dikemudian hari sementara pembayarannya dilakukan dimuka dengan kata lain jual beli utang dari pihak penjual dan kontan dari pihak pembeli karena uangnya telah
dibayarkan ketika akad berlangsung.
53
Istisna adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli untuk membuat
dilakukan di muka melalui cicilan atau ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.
54
c. Objek akad diketahui oleh kedua belah pihak Sesuatu benda yang dijadikan objek oleh kedua belah pihak harus memiliki
kejelasan dan diketahui oleh keduanya. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesalah pahaman di antara para pihak sehingga melahirkan perselisihan. Jika objek
dalam perjanjian tersebut berupa benda maka bentuk, fungsi, dan keadaan, faedahnya ada cacat pada benda objek akad dimaksud. Maka perjanjian tersebut harus
dibatalkan, sebab perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak senantiasa memiliki tujuan yang jelas dan gamblang tanpa dirasuki oleh tipu daya dan kecurangan.
C. Jenis- Jenis Perjanjian Dalam Hukum Islam
Perjanjian atau akad dalam hukum Islam dibagi beberapa macam, yang setiap macamnya tergantung dari sudut pandang mana ia dilihat, apabila dilihat dari segi
keabsahannya menurut syara’ akad atau perjanjian dibagi kepada dua macam yaitu:
53
Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 59.
54
Gemala Dewi, dkk.hal.112.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
1. Perjanjian atau akad yang sahih. Perjanjian yang sahih adalah perjanjian yang telah memenuhi rukun dan syarat
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’. oleh karena itu konsekuwensi yang ditimbulkan akan mengikat para pihak yang berjanji atau yang berakad.
55
Menurut ulama Hanafiyah akad atau perjanjian yang sahih dibagi kepada dua macam, yakni sebagi berikut:
Pertama, akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya atau dengan
kata lain akan yang sempurna untuk dilaksanakan.
56
Kedua, akad yang muaquf, yaitu akad dilakukan oleh seseorang yang cakap bertindak secara hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
dan melaksanakan perjanjianakad tersebut,
57
hal ini dapat dicontohkan ketika si A memberikan uang kepada si B sejumlah Rp. 2.000.000 dua juta rupiah untuk
membeli seekor kelinci, dan ternyata setelah di kebun penjual kelinci, uang yang 2 juta tadi dapat membeli 4 ekor kelinci sehingga si B membeli 4 ekor dengan uang
tersebut. Keabsahan dari akad jual beli dengan 4 ekor kelinci ini sangat tergantung kepada persetujuan si A. Sebab yang disuruh pertama kali si B hanya untuk membeli
1 ekor kelinci. Dari permasalahan jual beli ini dapat dianalisa, jika si A menyetujui akad yang dilakukan oleh si B maka jual beli itu sah, tetapi jika tidak maka jual beli
tersebut menjadi batal.
55
Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 66
56
Hasballah Thaib, Op cit, hal 16
57
Ibid, hal 17
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
2. Akad yang tidak sahih Akad yang tidak sahih atau tidak sah adalah akad perjanjian yang tidak
memenuhi unsur rukun dan unsur syarat, artinya akad ini tidak mempunyai dampak hukum atau tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah akad yang seperti ini tergolong
kepada akad yang batal dan fasid. Menurut beliau akad yang batal dan fasid bisa dibedakan, yaitu kalau akad yang batal berarti akad ini tidak memenuhi rukun akad,
atau tidak ada barang yang diakadkan seumpama akad yang dilakukan oleh seorang yang bukan ahli akad contoh akad orang yang gila, sedangkan akad yang fasid adalah
akad yang memenuhi persyaratan dan rukunya tetapi dilarang oleh syara’ seperti halnya menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan persoalan
dibelakang hari.
58
Selanjutnya akad atau perjanjian dilihat dari sisi mengikat atau tidak mengikat. Yakni jika akad itu dilihat dari segi mengikat maka sudah mempunyai konsekuwensi
tidak boleh membatalkan akad hanya satu pihak, atau tanpa seizin pihak lain di dalam melangsungkan akad ini. Ulama Fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :
a. Akad yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan sama sekali, seperti akad perkawinan, dalam hal ini akad yang tidak boleh dibatalkan kecauali dengan
cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’ untuk membatalkannnya, seumpama melalui thalak dan khulu’.
58
Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal 67.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
b. Akad yang mengikat tetapi bisa dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa mnyewa atau al-muzara’ah kerjasama dalam
bidang pertanian, maka dalam hal ini para pihak dibenarkan untuk melakukan khiyar artinya ada hak para pihak untuk memilih apakah meneruskan akad
yang telah memenuhi rukun tersebut atau membatalkannya. c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak seperti al rahn dan al kafalah.
59
Apabila akad atau perjanjian tersebut dilihat dari segi bentuk tasharuf atau aktivitas hukum, maka ia memilki dua keadaan umum yaitu:
1. Akad tanpa syarat yakni suatu akad yang diucapkan oleh seseorang tanpa memberi batasan dengan suatu benda atau tanpa menetapkan suatu syarat akad, yang
seperti ini dihargai oleh syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh ketika seseorang berkata “saya membeli rumahmu” lalu dikabulkan oleh yang
seorang lagi, maka dalam bentuk ini terwujudlah akad dan akibat hukumnya adalah pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.
2. Akad bersyarat yaitu akad yang diucapkan oleh seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, dengan kata lain apabila syarat atau yang dikaitkan itu tidak ada maka
akadnya pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya. Contoh “saya jual mobil ini dengan harga Rp.
40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya”. Maka ketika atasannya telah setuju dalam hal ini akad tersebut dianggap sah.
59
Hasaballah Thaib, Op Cit,.hal.17-18
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
Untuk persoalan akad bersyarat ini ulama fiqhiyah membaginya lagi kepada tiga macam, yaitu :
Pertama, Ta’liq syarat yaitu menautkan atau mengkaitkan hasil sesuatu urusan dengan urusan yang lain
60
, artinya terjadinya akad tersebut tergantung kepada urusan lain, maka jika urusan yang dikaitkan pertama tidak jadi maka akadpun tidak ada,
contoh; jika orang yang berutang kepadamu pergi jauh, saya menjamin utangnya. Kedua, Taqyid syarat,yaitu syarat pada suatu akad atau aktifitas berakibat
hukum yang hanya berupa ucapan saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak mesti dilakukan,
61
seperti orang yang menjual lemari dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung oleh yang punya toko.
Ketiga, Syarat Ifadah, yaitu menyandarkan akad tersebut kepada sesuatu masa yang akan datang,
62
dapat dicontohkan perkataan seorang atasan “gaji mereka akan ditambahkan pada awal tahun depan”.
Pada konsep hukum Islam suatu perjanjian atau akad akan dinilai berakhir ketika perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah berakhir, dalam hal ini ulama
fiqhiyah memandang bahwa perjanjian atau akad akan berakhir ketika, sebagai berikut;
a Telah berakhirnya masa akad, jika dalam perjanjianakad tersebut memiliki tenggang waktu.
63
60
Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal 68
61
Ibid, hal.69.
62
Ibid, hal.70
63
Hasballah Thaib, Op Cit,. hal. 19.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
Menurut kebiasaannya dalam sautu perjanjian telah disebutkan atau ditentukan saat, kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan berjalannya waktu yang
dilalui maka secara otomatis pula perjanjian atau akad yang dilakukan tersebut berakhir, kecuali dikemudian hari telah ditentukan oleh para pihak untuk
melanjutkannya kembali. b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersebut tidak mengikat.
c. Dalam akad yang bersifat mengikat, yaitu suatu akad bisa dianggap berakhir jika: 1. Akad Jual beli itu fasid, hal ini bisa disebabkan ada unsur kecurangan atau
salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi. 2. Berlakunya syarat khiyar aib, yaitu adanya hak untuk membatalkan perjanjian
karena sesudah perjanjian tersebut terdapat pada objek akad seuatu yang cacat, atau khiyar rukyah, yaitu adanya hak untuk memilih bagi pembeli untuk
berlangsunganya atau membatalkannya jual beli terhadap objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
64
3. Akad tersebut tidak dilaksanakan oleh satu satu pihak 4. Telah tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna.
d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
D. Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam Hukum Islam