Pengaturan Hukum Angkasa Tentang Peluncuran Benda-benda Angkasa

C. Pengaturan Hukum Angkasa Tentang Peluncuran Benda-benda Angkasa

Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek yang telah dicapai di bidang keantariksaan telah memungkinkan dan membuka kesempatan yang cukup besar bagi berbagai pihak maupun negara tertentu untuk melakukan kegiatan di antariksa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Walaupun dewasa ini kegiatan di ruang angkasa atau antariksa masih didominasi oleh kedua negara adidaya Amerika Serikat dan Rusia, namun akhir-akhir ini negara lain telah mencoba kemampuan teknologinya untuk mengejar kedua Space Power tersebut dalam penempatan satelit di ruang angkasa. Negara yang kini turut serta dalam pemanfaatan teknologi ruang angkasa antara lain, Perancis, Jepang, RRC, Inggris, Jerman, Italia, Belanda, Kanada, Brazil, India, Australia dan juga negara-negara Eropa Timur. Kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara di luar kedua Space Power, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut: 30 1. PerancisESA yang telah berhasil meluncurkan roket ARIANE dan mampu membawa payload kurang lebih 2,5 ton, dengan hasil itu kini Perancis secara agresif memasuki persaingan pasaran ruang angkasa. Selain itu, PerancisESA sedang menggarap satelit-satelit observasi SPOT, komunikasi TELECOM dan navigasi ARGOS. 2. Jepang giat pula melakukan kegiatan ruang angkasa dengan hasil sejumlah satelit dengan nama-nama antara lain: Osumi, Tansei, Shinsei, Taiyo dan Kiku, 30 Juajir Sumardi, op. cit., Hal. 55. Universitas Sumatera Utara yang pada umumnya bertujuan ilmiah di samping aplikasi untuk komunikasi dan observasi bumi dan cuaca. Di samping itu Jepang mengembangkan pula roket-roket peluncur antara lain seri Lambda dan Mu’. 3. Negara Belanda selama ini telah berhasil membuat satelit ANS dan menyelesaikan Satelit IRAS bersama Amerika Serikat dan Inggris dengan misi penelitian astronomi. 4. China telah maju pesat pula dan telah menghasilkan satelit-satelit berkode China 1, 2, 3 dan seterusnya yang misi utamanya adalah observasi dan komunikasi. 5. India sejak tahun 1974 telah mengorbitkan satelit eksperimentalnya yang pada mulanya dengan bantuan roket peluncur Rusia. Dengan ditangani oleh ISRO, India mempunyai program pengembangan roket dan satelit yang potensial serta amat maju. Bagi Negara Republik Indonesia, pemanfaatan ruang angkasa telah dimulai sejak tahun 1969 yakni dengan masuknya Indonesia menjadi anggota INTELSAT dan dibangunnya Stasiun Bumi Jatiluhur. Pemanfaatan ruang angkasa oleh Indonesia adalah untuk tujuan komunikasi, hal ini didasarkan pada kepentingan nasional dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Dengan adanya ramalan kebutuhan jasa telekomunikasi yang pertumbuhannya tiap tahun rata-rata 7 , maka pada tahun 1973-1974 secara resmi Pemerintah Republik Indonesia mempelajari kemungkinan pemanfaatan Sistem Komunikasi Satelit Domestik SKSD. Pada akhirnya Indonesia Universitas Sumatera Utara meluncurkan SKSD Palapa I pada tanggal 4 Juli 1976, dimana pada saat itulah Indonesia telah menempatkan diri dalam kegiatan ruang angkasa. Perkembangan selanjutnya dari penempatan SKSD Palapa yaitu dengan ditenderkannya SKSD Palapa generasi II yang mengorbit sejak tahun 1982 dan 1983, dimana diketahui Satelit Palapa II memuat 24 transponder untuk melayani hubungan telekomunikasi dan televisi nasional serta negara-negara di Asia Tenggara ASEAN. Kemajuan yang akan nampak semakin spektakuler adalah dengan direncanakannya Dr. Pratiwi Soedarmono yang akan melakukan eksperimen di bidang biotik dengan meneliti bagaimana perkembangan genetika dari biji jagung, tempe kedelai dan penelitian terhadap kodok. 31 Demikian pula dengan program-program ruang angkasa Indonesia sendiri yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional LAPAN selaku lembaga non departemen yang langsung bertanggungjawab kepada presiden serta secara teknis dikoordinir oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi telah menangani berbagai proyek antara lain: Di samping itu, gagasan proyek gabungan Tropical Earth Resources Satellite TERS bermula dari gagasan Belanda yang ingin mengembangkan lebih lanjut kemampuan teknologinya dengan Indonesia yang merupakan suatu kemajuan. 32 1. Kemampuan memanfaatkan satelit sumber alam untuk menunjang program pemerintah di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, pembangunan prasarana, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. 31 K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Alumni, Bandung, 1987, Hal. 55-56. 32 Juajir Sumardi, op. cit., Hal. 57. Universitas Sumatera Utara 2. Kemampuan memanfaatkan satelit cuaca untuk menunjang usaha-usaha pemerintah di bidang produksi pangan, transportasi dan penanggulangan bencana alam. 3. Kemampuan di bidang roket menuju swasembada dalam teknologi pembuatan roket untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang dalam rangka program-program penelitian yang menunjang pembangunan. 4. Kemampuan di bidang komunikasi dan telefusi antariksa, serta kemampuan membuat desain sendiri satelit komuikasi domestik generasi pada masa mendatang dan alat penunjangnya dalam usaha melepaskan ketergantungan dari luar negeri secara bertahap. 5. Kemampuan di bidang riset dirgantara, baik kemampuan personil maupun kemampuan peralatan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian yang terus meningkat dan menghasilkan manfaat di tiap tingkat. 6. Kemampuan untuk menunjang usaha pemerintah baik di bidang konservasi dan diversifikasi energi dengan melakukan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan pengembangan sistem sumber daya energi matahari. 7. Kemampuan memanfaatkan teknologi dirgantara untuk menunjang program- program pemerintah di bidang industri, transportasi dan pembangunan prasarana. 8. Kemampuan personil peneliti dan manajemen penelitian untuk keperluan LAPAN khususnya serta program riset dan teknologi pada umumnya. 9. Pembangunan stasiun-stasiun peluncuran balon stratosfer dan roket-roket di beberapa lokasi. Universitas Sumatera Utara Dengan adanya usaha-usaha yang menunjang keberhasilan di bidang pemanfaatan sumber daya ruang angkasa tersebut, maka tampaklah bahwa sebenarnya Indonesia juga tidak ingin tertinggal dalam usaha pemanfaatan ruang angkasa. Usaha-usaha lain yang menunjang antara lain pengiriman tim teknisi Indonesia ke berbagai negara maju untuk turut serta melakukan pembuatan suatu satelit, misalnya pengiriman lima tim teknisi Indonesia ke Uni Soviet pada tahun 1987 untuk turut serta dalam usaha pembuatan satelit dan proses peluncurannya. Dengan berbagai aktifitas yang telah dilakukan Indonesia maka jelaslah bahwa Indonesia kini telah dapat dikategorikan sebagai salah satu negara peluncur, dengan demikian secara Hukum Internasional memiliki responsibility untuk tidak merugikan negara lain dalam aktifitas ruang angkasanya itu, dan jika hal itu terjadi maka Indonesia wajib bertanggungjawab untuk membayar kerugian- kerugian yang diderita negara lain akibat aktifitas ruang angkasanya. Di dalam Space Treaty 1967 masalah tanggung jawab untuk tidak merugikan negara lain juga telah ditegaskan. Artikel Space Treaty 1967 menyatakan bahwa: 33 33 Ibid, Hal. 58. “State parties to the treaty shall bear international responsibility for national activities in outer space, including the moon and other celestial bodies …” Artinya: “Negara peserta yang turut serta dalam perjanjian harus memegang teguh tanggung jawab internasional untuk kepentingan nasional di luar angkasa, termasuk bulan dan benda antariksa lainnya …” Universitas Sumatera Utara Selanjutnya artikel VII menyatakan bahwa: “Each state party to the treaty launches or procures the launching of an objects into outer space, including the moon and other celestial bodies, and each state party from whose territory or facility an object is launched, is international liable for damage to another state party to the treaty or to its natural or juridical persons by such object or its component parts on the earth, in air space or in outer space, including the moon and other celestial bodies.” Artinya: “Setiap negara peserta perjanjian peluncuran atau yang ikut meluncurkan suatu benda ke luar angkasa, termasuk bulan dan benda antariksa lainnya, dan setiap negara peserta dari wilayah daerah atau yang memfasilitasi suatu benda itu diluncurkan, adalah tanggung jawab internasional untuk kerusakan ke negara peserta perjanjian lainnya atau ke alam atau para ahli hukum seperti benda-benda atau bagian peralatan di bumi, di ruang udara atau di luar angkasa, termasuk bulan dan benda antariksa lainnya.” Dengan memperhatikan kedua pasal yang tersebut di atas maka jelaslah bahwa tiap negara yang melakukan kegiatan di ruang angkasa secara moral internasional mempunyai tanggung jawab untuk tidak merugikan negara lainnya. Jika demikian, dengan melihat aktifitas Indonesia dalam usaha pemanfaatan ruang angkasa khususnya ditempatkan Satelit Palapa di orbit GSO maka dapatlah dipertanyakan apakah Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai negara peluncur, dimana Indonesia dalam peluncuran Satelit Palapa tersebut masih mempergunakan jasa peluncuran dari Amerika Serikat, dalam hal ini adalah NASA. Jika memang secara yuridis Indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara peluncur maka akan terbukalah suatu kemungkinan untuk suatu ketika dituntut oleh pihak ketiga jika benda-benda angkasa milik Indonesia merugikan pihak ketiga di bumi, ruang udara maupun ruang angkasa. Universitas Sumatera Utara Dasar mengenai dapatnya dikategorikan Indonesia sebagai negara peluncur tercantum di dalam artikel I ayat c Space Liability Convention 1972, yaitu: 34 1. A state which launches or procures the launching of a space object. The Term of Launching State means: Artinya: Suatu negara yang meluncurkan atau yang ikut meluncurkan suatu benda angkasa. 2. A state from whose territory or facility a space object is launched. Artinya: Suatu negara dimana wilayah atau yang memfasilitasi suatu benda angkasa diluncurkan. Menyadari kemungkinan tuntutan negara lain terhadap Indonesia, maka seyogianyalah jika Indonesia mempelajari atau menguasai dengan seksama bentuk-bentuk asuransi ruang angkasa yang masih merupakan hal baru, hal ini dimaksudkan demi kepentingan Indonesia bila suatu ketika harus membayar ganti rugi terhadap pihak penuntut.

D. Kedudukan Indonesia dalam Perjanjian Internasional Tentang Udara dan Ruang Angkasa