ayat 11 :

8 Sayyid Quthb,tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj),Gema Insani Press,Jakarta.2000,cet 1, h.

220-221

9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an AlKarim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997,


(24)







”sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami mengangkut nenek moyang kamu keatas bahtera”.

Kata thagha (

ﻰﻐﻃ

) dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam

arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia dan tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni melimpahnya air, menurut bint As-Syathi, kata thagha dalam al-Qur’an selain digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas, seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat

al-Baqarah ayat 15, al- Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata thagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan danperlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannnya kepada Tuhan, yang dapat dipahami dari ayat lain10

Dengan demikian kata thagha (

ﻰﻐﻃ

) menerangkan sikap

kesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama tafsir.


(25)

Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan bahwa yang dimaksud tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang

disembah, oleh kaum musyrikin Mekkah dan juga setan serta segala macam berhala. Demikian al-Biqai menafsirkannya.Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa tâghût yaitu melanggar hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan kebatilan, kezaliman dan kejahatan.11

Sedangkan dalam surat an-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah dua tokoh yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn

al-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang yahudi menuju ke Mekkah untuk menjalin kerja sama dengan penduduk Mekkah memerangi Nabi Muhammad saw, Mereka disambut baik oleh tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah ketika itu, yakni Abu Sufyan. Tokoh-tokoh Mekkah meragukan keikhlasan orang yahudi sambil berkata, ”kalian,wahai orang Yahudi,adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga

demikian juga demikian,maka kami meragukan kalian, bila ingin kami melawan Muhammad bersama kalian, aku sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan percayalah kepadanya”.

Orang-orang yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Mekkah kemudian mereka memilih masing-masing tiga-puluh orang dari kelompok Yahudi dan Musyrik Mekkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti janji setia memerangi Nabi Muhammad saw, Setelah Abu Sufyan bertanya kepada Ka’ab, ”engkau mmembaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian.

11


(26)

Siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya daripada

Muhammad dan sahabat-sahabatnya”.12

Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyaraf, dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyarf.Ada lagi yang memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran islam.13

1.5 Hamka

Sedangkan menurut Prof Dr.Hamka, secara ringkas beliau menyimpulkan tentang tâghût adalah pelanggar, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah 256 yaitu ”akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka

adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, atau pemimpin, dukun, syaithan, berhala, atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat tâghût.14.Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada

tâghût yakni setengah menyembah kubur. Setengahnya menyembah orang-orang

menggantungkan nasib kepadanya.15

Kata tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) dalam al-Quran seringkali di sebutkan dalam

bentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi,

12

M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 451.

13

M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 465

14

Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta :Pustaka Panjimas, 1982), h.26.


(27)

baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab

Mu’jam al-Mufahrâs, kata tâghût yang penulis jumpai dalam al-Quran terdapat 12 kali disebutkan.

Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara umum kata tersebut terdistribusikan sebagai berikut:

a. Bentuk tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) surat Baqarah (2) ayat 256 dan 257, surat

al-Nisa (4) ayat 51,60, 76,surat al-Maidah (5) ayat 60, surat al-Nahl (16) ayat 36, surat al-Zumar (39)ayat 17.16

b. Sedangkan dalam bentuk “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

) ada dalam surat al-Baqarah

(2) ayat 15, Maidah (5) 64,68,72, Surat An’am (6) ayat 110, surat A’raf (7) ayat 186,surat Yunus (10) ayat 11,surat Isra, (17) ayat 60. al-Kahfi (18) ayat 80, surat al-Mu’minun (23) ayat 75.

c. Dalam bentuk ‘taghwu” (

ﻮﻐﻃ

) isim masdar, tertera dalam surat al-Syams

(91) ayat 11 (

ﻰﻐﻃ

) fiil madhi, surat al-Haqqah 969) ayat 11, surat Thaaha

(20) ayat 24, 43, surat al-Najm (53) ayat 17 dan surat al-Naziat (79) ayat 17 dan 37,surat al-Fazr ayat 11.

d. Dalam bentuk “Tathgâw-yatgha-athgha’ (

ﻮﻐﻄﺗ

-

ﻮﻐﻄﯾ

-

ﻰﻐﻃ

ا

) fi’il mudhari,surat Thaha (20) ayat 24,45 dan 81, surat al-Rahman (55) ayat 8,,

16

Al-Haj Khan Bahdur Altaf Ahmad Kheirie, R.A.S Index Cum Concordance For The


(28)

surat Hud (11) ayat 112, surat Qaaf (50) ayat 27, surat al-Nazm (53) ayat 52, surat al-‘Alaq ayat 6.

e. Dalam bentuk Taghin (

غﺎﻃ

), isi Fail yaitu : surat Shaffat (24) ayat 30,

surat Shad (38) ayat 56, surat 56,surat Dzariyat (51) ayat 53, surat al-Thur (52) ayat 32, surat al-Qalam (68) ayat 31,al-Haqqah (69) ayat 5, surat al-Naba (78) ayat 22.17

17 Al- raghib Asfhanniy, Al-Mu’zam Mufradat Alfâz Al-Qur’an, Jilid 2, (Beirut : Dar al-


(29)

18 A. Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb

Pandangan beberapa para mufassir dalam menafsirkan konsep tâghût secara global mempunyai kemiripan pandangan akan tetapi dalam ciri khasnya mempunyai perbedaan yang mendasar dari mulai menafsirkan gaya bahasa, struktural profesi, dengan mufradatnya, sampai kebudayaan sosial waktu itu. Sebagaimana dalam pandangan Ibnu Katsir menyikapi surat al-Qur’an dibawah ini:


(30)

yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya.1 dikunci mati

oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.

Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan menjadikannya yahudi tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak kami jadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama. “Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.

Cerita senada diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Bandar, diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari hadis Syu'bah. demikian pula Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan karena kejadian tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang bernama al-Husaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk agama Islam. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Apakah saya dianggap memaksa keduanya” padahal keduanya telah menolak agama kecuali agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat di atas berkaitan dengan itu.

Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al-Fath: 16) Allah berfirman,

1


(31)

(32)

mempersaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang amat kokoh. Tâghût ialah 'setan'. Istilah tâghût mencakup segala kejahatan yang dilakukan kaum jahiliah, seperti menyembah, berhakim, dan meminta tolong kepada berhala.

Firman Allah, “Maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”Yakni, sesungguhnya dia telah memegang teguh agama dengan sarana yang paling kuat. Kondisi itu diserupakan dengan tali yang teguh yang tidak akan putus sebab jati diri tali itu stabil, kokoh, dan kuat, serta ikatannya sangat keras. Tali yang kuat itu ialah iman dan Islam. Tidak ada kontradiksi antara orang yang berpendapat bahwa tali itu ialah “tidak ada tuhan melainkan Allah”, ia adalah al-Qur'an, ia adalah cinta karena Allah dan benda karena Allah pula. Semuanya benar. Berkaitan dengan firman Allah “tidak rapuh”, Mu'adz bin Jabal berkata, “Ayat itu berarti 'tidak masuk surga'.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia berkata (410) “Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seseorang yang di wajahnya ada tanda kekhusyuan. Dia shalat dua rakaat secara singkat. Orang-orang berkata, “Orang ini ahli surga.” Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk ke rumahnya. Kami mengobrol, dan setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid, orang-orang mengatakan bahwa engkau adalah ahli surga.' Dia menanggapi, 'Maha suci Allah. Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Saya akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian.


(33)

Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan hijau.”Ibnu Aun berkata: “Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman. Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba dikatakan kepadaku, 'Naiklah!' Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.' Kemudian datanglah pelayan.” Ibnu Aun berkata, “Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, “Naiklah”! Maka aku pun naik hingga berhasil memegang tali. Dia berkata, 'peganglah tali itu.' Maka aku terbangun dan tali itu benar-benar ada di tanganku. Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau.

Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan senantiasa memeluk Islam hingga mati.” Hadis ini dikemukakan dalam sahîhain. Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.


(34)

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menunjukkan orang yang mengikuti keridhaan-Nya sebagai jalan keselamatan. Kemudian Dia mengeluarkan hamba-hamba yang beriman dari kegelapan, kekafiran, kegamangan., dan keraguan, kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, dan mudah, dan bahwa orang-orang kafir memiliki para pelindung, yakni setan yang menjadikan kebodohan dan kesesatan itu indah dalam pandangan mereka serta mengeluarkan dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran kepada kekafiran dan keingkaran. "Mereka itulah para penghuni neraka, sedang mereka kekal di

dalam-nya.” Oleh karena itu, Allah menjadikan kata al-Nûr tunggal dan kata

al-Zulumât jamak, karena kebenaran itu satu dan kekafiran itu memiliki banyak jenisnya dan semuanya batil. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).3

Sedangkan menurut Sayyid Quthb konsep Tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah variasi bentuk kata dari “tughyân” (

نﺎﯿﻐﻃ

), yang berarti segala sesuatu yang melampaui batas yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah, lebih jauh menurut beliau yang termasuk dalam kategori tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah juga setiap manhaj

3

Tafsir Ibnu Katsir “Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” (Jakarta, Penerbit: Gema


(35)

tatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundangan-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah.4


(36)

Kemudian Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan diturunkan al-Quran, dan diutusnya Rasulullah serta ditolongnya orang-orang yang dekat dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk dengan kesesatan, dan antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, orang yang tidak percaya kepada tâghût yaitu setan yang membujuk orang untuk menyembah berhala, lalu dia beriman kepada Allah Ta'alalalu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, maka berarti dia telah berpegang pada agama Islam dengan tali yang terkuat. Dan orang yang bersikeras dengan kekafirannya kepada Allah dan percaya kepada tâghût, maka ia berpegang pada tali yang lebih rapuh dari pada sarang laba-laba.

Allah mendengar kata-kata hamba-Nya, mengetahui mata mereka dan perbuatan-perbuatan rahasia mereka, dan akan membalas masing-masing sesuai dengan perbuatannya. Kemudian Allah membeitahukan bahwa Dia adalah penolong hamba-hamba yang beriman, Dialah yang telah mengeluarkan mereka dari gelapnya.5 kekafiran dan kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu dan iman,

sehingga mereka menjadi sempurna, dan bahagia. Sedangkan orang-orang kafir, penolong mereka adalah tâghût yang terdiri dari jin setan dan manusia yang membujuk mereka berbuat kebatilan dan keburukan, dan merangsang mereka berbuat kufur, fasik, dan maksiat. Dengan demikian, tâghût telah mengeluarkan mereka dan cahaya kepada kegelapan dan menyiapkan mereka masuk neraka untuk selama-lamanya.

5 Allah Ta’ala Menggunakan Kata Nûr Dalam Bentuk Mufrad (Singulair) Dan Kata-Kata

Zulumât Dalam Bentuk Jama’ (Plural) Karena Kebenaran Itu hanya Satu, Sedang Kekafiran Itu bermacam-macam dan semuanya bathil Atau salah.


(37)

Konsep Tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) Menurut Quraish Shihab terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas, biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir (pesulap, termasuk didalamnya Dukun atau paranormal, yang menetapkan hukum (pemerintah atau para hakim, jaksa dan pengacara) bertentangan dengan ketentuan ilahi,tirani, semuanya digelari dengan

tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) Kata taghâ dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.6 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya

air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini di gunakan pula oleh al-Qur’an antara lain pada surat al-Haqqah (69)ayat 11:


(38)

Baqarah ayat 15, al-Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata

taghâ dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan dan perlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat diambil dari ayat lain.7

Dengan demikian kata taghâ (

ﻰﻐﻃ

) menerangkan sikap kesewenang-wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama tafsir.

Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan bahwa yang dimaksud tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang disembah, oleh kaum musyrikin Makkah dan juga syaitan serta segala macam berhala. Demikian al-Biqai menafsirkanya. Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa tâghût yaitu melanggar yang hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan kebatilan, kezaliman dan kejahatan.8

Sedangkan dalam surat al-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût (

تﻮﻏﺎﻃ

) adalah dua tokoh Yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn al-Asyaraf, yang memimpin rombongan orang Yahudi menuju Mekah untuk menjalin kerja sama dengan penduduk Makkah memerangi Nabi Muhammad saw., mereka disambut baik oleh tokoh kaum musyrik Makkah ketika itu, yakni Abu Sufyan, tokoh-tokoh Makkah meragukan keikhlasan orang Yahudi sambil berkata, “kalian, wahai orang Yahudi, adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga

7

Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an, h. 105


(39)

demikian maka kami meragukan kalian, Bila ingin kami melawan Muhammad bersama kalian, akan sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan percayalah kepadanya”.

Orang-orang Yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Makkah kemudian mereka memilih masing-masing tiga puluh orang dari kelompok Yahudi dan Musyrik Makkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti janji setia memerangi nabi Muhammad saw, setelah Abu Sufyan bertanya kepada Ka’ab, ‘Engkau membaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian, siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya dari pada Muhammad dan sahabat-sahabatnya’.9

Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyraf, dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan merujuk kepada nabi Muhammad saw, untuk menyelesaikan perselisihanya, walau lawannya orang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik, Ada lagi yang memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.10

sedangkan Hamka menyimpulkan secara ringkas tentang konsep tâghût adalah pelanggar batas norma kebenaran hakiki, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah 256 yaitu “akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin (presiden, DPR dll), dukun atau paranormal, syaitan, juga berhala, dengan makna lain orang-orang

9

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 451


(40)

yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat

tâghût.11 Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya menyembah orang-orang hidup, yang dipandang sebagai pahlawan, lalu orang menggantungkan nasib kepadanya.12

Pelajaran Yang dapat diambil dari Ayat 256-257

1. Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam kategori mereka, seperti orang-orang Majusi dan Shabi'ah tidak boleh dipaksa masuk Islam kecuali atas pilihan dan kemauan mereka sendiri dan harus membayar jizyah (pajak) dan mereka tetap dalam agamanya.

2. Islam itu seluruhnya adalah petunjuk (hudan) sedang lainnya adalah sesat dan salah.

3. Meninggalkan keburukan itu diprioritaskan dan didahulukan daripada berbuat keutamaan.

4. Makna Lâ ilâha illallâh adalah beriman kepada Allah dan kafir pada tâghût. 5. Kedekatan dengan Allah dapat dicapai dengan iman dan takwa.

6. Pertolongan dan perhatian Allah diberikan kepada orang-orang yang dekat kepada-Nya.13

C. Macam-Macam Taghût

a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran

11 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 26

12 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 29

13

Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir al-Kautsar” (Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996),


(41)

Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih baik sebagaimana Firman-Nya :

Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:14


(42)

(43)

termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.16

Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan yang lainnya.17

Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan :

Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan.

Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini.

16

Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496


(44)

Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik manusia (seseorang), sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan untuk manusia tanpa seizin Allah.

Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia, syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan

ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian

dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia dan dijadikan hakim (pemutus) oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi kekuasaan.

Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini, tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun itu dianggap masalah kecil oleh manusia.

Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur, Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir, fasik, dan zhalim.


(45)

Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin. Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam (kafir).

Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah -an-Nya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan hakekat masalah ini.

Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia, Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan-Nya yang paling kecil, sedikit


(46)

maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta segala-galanya.

Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân (Kuasa dan Kuat). Tidak ada suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah,

Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam syariat-Nya. Maka arti istislâm (pasrah) kepada syariat Allah sebelum yang lainnya adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang (tidak pasrah) terhadap syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah (Zat yang hak disembah) dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya (Zat pemelihara dan Pencipta segala). Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja, baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam.

Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan (anggapan) tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat (undang-undang) buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam pembahasan ini;


(47)

“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. ( al-Maidah : 50)

Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat buatan manusia itu melebihi (menandingi) syariat Allah dalam setiap keadaan dan dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman.

Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini (yaitu antara hukum Allah dan hukum buatan Manusia) dan dengan memakai kata-kata “man” ( ﻦﻣ ) yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah (dalam ilmu nahwu) yang menunjukan kepada pen-ta’miman (mencakup siapa saja) ditambah dengan kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali, tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak berhukum kepada al-Quran berarti (kafir). Seperti yang telah kami sebutkan karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran (apa-apa yang telah di turunkan Allah), tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat

ke-ulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum (undang-undang).masa dan bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi sesembahan, kendatipun pada mulanya tak ada kepercayaan seperti itu yang


(48)

menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan.18

b. Para Pendeta dan Pastur

Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah. Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal sehingga kaumnya mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A 'masy dan Sufyan Tsauri ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat Hudzaifah ra. pernah di tanya tentang ayat Taubah ayat 31:


(49)

dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para pendeta dan Pastur (alim ulama) sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan realita.20

Sesungguhnya nash al-Qur'an menyamakan sifat syirik dan menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima syariat (hukum) dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyah -an nabi Isa dalam keyakin-an d-an dalam praktek. Kedu-anya ini sama di-anggap musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan dan kesangsian kaum muslimin (dalam masalah ini) ketika itu dimana mereka menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka


(50)

menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka

ahl al-Kitâb.

Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar "musyrik" dan "kafir" sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia beriman. Karena hanya dengan sekedar dia "ikut" kepada hukum buatan manusia dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka (manusia tersebut) untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti karena mereka memaksanya sehingga tak mampu mengelak.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân," Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal ada beberapa golongan.

Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran para Rasul, sementara Allah dan Rasul-Nya pun menganggap bahwa perbuatan


(51)

tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka, dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama seperti Bani Israil.

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra, bahwa ketika da'wah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw. Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:(Taubah 3l) Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata kepada beliau: Mereka tidak menyembah para pendeta dan pastur itu”.

Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.21

Mentaati para pendeta dan pastur (alim ulama) dalam bermaksiat kepada Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang


(52)

tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat al-Taubah ayat 31: 22

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib(pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.


(53)

mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut mereka, yang mereka namakan "wilayah".23 Sedang ibadah dan penyembahan kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu dan jahil.24

Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan keledai yang memanggul kitab (buku-buku), tak mengerti apa isinya. Maka mulailah mereka membuat hukum (undang-undang) untuk ummat manusia berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah bangsa-bangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang undang (Hukum) yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan

“Tåghût”.

23

Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya.


(54)

c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam

Sebagaimana firman Allah swt dalam surat A’râf:7/175-176 dan al-Isrâ:17/36 :


(55)

manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw.

Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar. Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di Akhirat.

Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat (hukum) islam itu tidak berlaku pada hal-hal (perkara) besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu tauhid.

Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara

Muhkâmât (ayat yang jelas tidak perlu ta’wil) yang tidak mungkin mengundang perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman.

Adapun masalah-masalah yang membutuhkan Ijtihad mengikuti perkembangan zaman, al-Qur’an pun telah menjelaskannya secara global. Inilah


(56)

masalah-masalah yang menjadi ajang pertentangan pendapat antara para mujtahid, tetapi bukan penyebab berpecah belah.

Ijtihad itu harus bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah bahkan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada ijma atau Qiyas serta sumber-sumber hukum islam lainya harus dikembalikan kepada kedua dasar hukum tersebut.

Atas dasar ini maka tak ada pendapat pada ulama Islam, karena pendapat dan kefanatikan serta pengagungan hanya kepada kedua sumber ijtihad tadi (al-Qur'an dan Sunnah) bukan kepada si Mujtahid. Oleh karena itu, kaum muslimin menolak setiap pendapat yang tidak berdasar kepada keduanya dari siapapun datangnya. Kami tidak pernah menemukan seorang ulama pun yang berkecimpung dalam dunia fiqih Islam dan dia terkenal sebagai seorang Mujtahid, ia tidak berpegang kepada dalil-dalil syara dalam mengistinbath (menentukan suatu hukum). Sungguh para ulama Islam adalah orang-orang pilihan dari ummat ini yang jauh berbeda dengan ummat-ummat terdahulu yang ulamanya terdiri dari orang orang jahat. (Karena Ulama kita pengganti para Rasul). Mereka menghidupkan kembali sunnah nya yang nyaris padam. Dengan sebab mereka tegaklah kembali Kitabullah dan dengan Kitabullah mereka pun menjadi tegak dan bangkit.

Dengan sebab mereka al-Qur'an bisa bicara, dan dengan al-Qur'an mereka juga bisa bicara. Tak ada seorang ulama atau Imam pun dari para Imam yang berkaliber dunia yang hasil pikirannya menjangkau seluruh ummat muslimin yang tidak berpegang teguh dan bersandar kepada al-Qur'an dan Sunnah, baik sedikit maupun banyak, baik masalah yang kecil maupun yang besar. Mereka sepakat


(57)

bulat dengan yakin, bahwa mengikuti teladan sunnah itu wajib, dan setiap pendapat manusia boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali ucapan Rasulullah saw. Dan apabila ada seorang Ulama yang ternyata pendapatnya (hasil Ijitihadnya) bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi saw, maka ia wajib menarik pendapatnya atau meninggalkannya dan mengambil hadis tersebut.

Di sana juga ada kesepakatan pandangan bagi ummat ini, bahwa para Ulama dalam ijtihad dan fatwanya tidak bersandar kepada apa-apa yang bertentangan dengan teladan Rasulullah saw. Tak ada seorang pun dari mereka yang keluar dari nash. Bila salah dalam Ijtihadnya, ia tetap seorang Mujtahid, mendapat pahala satu. Bila benar, ia mendapat pahala dua. Orang-orang yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, jika ia seorang mujtahid yang tujuanya meneladani Rasulullah, tetapi tersembunyi baginya kebenaran dalam masalah tersebut, sementara dia juga betul-betul bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuanya, ia tidak akan disiksa oleh Allah karena kesalahanya tersebut, ia tidak berdosa bahkan mendapat pahala atas hasil ijtihadnya.

Karena keputusannya yang berpijak di atas hasil ijtihadnya dengan motivasi baik, bahwa apa-apa yang ia perbuat tersebut semata-mata untuk menghidmat kepada agama dan bukan karena pengaruh hawanafsunya, melainkan semata-mata mencari ridha Allah.

Adapun yang termasuk dosa atau maksiat dalam masalah ini adalah apabila seorang Ulama tingkatan mujtahid ia berijtihad dan ia tahu bahwa hasil


(58)

ijtihadnya itu salah dan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tetapi dia tetap mempertahankan pendapatnya, tidak mau rujuk kepada keduanya.

Imam ibnu taymiyyah, berkata; dan ia tahu bahwa hal ini salah, tetapi ia tetap mempertahankannya, tidak mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka dia mendapat celaan dari Allah berupa Syirik, lebih-lebih jika hal itu didorong oleh hawa nafsunya dan ia pertahankan dengan argumentasi-argumentasi palsu dari mulutnya atau dengan tangannya sama lainya ia disebut thâghût.25

Oleh karena itu para ulama berkonsensus bahwa jika seorang ulama mengetahui yang hak,ia tidak boleh taqlid kepada orang lain yang bertentangan denganya. Para ulama ini hanya mengambil dalil, walaupun dia tidak mampu untuk berijtihad mengeluarkan hukum dari dalil yang diketahuinya. Ini adalah seperti seorang yang ada ditengah ummat Nasrani, tetapi ia tahu bahwa agama islam adalah hak.

d. Dukun dan Tukang Sihir

Disebut “sihir”, karena pekerjaan tersebut tersembunyi, halus, licik dan semata mata bersandar kepada makar dan tipu daya setan.

Sihir terbagi 2 :

Pertama: yang berupa khayalan dan bukan sebenarnya sihir jenis ini bersandar kepada ilmu dan kepandaian serta ringannya gerakan. Yaitu si tukang sihir menyulap sesuatu menjadi sesuatu yang lain dimana orang banyak

25


(59)

menyaksikannya. Sebagaimana orang melihat fatamorgana dari kejauhan lalu ia sangka ia air.

Allah berfirman:



Berkata Musa: "Silakan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (Thaha :66)

Kedua: Sihir yang hakiki dengan sihir ini si tukang sihir berhasil menimpakan bahaya dan bencana kepada seseorang dengan istrinya. Sihir jenis ini terkadang mengandalkan ajimat-ajimat, mantera dan buhul-buhul yang dapat mempengaruhi harta, dan badan seseorang sampai jatuh sakit bahkan mati disamping juga dapat meruntuhkan rumah tangga orang.

Allah Ta'ala berfirman:







“…Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya”. (al-baqarah: 102).







“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”(al-Falaq:4)

Sihir ini sihir yang sebenarnya (hakiki) yang memang ada, yang kita harus berlindung kepada Allah darinya. Kejahatan sihir ini tidak hanya terbatas


(1)

tetapi selain mereka pun banyak yang menganggap demikian, seperti orang-orang muslim yang selalu menanyakan perkara-perkara kepada para dukun, juga banyak. Sedangkan menurut para ulama orang-orang yang mendatangi dukun atau peramal itu sendiri ada tiga golongan.

Pertama, mereka yang datang dan memanfaatkan jasa dukun atau peramal dan percaya dengan apa yang dikatakannya.

Kedua, mereka yang datang kepada dukun atau peramal tapi tidak mempercayainya.

Ketiga, mereka yang tidak mempercayai apa yang dikatakan dukun dan datang kepada dukun atau peramal dengan maksud dengan menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan meminta untuk meninggalkan perbuatannya.

Menurut penulis, hal ini dapat dilakukan bagi orang yang ingin memberitahukan orang lain yang belum mengetahui perihal dukun atau peramal dan masih menganggapnya mengetahui akan yang ghaib, bahwa perkataan dukun atau peramal itu tidak dapat dijadikan pegangan. Akan tetapi hal ini tidak perlu dilakukan bagi seorang yang datang seorang diri, sebab kalau ia telah tahu bahwa seseorang itu adalah seorang dukun atau para normal, tak perlu didatangi untuk menguji atau mengetesnya, kecuali dilakukan bersama orang lain yang belum mengetahuinya.

Mengenai orang yang mendatangi dukun ataupun peramal, ada dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad. Pertama, pelakunya dinyatakan kafir dengan tingkat kafir kecil. Agaknya inilah pendapat yang kuat. Kedua, tâwâqqûp,


(2)

66

maksudnya menamai pelakunya dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Jadi tawaqqup disini adalah hukum bukan nama. Maka tidak boleh mengatakan dia telah keluar dari islam.41

41


(3)

67 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Penafsiran tentang tâghût yang mencakup tentang korelasinya terhadap berbagai penyimpangan akidah dalam realita sosial atau lebih dikenal dengan percaya kepada peramal, perdukunan (ahli nujum), sihir, pastur, atau para normal yang suka meramal-ramal perkara ghaib sepeti di jaman modern ini, pekejaan dukun atau peramal ini tidak diperkenankan dalam islam, sebab perkara ghaib adalah hak Allah yang hanya diketahui oleh-Nya.dari penafsiran-penafsiran dan firman Allah yang telah dibahas ada beberapa hal penting yang dapat penulis simpulkan yaitu:

1. Konsep thâghût dalam al-Qur’an adalah salah satu penyimpangan dalam realita sosial sering kali Allah singgung dalam al-Qur’an, tercatat ada 8 kali kata thâghût, yang secara umum di artikan sebagai sesuatu yang disembah selain Allah baik berupa syaithan, berhala, tukang sihir, paranormal, dukun, pastur, ataupun segala manhaj yang mengajak kepada kekufuran.

2. Konsep thâghût itu umumnya diartikan berhala saja, padahal dalam perkembangan di zaman modern ini banyak macamnya, maka kaum yang beriman di beri peringatan agar menjauh dari thâghût itu sendiri, apalagi sampai disembah-sembah. Untuk itu kembalilah kejalan yang diridoi Allah


(4)

68

swt, kita tidak akan kuat menjauhi thâghût, kalau kita tidak bertekad kembali kepada Allah.

B. Saran-saran

Sejalan dengan beberapa hal yang penulis bahas dalam skripsi ini, maka penulis menyimpulkan saran-saran sebagai berikut:

1. .Masalah-masalah thâghût, termasuk perdukunan ataupun percaya dengan paranormal yang menyimpang dalam realita sosial,dijaman modern sangat marak dinegeri ini, bahkan di dunia hendaknya institusi respon dengan hal-hal yang sedang aktual untuk kemudian dapat mengangkatnya kedalam kurikulum perkuliahan, khususnya bagi mata kuliah tafsir hadits, karena hal ini akan sangat bermanfaat,agar keimanan kita bisa bertambah.

2. Para mahasiswa islam hendaknya lebih bisa memahami secara mendalam agama dan sumber ajaranya, yaitu al-Qur’an dan hadits, agar terhindar dari hal-hal yang dapat menjerumuskan kedalam perbuatan yang tidak diper bolehkan, dan dapat lebih memahami secara mendalam aspek-aspek keilmuan yang berhubungan kedua aspek-aspek tersebut.


(5)

69

Ahmad Kheirie, R.A.S, Al-Haj Khan Bahdur Altaf

Index Cum Concordance For The

Holy Qur;an

, New Delhi : Kitab Bavhan, th. 1993, Cet. I

Abu Hayyan, Muhammad Yusuf,

Tafsîr al-Bahru al-Muhît

, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr,

1992).

al-Andalusi, Imam Abu hayyan,

Tafsir an-Nahru al-Madd

, Beirut: Dar al-Hail, 1995,

cet. I.

al-Busthani,

Ensiklopedia

,

Kepercayaan-Kepercayaan Tentang Yang Di Anut Oleh

Bangsa-Bangsa Di Asia

, Jakarta: Pustaka Akbar, 1996, Cet ke III.

al-Buraikan,

Pengantar Studi Aqidah Islam,

Jakarta: Robbani Press. 1998, Cet IV.

Faiz, Fakhruddin,

Hermeneutika Qur'ani

Pustaka Filsafat Yogyakarta 2001, Cet I.

Hamka,

Tafsir al-Azhar

, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Cet III.

Hidayat, Komaruddin,

Psikologi Kematian

, Jakarta , Mizan Hikmah, 2005, cet.I.

Halimuddin,

Kembali Kepada Akidah Yang Benar,

Jakarta: Rineka Cipta, 1988

Cet. I.

Ibn 'Alawi Al-Maliki, Muhammad,

Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an

, Bandung: Mizan 1

Oktober 2003. cet. II.

Ibn Katsir,

Tafsir Quran al al-Azim

,

-

Beirut: Dar al-Fikr, tth., cet I

...,

“Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari”

Jakarta, Penerbit: Gema Insani

Press, 1999 M, Cet, I.

Idris Hidayatullah Namawi, Nabhani

''THAGUT''

Jakarta : Pustaka Al-Kautsar 1989.

Cet I.

Ibn Hisyam,

as-Sirah

,

Watsaniyahn Atau Paganisme Telah Berakar Di Tengah-tengah

Musyrikin Arab Jahiliyah,

Jakarta : Pustaka Media Etika Sarana, Jilid 1.

Iskandar,

Perspektif

ِ

Aksiologi Qur'ani,

Jakarta: Rabbani Press, Februari 2007, cet I.

Ja’far Subhani, Al-Allamah al-Syaikh,

al-Tauhid wa Syirk fi al-Qur’an al-Karim, terj.


(6)

70

Jabir Al-Jazairi, Abu Bakar

“Tafsir al-Kautsar”

, Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996,

Cet. I.

Kepel, Gilles,

Pembalasan Tuhan

, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1997, cet I.

M.Thalib,

100 Karakter Musyrik dan Jahiliyah

,

Solo: Ramadhan. 1994, Cet. IV.

Nawawi, Rif’at Syauqi,

Rasionalitas Tafsir Muhammad ’Abduh Kajian Masalah Akidah

dan Ibadah

Jakarta: Paramadina, 2002, cet I.

Sayyid Qutb,

Tafsir fi Zilal al-Qur’an,

terj, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet III.

Shihab, M. Quraish,

Tafsir al-Qur’an al-Karim

, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet.

IV.

………..,

Tafsir al-Mishbah

, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Vol 2.

Putro, Suadi,

Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas

, Paramadina, Jakarta,

1998, cet II.

Wa’ie, Ikhwanul,

Luruskah Akidah Anda

, Bogor: Pustaka Thariqul Izah, 2003, Cet. III.

al-Qathan, Syaikh Ahmad, Muhammad Zein,

Thaghut,

Jakarta : Pustaka Kautsar,1993,

Cet ke III.

al-Qaradlawi, Yusuf.''

Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan''.

Surabaya: Pustaka

Progressif. 2002, Cet IV.

al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya

,

Depag RI 2005.

al-Qusyairî al-Naisaburî, Muslim bin Hajjâj,

Shahih Muslim,

Semarang: Toha

Putra, t.t, Juz IV.

al-Qattan, Manna khalil’

Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’

, Jakarta : Lentera AntarNusa,Thn

2006, cet.IX.

yusuf Abu hayyan, Muhammad,

Tafsîr al-Bahru al-Muhît

, jilid 2, Beirût:Dâr al-Fikr,

1992, cet.III.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an.

Al-Qur'an dan Terjemahnya

, Semarang:

CV. Toha Putra Semarang.1989, cet III.

Umar Sulaiman al-Asyqar

Alam Makhluk Supernatyral

, Jakarta: Firdaus.

1999, Cet. V.

al-Ubaid, Abdul Aziz bin Shaleh,

Syetan VS Manusia

, (Jakarta: Pustaka Azzam,2002),

Cet. I.