B. Kedudukan Udara dan Ruang Angkasa dalam Hukum Nasional dan Internasional
Meneliti urgensi Hukum Antariksa Nasional bagi Indonesia menghendaki kita untuk melihat jauh ke depan. Salah satu alasan yang menonjol ialah bahwa
pokok persoalan kedirgantaraan itu selalu berkisar pada kemampuan memberi apresiasi terhadap 3 hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yakni:
25
1. Ilmu.
2. Teknologi.
3. Tata Tertib.
Apalagi bagi Indonesia yag menganut falsafah Pancasila dan berupaya agar penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jelaslah bahwa ketiga bidang tersebut di atas, yakni ilmu, teknologi dan tata tertib Hukum Kedirgantaraan itu harus kita kuasai secara sempurna dan
berkelanjutan, karena penguasaan ketiga bidang itu akan menarik dan memaksa kita menguasai bidang-bidang lain yang merupakan penopang ketiga bidang tadi.
Andaikata sebuah piramida, maka ketiga bidang tadi terletak pada puncaknya yang akan kokoh kalau penopang-penopangnya merupakan pondasi
yang dapat diandalkan. Dengan kata lain, ketiga bidang tadi harus mampu menjelmakan suatu kekuatan kedirgantaraan nasional aerospace power dari
dalam . Untuk jelasnya titik tolak dapat digunakan matriks yang dinamakan
25
Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional, Rajawali, Jakarta, 1989, Hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
Kekuatan Kedirgantaraan Nasional tadi, yang secara singkat dapat diringkaskan bahwa kondisi untuk pengembangan kekuatan kedirgantaraan suatu negara adalah
sebagai berikut:
26
1. Kondisi geografis negara yang dalam hal ini memiliki lokasi, bentuk, luas dan
iklimcuaca yang positif. 2.
Adanya kekayaan bumi dan alam termasuk kekayaan bahan-bahan tambang atau kesanggupan negara yang bersangkutan untuk memperolehnya dari
daerah lain dengan mudah. 3.
Keadaan penduduk seperti kepadatan, sikap mental, dasar kecerdasan, pendidikan dan kesanggupan untuk penyesuaian diri dengan kegiatan
kedirgantaraan ilmu, teknologi dan hukum. 4.
Kemajuan industri pada umumnya dan untuk ini perlu diperhatikan tingkatan teknologi negara yang bersangkutan, seperti produksi barang-barang yang
berhubungan dengan pemanfaatan dirgantara atau barang-barang teknik lainnya.
5. Kondisi dan situasi politik negara tentunya akan menentukan policy negara
terhadap masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kedirgantaraan. 6.
Pengembangan serta pemenuhan tempat negara tersebut di dalam rangka perkembangan Hukum Udara dan Ruang Angkasa di forum internasional yang
dasarnya tentu harus dicari dan dikembangkan di tingkat nasional. Dalam pada itu, Indonesia jelas merupakan negara yang memenuhi
persyaratan untuk menjadi negara bentuk kedirgantaraan. Selanjutnya
26
Ibid, Hal. 92-94.
Universitas Sumatera Utara
pengalaman-pengalaman yang diperoleh sewaktu memperjuangkan Doktrin Wawasan Nusantara di forum internasional melalui Konvensi Hukum Laut akan
sangat berguna dalam pengembangan pemanfaatan kedirgantaraan nasional ini. Akan tetapi, untuk itu kita tidak boleh melupakan bahwa eksplorasi dan
eksploitasi kedirgantaraan tidak mungkin dilakukan tanpa kerjasama internasional. Oleh karena itu penting kiranya dikembangkan Principle of Joint
Efforts di lingkup internasional. Pengembangan manfaat kedirgantaraan nasional merupakan salah satu
tindak lanjut paparan Menlu di depan Sidang Kabinet Paripurna pada tanggal 19 Mei 1982. Masalah wilayah dirgantara khususnya yang juga mencakup masalah
perbatasan ruang udara nasional, merupakan penyelesaian otomatis dengan terselesaikannya masalah perbatasan wilayah laut nasional masalah perbatasan
wilayah lautperairan nusantara termasuk penyelesaian masalah perbatasan maritim antara RI dengan negara tetangga termasuk juga penyelesaian landas
kontinen, batas wilayah laut ZEE dan batas wilayah perikanan antara RI dengan negara tetangga.
Dalam konteks geografis inilah permasalahan Hukum Antariksa Nasional itu hendaknya ditinjau. Dalam rangka ini pula harus dimantapkan sebuah Undang-
undang, yakni Undang-undang Pokok yang terletak dalam lingkup Hukum Udara, secara eksplisit dinyatakan bahwa:
27
“Negara Republik Indonesia memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan di atas wilayah
27
Ibid, Hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
perairan yang menurut Undang-undang Nasional Indonesia merupakan perairan teritorial Indonesia.”
Dengan diundangkannya ketentuan tentang wilayah udara nasional ini, kita memantapkan kedaulatan nasional terhadap ruang udara di atas wilayah daratan
dan wilayah perairan yang menurut undang-undang nasional merupakan wilayah perairan Indonesia, sekaligus memperkuat hak Indonesia melakukan manajemen
terhadapnya, karena terhadap doktriner internasional ruang udara nasional itu merupakan benda ekonomi hubungkan dengan air agreements.
Dengan bertitik tolak pada pemecahan masalah keruangudaraan ini, ditelitilah hal-hal yang berkaitan dengan ruang angkasa, karena sejak tahun 1959,
PBB melalui United Nations Committee on The Peaceful Uses of Outer Space UNCOPUOS dimana Indonesia merupakan anggota dari komite tersebut telah
berusaha mencari jalan yang paling sesuai agar eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa dilakukan melalui cara-cara dan usaha-usaha yang paling menguntungkan
bukan saja dari negara Space Powers, akan tetapi juga memberi manfaat kepada negara-negara berkembang secara maksimal. Hasil-hasil sidang-sidang
UNCOPUOS telah dituangkan melalui perjanjian-perjanjian internasional, antara lain:
28
1. Space Treaty 1967.
2. Rescue Agreement 1968.
3. Liability Convention 1972.
4. Registration Convention 1974.
28
Ibid, Hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
5. Moon Treaty 1975.
Jelaslah bahwa pemanfaatan sumber daya ruang angkasa guna kepentingan komersial dewasa ini masih menjadi barang mewah bagi negara-negara
berkembang, sehingga oleh karena itu perlu adanya suatu perlindungan hukum dari inflikasi komersial dari pemanfaatan ruang angkasa oleh negara-negara maju
yang dapat berakibat fatal. Adanya perkembangan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan komersial
tersebut harus dapat diikuti oleh perkembangan pengaturan Hukum Internasional agar ketentuan hukum tidak menunjukkan suatu fenomena hukum yang tidur.
Namun demikian, para ahli tetap berpendapat bahwa prinsip-prinsip tanggung jawab yang telah disetujui berbagai konvensi internasional tetap berlaku bagi
semua aktifitas manusia di ruang angkasa, oleh karena prinsip-prinsip tersebut mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang berkembang dan telah diterima dalam
sistem-sistem huku m nasional dari negara-negara beradab di dunia ini. Kini kegiatan pemanfaatan sumber daya ruang angkasa semakin menjadi
lahan baru yang potensial bagi negara-negara berteknologi tinggi seperti negara- negara di Eropa Barat, Jepang, Cina, Uni Soviet dan Perancis yang semua akan
menjadi saingan dalam komersialisasi kegiatan ruang angkasa dengan pihak Amerika Serikat pada masa mendatang.
Jika kita perhatikan perundang-undangan yang ada di Amerika Serikat yang berkenaan dengan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan komersial maka
prinsip tanggung jawab sebagaimana yang diatur dalam Liability Convention 1972
Universitas Sumatera Utara
tetap mendapat perhatian serta direalisasikan dalam bentuk menutup asuransi terhadap kerugian pihak ketiga.
Dari risalah-risalah terdahulu dapat disimpulkan, bahwa keadaan wilayah di ruang angkasa dan selanjutnya situasi antariksa itu masih belum dapat
diperlukan secara tegas. Masih banyak masalah yang masih harus diatur, karena begitu banyak usaha-usaha manusia menghendaki penelitian-penelitian lebih
lanjut. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan UNCOPUOS selama ini sangat bijaksana, dimana pola yang dipakai itu merupakan pendekatan
soal demi soal dengan bertitik tolak pada prinsip-prinsip yang tercantum di dalam Space Treaty 1967, yang kemudian dituangkan dalam pengaturan.
Soal-soal lanjutan berikutnya pun masih dalam tahap diskusi dan negosiasi di dalam sub-sub komite. Memang dalam beberapa hal yang menyangkut
keadilan, keamanan dan hak kemanusiaan bersama common heritage of mankind seringkali pengaturannya mendahului usaha-usahanya sendiri. Akan tetapi
kebijaksanaan UNCOPUOS untuk mengatur masalah-masalah melalui prinsip- prinsip dan baru kemudian bilamana tampak kejelasan diberi penampungan-
penampungan melalui hukum. Kiranya pola pemikiran dan pola pengaturan UNCOPUOS dengan pengalaman menangani pengembangan kedirgantaraan
selama ini dapat dijadikan pedoman oleh Indonesia sehubungan dengan pengaturan kedirgantaraan nasional selanjutnya.
Berlainan dengan keadaan Hukum Udara Nasional Indonesia, dalam Hukum Udara Internasional Konvensi Warsawa 1929 telah mengalami
Universitas Sumatera Utara
perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan teknologi penerbangan.
Sebagaimana diketahui, Konvensi Warsawa 1929 merupakan perjanjian internasional pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah satu
konvensi yang sangat berhasil dalam usaha-usaha terciptanya unifikasi di bidang Hukum Perdata. Pada saat sekarang konvensi ini telah diratifikasi oleh 115
negara. Namun, hanya beberapa tahun setelah konvensi ini berlaku beberapa
kekurangannya mulai terasa dan usul-usul untuk mengadakan perubahan pun bermunculan. Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang mengusulkan agar
Konvensi Warsawa diubah makin banyak lagi. Maka, akhirnya sejak tahun 1955 Konvensi Warsawa mengalami perubahan-perubahan yang besar. Alasan utama
yang mendorong diadakannya perubahan tersebut adalah masalah yang menyangkut tanggung jawab pengangkut udara, baik mengenai limit tanggung
jawab maupun mengenai prinsip tanggung jawab. Limit tanggung jawab yang ditentukan dalam Konvensi Warsawa 1929 dipandang terlalu rendah sementara
prinsip tanggung jawab yang dianut yang kurang memberikan perlindungan kepada pengguna jasa angkutan dianggap tidak sesuai lagi untuk masa sekarang.
29
29
E. Saefullah Wiradipradja Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Perkembangannya, Remadja Karya, Bandung, 1988, Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaturan Hukum Angkasa Tentang Peluncuran Benda-benda Angkasa