BAB II PENGATURAN PERJANJIAN MUDHARABAH
DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengaturan Perjanjian Dalam Hukum Islam
Ajaran Islam tidak hanya diturunkan demi kebahagian dan kebaikan bagi kaum muslimin semata, tetapi Islam merupakan agama yang bersifat rahmatan lil alamin
artinya agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Beranjak dari kehidupan manusia agama Islam telah membuat pengaturan yang komperehensif dan universal
sehingga kehidupan manusia senantiasa saling menjaga hubungan baik antara satu individu dengan individu lainnya dan juga menjaga hubungan yang bersifat spiritual
dengan Sang Khaliq yakni Allah SWT. Hubungan vertikal kepada Allah SWT bisa terwujud dengan melaksanakan
suruhan atau perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, di sisi lain manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah
baik di bidang harta kekayaan maupun hubungan kekeluargaan, hubungan sesama manusia khsususnya di bidang harta kekayaan biasanya dapat diwujudkan dalam
bentuk perjanjian atau akad.
30
Dalam Al-Qur’an ada terdapat 2 dua istilah yang menyangkut dengan perjanjian, yaitu kalimat al-aqdu akad dan al-‘akhdu janji. Al-Qur’an mamakai
30
Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia Yogyakarta: Citra Media, 2006. Hal.1
19
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
kalimat pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kalimat yang kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.
31
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai perjanjian dan perikatan dalam hukum Islam berikut dikemukakan beberapa pendapat kalangan ulama fiqhiyah, antara lain
yaitu; Pertama, menurut Wahbah Alzuhaily Secara etimologi akad adalah ikatan
antara dua perkara baik ikatan secara nyata maupun secara maknawi dari satu segi maupun dari dua segi,
32
kemudian pengertian secara termenologi fiqh akad didefenisikan dengan pertalian ijab peryataan melakukan ikatan dan qabul
pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syari’ah yang berpengaruh pada obyek perikatan.
33
Sedangkan kalimat al-‘akhdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeekomst, yaitu suatu peryataan dari seseorang untuk mengerjakan
atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.
34
Kedua, dalam pandangan ulama syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah, akad merupakan segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya
sendiri, seperti wakaf, pembebasan, Atau sesuatu yang yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli dan gadai.
35
Ketiga, menurut Abdor Roof mengatakan bahwa pada dasarnya ada tiga tahap yang meenimbulkan perikatan akad yaitu sebagai berikut :
31
Ibid, hal. 19.
32
Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik: dar alFikr, 1989. hal.80.
33
Hasballah Thaib, Op Cit, hal.1.
34
Gemala dewi, dkk, Op Cit, hal. 45.
35
Rachmat Syafi’I, fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka setia, 2004 hal. 44.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
a. Al’akhdu perjanjian, yaitu ada pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan orang lain, dalam hal ini janji tersebut mengikat orang yang mengatakannya supaya terlaksananya perjanjian yang telah dibuat tersebut.
b. Persetujuan yaitu pernyataan dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh
pihak pertama kemudian janji tersebut harus sesuai dengan janji pada pihak pertama.
c. Apabila ada dua buah janji yang dilaksanakan oleh para pihak maka terjadilah apa yang dinamakan “al-aqdu” yang mengikat masing-masing pihak sesudah
pelaksanaan perjanjian dengan kata lain hal tersebut bukan lagi al‘akhdu tetapi sudah Al-aqdu.
36
Dari tiga point di atas dapat dimisalkan ketika si A menyatakan janji untuk menjual sebuah mobil kemudian si B menyatakan janji untuk membeli mobil
tersebut, maka dalam tahap ini si A dan si B sudah masuk ke tahap al’akhdu, apabila merek mobil, harga mobil disepakati oelh kedua belah pihak maka terjadilah
persetujuan, kemudian dari kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadilah perikatan atau al-aqdu.
Menurut Musthafa Ahmad Az-zar’i salah satu pakar fiqh di Jordania asal Syiri’a mengatakan bahwasanya tindakan seseorang tersebut dibagi kepada dua bentuk yaitu
tindakan berupa perkataan yang meliputi yang bersifat akad dan non akad, tindakan
36
Gemala Dewi, Op Cit,. hal. 46.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
yang berupa perkataan yang bersifat akad terdiri atas dua atau beberapa pihak yang meningkatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian, sedangkan perkataan yang
bersifat non akad yaitu apa-apa yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak membatalkan atau mengugurkan apa-apa yang
tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau mengugurkan suatu pihak tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum.
37
Ke empat, di dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 746PBI2005 tentang akad perhimpunan atau penyaluran dan bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsif syari’ah, yaitu dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian yang tertulis yang memuat ijab penawaran dan qabul
penerimaan antara bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masig- masing pihak sesuai dengan prinsip syari’ah.
38
Maka dari defenisi yang tercantum di atas, penulis dapat membuat kesimpulan bahwa perjanjian atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang
bertujuan untuk saling mengikatkan diri yang diwujudkan dalam ijab dan qabul yang objeknya sesuai dengan syari’ah, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut
berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik dari kedua belah pihak terhadap objek yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Dengan demikian akad atau
perjanjian akan menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut.
37
Hasballah thaib, Op Cit,.hal .2.
38
Abdul Ghofur Ansory, Op Cit,. hal. 21.
Panataran Simanjuntak: Analisis Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Mudharabah Antara Debitur Dan Bank Dengan Sistem Syari`ah Penelitian Di Bank BNI Syariah Medan, 2008.
USU e-Repository © 2008
B. Unsur-Unsur Perjanjian Akad Dalam Hukum Islam