BAB IV PEMANFAATAN WILAYAH UDARA DAN RUANG
ANGKASA NASIONAL INDONESIA DALAM BERBAGAI AKTIFITAS SEBAGAI NEGARA KHATULISTIWA DAN
NEGARA GSO NEGARA KOLONG
A. Pemanfaatan Wilayah Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia dalam Berbagai Aktifitas
1. Pengaturan Hukum Tentang Pemanfaatan Udara dan Ruang Angkasa
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ruang angkasa yang telah dicapai dewasa ini telah membawa perubahan terhadap aktifitas manusia dalam
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Pemanfaatan sumber tenaga nuklir nuclear power source - NPS bagi kegiatan di ruang
angkasa merupakan salah satu kemajuan yang telah membawa beberapa keuntungan. Betapa tidak, jika dibandingkan dengan sumber tenaga yang
konvensional seperti sel surya dan baterai yang dipergunakan oleh objek ruang angkasa sebelumnya, maka keuntungan yang diperoleh bagi pemanfaatan NPS
antara lain yaitu masa hidup life time dari objek ruang angkasa akan lebih lama, konstruksinya pun sangat ringkas serta dapat bekerja tanpa radiasi matahari.
Dengan kelebihan yang dimiliki tersebut, maka misi ruang angkasa akan nampak lebih menguntungkan dan jangkauan dari eksplorasi ke benda-benda
langit seperti Jupiter, Saturnus dan Uranus akan lebih mudah. Hal inilah yang
Universitas Sumatera Utara
telah memungkinkan pula bagi kedua space power yakni Amerika Serikat dan Rusia untuk makin giat melakukan eksplorasi di ruang angkasa.
Akan tetapi, patut untuk disadari bahwa di samping membawa keuntungan bagi kegiatan di ruang angkasa, maka pemanfaatan NPS tersebut secara langsung
maupun tidak telah menimbulkan kecemasan bagi masyarakat bangsa-bangsa di permukaan bumi. Hal ini disebabkan pemanfaatan NPS bagi kegiatan ruang
angkasa tersebut dapat menimbulkan bahaya radiasi terhadap manusia beserta wilayah huninya, yaitu terjadinya pencemaran terhadap bumi, udara dan di ruang
angkasa. Dalam kegiatan ruang angkasa, kecelakaan yang sering terjadi adalah
masuknya kembali pesawat ruang angkasa ke atmosfir karena tidak dapat dikendalikan. Ada tiga kemungkinan kondisi yang dapat dialami pesawat ruang
angkasa pada saat re-entry. Pertama, pesawat terbakar habis di atmosfir dan dapat menimbulkan kontaminasi radioaktif secara global seperti pada Satelit SN AP 9 A
Transit BN – 3 milik Amerika Serikat yang masuk kembali ke atmosfir pada tahun 1964 dan terbakar habis di lautan sebelah timur Afrika. Diakui bahwa selama re-
entry, bahan bakar nuklir yang terdapat pada satelit tersebut telah berpencaran dan tersebar ke seluruh penjuru dunia walaupun dari penyelidikan yang dilakukan oleh
pemerintah Amerika Serikat dikatakan tidak menimbulkan bahaya apapun. Kedua, terbakarnya sebagian pesawat NPS dan berakibat jatuhnya bahan-bahan radioaktif
ke bumi seperti kasus Satelit Cosmos 954 mengandung zat radioaktif yang cukup membahayakan manusia dan tersebar di daerah yang cukup luas. Kondisi ketiga
Universitas Sumatera Utara
adalah kemungkinan jatuhnya pesawat NPS ke bumi dalam keadaan utuh dan dapat menjadi sumber radiasi ekstern.
43
Pada umumnya delegasi yang turut serta di persidangan Sub Komite Hukum UNCOPUOS menyatakan pentingnya perumusan prinsip-prinsip hukum
yang mengatur penggunaan NPS di ruang angkasa yang selanjutnya dituangkan ke dalam ketentuan Hukum Internasional. Disepakati pula bahwa yang dipakai
Melihat betapa seriusnya akibat yang dapat ditimbulkan dari pemanfaatan sumber tenaga nuklir tersebut maka permasalahan pemanfaatan NPS bagi kegiatan
ruang angkasa dijadikan salah satu topik yang dibahas oleh Komite PBB tentang pemanfaatan ruang angkasa untuk maksud damai United Nations Committee on
The Peaceful Uses of Outer Space, UNCOPUOS. Masalah NPS mulai dibicarakan di UNCOPUOS pada tahun 1978 dalam
Sidang ke-15 Sub Komite Ilmiah dan Teknik, tetapi baru pada Sidang ke-16 tahun 1979 masalah ini masuk ke dalam agenda sidang berdasarkan Resolusi Majelis
Umum No. 2616 paragraf 8. Sedangkan dalam Sub Komite Hukum masalah ini mulai dibahas pada Sidang ke-19 tahun 1980 berdasarkan Resolusi Majelis Umum
No. 3466. Masalah pokok yang dibahas dalam Sidang UNCOPUOS adalah bahwa ketentuan Hukum Internasional yang ada dipandang belum dapat
menampung seluruh masalah hukum yang berkaitan dengan penggunaan NPS sehingga masih perlu diadakan amandemen atau suplemen terhadap perjanjian-
perjanjian internasional yang ada atau bila perlu membentuk perjanjian internasional yang khusus mengatur masalah NPS.
43
Juajir Sumardi, op. cit., Hal. 118-119.
Universitas Sumatera Utara
sebagai dasar pembahasan adalah kertas kerja Kanada yang telah diterima dalam sidang.
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia dan juga negara-negara barat dan sosialis, terutama Amerika Serikat dan Rusia pada prinsipnya dapat
menerima kertas kerja Kanada sebagai bahan dasar pembahasan untuk mencapai kesepakatan dalam membahas prinsip-prinsip yang berkenaan dengan penggunaan
NPS dalam kegiatan di ruang angkasa. Pembahasan tentang prinsip-prinsip hukum penggunaan NPS dalam
Sidang-sidang Sub Komite Hukum UNCOPUOS tidak mengalami kemulusan. Bahkan dalam Sidang ke-28 dari Sub Komite Hukum yang dilaksanakan di New
York pada tanggal 20 Maret sampai 7 April 1989, malah menjadi masalah yang paling lama diperdebatkan.
Mengenai ketentuan hukum berkenaan dengan penggunaan NPS yang perlu dikemukakan adalah:
44
1. Masalah notifikasi dan informasi
Bahwa dalam meluncurkan benda-benda yang menggunakan NPS ke ruang angkasa perlu adanya notifikasi atau informasi negara peluncur kepada
Sekretaris Jenderal PBB, baik sebelum peluncuran maupun sesudah benda bertenaga nuklir tersebut memasuki atmosfir bumi. Informasi tersebut antara
lain: jenis sumber tenaga yang digunakan, tipe dan sifat NPS, jumlah radioaktif yang dipakai, perkiraan masa hidup satelit, daerah lintasan,
perkiraan mengenai daerah yang mungkin terkena jatuhan jika benda tersebut
44
Ibid, Hal. 124-128.
Universitas Sumatera Utara
jatuh kembali ke bumi, akhirnya mengenai data kerusakan dari benda angkasa tersebut juga perlu untuk diinformasikan.
Mengenai informasi ini bagi negara kolong yang diperkirakan bakal terkena akibat jatuhan benda bermuatan nuklir adalah sangat penting guna melakuka n
persiapan upaya-upaya penanggulangan kelak. 2.
Masalah pemberian bantuan Jadi, dalam hal adanya informasi akan masuknya ke atmosfir bumi sebuah
benda angkasa yang bermuatan nuklir, maka diperlukan suatu persiapan, baik persiapan itu dilakukan oleh negara peluncur maupun oleh negara-negara yang
memiliki kemampuan dalam rangka penanggulangan guna memberikan bantuan terhadap negara yang diramalkan akan tertimpa pecahan benda
angkasa yang bermuatan nuklir tersebut. Juga setelah benda itu masuk atmosfir bumi, maka negara peluncur harus
segera menawarkan suatu bantuan kepada negara yang terkena runtuhan benda angkasa bermuatan nuklir guna memberikan bantuan sesegera mungkin guna
membersihkan lokasi dari akibat-akibat yang berbahaya. 3.
Masalah tanggung jawab Berdasarkan draft prinsip tanggung jawab berkenaan dengan pemanfaatan
sumber daya nuklir di ruang angkasa sebagaimana tersebut di atas maka negara-negara peluncur benda-benda angkasa baik peluncuran itu dilakukan
oleh suatu badan pemerintah maupun oleh kelompok bukan pemerintah, maka pihak yang meluncurkan tersebut bertanggungjawab secara internasional
Universitas Sumatera Utara
terhadap segala sesuatu akibat yang ditimbulkan oleh benda-benda angkasa yang diluncurkannya.
Juga negara peluncur harus menjamin bahwa aktifitas nasional yang dilakukannya di ruang angkasa termasuk mengenai penggunaan NPS dan
jaminan tersebut harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang tertuang di dalam ketentuan hukum mengenai penggunaan NPS serta sesuai dengan
norma Huku m Internasional. Jika benda-benda yang diluncurkan dengan bermuatan NPS tersebut telah
mengakibatkan kerugian terhadap negara ketiga di permukaan bumi, maka negara peluncur wajib bertanggungjawab mengeluarkan ganti rugi akibat
kerusakan pada benda-benda, lingkungan, kematian maupun kerusakan pada kesehatan yaitu berupa kompensasi.
2. Sistem Transportasi Ruang Angkasa dalam Hukum Udara dan Ruang Angkasa
Pada tahun 1971, Uni Soviet telah mengirim pesawat ruang angkasanya yang membawa 3 orang kosmonot, kemudian pada tanggal 28 November 1980
mengirim Soyuz T-3 untuk kedua kalinya. Pengiriman kendaraan ruang angkasa ini juga telah diikuti oleh Amerika Serikat yang pada puncaknya berhasil
meluncurkan pesawat ulang alik space shuttle Colombia pada tanggal 12 April 1981.
Kemajuan di bidang transportasi ruang angkasa yang telah dicapai oleh kedua negara space power tersebut selanjutnya diikuti oleh negara-negara Eropa
Universitas Sumatera Utara
Barat yang tergabung dalam ESA dengan program ARIANE, kemudian dirintis pula oleh RRC, India dan Jepang. Di antara kemajuan transportasi ruang angkasa
yang telah dicapai tersebut, yang paling menarik dalam dunia hukum karena mempunyai suatu spesifik lain peluncuran pesawat space shuttle Colombia pada
tahun 1981. Hal ini dikatakan cukup menarik karena oleh sistem transportasi jenis ini dalam melakukan penerbangan pemanfaatan dua sistem, yaitu sistem kerja
pesawat ruang angkasa daya dorong dan sistem kerja pesawat udara reaksi udara. Hal inilah yang menimbulkan suatu permasalahan mengenai status dari
pesawat ruang angkasa tersebut, apakah sebagai pesawat udara ataukah sebagai pesawat udara dan sekaligus merangkap pesawat ruang angkasa.
K. Martono dalam bukunya yang berjudul Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, halaman 374 menguraikan sistem kerja dari space shuttle,
dimana kendaraan jenis space shuttle ini adalah suatu kendaraan udara dan ruang angkasa aerospace vehicle. Misi jenis kendaraan ini dapat dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu tingkat pertama ascent phase, tingkat kedua orbital phase dan tingkat ketiga descent phase.
Tingkat pertama ascent phase biasa disebut tingkat peluncuran dengan cara pembakaran 3 mesin utama space shuttle space shuttle main engines –
SSME’s dan Solid Rocket Booster SRB. Bentuk space shuttle tersebut terdiri dari Orbiter, tangki luar external tank dan Solid Rocket Booster.
Untuk mengetahui status hukum dari pesawat jenis space shuttle ini maka ada baiknya kita melihat hal-hal yang menunjukkan ke arah pemecahan masalah
status pesawat tersebut. Para ahli hukum sendiri sebagian besar berpendapat
Universitas Sumatera Utara
bahwa space shuttle mempunyai status hukum pesawat ruang angkasa karena pesawat ini didesain atau dimaksudkan untuk dipergunakan di angkasa luar, oleh
karenanya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum ruang angkasa. Pendapat lain yang dikemukakan berkenaan dengan status pesawat space
shuttle adalah bahwa space shuttle pada saat peluncuran dan selama dalam orbit mempunyai status pesawat ruang angkasa, oleh karenanya tunduk pada konvensi-
konvensi ruang angkasa. Sedangkan pada waktu masuk ke atmosfir berubah statusnya menjadi pesawat udara sehingga berlaku ketentuan hukum udara baik
nasional maupun internasional. Dengan demikian, pendapat ini menginginkan bahwa space shuttle memiliki dua sistem hukum, yaitu tunduk pada Sistem
Hukum Ruang Angkasa dan Sistem Hukum Udara, dengan tetap memperhatikan gerak dari pesawat jenis ini.
Akan tetapi, jika kita melihat dan memperhatikan maksud dari Federal Aviation Agency FAA Amerika Serikat yang langsung berkepentingan dengan
pesawat space shuttle tersebut, ditegaskan bahwa pesawat ulang alik mempunyai status sebagai space object dan tidak tunduk pada peraturan FAA yang berlaku
pada pesawat udara, seperti kelaikan udara, navigasi dan aspek-aspek ekonomis dari FAA dan Civil Aeronautic Board CAB.
Kini kita melihat apa yang dimaksud dengan space object itu. Dalam artikel I dari Convention on International Liability for Damage Caused by Space
Objects 1972, khususnya ayat d ditegaskan tentang batasan dari space objects sebagai berikut:
45
45
Juajir Sumardi, op. cit., Hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
“The term space object includes component parts of a space object as well as its lauch vehicle and parts there of.”
Artinya: “Istilah benda ruang angkasa termasuk bagian-bagian peralatannya dari suatu benda ruang angkasa sama seperti peluncuran
kendaraan dan bagian-bagian dari peralatan tersebut.” Sedangkan dalam artikel I dari Convention Concerning The Registration of
Objects Launched into Space for The Exploration or Use of Outer Space 1975, disebutkan bahwa:
“Any object launched into space for the exploration or use of outer space shall be registered by entry in a …”
Artinya: “Benda angkasa lainnya yang diluncurkan ke angkasa untuk penyelidikan atau digunkaan di luar angkasa harus didaftarkan ke dalam
suatu …” Maka, jelaslah bahwa space object itu adalah setiap benda buatan manusia yang
diluncurkan ke ruang angkasa termasuk bagian-bagian dari padanya. Dengan demikian, maka space shuttle yang sengaja dibuat untuk diluncurkan ke ruang
angkasa guna melakukan eksplorasi dan eksploitasi itu termasuk space object, oleh karenanya maka menurut penulis pesawat jenis space shuttle itu adalah
termasuk pesawat ruang angkasa serta harus tunduk pada ketentuan Hukum Ruang Angkasa.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh negara-negara maju tersebut maka akan menjadikan ruang angkasa sebagai salah
satu objek baru dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan pesawat ulang alik seperti Challenger dan Colombia tersebut maka akan memungkinkan kendaraan tersebut menjadi kendaraan rutin bagi perjalanan
manusia ke dan dari ruang angkasa. Dengan kendaraan tersebut tidak menutup kemungkinan suatu ketika benda-benda angkasa seperti satelit-satelit yang telah
habis life time-nya dapat dibawa kembali ke bumi guna diperbaharui. Jika memang hal itu bakal terjadi maka agar tidak dikatakan bahwa hukum itu selalu
tertinggal dari perkembangan teknologi, sudah saatnya memperhatikan aspek- aspek hukum dari pesawat ruang angkasa sistem transportasi ruang angkasa
tersebut.
3. Penggunaan Ruang Angkasa Untuk Kepentingan Militer
Penjelajahan ruang angkasa pada dasarnya dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia, namun di samping keberhasilan dalam
menjelajahi serta memanfaatkan sumber daya ruang angkasa, maka manusia juga telah berusaha keras untuk melakukan kerjasama internasional dalam rangka
membentuk ketentuan hukum yang berlaku bagi kegiatan di ruang angkasa. Banyak hasil teknologi yang telah dihasilkan selama ini seperti berbagai
bentuk satelit komunikasi serta sistem meteorologi yang lebih baik yang telah memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia, sistem transportasi ruang
angkasa yang lebih spektakuler pun telah diciptakan dan juga berbagai laboratorium ruang angkasa untuk markas berbagai penelitian ilmiah telah
mengorbit. Namun, sejalan dengan kemajuan tersebut timbul suatu permasalahan baru dan merupakan suatu era baru dalam sejarah peradaban yang mencemaskan
Universitas Sumatera Utara
umat manusia itu sendiri, yaitu dengan diluncurkannya benda-benda buatan manusia untuk tujuan-tujuan militer.
Pada tanggal 15 Mei 1982, Uni Soviet telah meluncurkan benda angkasa yang bertujuan untuk melakukan pengawasan serta pengintaian terhadap
Kepulauan Falkland. Hal ini jelas bahwa pemanfaatan ruang angkasa bukan lagi untuk maksud damai dan dapat mengakibatkan ketegangan yang mengarah pada
tindakan kekerasan oleh negara-negara. Amerika Serikat sebagai negara saingan tentunya tidak tinggal diam,
dimana kemampuan teknologi tinggi ruang angkasanya kini diarahkan pada penciptaan benda-benda angkasa untuk tujuan militer. Apalagi dengan
kemampuan Amerika Serikat dalam merancang pesawat space shuttle lebih memungkinkan bagi pemanfaatan ruang angkasa untuk aktifitas militer.
Perlombaan persenjataan dari kedua negara adidaya tersebut selama ini ternyata merambat pula di ruang angkasa. Kedua negara space power ini saling
menjaga gengsi serta selalu ingin mempertahankan supremasinya di segala bidang. Prinsip keseimbangan kekuatan dalam kamus politik internasional seolah-
olah memberikan legitimasi bagi keduanya untuk terus memacu kemampuan militernya baik di darat, laut dan udara serta terakhir di ruang angkasa.
Penciptaan sarana remote sensing atau penginderaan jauh yang semula untuk tujuan damai dan keperluan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan
umat manusia ternyata banyak digunakan untuk tujuan militer oleh kedua negara adidaya itu.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dapat kita lihat misalnya dari peluncuran satelit oleh Amerika Serikat, seperti yang ditulis oleh M. Benko, dkk sebagai berikut:
46
Mengenai kegiatan militer di ruang angkasa, Priyatna Abdurrasyid antara lain mengemukakan bahwa:
“In the United States of America a total of 1036 satellites have launched till the end of 1980. Of those 590 were primarily civillian in nature
and 44 or 43 percent, were primarily in military in nature. Of the later category, 263 had mission objectives in general field or remote sensing
such as photographic and TV reconnaisance ELINT, from Electronic Intelligence or ferret 81, early warning system 39 and ocean
surveillance 12. The first military US satellites was launched in February 1959, less than one and a half year after Sputnik I and just
over one year after the first US satellites Explorer I.” Artinya: “Di Amerika Serikat ada 1036 satelit yang telah diluncurkan
sampai akhir tahun 1980. Ada 590 satelit untuk kepentingan sipil di alam bumi dan 44 atau 43 persen untuk kepentingan militer di alam
bumi. Kelompok sebelumnya ada 263 satelit yang mempunyai misi di ruang angkasa atau penginderaan jarak jauh, seperti pemotretan dan TV
pengintai ada 231 satelit, pengintai elektronik ada 81satelit, sistem peringatan dini ada 39 satelit dan sistem pengawasan samudera ada 12
satelit.”
47
1. Satelit-satelit lebih banyak digunakan untuk tugas-tugas militer dalam bidang
observation, communication dan navigation, termasuk didalamnya remote sensing dari satelit.
2. Pengembangan satelit berawak, yakni space shuttle sistem yang akan
memberikan kemungkinan selanjutnya untuk digunakan bagi kepentingan dan tujuan militer.
Di samping hal tersebut di atas, Anti Satellite System ASAT juga dikembangkan terus. Penelitian di bidang Directed Energy telah memungkinkan
46
Juajir Sumardi, op. cit., Hal. 135.
47
Ibid, Hal. 136.
Universitas Sumatera Utara
pengembangan sistem ini di ruang angkasa, negara yang bersangkutan akan mendapat posisi kemampuan pertahanan terhadap serangan-serangan roket lawan,
di samping tentunya daya pukul ampuh dan efisien terhadap penghancuran satelit lawan yang akan mempengaruhi lawan beserta kemampuannya.
Dengan melihat kenyataan demikian, jelas bahwa di samping hasil-hasil yang positif dari aplikasi teknologi ruang angkasa, maka aplikasi tersebut dapat
menyeret umat manusia ke dalam ketegangan dan ketakutan pada bahaya nuklir akibat pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan militer. Betapa tidak, negara-
negara maju terutama kedua space power yakni Amerika Serikat dan Rusia tampak berlomba-lomba dalam usaha pemanfaatan ruang angkasa untuk
kepentingan militer dan dominasi politik. Hukum Internasional mengenai kegiatan negara-negara di ruang angkasa
mencoba untuk mencegahnya atau mengatur aktifitas negara-negara dalam melakukan penjelajahan dan pemanfaatan ruang angkasa baik aktifitas tersebut
untuk maksud damai aktifitas sipil maupun aktifitas militer. Space Treaty 1967 sebagai dasar utama bagi kegiatan di ruang angkasa
telah meletakkan prinsip-prinsip pengaturan untuk ditaati bagi setiap pemanfaat ruang angkasa. Mengenai aktifitas militer di ruang angkasa maka Space Treaty
meletakkan suatu prinsip yang dimuat di dalam artikel IV sebagai berikut: “State parties to the treaty undertake not to place in orbit around the earth
any objects carrying nuclear weapons or any other kind of weapons of mass destruction, install such weapons on celestial bodies or station
such weapons in outer space in any other manner. The moon and other celestial bodies shall be used by all state parties to the treaty exclusively
for peaceful purposes. The establishment of military bases, installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct
of military manouvres on celestial bodies shall be forbidden. The use of
Universitas Sumatera Utara
military personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited. The use of any equipment or facility
necessary for peaceful exploration of the moon and other celestial bodies shall also not be prohibited.”
Artinya: “Negara peserta yang terikat perjanjian tidak menempatkan di orbit di sekitar bumi benda-benda lainnya yang membawa senjata nuklir
atau berbagai jenis senjata pemusnah massal lainnya, menempatkan seperti senjata-senjata di antariksa atau stasiun-stasiun seperti senjata-senjata di
luar angkasa dalam berbagai cara. Bulan dan benda antariksa lainnya harus digunakan oleh seluruh negara peserta perjanjian semata-mata untuk
tujuan damai. Berdirinya markas militer, penempatan dan pertahanan, uji coba senjata jenis lainnya dan memimpin latihan militer di antariksa harus
dilarang dicegah. Penggunaan perangkat militer untuk penelitian ilmu pengetahuan atau untuk tujuan damai lainnya tidak dilarang. Pemakaian
perlengkapan lainnya atau fasilitas yang perlu untuk kepentingan penyelidikan di bulan dan benda antariksa lainnya juga tidak boleh
dilarang.” Dengan demikian, jelaslah bahwa aktifitas militer di ruang angkasa pada dasarnya
dilarang, akan tetapi artikel IV Space Treaty 1967 juga masih memberi peluang bagi aktifitas militer untuk tujuan penelitian keilmuan atau untuk digunakan
menjaga perdamaian. Hal inilah yang telah menimbulkan polemik bagi para ahli Hukum Internasional mengenai aktifitas militer di ruang angkasa.
Sejalan dengan penggunaan ruang angkasa untuk tujuan militer, maka berkembang pula hukum yang berusaha mengatur dan menjaga keseimbangan
aktifitas militer, antara lain:
48
1. Antartic Treaty 1959
Antartic shall be used exclusively for peaceful uses. 2.
Treaty of Tlatelco 1967 Larangan penggunaan senjata nuklir di Amerika Latin.
48
Ibid, Hal. 138.
Universitas Sumatera Utara
3. Non Proliferation Treaty 1968
Larangan penyebarluasan senjata-senjata nuklir. 4.
Sea Bed Treaty 1971 Larangan penempatan senjata-senjata nuklir di dasar laut, di luar 12 mil zona.
5. Threshold Test Ban Treaty 1974
Mengurangi bentuk ukuran percobaan-percobaan ledakan senjata-senjata USA dan USSR dan tidak boleh melebihi 150 kilo ton.
6. Salt ABM Treaty 1972
Membatasi pertahanan USA dan USSR di bidang Anti Balistic Missile Defences.
7. Salt Interim Agreement 1972
Meniadakan sejumlah pelucuran senjata roket milik USA dan USSR. 8.
Document on Confidence – Building Measure 1975 Kewajiban memberitahukan tentang adanya rencana latihan-latihan militer di
Eropa. 9.
Peaceful Nuclear Explotion Treaty 1976 Pengaturan tata cara percobaan-percobaan ledakan nuklir di luar lokasi
percobaan senjata nuklir yang telah ada, dengan demikian dianggap untuk maksud-maksud damai.
Space Treaty 1967 yang merupakan suatu prinsip hukum umum mengenai pengaturan aktifitas di ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit
lainnya yang sedianya harus diterapkan terhadap segala kegiatan di ruang angkasa ternyata telah menyeret polemik yang berkepanjangan berkenaan dengan aktifitas
Universitas Sumatera Utara
militer ini. Polemik tersebut pada dasarnya terjadi dari perbedaan interpretasi terhadap ketentuan Pasal IV dari Space Treaty 1967.
Negara super power beserta sekutu-sekutunya sepakat menyatakan bahwa aktifitasnya di ruang angkasa termasuk afktifitas militer sesuai dengan Hukum
Internasional termasuk Space Treaty 1967. Dasar utama dari pernyataan tersebut adalah demi kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan yang berguna bagi
masyarakat internasional serta menjaga stabilitas internasional. Nampaknya konsep perimbangan kekuatan dalam kamus politik internasional turut
menjustifikasi program militerisasi di ruang angkasa. Menurutnya Pasal IV dari Space Treaty 1967 juga tidak meletakkan larangan secara tegas dan rinci
mengenai aktifitas militer ini, akan tetapi justru dalam paragraf 2 pasal tersebut memperkenankan aktifitas militer di ruang angkasa. Negara-negara berkembang
yang lebih bersifat potential victim dari aktifitas militer tersebut menegaskan bahwa aktifitas militer tersebut bertentangan dengan maksud Space Treaty 1967.
Menurut penulis persoalan legalitas dari aktifitas militer di ruang angkasa sulit untuk dipecahkan jika hanya menggunakan interpretasi terhadap Pasal IV
Space Treaty 1967. Jika tidak hendak mempersoalkan masalah legalitas aktifitas militer tersebut dari pendekatan interpretasi, maka seyogianya bukan hanya
menitikberatkan pada Pasal IV saja. Akan tetapi, interpretasi tersebut harus dilakukan terhadap Space Treaty 1967 secara keseluruhan termasuk nafas yang
terkandung dalam proses penciptaan perangkat Hukum Ruang Angkasa ini. Hal ini sesuai dengan ketentuan umum mengenai interpretasi perjanjian internasional
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian.
Dengan demikian, nafas yang terkandung dalam Space Treaty 1967 seperti yang tertuang dalam Preambule Pembukaan serta isi-isi pasal-pasalnya dapat
dikemukakan bahwa eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa yang dilakukan tersebut harus membawa keuntungan bagi semua negara dan untuk maksud-
maksud damai. Negara peserta perjanjian harus mendukung kerjasama internasional dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi maksud damai tersebut,
membina saling pengertian dan hubungan persahabatan antara masyarakat dan negara-negara, menegaskan bahwa ruang angkasa merupakan wilayah bersama
umat manusia, oleh karenanya harus dieksplorasi dan dieksploitasi hanya untuk:
49
1. Keuntungan dan kepentingan semua negara.
2. Tanpa diskriminasi dan maksud lainnya.
3. Atas dasar kesederajatankeseimbangan.
4. Dalam kepentingan menjaga keamanan dan perdamaian internasional serta
memajukan kerjasama dan saling pengertian. 5.
Dengan kewajiban menginformasikannya demi kepentingan semua negara. Jika kita lihat proses kerja satelit mata-mata misalnya, pada dasarnya
penggunaannya tidak untuk kepentingan semua negara. Pada umumnya hanya membawa keuntungan bagi pemilik satelit beserta sekutu-sekutunya dalam rangka
mempersiapkan diri dari serangan musuh. Alasan bahwa satelit tersebut bermanfaat bagi penjagaan stabilitas internasional yakni dengan difungsikannya
49
Ibid, Hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
sebagai sarana pemantauan persetujuan pengawasan persenjataan, namun dalam kenyataan fungsi tersebut hanya bersifat temporer belaka.
Dewasa ini hanya dua negara super power yang memiliki satelit mata-mata demikian canggih untuk digunakan bagi kepentingan verifikasi nasional dalam
rangka pemantauan terhadap hasil dari persetujuan pengawasan persenjataan dari kedua negara super power tersebut. Juga dapat dilihat bahwa penggunaan satelit
mata-mata tersebut hanya untuk kepentingan pemiliknya, yakni penggunaan satelit tersebut selama Perang Yom Kippur, Perang Vietnam, Konflik India -
Pakistan serta pertempuran di Kepulauan Falkland, banyak menguntungkan Amerika Serikat dan Uni Soviet Rusia beserta sekutunya. Dari data yang
diperoleh berkenaan dengan pertempuran di atas, maka kedua negara super power dapat membuat perkiraan yang lebih baik mengenai kemampuan dan strategi
musuh-musuhnya dan selanjutnya mengembangkan percobaan senjata penghancur yang lebih efektif.
Pengembangan tipe baru seperti pengoperasian sistem anti satelit yang disebut dengan ASAT, membawa ketegangan internasional yang amat mengerikan.
Satelit ini berfungsi secara aktif dan agresif dalam penghancuran secara total, baik terhadap satelit atau benda angkasa milik negara asing maupun terhadap negara-
negara musuh. Jika kita lihat proses kerja ASAT ini, maka keberadaan satelit jenis ini
bertentangan dengan maksud damai yang tertuang dalam Space Treaty 1967. Apalagi Pasal IV Space Treaty melarang bagi peletakan di orbit sekitar bumi
benda-benda yang membawa persenjataan yang memiliki daya rusak massal.
Universitas Sumatera Utara
Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah forum mana yang berkompeten untuk membicarakan aktifitas militer di ruang angkasa ini.
Mengenai hal ini ternyata telah menimbulkan suatu perdebatan, dimana perdebatan tersebut muncul akibat terdapatnya dua forum yang masing-masing
dapat dikatakan mempunyai kompetensi untuk membicarakan masalah aktifitas militer ini. Kedua forum dimaksud adalah:
50
1. Committee on The Peaceful Uses of Outer Space COPUOS
2. Committee on Disarmament CD
Negara super power tidak menyetujui jika COPUOS digunakan sebagai forum untuk membicarakan aktifitas militer di ruang angkasa. Amerika Serikat
dan Uni Soviet Rusia beserta sekutu-sekutunya berpendapat bahwa Conference on Disarmament yang paling tepat untuk membicarakan masalah aktifitas militer
di ruang angkasa, sedangkan COPUOS hanya berkenaan dengan penggunaan damai ruang angkasa.
Negara-negara berkembang, utamanya yang menjadi anggota COPUOS berpendapat bahwa COPUOS adalah forum yang paling tepat serta berkompeten
untuk membicarakan draft dan pengaturan internasional mengenai aktifitas militer di ruang angkasa. Menurut penulis, jika kita memperhatikan tugas yang diemban
oleh COPUOS yakni mempelajari dan menyelidiki serta mempertimbangkan masalah-masalah hukum yang timbul dari usaha eksplorasi dan eksploitasi ruang
angkasa, maka sebenarnya tugas tersebut tidaklah terbatas hanya pada eksplorasi dan eksploitasi damai ruang angkasa saja, akan tetapi termasuk didalamnya adalah
50
Ibid, Hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
aktifitas militer. Dengan demikian, COPUOS tetaplah mempunyai kompetensi untuk membicarakan aktifitas militer di ruang angkasa tersebut dan segenap
aktifitas manusia di ruang angkasa sepanjang aktifitas tersebut adalah kompetensi PBB.
B. Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan Negara GSO Negara Kolong