2.2.1.4.
Western Blot HI V
Tes
enzym-linked immunosorband blot
untuk mendeteksi antibodi HIV-1. Alat ini mengandung virus HIV yang telah dilemahkan dengan
psoralen dan sinar ultra violet. Protein spesifik HIV1 dikelompokkan sesuai dengan berat molekulnya dengan elektroforesis pada larutan
sodium dodecysulfat
. Larutan ini dicampur dengan serum yang akan diperiksa, kemudian disimpan dalam inkubator. Kemudian dinilai skor reaksi
berdasarkan intensitasnya. Bila hasil tidak reaktif seseorang pasti tidak terpapar dengan virus HIV.
2.2.1.5. Tes Kuantitatif Virus HI V
Mengukur jumlah virus HIV pada plasma, darah, cairan cerebral, cairan cervikal, sel-sel, dan cairan semen. Metoda RT PCR ini yang paling
sensitif.
15
2.2.2. Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HI V
Pada tahun 1990, WHO mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang
terinfeksi dengan virus HIV-1. Sistem ini kemudian diperbaharui pada bulan September 2005.
Radar Radius Tarigan : Profil Kuman Diare Kronik Dan Hubungannya Dengan Kadar Cd4 Pada Penderita Aids Yang Dirawat Di
Rsup H Adam Malik Medan, 2009
Tabel 1. Stadium infeksi HIV pada orang dewasa oleh WHO
Dikutip dari kepustakaan 16
Klinis stadium I
1. Asimtomatik
2.
Limfadenopati
menyeluruh dan persisten. Skala penampilan 1;
asimptomatik
, aktifitas normal Klinis stadium II
3. Penurunan berat badan 10 4. Manifestasi
mukokutaneus
yang ringan
dermatitis seboreika
,
prurigo
, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mulut yang berulang,
angular cheilitis
5.
Herpes zoster
dalam 5 tahun terakhir Infekasi saluran nafas yang berulang yakni sinusitis bakterial danatau skala
penampilan 2: simptomatik, aktifitas normal Klinis stadium III
6. Penurunan berat badan 10 7. Diare kronik yang tidak bisa dijelaskan 1 bulan
8. Demam berkepanjangan yang tidak bisa dijelaskan
intermitten
atau konstan 1 bulan
9. Kandidiasis oral
thrush 10.
Oral hairy leukoplakia 11.
Tuberkulosis paru dalam tahun sebelumnya
12.
Infeksi bakteri yang berat yakni pneumonia,
pyomyositis
Danatau skala penampilan 3: terbaring 50 hari dalam bulan terakhir Klinis stadium IV
13.
HIV wasting syndrome 14.
Pneumocystis carinii pneumonia 15.
Toxoplasmosis otak
16. Cryptosporidiosis
dengan diare 1 bulan
17. Cryptococcosis
ekstraparu
18.
Penyakit
cytomegalovirus
pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar limfe
19.
Infeksi virus
herpes simplex mukokutaneus
1 bulan, atau saluran cerna beberapa lama
20. Progressive multifocal leukoencephalopathy
21. Micosis endemik diseminata
histoplasmosis, coccidioidomycosis 22.
Candidiasis esophagus, trakea, bronkus, atau paru-paru
23. Atypical mycibacteriosis disseminated
24. Non-thyphoid Salmonella septicaemia
25.
Tuberkulosis ekstraparu
26.
Limfoma
27. Sarkoma kaposi
28. Ensefalopati HIV
Danatau skala penampilan 4 : terbaring 50 hari dalam bulan terakhir
Radar Radius Tarigan : Profil Kuman Diare Kronik Dan Hubungannya Dengan Kadar Cd4 Pada Penderita Aids Yang Dirawat Di
Rsup H Adam Malik Medan, 2009
2.3. I NSI DEN
Diare kronik pada pasien infeksi HIVAIDS dapat diakibatkan oleh berbagai sebab, antara lain: infeksi bakteri, parasit, dan virus. Di negara
yang maju dimana obat anti retroviral tersedia dengan cukup, dijumpai insidensi diare kronik pada penderita HIVAIDS menurun dari 53 menjadi
13. Sedangkan di negara dengan obat anti retroviral yang kurang, insiden diare kronik pada penderita HIVAIDS masih tetap tinggi. Namun, pada satu
penelitian di Boston dimana obat anti retroviral cukup tersedia, sebanyak 40 orang dewasa yang terinfeksi HIV mengalami paling sedikit satu kali
diare selama satu bulan pengobatan anti retroviral.
9,13,17
2.4. PATOGENESI S DI ARE KRONI K PADA HI V
Ada beberapa mekanisme patologi terjadinya diare pada pasien infeksi HIV :
2.4.1. Berkurangnya permukaan mukosa usus
Diare pada pasien terinfeksi HIV akibat adanya kerusakan sel-sel epitel usus halus. Dengan keadaan ini terjadi proliferasi dari sel-sel usus halus
untuk mempertahankan fungsi hemostasis. Rata-rata
turnover
dari sel-sel epitel usus kira-kira 72 jam. Selama rentang waktu ini terjadi pematangan
dan fungsi absropsi dari enterosit. Akibat peningkatan kerusakan sel-sel epitel ini, sehingga waktu maturasi sel-sel usus halus tidak dapat menyeimbangkan
antara kerusakan dan proses pematangan sel-sel epitel, yang mengakibatkan terganggunya kerja enzym-enzym enterosit, seperti disakarida, maltosa, dan
sukrosa. Hal ini menimbulkan
atropi
dari
villus
dan mengakibatkan daya absropsi usus halus menjadi berkurang.
17,18,19
Radar Radius Tarigan : Profil Kuman Diare Kronik Dan Hubungannya Dengan Kadar Cd4 Pada Penderita Aids Yang Dirawat Di
Rsup H Adam Malik Medan, 2009