Kajian Karakteeristik Campuran Aspal Beton Lapis Aus (AC-WC) Menurut Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2006 dan 2010

(1)

KAJIAN KARAKTERISTIK CAMPURAN ASPAL BETON LAPIS AUS (AC-WC) MENURUT SPESIFIKASI UMUM BINA MARGA

EDISI 2006 DAN 2010

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi syarat untuk menempuh ujian

Sarjana Teknik Sipil Disusun Oleh :

TEUKU MUHAMMAD AFIF 060404037

BIDANG STUDI TRANSPORTASI

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas berkatnya rahmadnya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini.

Tugas Akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian sarjana pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

Judul Tugas Akhir ini adalah :

“Kajian Karakteeristik Campuran Aspal Beton Lapis Aus (AC-WC) Menurut Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2006 dan 2010 ”.

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, saya banyak mendapatkan bantuan mulai dari perencanaan, penelitian sampai penyelesaian Tugas Akhir ini. Untuk itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang tulus kepada :

1. Ir. Zulkarnain A. Muis, M.Eng.Sc., sebagai pembimbing, atas saran, bimbingan, dan kebijaksanaan yang diberikan terhadap hambatan-hambatan yang saya alami.

2. Para penguji, Ir. Indra Jaya Pandia, MT, Ir. Joni Harianto, dan Medis S Surbakti, ST.MT yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ing. Johanes Tarigan, sebagai ketua jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Syahrizal, MT sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Seluruh Dosen dan staf pegawai jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.

6. Teristimewa untuk orang-orang tercinta, Ibunda Almarhumah Erwani, ayahanda Teuku Asrin, Ibunda Basa Marina, Nenek Nurjannah, adinda Teuku Naufal, adinda Cut Baren


(3)

Medina dan seluruh keluarga yang senantiasa mencurahkan segenap kasih sayang dan dukungan yang tidak dapat terbalas.

7. Staf pegawai Balai Besar Jalan Raya nasional-I, bang Indri Purba dan bang Jefri Rizki 8. Asisten Laboratorium Jalan Raya, Muhammad Attharuddin, Alfryadi Zuliansyah,

Samruddin Nasution, Rustxell Simanungkalit, Ryan Denovan, Onza Tiranda, Sandy dan Bram yang telah membantu dalam penelitian ini.

9. Buat teman- teman ‟06 rekan seperjuangan (Ajir, Atta, Ijol, Ghafar, Fauzi, Sawal, Royhan, Anggi, Ajo, Fahim, Alfi, Andi, Khoir, Iqbal, Tami, Riky, Herry, Radi, Farqi, Haiqal TM, Fadli, Haiqal A, Rahmad, Rivan, Angga, Budi, Usup, Wynda, Ani) dan seluru teman- teman stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas segala doa dan dukungannya.

10.Adik – adik stambuk ‟07 dan‟09 (Alfriady, Faiz, Sam, Ryan, Onza, Grandong, Bram, Sandy, Bembeng, Irsyad, Udin dan lain lain ) terimakasih atas segala doa dan dukungannya.

Saya menyadari penulisan Tugas Akhir ini begitu sederhana dan terdapat banyak kekurangan baik dalam penelitian maupun penulisannya disebabkan terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan referensi yang dimiliki. Untuk itu, penulis menerima segala saran dan kritik guna penyempurnaannya.

Semoga Tugas Akhir yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya bagi bidang Teknik Sipil.

Medan, April 2012 Penulis,

Teuku Muhammad Afif 06 0404 037


(4)

ABSTRAK

Konstruksi jalan raya memerlukan biaya investasi yang besar. Sehingga sebuah teknik desain yang tepat, serta kinerja yang dapat diandalkan akan menghasilkan kinerja pelayanan jalan raya yang ingin di capai. Dua hal utama dalam pertimbangan ini ialah desain perkerasan dan desain campuran. Sehingga konstruksi jalan memiliki kondisi yang sesuai dengan umur rencana serta memenuhi spesifikasi. Selama ini spesifikasi yang di gunakan di Indonesia ialah spesifikasi yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga edisi Desember 2006. Namun pada tanggal 16 November 2010 telah dikeluarkan revisi spesifikasi umum edisi Desember 2006 menjadi spesifikasi umum edisi November 2010 melalui surat edaran no 05/SE/06/2010. Dimana spesifikasi yang baru diharapkan mampu menjawab tantangan kebutuhan jalan yang optimal. Sehingga kedepan konstruksi jalan raya yang ada di Indonesia akan semakin baik.

Dalam penelitian ini yang akan dibahas ialah mengenai pengaruh revisi spesifikasi edisi 2006 terhadap spesifikasi edisi 2010 terhadap bentuk gradasi dan karakteristik marshall. Dengan membandingkan perilaku campuran AC-WC, untuk memperoleh suatu hasil perbandingan dari dua spesifikasi umum Dirjen Bina Marga edisi november 2010 terhadap edisi desember 2006.

Pada analisa gradasi spesifikasi edisi 2006 terhadap edisi 2010, diperoleh bahwa terdapat dua batasan gradasi pada spesifikasi edisi 2010 yaitu gradasi kasar menyerupai gradasi yang disarankan spesifikasi 2006 (berada dibawah daerah larangan) dan halus (berada diatas daerah larangan). Hasil analisa saringan gradasi kasar cukup baik, yaitu berada ditengah antar batas gradasi yang diberikan. Hasil analisa saringan gradasi halus kurang baik, yaitu berhimpit dan cenderung keluar terhadap batas gradasi yang diberikan.

Hasil pengujian laboratorium perbandingan karakteristik marshall menunjukkan nilai stabilitas, kepadatan, VFB, flow dan MQ yang didapat dengan menggunakan spesifikasi edisi november 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan spesifikasi edisi desember 2006, sedangkan nilai VIM, VIM PRD, dan VMA menggunakan spesifikasi November 2010 lebih rendah dibanding dengan menggunakan spesifikasi Desember 2006. Nilai stabilitas sisa yang didapat memenuhi batasan yang diberikan spesifikasi baik spesifikasi 2006 maupun 2010. Nilai KAO yang didapat pada pengujian dengan spesifikasi umum Bina Marga edisi Desember 2006 adalah 5.695% sedangkan pada spesifikasi edisi November 2010 didapat nilai KAO 5.485%.


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

ABSTRAK ………. iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ………. viii

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR NOTASI ……… xii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ………. 1

I.2 Perumusan Masalah Penelitian ………... 2

I.3 Maksud……….. ……… 3

I.4 Tujuan………. ……….. 3

I.5 Batasan Masalah ……… 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Lapis Beton Aspal ………. 5

II.2 Bahan Campuran Beraspal ………. 8

II.2.1 Agregat……… 8

II.2.2 Aspal……… 16

II.2.3 Bahan Aditif Anti Pengelupasan………. 24


(6)

II.4 Perencanaan Campuran Berasapl Panas Dengan Pendekatan Kepadatan

Mutlak ……… 31

II.5 Metode Pengujian Campuran……….……… 31

II.5.1 Parameter Pengujian Marshall……….. 32

II. 5.2 Dasar- dasar Perhitungan………. 36

II.6 Review Spesifikasi Bina Marga tahun 2006 dan 2010……….. 40

II.6.1 agregat……… 40

II.6.2 Aspal……….. 41

II.6.3 Campuran Lapis Aspal Beton (Laston)………. 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Program kerja ……… 44

III.2 Uraian Tahapan Penelitian ……….. 46

III.2.1 Persiapan Alat dan Bahan ……… 46

III.2.2 Pengujian Bahan ……….. 47

III.2.2.1 Pengujian Material Agregat……… 47

III.2.2.2 Pengujian Material Aspal……… 48

III.2.3 Pemilihan Gradasi Agregat ……….. 50

III.2.4 Pengujian Campuran Beraspal ………. 52

III.2.4.1 Pengujian Marshall……….. 52

III.2.4.2 Uji Rendaman Marshall……….. 56


(7)

IV.1 Penyajian Data ………. 57

IV.1.1 Hasil Pengujian Sifat-sifat Fisik Agregat ………. 57

IV.1.2 Hasil Pengujian Aspal ……….. 57

IV.1.3 Hasil Komposisi Gradasi agregat………. 60

IV.1.4 Hasil Pengujian Marshall ………. 63

IV.2 Analisis Data Pengujian Agregat …………..………... 64

IV.2.1 Pengujian Agregat Kasar……… 64

IV.2.2 Pengujian Agregat Halus………... 66

IV.3. Analisis Data Pengujian Aspal ……… 66

IV.4. Analisa Komposisi Gradasi Agregat Gabungan……….. 69

IV.5 Analisis Data Pengujian Karakteristik Marshall……… 72

IV.5.1 Analisis Volumetrik Campuran ……… 72

IV.5.2 Analisis Nilai Empiris Marshall ………... 78

IV.5.3 Permasalahan (Kendala) Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Benda Uji……… 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ……… 84

V.2 Saran ………. 85

DAFTAR PUSTAKA ……… 86 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Laston ( AC ) edisi 2006……… 6

Tabel II.2 Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Laston ( AC ) edisi 2010………... 7

Tabel II.3 Ketentuan Agregat Kasar tahun 2006………. 9

Tabel II.4 Ketentuan Agregat Kasar tahun 2010………...…… 10

Tabel II.5 Ketentuan Agregat Halus spesifikasi 2006……….. .. 11

Tabel II.6 Ketentuan Agregat Halus spesifikasi 2010……… 11

Tabel II.7 Gradasi agregat untuk campuran aspal 2006……… 14

Tabel II.8 Gradasi agregat untuk campuran aspal 2010….……..……… 14

Tabel II.9 Jenis dan kelas aspal emulsi……… 21

Tabel II.10 Persyaratan Aspal Pen 60 Spesifikasi 2006 ……… 22

Tabel II.11 Persyaratan Aspal Pen 60 Spesifikasi 2010 ……… 23

Tabel II.12 Review perbedaan Spesifikasi Agregat ………. 40

Tabel II.13 Review perbedaan Spesifikasi Aspal……….. 41

Tabel II.14 Review perbedaan Spesifikasi lapis aspal beton………. 42

Tabel III.1 Pengujian Untuk Agregat Kasar dan Agregat Halus spesifikasi 2006.. 47

Tabel III.2 Pengujian Untuk Agregat Kasar dan Agregat Halus spesifikasi 2010.. 48

Tabel III.3 Persyaratan Aspal Pen 60/70 sesuai spesifikasi 2006……… 48

Tabel III.4 Persyaratan Aspal Pen 60/70 sesuai spesifikasi 2010……… 49

Tabel III.5 Gradasi yang disarankan spesifikasi 2006………. 50

Tabel III.6 Gradasi yang kasar spesifikasi 2010…..………. 51

Tabel IV.1 Hasil Pengujian Sifat-Sifat Fisik Agregat Kasar ……… 58


(9)

Tabel IV.3 Hasil Pengujian Sifat-Sifat Aspal ……….. 59

Tabel IV.4 Hasil Pengujian Karakteristik Marshall Untuk Tipe Gradasi Yang Disarankan Spesifikasi 2006………... 63

Tabel IV.5 Hasil Pengujian Karakteristik Marshall Untuk Tipe Gradasi Yang Berdasarkan Spesifikasi 2010………... 64

Tabel IV.7 Perbandingan tingkat kepadatan ………….………... 72

Tabel IV.8 Perbandingan VIM Marshall dan PRD ……….…… 74

Tabel IV.9 Perbandingan VMA ……..……… 75

Tabel IV.10 Perbandingan VFB ……… 76

Tabel IV.11 Perbandingan Stabilitas Marshall ……….……… 78

Tabel IV.12 Perbandingan Flow ……….……….……… 79

Tabel IV.13 Perbandingan Marshall Quotient ……….………. 80


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Batasan gradasi kasar spesifikasi 2010 dengan batasan gradasi

spesifikasi 2006……… 15

Gambar II.2 Batasan gradasi halus spesifikasi 2010 dengan batasan gradasi spesifikasi 2006……… 15

Gambar II.3 Ilustrasi proses penyulingan minyak (The Asphalt Institute, 1983)…. 17 Gambar II.4 Tipikal temperatur destilasi minyak bumi dan produk yang dihasilkannya (The Asphalt Institute, 1983)………. 18

Gambar IV.1 Analisa Saringan fraksi CA……….. 60

Gambar IV.2 Analisa Saringan fraksi MA……….. 61

Gambar IV.3 Analisa Saringan fraksi FA……….. 61

Gambar IV.4 Analisa Saringan fraksi NS……….. 61

Gambar IV.5 Komposisi Gradasi Agregat Yang Disarankan Spesifikasi 2006…… 62

Gambar IV.6 Komposisi Gradasi kasar Yang Berdasarkan Spesifikasi Umum 2010 62 Gambar IV.7 Komposisi Gradasi Halus Yang Berdasarkan Spesifikasi Umum 2010 63 Gambar IV.8 Analisa Saringan fraksi CA……….. 70

Gambar IV.9 Analisa Saringan fraksi MA……….. 70

Gambar IV.10 Analisa Saringan fraksi FA……… 70

Gambar IV.11 Analisa Saringan fraksi NS……… 71

Gambar IV.12 Gradasi agregat gabungan yang diharapkan terhadap gradasi halus spesifikasi 2010……….. 71


(11)

Gambar IV.14 Perbandingan VIM Marshall ………... 74

Gambar IV.15 Perbandingan VIM Refusal ………. 75

Gambar IV.16 Perbandingan VMA ………. 76

Gambar IV.17 Perbandingan VFB ………... 77

Gambar IV.18 Perbandingan Stabilitas Marshall ……… 78

Gambar IV.19 Perbandingan Flow ………..……… 79

Gambar IV.20 Perbandingan Marshall Quotient ………. 80


(12)

DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN

AASHTO = American Association of State Highways and Transportations Officials ASTM = American Society for Testing and Materials

AC = Asphalt Concrete AC-Base = Asphalt Concrete Base

AC-BC = Asphalt Concrete Binder Course AC-WC = Asphalt Concrete Wearing Course AC-Modified = Asphalt Concrete Modified AC-Base Modified = Asphalt Concrete Base Modified

AC-BC Modified = Asphalt Concrete Binder Course Modified AC-WC Modified = Asphalt Concrete Wearing Course Modified CA = Coarse Aggregate

MA = Medium Agregat FA = Fine Aggregate NS = Natural Sand

IKS = Indeks Kekuatan Marshall Sisa

KAO = Kadar Aspal Optimum Laston Lapis Aspal Beton MQ = Marshall Quotient (Hasil Bagi Marshall)

PRD = Percentage Refusal Density Retona = Refined Asbuton Asphalt SSD = Surface Saturated Dry TFOT T = hin Film Oven Test


(13)

VFB = Voids Filled with Bitumen (rongga terisi aspal) VIM = Voids in Mixture (rongga dalam campuran) VIMRef = VIM pada kondisi Refusal (membal)

VMA = Voids in Mineral Aggregates (rongga udara di dalam agregat)

LAMBANG

Gmb = Berat jenis padat (Bulk) campuran Gmm = Berat jenis maksimum campuran

Gsb = Berat jenis padat (Bulk) agregat gabungan Gse = Berat jenis effektif agregat


(14)

ABSTRAK

Konstruksi jalan raya memerlukan biaya investasi yang besar. Sehingga sebuah teknik desain yang tepat, serta kinerja yang dapat diandalkan akan menghasilkan kinerja pelayanan jalan raya yang ingin di capai. Dua hal utama dalam pertimbangan ini ialah desain perkerasan dan desain campuran. Sehingga konstruksi jalan memiliki kondisi yang sesuai dengan umur rencana serta memenuhi spesifikasi. Selama ini spesifikasi yang di gunakan di Indonesia ialah spesifikasi yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga edisi Desember 2006. Namun pada tanggal 16 November 2010 telah dikeluarkan revisi spesifikasi umum edisi Desember 2006 menjadi spesifikasi umum edisi November 2010 melalui surat edaran no 05/SE/06/2010. Dimana spesifikasi yang baru diharapkan mampu menjawab tantangan kebutuhan jalan yang optimal. Sehingga kedepan konstruksi jalan raya yang ada di Indonesia akan semakin baik.

Dalam penelitian ini yang akan dibahas ialah mengenai pengaruh revisi spesifikasi edisi 2006 terhadap spesifikasi edisi 2010 terhadap bentuk gradasi dan karakteristik marshall. Dengan membandingkan perilaku campuran AC-WC, untuk memperoleh suatu hasil perbandingan dari dua spesifikasi umum Dirjen Bina Marga edisi november 2010 terhadap edisi desember 2006.

Pada analisa gradasi spesifikasi edisi 2006 terhadap edisi 2010, diperoleh bahwa terdapat dua batasan gradasi pada spesifikasi edisi 2010 yaitu gradasi kasar menyerupai gradasi yang disarankan spesifikasi 2006 (berada dibawah daerah larangan) dan halus (berada diatas daerah larangan). Hasil analisa saringan gradasi kasar cukup baik, yaitu berada ditengah antar batas gradasi yang diberikan. Hasil analisa saringan gradasi halus kurang baik, yaitu berhimpit dan cenderung keluar terhadap batas gradasi yang diberikan.

Hasil pengujian laboratorium perbandingan karakteristik marshall menunjukkan nilai stabilitas, kepadatan, VFB, flow dan MQ yang didapat dengan menggunakan spesifikasi edisi november 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan spesifikasi edisi desember 2006, sedangkan nilai VIM, VIM PRD, dan VMA menggunakan spesifikasi November 2010 lebih rendah dibanding dengan menggunakan spesifikasi Desember 2006. Nilai stabilitas sisa yang didapat memenuhi batasan yang diberikan spesifikasi baik spesifikasi 2006 maupun 2010. Nilai KAO yang didapat pada pengujian dengan spesifikasi umum Bina Marga edisi Desember 2006 adalah 5.695% sedangkan pada spesifikasi edisi November 2010 didapat nilai KAO 5.485%.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dewasa ini perkembangan dan pertumbuhan penduduk sangat pesat. Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan ekonomi hal mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk. Sehingga muncul banyak terjadinya mobilisasi yang terjadi di jalan raya. Salah satu prasarana transportasi adalah jalan raya yang merupakan kebutuhan pokok dalam kegiatan masyarakat.[3]

Sistem transportasi merupakan salah satu elemen-elemen penting dalam pembangunan negara. Umumnya, sistem transportasi yang disediakan lengkap dengan layanan keamanan, kenyamanan dan sistematis untuk menghubungkan satu area ke area yang lain. Salah satu layanan dasar ialah kemampuan untuk mencapai umur desain dari suatu jalan. Kemampuan jalan tersebut harus memiliki ketebalan yang cukup untuk menampung tekanan dari beban di permukaan, selain melindungi subgred dari kerusakan. Oleh karena itu, desain campuran beraspal yang digunakan sangat penting dalam memastikan campuran beraspal yang efektif dan mampu untuk mengatasi kemungkinan efek kerusakan dari beban yang dikenakan ke atasnya.[2]

Konstruksi jalan raya memerlukan biaya investasi yang besar. Sehingga sebuah teknik desain yang tepat, serta kinerja yang dapat diandalkan akan menghasilkan kinerja pelayanan jalan raya yang ingin di capai. Dua hal utama dalam pertimbangan ini ialah desain perkerasan dan desain campuran.[1]

Permukaan jalan dilapisi dengan perkerasan jalan, yaitu perkerasan lentur (flexibel pavement), dan perkerasan kaku (rigid pavement). Sehingga konstruksi jalan harus memiliki kondisi yang sesuai dengan umur rencana serta memenuhi spesifikasi. Selama ini spesifikasi yang di gunakan ialah spesifikasi yang dikeluarkan Dirjen Bina Marga desember 2006. Namun


(16)

pada tanggal 16 november 2010 telah dikeluarkan revisi spesifikasi umum edisi desember 2006 menjadi spesifikasi umum edisi november 2010 melalui surat edaran no 05/SE/06/2010 yang ditanda tangani Direktur Jendral Bina Marga.[10]

Dengan adanya spesifikasi umum revisi pengerjaan konstruksi jalan yang di keluarkan Dirjen Bina Marga pada november edisi 2010 untuk menggantikan spesifikasi yang lama edisi desember 2006. Hal tersebut tentu saja berdampak besar terhadap konstruksi jalan yang akan datang. Dimana spesifikasi yang baru diharapkan mampu menjawab tantangan kebutuhan jalan yang optimal. Sehingga kedepan konstruksi jalan raya yang ada di Indonesia akan semakin baik.

Adapun perubahan yang terlihat mendasar pada perencanaan campuran aspal beton lapis aus (AC-WC) spesifikasi edisi 2010 ialah pada batasan gradasi agregat, dimana pada spesifikasi edisi 2010 dikeluarkannnya 2 (dua) batasan gradasi agregat yaitu batasan gradasi kasar dan halus. Begitu juga dengan tidak adanya lagi daerah larangan pada spesifikasi 2010, yang mana pada spesifikasi 2006 masih terdapat daerah larangan. Perubahan yang terlihat lainnya ialah adanya keharusan dalam spesifikasi 2010 penambahan filler dan bahan anti pengelupasan (anti striping agent), hal ini akan mempengaruhi karakteristik dari campuran aspal beton lapis aus (AC-WC). Begitu juga adanya perubahan batasan (syarat) dari pengujian agregat maupun aspal antara spesifikasi edisi 2006 terhadap spesifikasi 2010.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas ialah mengenai pengaruh revisi spesifikasi edisi 2006 terhadap spesifikasi edisi 2010 terhadap bentuk gradasi dan karakteristik marshall. Apa pengaruh revisi gradasi spesifikasi 2006 terhadap bentuk gradasi spesifikasi 2010? Dikarnakan saat ini agregat yang dihasilkan basecamp


(17)

pemecah batu masih mengikuti bentuk gradasi spesifikasi 2006. Apa pengaruh penambahan filler dan anti striping yang terdapat pada spesifikasi umum Bina Marga edisi November 2010 terhadap karakteristik campuran aspal beton lapis aus (AC-WC)?

1.3. MAKSUD

Penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan perilaku campuran AC-WC, dikarenakan perubahan dari spesifikasi teknis yang berlaku terhadap karakteristik campuran aspal beton.

1.4. TUJUAN

Memperoleh suatu hasil perbandingan dari dua spesifikasi umum Seksi 6.3 Dirjen Bina Marga edisi november 2010 terhadap edisi desember 2006 yaitu gradasi agregat gabungan dan karakteristik campuran aspal beton lapis aus (AC-WC).

1.5. BATASAN MASALAH

Batasan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Kajian hanya pada pengujian laboratorium dengan campuran aspal yang ditinjau adalah Lapis Aspal Beton Aus atau Asphal Concrete Wearing Course (AC-WC) dengan menggunakan spesifikasi umum Bina Marga edisi desember 2006 dan november 2010. 2. Pada spesifikasi umum Bina Marga edisi november 2010 Laston AC-WC yang

digunakan bergradasi kasar. Hal ini dikarenakan batasan gradasi yang terdapat pada spesifikasi edisi 2010 memiliki kemiripin (hampir menyerupai) batasan gradasi yang terdapat pada spesifikasi edisi 2006, sehingga sesuai untuk dibandingkan.


(18)

3. Spesifikasi yang digunakan ialah Spesifikasi Umum Seksi 6.3 Campuran Beraspal Panas Direktorat Jenderal Bina Marga edisi november 2010 (baru) dan di bandingkan dengan edisi desember 2006 (lama).

4. Metode yang digunakan sesuai dengan spesifikasi umum Bina Marga 2006 dan 2010, yaitu metode Uji Marshall.

5. Penggunaan filler dan bahan anti pengelupasan pada batas maksimum, yaitu filler 2% dan anti pengelupasan 0.3%.

6. Parameter campuran aspal yang dikaji adalah Stabilitas, flow, density, VIM, VMA,VFB, MQ, VIM PRD dan Stabilitas Marshall Sisa.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Lapis Aspal Beton

Lapis Aspal Beton adalah lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai struktural yang pertama kali dikembangkan di Amerika oleh The Asphalt Institute dengan nama Asphalt Concrete (AC). Menurut Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, campuran ini terdiri atas agregat bergradasi menerus dengan aspal keras, dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Suhu pencampuran ditentukan berdasarkan jenis aspal yang akan digunakan. Sedangkan yang dimaksud gradasi menerus adalah komposisi yang menunjukkan pembagian butir yang merata mulai dari ukuran yang terbesar sampai dengan ukuran yang terkecil. Beton aspal dengan campuran bergradasi menerus memiliki komposisi yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, mineral pengisi (filler) dan aspal (bitumen) sebagai pengikat. Ciri lainnya mempunyai sedikit rongga dalam struktur agregatnya, saling mengunci satu dengan yang lainnya, oleh karena itu beton aspal memiliki sifat stabilitas tinggi dan relatif kaku.

Menurut spesifikasi campuran beraspal Direktorat Jenderal Bina Marga edisi desember 2006 maupun edisi november 2010, Laston (AC) terdiri dari tiga macam campuran, Laston Lapis Aus (AC-WC), Laston Lapis Pengikat (AC-BC) dan Laston Lapis Pondasi (AC-Base) dengan ukuran maksimum agregat masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm, 3,75 mm. Ketentuan mengenai sifat-sifat dari campuran Laston (AC) aspal Pen 60/70 dengan menggunakan spesifikasi umum Bina Marga edisi desember 2006 dapat dilihat pada Tabel II.1, sedangkan campuran Laston (AC) aspal Pen 60/70 dengan menggunakan spesifikasi umum Bina Marga edisi november 2010 dapat dilihat pada Tabel II.2.


(20)

Tabel II.1. Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Laston ( AC ) edisi 2006

Sifat-sifat Campuran

Laston

WC BC Base

Penyerapan kadar aspal (%) Maks 1.2

Jumlah tumbukan per bidang 75 112 Rongga dalam campuran (%) Min 3.5

Maks 5.5

Rongga dalam agregat (VMA)(%) Min 15 14 13 Rongga terisi aspal (%) Min 65 63 60 Stabilitas Marshall (Kg) Min 800 1500

Maks _ _

Pelelehan (mm) Min 3 5

Maks _ _

Marshall Quotient (Kg/mm) Min 250 350 Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah

perendaman selama 24 jam, 60ºC

Min 75

Rongga dalam Campuran (%) pada kepadatan membal (refusal)

Min 2.5


(21)

Tabel II.2. Ketentuan Sifat-Sifat Campuran Laston ( AC ) edisi 2010

Sifat-sifat Campuran Laston

Lapis Aus Lapis Antara Pondasi Halus Kasar Halus Kasar Halus Kasar Kadar aspal efektif (%) Min. 5,1 4.3 4,3 4,0 4,0 3,5 Penyerapan aspal (%) Maks. 1,2

Jumlah tumbukan per bidang 75 112

Rongga dalam campuran (%) Min. 3,5

Maks. 5,0

Rongga dalam Agregat (VMA) (%) Min. 15 14 13

Rongga Terisi Aspal (%) Min. 65 63 60

Stabilitas Marshall (kg) Min. 800 1800

Maks. - -

Pelelehan (mm) Min. 3 4,5

Marshall Quotient (kg/mm) Min. 250 300 Stabilitas Marshall Sisa (%) setelah

perendaman selama 24 jam, 60 ºC Min. 90

Rongga dalam campuran (%) pada

Kepadatan membal (refusal) Min. 2,5 Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010


(22)

II.2 Bahan Campuran Beraspal

Di dalam Manual Campuran Beraspal Panas[13], campuran beraspal adalah suatu kombinasi campuran antara agregat dan aspal. Dalam campuran beraspal, aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan.

II.2.1 Agregat

Agregat adalah material berbutir keras dan kompak, yang termasuk didalamnya antara lain kerikil alam, agregat hasil pemecahan oleh stone crusher, abu batu dan pasir. Agregat mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkerasan jalan, dimana agregat menempati proporsi terbesar dalam campuran, umumnya berkisar antara 90% - 95% dari berat total campuran.

1. Agregat Kasar

a. Fraksi agregat kasar untuk pengujian harus terdiri atas batu pecah dan harus disediakan dalam ukuran-ukuran nominal tunggal.

b. Fraksi agregat kasar dalam petunjuk ini adalah agregat yang tertahan diatas saringan No.8 (2,38 mm).

c. Agregat kasar yang digunakan, dalam hal apapun tidak boleh menggunakan agregat kasar kotor dan berdebu serta jumlah bahan lolos ukuran 0,075 mm tidak boleh lebih besar dari 1%.

d. Agregat kasar harus bersih, keras, awet, bebas dari lempung atau bahan-bahan lain yang tidak dikehendaki dan harus memenuhi persyaratan yang diberikan pada tabel II.3 untuk spesifikasi tahun 2006 dan II.4 untuk spesifikasi 2010.


(23)

Agregat kasar pada campuran beraspal berfungsi memberikan kekuatan yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas dalam campuran, dengan kondisi saling mengunci (interlocking) dari masing-masing partikel agregat. Agregat kasar mempunyai peranan sebagai pengembang volume mortar, menjadikan campuran lebih ekonomis, meningkatkan ketahanan mortar terhadap kelelehan (flow) dan meningkatkan stabilitas.

Tabel II.3 Ketentuan Agregat Kasar spesifikasi tahun 2006

Pengujian Standar Nilai Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan

natrium dan magnesium sulfat

SNI 03-3407-1994 Maks. 12%

Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 Min. 40%

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95%

Angularitas SNI 03-6877-2002 95/90(*) Partikel pipih dan lonjong (**) ASTM D-4791 Maks. 10% Material lolos saringan 200 SNI 03-4142-1996 Maks. 1% Catatan :

(*) 95/90 menunjukkan 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dari 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih

(**) Pengujian dengan perbandingan lengan alat uji terhadap poros 1 : 5 Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2006


(24)

Tabel II.4 Ketentuan Agregat Kasar spesifikasi tahun 2010

Pengujian Standar Nilai

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat

SNI 3407:2008 Maks.12 %

Abrasi dengan mesin Los Angeles

Campuran AC bergradasi kasar

SNI 2417:2008 Maks. 30%

Semua jenis campuran aspal bergradasi lainnya

Maks. 40%

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95 % Angularitas (kedalaman dari permukaan <10

cm)

DoT‟s

Pennsylvania Test Method, PTM No.621

95/90 1

Angularitas (kedalaman dari permukaan ≥ 10

cm)

80/75 1

Partikel Pipih dan Lonjong ASTM D4791 Perbandingan 1 :5

Maks. 10 %

Material lolos Ayakan No.200 SNI 03-4142-1996

Maks. 1 % Catatan :

(*) 95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mmepunyai muka bidang pecah dua atau lebih. Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010

2. Agregat Halus

a. Agregat halus terdiri atas agregat hasil pemecah batu (abu batu) atau pasir alam dengan ukuran lolos saringan No.8 (2,38 mm).

b. Agregat halus harus terdiri atas partikel-partikel yang bersih, keras, tidak mengandung lempung atau bahan lain yang tidak dikehendaki. Batu Pecah halus


(25)

harus dihasilkan dari batu yang memenuhi persyaratan spesifikasi 2006 dalam tabel II.5. sedangkan tabel II.6. menunjukkan persyaratan spesifikasi 2010.

Tabel II.5 Ketentuan Agregat Halus spesifikasi 2006

Pengujian Standar Nilai Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 50% Material lolos saringan no.200 SNI 03-4428-1997 Maks. 8% Angularitas SNI 03-6877-2002 Min. 45% Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2006

Tabel II.6 Ketentuan Agregat Halus spesifikasi 2010

Pengujian Standar Nilai

Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 50% untuk SS, HRS dan AC bergradasi Halus Min 70% untuk AC bergradasi

kasar Material Lolos Ayakan No. 200 SNI 03-4428-1997 Maks. 8% Kadar Lempung SNI 3423 : 2008 Maks 1% Angularitas (kedalaman dari

permukaan < 10 cm) AASHTO TP-33 atau ASTM C1252-93

Min. 45

Angularitas (kedalaman dari

permukaan  10 cm) Min. 40 Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010


(26)

c. Penggunan pasir alam dibatasi dengan persetase maksimum ialah 15% dari berat total campuran.

3. Bahan Penggisi (Filler) untuk Campuran Aspal

Filler adalah bahan penggisi rongga dalam campuran (void in mix) yang berbutir

Halus yang lolos saringan no.30 dan dimana persentase berat yang lolos saringan no.200 minimum 75%. Adpun fungsi filler adalah:

a. Untuk memodifikasi gradasi agregat halus, sehingga berat jenis agregat meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi ronggan akan berkurang.

b. Mengisi ruang antar agregat halus dan kasar serta meningkatkan kepadatan dan stabilitas.

c. Mengisi rongga dan menambah bidang kontak antar butir agregat sehigga akan meningkatkan kekuatan campuran.

d. Bila dicampur dengan aspal, filler akan membentuk bahan pengikat yang berkonsistensi tinggi sehingga mengikat butiran agregat secara bersama- sama e. Menguranggi rongga udara (air void)

Adapun jenis dan sifat filler adalah:

a. Bahan pengisi yang ditambahkan terdiri atas debu batu kapur (limestone dust), kapur

padam (hydrated lime), semen atau abu terbang yang sumbernya disetujui oleh Direksi

Pekerjaaan. Bahan tersebut harus bebas dari bahan yang tidak dikehendaki.

b. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan.

c. Pada spesifikasi 2010, campuran beraspal harus mengandung bahan pengisi yang

ditambahkan tidak kurang dari 1% dan maksimum 2% dari berat total agregat. Sedangkan pada spesifikasi 2006 tidak ada keharusan penambahan bahan penggisi.


(27)

4. Gradasi Agregat Gabungan

Gradasi atau distribusi partikel-partikel berdasarkan ukuran agregat merupakan hal yang penting dalam menentukan karakteristik perkerasan. Gradasi agregat mempengaruhi besarnya rongga antar butir yang akan menentukan karakteristik dalam proses pelaksanaan di laboratorium maupun di lapangan (AMP).[15]

Gradasi agregat dapat dibedakan atas :

a. Gradasi seragam (uniform graded) adalah agregat dengan ukuran yang hampir sama/sejenis atau mengandung agregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat. Gradasi seragam disebut juga gradasi terbuka. Agregat dengan gradasi seragam akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, berat volume kecil.

b. Gradasi rapat, merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang seimbang, sehingga dinamakan juga agregat bergradasi baik. Gradasi rapat akan menghasilkan lapisan perkerasan dengan stabilitas tinggi, kurang kedap air, sifat drainase jelek dan berat volume besar.

c. Gradasi senjang (gap graded), merupakan campuran yang tidak memenuhi 2 (dua)kategori di atas. Aggregate bergradasi buruk yang umum digunakan untuk lapisan perkerasan lentur merupakan campuran dengan 1 fraksi hilang atau 1 fraksi sedikit. Gradasi seperti ini juga disebut gradasi senjang. Gradasi senjang akan menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak antara kedua jenis di atas.

Pada spesifikasi umum Bina Marga edisi desember 2006, gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal ditunjukkan dalam persen terhadap berat agregat, harus memenuhi batas - batas dan harus berada di luar daerah larangan (Restriction Zone) yang


(28)

di tunjukkan dalam Tabel II.7. Gradasi agregat gabungan harus mempunyai jarak terhadap batas-batas toleransi yang diberikan dalam Tabel II.7 dan terletak di luar Daerah Larangan.

Pada spesifikasi umum Bina Marga edisi november 2010, gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal, ditunjukkan dalam persen terhadap berat agregat dan bahan pengisi, harus memenuhi batas-batas yang diberikan dalam Tabel II.8 Rancangan dan Perbandingan Campuran untuk gradasi agregat gabungan harus mempunyai jarak terhadap batas-batas yang diberikan dalam Tabel II.8. Namun pada spesifikasi 2010 tidak ada lagi daerah larangan dan terdapat 2 (dua) jenis gradasi yakni kasar dan halus. Batasan gradasi kasar berada di bawah daerah larangan yang terdapat pada spesifikasi 2006 sedangkan gradasi halus berada di atas daerah larangan.

Tabel II.7 : Gradasi Agregat Untuk Campuran Aspal Spesifikasi 2006


(29)

Tabel II.8 : Gradasi Agregat Untuk Campuran Aspal Spesifikasi 2010

Ukuran Ayakan (mm)

% Berat Yang Lolos terhadap Total Agregat dalam Campuran

Latasir (SS) Lataston (HRS) Laston (AC)

Gradasi Senjang3 Gradasi Semi

Senjang 2 Gradasi Halus Gradasi Kasar1

Kelas A Kelas B WC Base WC Base WC BC Base WC BC Base

37,5 100 100

25 100 90 - 100 100 90 - 100

19 100 100 100 100 100 100 100 90 - 100 73 - 90 100 90 - 100 73 - 90

12,5 90 - 100 90 - 100 87 - 100 90 - 100 90 - 100 74 - 90 61 - 79 90 - 100 71 - 90 55 - 76 9,5 90 - 100 75 – 85 65 - 90 55 - 88 55 - 70 72 - 90 64 – 82 47 - 67 72 - 90 58 – 80 45 - 66

4,75 54 - 69 47 - 64 39,5 - 50 43 - 63 37 - 56 28 - 39,5

2,36 75 - 100 50 – 723 35 - 553 50 62 32 - 44 39,1 - 53 34,6 - 49 30,8 - 37 28 - 39,1 23 - 34,6 19 - 26,8

1,18 31,6 - 40 28,3 - 38 24,1 - 28 19 - 25,6 15 - 22,3 12 - 18,1

0,600 35 – 60 15 - 35 20 – 45 15 - 35 23,1 - 30 20,7- 28 17,6 - 22 13 - 19,1 10 - 16,7 7 - 13,6 0,300 15 – 35 5 - 35 15,5 - 22 13,7- 20 11,4 - 16 9 - 15,5 7 - 13,7 5 - 11,4

0,150 9 - 15 4 - 13 4 - 10 6 - 13 5 – 11 4,5 - 9

0,075 10 - 15 8 – 13 6 – 10 2 - 9 6 – 10 4 - 8 4 - 10 4 - 8 3 - 6 4 - 10 4 - 8 3 - 7

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010

Gambar II.1 Batasan gradasi kasar spesifikasi 2010 dengan batasan gradasi spesifikasi 2006 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0,01 0,1 1 10

P ercen t L o lo s (% )

Sieve size (mm)

Batasan gradasi sesuai spesifikasi 2006 dan 2010

spec max 2010 Fuller Daerah larangan

Spec Max 2006 Spec Min 2006 spec min 2010

Batas Min

Fuller curve

batas maks 2010

Fuller line

#200 #100 #50 #3 #1 #8 #4 3/8 1/2" 3/4 1"

Batas Min batas maks 2006


(30)

Gambar II.2 Batasan gradasi halus spesifikasi 2010 dengan batasan gradasi spesifikasi 2006

II.2.2 Aspal

Di dalam � � � �� � � [13], Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat cukup pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang disebut bitumen, oleh sebab itu aspal sering disebut material berbituminous.

Aspal merupakan suatu produk berbasis minyak yang merupakan turunan dari proses penyulingan minyak bumi, dan dikenal dengan nama aspal keras. Selain itu, aspal juga terdapat di alam secara alamiah, aspal ini disebut aspal alam. Aspal modifikasi saat ini juga telah dikenal luas. Aspal ini dibuat dengan menambahkan bahan tambah ke dalam aspal yang bertujuan untuk

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0,01 0,1 1 10

P e rc e nt Lol os (% )

Sieve size (mm)

Batasan gradasi sesuai spesifikasi 2006 dan 2010

spec max 2010 Fuller Daerah larangan

Spec Max 2006 Spec Min 2006 spec min 2010

Batas Min

Fuller curve

batas maks 2010

Fuller line

#200 #100 #50 #3 #1 #8 #4 3/8 1/2" 3/4 1"

Batas Min batas maks 2006


(31)

memperbaiki atau memodifikasi sifat rheologinya sehingga menghasilkan jenis aspal baru yang disebut aspal modifikasi.

1. Aspal Proses Penyulingan

Minyak mentah disuling dengan cara destilasi, yaitu suatu proses dimana berbagai fraksi dipisahkan dari minyak mentah tersebut. Proses destilasi ini disertai oleh kenaikan temperatur pemanasan minyak mentah tersebut. Pada setiap temperatur tertentu dari proses destilasi akan dihasilkan produk-produk berbasis minyak seperti yang diilustrasikan pada Gambar II.3


(32)

a. Aspal Keras

Pada proses destilasi fraksi ringan yang terkandung dalam minyak bumi dipisahkan dengan destilasi sederhana hingga menyisakan suatu residu yang dikenal dengan nama aspal keras. Dalam proses destilasi ini, aspal keras baru dihasilkan melalui proses destilasi hampa pada temperatur sekitar 480 0C. Temperatur ini bervariasi tergantung pada sumber minyak mentah yang disuling atau tingkat aspal keras yang akan dihasilkan. Ilustrasi skematik penyulingan minyak mentah dan produk-produk yang dihasilkannya seperti yang ditunjukan pada Gambar II.4.

Gambar II.4 Tipikal temperatur destilasi minyak bumi dan produk yang dihasilkannya (The Asphalt Institute, 1983)


(33)

Untuk menghasilkan aspal keras dengan sifat-sifat yang diinginkan, proses penyulingan harus ditangani sedemikian rupa sehingga dapat mengontrol sifat-sifat aspal keras yang dihasilkan. Hal ini sering dilakukan dengan mencampur berbagai variasi minyak mentah bersama-sama sebelum proses destilasi dilakukan. Pencampuran ini nantinya agar dihasilkan aspal keras dengan sifat-sifat yang bervariasi, sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan. Cara lainnya yang sering juga dilakukan untuk mendapatkan aspal keras dengan viskositas menengah adalah dengan mencampur beberapa jenis aspal keras dengan proporsi tertentu dimana aspal keras yang sangat encer dicampur dengan aspal lainnya yang kurang encer sehingga menghasilkan aspal dengan viskositas menengah.

Selain melalui proses destilasi hampa dimana aspal dihasilkan dari minyak mentah dengan pemanasan dan penghampaan, aspal keras juga dapat dihasilkan melalui proses ekstraksi zat pelarut. Dalam proses ini fraksi minyak (bensin, solar dan minyak tanah) yang terkandung dalam minyak mentah (crude oil) dikeluarkan sehingga meninggalkan aspal sebagai residu.

b. Aspal cair (cutback asphalt)

Aspal cair dihasilkan dengan melarutkan aspal keras dengan bahan pelarut berbasis minyak. Aspal ini dapat juga dihasilkan secara langsung dari proses destilasi, dimana dalam proses ini fraksi minyak ringan yang terkandung dalam minyak mentah tidak seluruhnya dikeluarkan (lihat Gambar II.3). Kecepatan menguap dari minyak yang digunakan sebagai pelarut atau minyak yang sengaja ditinggalkan dalam residu pada proses destilasi akan menentukan jenis aspal cair yang dihasilkan. Berdasarkan hal ini, aspal cair dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu :


(34)

 Aspal cair cepat mantap (RC = rapid curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya bensin.

 Aspal cair mantap sedang (MC = medium curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya tidak begitu cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya minyak tanah.

 Aspal cair lambat mantap (SC = slow curing), yaitu aspal cair yang bahanpelarutnya lambat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya solar.

Tingkat kekentalan aspal cair sangat ditentukan oleh proporsi atau rasio bahan pelarut yang digunakan terhadap aspal keras atau yang terkandung pada aspal cair tersebut. Aspal cair jenis 800 memiliki nilai kekentalan yang lebih tinggi dari MC-200. Aspal cair dapat digunakan baik sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal maupun sebagai lapis resap pengikat (prime coat) atau lapis perekat (tack coat). Dalam penggunaannya, pemanasan mungkin diperlukan untuk menurunkan tingkat kekentalan aspal ini.

c. Aspal Emulsi

Aspal emulsi dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal keras. Pada proses ini, partikel-partikel aspal keras dipisahkan dan didispersikan dalam air yang mengandung emulsifier (emulgator). Partikel aspal yang terdispersi ini berukuran sangat kecil bahkan sebagian besar berukuran koloid. Jenis emulsifier yang digunakan sangat mempengaruhi jenis dan kecepatan pengikatan aspal emulsi yang dihasilkan. Berdasarkan muatan listrik zat pengemulsi yang digunakan, aspal emulsi yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi : - Aspal emulsi anionik, yaitu aspal emulsi yang berion negatif.


(35)

- Aspal emulsi non-ionik, yaitu aspal emulsi yang tidak berion (netral).

Sedangkan berdasarkan proporsi emulsifier yang digunakan, aspal emulsi baik yang anionik maupun kationik dibedakan lagi dalam beberapa kelas seperti yang diberikan dalam Tabel II.9. Huruf RS, MS dan SS dalam tabel ini menyatakan kecepatan pemantapan (setting) aspal emulsi tersebut, yaitu cepat mantap (RS = rapid setting), mantap sedang (MS = medium setting) dan lambat mantap (SS = slow setting).

Sedangkan huruf „C‟ menyatakan bahwa aspal emulsi ini adalah jenis kationik atau bermuatan listrik positif. Huruf „h‟ dan „s‟ yang terdapat pada akhir simbol aspal emulsi

menyatakan bahwa aspal ini dibuat dengan menggunakan aspal keras yang lebih keras (h = harder) atau yang ebih lunak (s = softer).


(36)

Huruf HF yang dicantumkan pada awal simbol aspal emulsi anionik menunjukkan bahwa aspal ini memiliki kemampuan mengambang yang tinggi (HF = high float). Tingkat pengambangan ini dapat diukur melalui uji pengambangan berdasarkan AASHTO T-50.

Aspal emulsi dengan kode ini dapat digunakan pada pekerjaan yang menuntut penggunaan film aspal yang tebal dengan tidak menimbulkan resiko pengaliran kembali aspalnya (drainage off). Seperti halnya aspal cair, aspal emulsi dapat digunakan juga dengan baik sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal maupun sebagai lapis resap pengikat (prime coat) atau lapis perekat (tack coat). Dalam penggunaannya, pemanasan untuk menurunkan tingkat kekentalan aspal ini mungkin tidak diperlukan.

2. Persyaratan Aspal Pen 60

Persyaratan aspal Berdasarkan spesifikasi umum Bina Marga edisi desember 2006, ditunjukkan pada tabel II. 10 . Sedangkan berdasarkan spesifikasi umum Bina Marga edisi november 2010, ditunjukkan pada tabel II. 10


(37)

Tabel II.10 Persyaratan Aspal Keras Pen 60 spesifikasi 2006

Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2006

Tabel II.10 Persyaratan Aspal Keras Pen 60 spesifikasi 2010

No. Jenis Pengujian Metoda Pengujian

Tipe I Aspal Pen. 60-70

Tipe II Aspal yang Dimodifikasi

A (1) B C

Asbuton yg diproses

Elastomer Alam (Latex)

Elastomer Sintetis

1. Penetrasi pada 25C (dmm) SNI 06-2456-1991 60-70 40-55 50-70 Min.40

2. Viskositas 135C (cSt) SNI 06-6441-2000 385 385 – 2000 < 2000(5) < 3000(5)

3. Titik Lembek (C) SNI 06-2434-1991 >48 - - >54

4. Indeks Penetrasi 4) - > -1,0 ≥ - 0,5 > 0.0 > 0,4

5. Duktilitas pada 25C, (cm) SNI-06-2432-1991 >100 > 100 > 100 > 100

6. Titik Nyala (C) SNI-06-2433-1991 >232 >232 >232 >232

7. Kelarutan dlm Toluene (%) ASTM D5546 >99 > 90(1) >99 >99

8. Berat Jenis SNI-06-2441-1991 >1,0 >1,0 >1,0 >1,0


(38)

No. Jenis Pengujian Metoda Pengujian

Tipe I Aspal Pen. 60-70

Tipe II Aspal yang Dimodifikasi

A (1) B C

Asbuton yg diproses Elastomer Alam (Latex) Elastomer Sintetis Pengujian Residu hasil TFOT atau RTFOT :

10. Berat yang Hilang (%) SNI 06-2441-1991 < 0.8 2) < 0.8 2) < 0.8 3) < 0.8 3)

11. Penetrasi pada 25C (%) SNI 06-2456-1991 > 54 > 54 > 54 ≥54

12. Indeks Penetrasi 4) - > -1,0 > 0,0 > 0,0 > 0,4

13. Keelastisan setelah

Pengembalian (%) AASHTO T 301-98 - - > 45 > 60

14. Duktilitas pada 25C (cm) SNI 062432-1991 > 100 > 50 > 50 -

15. Partikel yang lebih halus

dari 150 micron (m) (%) Min. 95

(1)

Min. 95(1) Min. 95(1)

 Pada spesifikasi 2010 adanya Nilai Indeks Penetrasi, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :

Indeks Penetrasi = (20-500A) / (50A+1)

A= [log (Penetrasi pada Temperatur Titik lembek) - log (penetrasi pada 25C)] / (titik lembek - 25C ) Sumber : Spesifikasi Umum Bina Marga Edisi 2010

II.2.3 Bahan Aditif Anti Pengelupasan

Kerentanan kelembapan adalah kecenderungan menuju pengelupasan campuran beraspal. Hilangnya integritas dari suatu campuran aspal melalui melemahnya ikatan antara agregat dan pengikat dikenal sebagai pengelupasan. Pengelupasan biasanya dimulai di bagian bawah lapisan campuran aspal, dan secara bertahap bergerak ke atas. Situasi itu adalah hilangnya bertahap kekuatan selama bertahun-tahun, yang menyebabkan banyak yang timbul di permukaan seperti alur, lipatan, gelombang, raveling, cracking, dll (Roberts et al 1996).[16]


(39)

Pengelupasan, atau kerusakan kelembaban, dalam perkerasan aspal adalah hilangnya adhesi antara agregat dan aspal pengikat. Hilangnya adhesi dapat menimbulkan beberapa jenis kerusakan perkerasan, seperti bergelombang, cracking, dan mendorong terjadinya lepasan butiran. Namun kehilangan adhesi dapat diatasi dengan bantuan bahan aditif anti pengelupasan, juga dikenal sebagai adhesi promotor dan agen pembasahan. Aditif anti pengelupasan, ketika ditambahkan ke aspal, menggantikan kelembaban di permukaan dari adhesi agregat dan menghasilkan ikatan di permukaan agregat.[11]

Gambar II.5 Aditif Anti Pengelupasan mencegah pengelupasan di Hot Mix

Anti-strip memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu bersifat aktif dan pasif. Aktif adhesi adalah perpindahan air di agregat selama tahap pencampuran awal konstruksi hotmix. Ketika agregat ditambahkan ke drum pengering, kelembaban dapat mencegah residu aspal dari lapisan


(40)

agregat.Fungsi aktif ini antistriping sebagai pengubah tegangan permukaan dan memindahkan air dari permukaan agregat. Antistrips juga berkerja sebagai adhesi pasif yaitu pengatur penyimpanan air yang merembes antara agregat dan aspal setelah jalan telah dibangun. Dalam fungsinya, bahan anti pengelupasan bertindak sebagai prnghubung antara agregat dan aspal. Tanpa anti pengelupasa, air bisa merembes ke dalam agregat dan melepas ikatan aspal.[11]

Bahan anti pengelupasan mungkin diperlukan jika desain campuran tertentu telah terbukti rentan terhadap kelembaban yang disebabkan kerusakan. Secara umum bahan anti pengelupasan yang paling sering digunakan terdiri dari anti-pengupasan cair dan aditif kapur.[17]

Anti-stripping agent cair adalah senyawa kimia yang mengandung amina. Kebanyakan anti-stripping agen mengurangi tegangan permukaan antara aspal dan agregat dalam campuran [Tunnicliff dkk. 1984]. Ketika tegangan permukaan berkurang, adhesi meningkat dari aspal untuk agregat dipromosikan. Metode ekonomis pencampuran agen anti-stripping cair dengan aspal adalah dengan memanaskan aspal dalam keadaan cair. Namun, metode yang lebih sukses dari penambahan aditif cair adalah dengan menerapkan secara langsung untuk agregat sebelum penambahan pengikat [Kennedy, Roberts, Lee 1983].

kapur aditif adalah bahan yang digunakan untuk meminimalkan kerentanan kelembaban campuran. Secara umum adalah dengan menambahkan 1% sampai 1,5% berat kapur terhadap berat kering campuran agregat. Tiga bentuk kapur yang digunakan: kapur (Ca (OH) 2), kapur cepat (CaO), dan limau Dolomitic (kedua jenis S dan N) [Roberts et al. 1996]. Beberapa metode yang ada untuk menambahkan kapur untuk campuran. Kapur kering ditambahkan sebelum aspal semen. Georgia DOT menambahkan kapur kering segera sebelum semen aspal ditambahkan [Roberts et al. 1996].Mohammad, Abadie, Gokmen dan Puppala menemukan bahwa jika kapur ditambahkan sebagai mineral filler, deformasi permanen dan kelelahan daya tahan dapat


(41)

ditingkatkan. Sehingga penambahan kapur meningkatkan kekuatan tarik campuran beraspal panas. [Bidang Evaluasi Teknik untuk Campuran Aspal dengan Kapur 1984]

Menurut pengalaman, jenis anti-strip aditif yang paling umum digunakan adalah aminebased hidrokarbon, adapun jenis-jenisnya adalah seperti fatty tallow amine , polyamines berdasarkan bis-hexamethylene triamine (BHMT) dan amidoamines. Dibawah ini adalah penjelasan dari jenis anti striping agent.[11]

a. Polyamines ialah senyawa dengan 2 atau lebih gugus fungsional amina. Memiliki 5 atau lebih kelompok fungsional per molekul, molekul besar bervariasi dalam ukuran. Banyak jenis poliamina, berbeda dalam jumlah, jenis amina fungsional kelompok, dan ukuran rantai hidrokarbon. Memiliki efektifitas yang tinggi dan rendah bau. Bis-hexamethylene triamine (BHMT) merupakan bagian poliamina, yang dihasilkan selama produksi nilon, merupakan anti striping yang banyak digunakan pada masa lalu, sangat efektif lebih rendah bau.

b. Fatty tallow amina merupakan anti striping yang berasal dari pengolahan cadangan lemak hewan. Terdiri dari senyawa Tallow diamina dan tallow triamine. Pada masa lalu jenis anti striping ini , direkayasa untuk memiliki rantai panjang hidrokarbon.

c. Amidoamines merupakan hasil poliamina bereaksi dengan asam lemak (asam karboksilat dengan hidrokarbon ekor). Asam lemak yang berasal dari minyak alami (minyak kelapa, minyak berat, minyak canola, dll). Menciptakan molekul yang jauh lebih besar dan secara substansial memperpanjang rantai hidrokarbon molekul amina. Dalam beberapa kasus amidomines memiliki kinerja yang sama atau lebih baik dari poliamina dan menghasilkan molekul yang lebih besar (peningkatan stabilitas panas). Perbedaan


(42)

rasio dan kombinasi dari poliamina dan asam lemak dalam berbagai kondisi dan reaksi menghasilkan amidoamines dengan berbagai karakteristik kinerja anti striping.

Adapun keuntungan dari peambahan anti-stripping agents adalah Meningkatkan pelapisan aspal dengan agregat walau dalam keadaan basah, meningkatkan ikatan atau bonding dan anti penuaan, memperpanjang umur jalan 3-4 tahun. Namun kekurangannya ialah harga dari anti striping agent yang masih relative mahal.

Pada spesifikasi edisi november 2010, Aditif kelekatan dan anti pengelupasan (anti striping agent) harus ditambahkan dalam bentuk cairan kedalam campuran agregat dengan mengunakan pompa penakar (dozing pump) pada saat proses pencampuran basah di pugmil. Kuantitas pemakaian aditif anti striping dalam rentang 0,2% - 0,3 % terhadap berat aspal. Anti striping harus digunakan untuk semua jenis aspal tetapi tidak boleh tidak digunakan pada aspal modifikasi yang bermuatan positif. Namun pada spesifikasi 2006 tidak di haruskan penambahan aditif anti pengelupasan.

Bradley J. Putman dan SerjiN. Amirkhanian dalam penelitiannya mengenai penggunaan anti-strip aditif (Asas) dalam campuran aspal panas (HMA) yaitu Semua Asas (ASA cair dan kapur padam) dievaluasi, dalam penelitian ini didapat meningkatnya ketahanan terhadap kelembaban dibandingkan yang tidak mengandung campuran ASA. Semua Asas yang efektif dalam menghasilkan campuran dengan nilai basah ITS diatas nilai batas minimum SCDOT yaitu 65 psi. Agregat dan bahan pengikat berpengaruh pada efektivitas penambahan anti striping agent (ASA).[16]


(43)

C. Ivann Harnish dalam penelitiannya mengenai anti striping menyatakan anti-striping amina cair meningkatkan adhesi dalam HMA dan dalam emulsi anionik berbeda. Anti striping cair untuk emulsi anionik harus diperhatikan dengan baik, jangan menganggap efektifitas anti striping pada HMA bekerja baik dalam emulsi anionik.

II.3 Perencanaan Campuran Beraspal Panas

Perencanaan campuran mencakup kegiatan pemilihan dan penentuan proporsi material untuk mencapai sifat-sifat akhir dari campuran aspal yang diinginkan. Tujuan dari perencanaan campuran aspal adalah untuk mendapatkan campuran efektif dari gradasi agregat dan aspal yang akan menghasilkan campuran aspal yang memiliki sifat-sifat campuran sebagai berikut [15]:

a. Stabilitas adalah kemampuan campuran aspal untuk menahan deformasi permanen yang disebabkan oleh lalu lintas, baik beban yang bersifat statis maupun dinamis sehingga campuran akan tidak mudah aus, bergelombang , melendut, bergeser dan lain-lain.

b. Fleksibilitas adalah kemampuan campuran aspal untuk menahan terhadap defleksi akibat beban lalu lintas tanpa mengalami keretakan yang disebabkan oleh :

1) Beban yang berlangsung lama yang berakibat terjadinya kelelahan pada lapis pondasi atau pada tanah dasar yang disebabkan oleh pembebanan sebelumnya.

2) Lendutan berulang yang disebabkan oleh waktu pembebanan lalu lintas yang berlangsung singkat.


(44)

c. Durabilitas adalah kemampuan campuran aspal untuk mempertahankan kualitasnya dari disintegrasi atas unsur-unsur pembentuknya yang diakibatkan oleh beban lalu lintas dan pengaruh cuaca. Campuran aspal harus mampu bertahan terhadap perubahan yang disebabkan oleh :

1) Proses penuaan pada aspal dimana aspal akan menjadi lebih keras. Hal ini disebabkan oleh pengaruh oksidasi dari udara dan proses penguapan yang berakibat akan menurunkan daya lekat dan kekenyalan aspal.

2) Pengaruh air yang menyebabkan kerusakan atau kehilangan sifat lekat antara aspal dan material lainnya.

d. Impermeability adalah campuran aspal harus bersifat kedap air untuk melindungi lapisan perkerasan di bawahnya dari kerusakan yang disebabkan oleh air yang akan mengakibatkan campuran menjadi kehilangan kekuatan dan kemampuan untuk menahan beban lalu lintas.

e. Pemadatan adalah proses pemampatan yang memberikan volume terkecil, menggelincir rongga sehingga batas yang disyaratkan dan menambah kepadatan optimal. Mengingat efek yang timbul oleh pengaruh udara, air serta pembebanan oleh arus lalu lintas apabila rongga dalam campuran tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Hal ini harus dihindari sehingga tidak terjadi penyimpangan. Pada pelaksanaan pemadatan dilapangan sangat rawan akan terjadinya penyimpangan, baik alat-alat yang digunakan tidak sesuai standar yang ditetapkan maupun jumlah lintasannya. Hughes dalam Fauziah (2001) menyatakan bahwa sifat fisik maupun mekanis campuran aspal sangat dipengaruhi oleh teknik pemadatan benda uji, untuk itu pemilihan teknik pemadatan laboratorium berpengaruh


(45)

sangat nyata terhadap campuran aspal sebagai bahan pembentuk lapis perkerasan jalan. Pemadatan pada hakekatnya adalah untuk memperluas bidang sentuh antar butiran, sehingga mempertinggi internal friction yaitu gesekan antar butiran agregat dalam campuran. Pemadatan merupakan suatu upaya untuk memperkecil jumlah VIM, sehingga memperoleh nilai struktural yang diharapkan.

f. Temperatur pemadatan merupakan faktor penting yang mempengaruhi pemadatan, kepadatan hanya bisa terjadi pada saat aspal dalam keadaan cukup cair sehingga aspal tersebut dapat berfungsi sebagai pelumas. Jika aspal sudah dalam keadaan cukup dingin maka kepadatan akan sulit dicapai. Temperatur campuran beraspal panas merupakan satu-satunya faktor yang paling penting dalam pemadatan, disebabkan temperatur pada saat pemadatan sangat mempengaruhi viscositas aspal yang digunakan dalam campuran beraspal panas. Apabila temperatur pada saat pemadatan rendah, mengakibatkan viscositas aspal menjadi tinggi dan membuat sulit dipadatkan. Menaikkan temperatur pemadatan atau menurunkan viscositas aspal berakibat partikel agregat dalam campuran beraspal panas dapat dipadatkan lebih baik lagi, density menurun dengan cepat ketika pemadatan dilakukan pada suhu lebih rendah.

g. Workability adalah campuran agregat aspal harus mudah dikerjakan saat pencampuran, penghamparan dan pemadatan, untuk mencapai satuan berat jenis yang diinginkan tanpa mengalami suatu kesulitan sampai mencapai tingkat pemadatan yang diinginkan dengan peralatan yang memungkinkan.


(46)

II.4 Perencanaan Campuran Beraspal Panas Dengan Pendekatan Kepadaan Mutlak Pada tahun 1999, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Telah mengeluarkan tentang Pedoman Teknik yang berjudul Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas Dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak No. 025/T/BM/1999[14], ini dimaksudkan sebagai kepadatan tertinggi (maksimum) yang dapat dicapai oleh campuran sehingga campuran tersebut tidak dapat menjadi lebih padat lagi. Kepadatan mutlak ini berguna untuk menjamin bahwa dengan pendekatan adanya pemadatan oleh lalu lintas setelah beberapa tahun umur rencana, lapis permukaan tidak akan mengalami perubahan bentuk plastis (plastic deformation).

Untuk kondisi lalu lintas berat, Marshall konvensional menetapkan pemadatan benda uji dengan 2 x 75 tumbukan dengan batas rongga campuran antara 3% - 5%. Hasil pengujian pengendalian mutu menunjukkan bahwa kesesuaian parameter kontrol di lapangan seringkali tidak terpenuhi untuk mencapai persyaratan dalam spesifikasi sehingga kinerja perkerasan jalan tidak tercapai. Kondisi ini sulit untuk menjamin campuran yang tahan terhadap kerusakan berbentuk alur plastis.

Untuk mengatasi masalah tersebut dibuat pengujian Pemadatan dilakukan dengan menggunakan alat pemadat getar listrik atau dapat dilakukan dengan pemadatan Marshall konvensional dengan jumlah tumbukan 2 x 400 kali.

II.5 Metode Pengujian Campuran

Pada penelitian tugas akhir ini, penulis menggunakan metode Marshall. Setelah gradasi agregat ditentukan, selanjutnya adalah pembuatan contoh benda uji dan pengujian di laboratorium.


(47)

Pengujian Marshall merupakan pengujian yang paling banyak dan paling umum dipakai saat ini. Hal ini disebabkan karena alatnya sederhana dan cukup praktis untuk dimobilisasi. Pengujian Marshall bertujuan untuk mengukur daya tahan (stabilitas) campuran agregat dan aspal terhadap kelelehan plastis (flow). Flow didefenisikan sebagai perubahan deformasi atau regangan suatu campuran mulai dari tanpa beban, sampai beban maksimum dan dinyatakan

dalam milimeter atau 0.01”.

II.5.1 Parameter pengujian Marshall

Beton aspal dibentuk dari agregat, aspal dan atau tanpa bahan tambahan yang dicampur secara merata atau homogeny pada suhu tertentu.Campuran kemudian dihamparkan dan dipadatkan, sehingga terbentuk beton aspal padat. Sifat-sifat campuran beton aspal dapat dilihat dari parameter-parameter pengujian marshall antara lain :

a. Stabilitas Marshall

Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan nilai masing-masing yang ditunjukkan oleh jarum dial. Stabilitas merupakan parameter yang menunujukkan batas maksimum beban yang dapat diterima oleh suatu campuran beraspal saat terjadi keruntuhan yang dinyatakan dalam kilogram. Nilai stabilitas yang terlalu tinggi akan menghasilkan perkerasan yang terlalu kaku sehingga tingkat keawetannya berkurang.

b. Kelelehan (flow)

Seperti halnya cara memperoleh nilai stabilitas, nilai flow merupakan nilai dari masing-masing yang ditunjukkan oleh jarum dial. Hanya saja jarum dial flow biasanya dalam satuan mm (millimeter). Suatu campuran yang memiliki kelelehan


(48)

yang rendah akan lebih kaku dan kecenderungan untuk mengalami retak dini pada usia pelayanannya.

c. Hasil Bagi Marshall (Marshall Quotient)

Hasil Bagi Marshall merupakan hasil bagi stabilitas dengan kelelehan. Semakin tinggi nilai MQ, maka kemungkinan akan semakin tinggi kekakuan suatu campuran dan semakin rentan campuran tersebut terhadap keretakan.

Marshall Quotient = ………(2.1)

d. Rongga Terisi Aspal (VFA atau VFB)

Rongga terisi aspal (VFA) adalah persen rongga yang terdapat diantara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal, tidak termasuk aspal yang diserap oleh agregat. Rumus adalah sebagai berikut :

VMA

VIM VMA

VFA 100 

………(2.2)

Dimana :

VFA : Rongga udara yang terisi aspal, prosentase dari VMA, (%)

VMA : Rongga udara pada mineral agregat, prosentase dari volume total, (%) VIM : Rongga udara pada campuran setelah pemadatan (%)

e. Rongga Antar Agregat (VMA)

Rongga antar agregat (VMA) adalah ruang rongga diantara partikel agregat pada suatu perkerasan, termasuk rongga udara dan volume aspal efktif (tidak termasuk


(49)

volume aspal yang diserap agregat). Perhitungan VMA terhadap campuran dalah dengan rumus berikut :

Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen berat dari campuran total, maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

       Gbs PS Gmb

VMA 100 *

……….(2.3)

Dengan pengertian :

VMA = Rongga dalam agregat mineral (persen volume curah)

Gsb = Berat jenis curah agregat

Ps = Agregat, persen berat total campuran

Gmb = Berat jenis curah campuran padat (ASTM D 2726)

Atau, jika komposisi campuran ditentukan sebagai persen berat agregat, maka VMA dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

100 100 100 100 Pb Gsb Gmb VMA     ………..(2.4)

Dengan pengertian :

Pb = Aspal, persen berat agregat


(50)

Gsb = Berat jenis curah agregat

f. Rongga Udara (VIM)

Rongga udara dalam campuran (Va) atau VIM dalam campuran perkerasan beraspal terdiri atas ruang udara diantara partikel agregat yang terselimuti aspal. Volume rongga udara dalam campuran dapat ditentukan dengan rumus berikut:

Gmm Gmb Gmm

VIM 100 

...(2.5)

Dengan pengertian :

VIM = Rongga udara dalam campuran padat, persen dari total volume.

Gmm = Berat jenis maksimum campuran.

Gmb = Berat jenis curah campuran padat.

II.5.2 Dasar-dasar Perhitungan

a. Berat Jenis Bulk dan Apparent Total Agregat

Agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat halus dan bahan pengisi/filler yang masing-masing mempunyai berat jenis yang berbeda, baik berat jenis kering (bulk spesific gravity) dan berat jenis semu (apparent grafity). Kedua macam berat jenis dari total agregat tersebut dapat dihitung dalam persamaan berikut :


(51)

………(2.6) Dengan pengertian :

Gsbtot agregat =Berat jenis kering agregat gabungan, (gr/cc)

Gsb1, Gsb2… Gsbn = Berat jenis kering dari masing-masing agregat, (gr/cc)

P1, P2, P3, … =Prosentase berat dari masing-masing agregat, (%)

-Berat Jenis Semu (apparent spesific gravity)

………..(2.7)

Dengan pengertian :

Gsatot agregat = Berat jenis semu agregat gabungan, (gr/cc)

Gsa1, Gsa2… Gsan =Berat jenis semu dari masing-masing agregat 1,2,3..n, (gr/cc)

P1, P2, P3, … =Prosentase berat dari masing-masing agregat, (%)

b. Berat Jenis Efektif Agregat

Berat jenis efektif campuran (Gse), kecuali rongga udara dalam partikel agregat yang menyerap aspal dapat dihitung dengan rumus yang biasanya digunakan berdasarkan hasil pengujian kepadatan maksimum eoritis sebagai berikut :

Gb Pb Gmm

Pmm Pb Pmm Gse

  

………...(2.8)


(52)

Gse =Berat jenis efektif/ efektive spesific gravity, (gr/cc)

Gmm =Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan (gr/cc) Pmm = Persen berat total campuran (=100)

Pb = Prosentase kadar aspal terhadap total campuran, (%) Ps = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran, (%) Gb = Berat jenis aspal

Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan juga dengan menggunakan persamaan dibawah ini :

………(2.9)

Dengan pengertian :

Gse = Berat jenis efektif/ efektive spesific gravity, (gr/cc) Gsb = Berat jenis kering agregat / bulk spesific gravity, (gr/cc) Gsa = Berat jenis semu agregat / apparent spesific gravity, (gr/cc)

c. Berat Jenis maksimum Campuran

Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar aspal diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing kadar aspal. Berat jenis maksimum dapat ditentukan dengan AASHTO T.209-90.

Gb Pb Gse

Ps Pmm Gmm

 

...(2.10) Dengan pengertian :


(53)

Gmm = Berat jenis maksimum campuran,(gr/cc) Pmm =Persen berat total campuran (=100)

Ps =Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran, (%) Pb =Prosentase kadar aspal terhadap total campuran, (%) Gse =Berat jenis efektif/ efektive spesific gravity, (gr/cc) Gb = Berat jenis aspal,(gr/cc)

d. Berat Jenis Bulk Campuran padat

Perhitungan berat jenis bulk campuran setelah pemadatan (Gmb) dinyatakan dalam gram/cc dengan rumus sebagai berikut :

……….………..(2.11)

Dengan pengertian :

Gmb = Berat jenis campuran setelah pemadatan, (gr/cc) Vbulk =Volume campuran setelah pemadatan, (cc) Wa =Berat di udara, (gr)

e. Penyerapan Aspal

Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat total, tidak terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal (Pba) adalah sebagai berikut:

Gb Gsb Gse

Gsb Gse Pba

  

……….(2.12)

Dengan pengertian :


(54)

Gsb = Berat jenis bulk agregat, (gr/cc) Gse =Berat jenis efektif agregat, (gr/cc) Gb =Berat jenis aspal, (gr/cc)

f. Kadar Aspal Efektif

Kadar aspal efektif (Pbe) campuran beraspal adalah kadar aspal total dikurangi jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar yang pada akhirnya akan menentukan kinerja perkerasan beraspal. Rumus Kadar aspal efektif adalah :

Ps Pba Pb Pbe

100

 

………..(2.13)

Dengan pengertian :

Pbe = Kadar aspal efektif, persen total campuran, (%) Pb = Kadar aspal, persen total campuran, (%)

Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat, (%)

Ps =Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran, (%)

II.6 Review Spesifikasi Bina Marga tahun 2006 dan 2010 II.6.1 Agregat

Pada pengujian baik agregat kasar maupun halus dan gradasi , ada beberapa perbedaan batasaan pada spesifikasi umum Bina Marga 2006 terhadap spesifikasi umum Bina Marga 2010 gardasi kasar maupun halus. Hal ini di tunjukkan pada tabel II.11 berikut.


(55)

Tabel II.11 Review perbedaan spesifikasi agergat Pengujian Spesifikasi 2006 Speifikasi 2010

Gradasi Halus

Spesifikasi 2010 Gradasi Kasar

 Los Angeles

 Nilai Setara Pasir

 Bahan pengisi (Filler)

 Gradasi

Maks 40% Min 50%

Tidak ada keharusan penambahan

Adanya daerah larangan dan kurva fuller

Maks 40% Min 50%

Harus di tambahkan 1% - 2%

Tidak ada daerah larangan, namun batasan gradasi berada di atas daerah larangan

Maks 30% Min 70%

Harus di tambahkan 1% - 2%

Tidak ada daerah larangan, namun batasan gradasi berada di bawah daerah larangan

II.6.2 Aspal

Pada pengujian aspal pen 60 terdapat beberapa pengujian yang memiliki perbedaan batasan antara spesifikasi 2006 dan 2010, yang di tunjukkan pada tabel II.12 berikut.

Tabel II.12 Review perbedaan spesifikasi aspal

Pengujian Spesifikasi 2006 Spesifikasi 2010

 Penetrasi pada 25°C (dmm)

 Titik nyala (°C)

 60-79

 min 200

 60-70


(56)

 Titik lembek (°C)

 Perhitungan Indeks Penetrasi *

 viskositas 135 °C

 Penambahan bahan aditif anti pengelupasan

 48-58

 Tidak ada

 Tidak ada

 Tidak diharuskan

 ≥ 48

 Ada

 Ada dengan nilai 385 cSt

 Harus ditambahkan dengan rentang 0.2% - 0.3% terhadap berat aspal

* Nilai Indeks Penetrasi, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut : Indeks Penetrasi = (20-500A) / (50A+1)

A = [log (Penetrasi pada Temperatur Titik lembek) - log (penetrasi pada 25C)] / (titik lembek - 25C )

II.6.3 Campuran Lapis Aspal Beton (Laston)

Pada hasil pengujian campuran lapis aspla beton (laston) terdapat beberapa perbedaan parameter yang ditunjukkan pada tabel II.13 berikut.

Tabel II.13 Review perbedaan spesifikasi lapis aspal beton

Pengujian Spesifikasi 2006 Spesifikasi 2010

 Stabilitas Marshall Sisa (Retained Marshall)


(57)

setelah perendaman 24 jam suhu 60 °C

 Batasan Kadar Aspal Efektif

 Menentukan % kadar aspal awal

 Tidak ada

 Menggunakan rumus Pb*¹

 Gradasi Halus Min 5.1% Gradasi Kasar Min 4.3%

 Belum di tentukan secara jelas pada spesifikasi*²

*¹ Rumus Pb sebagai berikut:

� = 0,035 % + 0,045 % � + 0,18 % �� +�……….(2.14)

Dimana :

Pb = Kadar aspal optimum perkiraan CA = Agregat kasar tertahan saringan No.8

FA = Agregat halus lolos saringan No.8 dan tertahan di saringan No.200 Filler = Agregat halus lolos sarinan No.200, tidak termasuk mineral asbuton

K = Konstanta, dengan nilai 0,5 untuk penyerapan agregat yang rendah dan nilai 1,0 untuk penyerapan agregat yang tinggi.

Belum ada petunjuk atau pedoman dalam penentuan % kadar aspal awal. Namun secara tersirat dengan diberikan batasan minimum Kadar Aspal Efektif diharapkan % kadar aspal awal rencana memiliki nilai Kadar Aspal Efektif diatas batasan minimum yang diberikan. Sehingga


(58)

nilai Kadar Aspal Optimum yang dihasilkan memiliki nilai Kadar Aspal Efektif diatas batasan minimum yang di tetapkan. Penentuan Kadar aspal efektif menggunakan rumus (2.13).


(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Program Kerja

Program kerja yang dilaksanakan pada penelitian ini digambarkan dalam bagan alir yang ditunjukkan pada Gambar III.1.

Tidak Ya Mulai Studi literatur

Persiapan Aspal Persiapan Agregat

Aspal Pen 60/70 Agregat Kasar Agregat halus

Pemeriksaan Propertis Aspal Berat jenis Penetrasi Daktalitas TFOT Kelarutan aspal Softening Flash Point Viscositas PengujianAgregat Analisa saringan Los Angeles Berat Jenis Soundness Test Kelekatan agregat Pipih Lonjong Angularitas Lolos no. 200

Setara Pasir

Memenuhi spesifikasi ?


(60)

Pada pembuatan benda uji spesifikasi 2010 ditambahkan ASA sebanyak 0.3% dari berat kadar aspal

Gambar III.1 Diagram Alir Program Kerja A

Persiapan dan pembuatan benda uji AC-WC Aspal Pen 60/70 spesifikasi 2006 dan 2010

Pengujian campuran dengan alat Marshall

KAO didapatkan

Persiapan dan pembuatan benda uji AC-WC Marshall sisa spesifikasi 2006 dan

2010

Pengujian campuran dengan alat Marshall

Hasil penelitian dan pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Selesai Persentase marshall sisa

Pembuatan dan pengujian kepadatan membal refusal 2×400 pukulan spesifikasi 2006 dan 2010


(61)

III.2 Uraian Tahapan Penelitian

Studi pendahuluan adalah dengan mengumpulkan referensi – referensi yang relevan yang akan digunakan sebagai dasar dalam penelitian serta menentukan lokasi bahan dan tempat pengujian.

III.2.1 Persiapan Alat dan Bahan

Persiapan alat dan bahan adalah penyiapan/ pengadaan bahan dan peralatan untuk pengujian, adapun bahan dan peralatan tersebut :

1. Material yang digunakan

- Agregat kasar yang digunakan disarankan berupa batu pecah atau kerikil yang keras, kering, awet, bersih dan bebas dari bahan organik, asam dan bahan lain yang mengganggu, sedangkan agregat halus yang digunakan pada umumnya merupakan produk dari mesin pemecah batu (stone crusher) atau dari pasir alam. Dalam penelitian ini, agregat yang digunakan diperoleh dari lokasi quarry dari PT. KARYA MURNI, Patumbak.

- Untuk bahan aspal menggunakan Aspal ESSO Ex. EXXON MOBILE dengan penetrasi 60/70.

- Untuk bahan aditif anti pengelupasan menggunakan aditif merk WETFIX. - Untuk Penambahan filler sebanyak 2% menggunakan Semen Portland. 2. Peralatan yang diperlukan


(62)

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan aspal antara lain: alat uji penetrasi, alat uji titik lembek, alat uji titik nyala dan titik bakar, alat uji daktilitas, alat uji berat jenis (piknometer dan timbangan), alat uji kelarutan, dan TFOT.

b. Alat uji pemeriksaan agregat

Alat uji yang digunakan untuk pemeriksaan agregat antara lain mesin Los Angeles (tes abrasi), saringan standar, alat pengering (oven), timbangan berat, dan alat uji angularitas

c. Alat uji karakteristik campuran agregat aspal

Alat uji yang digunakan adalah seperangkat alat untuk metode Marshall

III.2.2 Pengujian Bahan

III.2.2.1 Pengujian Material Agregat

Pengujian dimaksudkan untuk meneliti bahan yang akan dipakai dapat memenuhi persyaratan. Pengujian bahan meliputi aspal, agregat kasar, agregat halus. Pengujian laboratorium yang dilakukan untuk agregat kasar dan agregat halus disajikan dalam Tabel III.1 dan III.2

Tabel III.1 Pengujian Untuk Agregat Kasar dan Agregat Halus spesifikasi 2006

No. Pengujian Standar Nilai

Agregat Kasar

1 Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 Maks 40% 2 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95% 3 Angularitas SNI 03-6877-2002 95/90 * 4 Partikel Pipih dan Lonjong (**) ASTM D4791 Maks 10% 5 Material lolos saringan No.200 SNI 03-4142-1996 Maks 1%


(63)

1 Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 50% 2 Material lolos saringan No.200 SNI 03-4142-1997 Maks 8% 3 Angularitas SNI 03-6877-2002 Min. 45 Sumber : Departemen PU (2006)

Tabel III.2 Pengujian Untuk Agregat Kasar dan Agregat Halus spesifikasi 2010 gradasi kasar

No. Pengujian Standar Nilai

Agregat Kasar

1 Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 2417:2008 Maks 30% 2 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95% 3 Angularitas PTM no. 621 95/90 * 4 Partikel Pipih dan Lonjong (**) ASTM D4791 Maks 10% 5 Material lolos saringan No.200 SNI 03-4142-1996 Maks 1%

Agregat Halus

1 Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 70% 2 Material lolos saringan No.200 SNI 03-4142-1997 Maks 8% 3 Angularitas ASTM C1252-93 Min. 45 Sumber: Departemen PU 2010

(*) 95/90 menunjukkan 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih

(**) Pengujian dengan perbandingan lengan alat uji terhadap poros 1 : 5

III.2.2.2 Pengujian Material Aspal

Aspal yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspal Pen 60/70 produksi Aspal ESSO Ex. EXXON MOBILE . Jenis pengujian sifat-sifat teknis aspal Pen 60/70 yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel III.3 dan III.4


(64)

Tabel III.3 Persyaratan Aspal Pen 60/70 sesuai spesifikasi 2006

No. Jenis Pengujian Metode Persyaratan 1 Penetrasi, 25ºC, 100 gr, 5 detik: 0,1 mm SNI 06-2456-1991 60 – 79 2 Titik lembek : ºC SNI 06-2434-1991 48 – 58 3 Titik nyala: ºC SNI 06-2433-1991 Min. 200 4 Daktalitas , 25ºC: cm SNI 06-2432-1991 Min. 100 5 Berat Jenis SNI 06-2441-1991 Min. 1,0 6 Kelarutan dalam Trichloro Ethylen: % berat SNI 06-2438-1991 Min. 99 7 Penurunan Berat (dengan TFOT): % berat SNI 06-2440-1991 Max. 0,8 8 Penetrasi setelah penurunan berat: % asli SNI 06-2456-1991 Min. 54 9 Daktalitas setelah penurunan berat: % asli SNI 06-2432-1991 Min. 50 Sumber : Departemen PU (2006)

Catatan : Penggunaan Pengujian spot test adalah pilihan. Apabila disyaratkan direksi dapat menentukan pelarut yang akan digunakan.

Tabel III.4 Persyaratan Aspal Pen 60/70 sesuai spesifikasi 2010

No. Jenis Pengujian Metode Persyaratan 1 Penetrasi, 25ºC, 100 gr, 5 detik: 0,1 mm SNI 06-2456-1991 60 – 70 2 Titik lembek : ºC SNI 06-2434-1991 ≥48 3 Titik nyala: ºC SNI 06-2433-1991 ≥ 200 4 Daktalitas , 25ºC: cm SNI 06-2432-1991 ≥ 100 5 Berat Jenis SNI 06-2441-1991 ≥ 1,0 6 Kelarutan dalam Trichloro Ethylen: % berat ASTM D5976 ≥ 99


(1)

Gambar IV.21 Perbandingan Stabilitas Marshall Sisa

IV.3.3 Permasalahan (Kendala) Yang Dihadapi Dalam Pembuatan Benda Uji Dan Solusi

Dalam pembuatan benda uji terdapat beberapa kendala yang dihadapi. Adapun kendala – kendala yang dihadapi diuraikan di bawah ini beserta solusinya.

1. Pemadatan yang sulit pada spesifikasi 2010 kadar aspal 4,5%.

Pada pemadatan kadar aspal 4,5%, setelah selesai proses pemadatan, benda uji tidak boleh dikeluarkan dari dalam cetakan dikarenakan aspal belum terlalu mengikat agregat yang ada dalam cetakan. Pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa besarnya jumlah partikel agregat halus yang berada dalam campuran tidak semuanya mengikat. Solusi yang dilakukan adalah dengan mendiamkan benda uji hasil pemadatan

70 75 80 85 90 95

Marshall Sisa spesifikasi 2006


(2)

2. Penambahan anti stiping

Pada penambahan anti striping terdapat kesulitan bila di tambahkan pada setiap kadar aspal karena jumlahnya yang sangat sedikit. Solusi yang dilakukan adalah dengan menambahkan anti stiping pada jumlah aspal yang besar, selanjutnya pada pencampuran tinggal menambahkan jumlah kadar aspal dengan aspal yang telah bercampur anti striping.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : V.1.1 Pengujian Agregat

Dari hasil pengujian agregat kasar dan agregat halus, yang meliputi kelekatan agregat terhadap aspal, Soundness Test, Lolos Ayakan no.200, Los Angeles, Partikel Pipih dan Lonjong, Angularitas, dan Nilai Setara Pasir didapatkan bahwa pengujian memenuhi spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2006 dan 2010.

V.1.2 Pengujian Aspal

Dari hasil pengujian Aspal Penetrasi 60/70 yang meliputi pengujian Penetrasi, Titik Lembek, Berat Jenis, Daktilitas, Titik Nyala dan Titik Bakar, TFOT, dan Kelarutan Dalam Triclhor Ethylene menunjukkan bahwa pengujian tersebut memenuhi spesifikasi Umum Bina Marga tahun 2006 dan 2010.

V.1.3 Hasil Gradasi Agregat gabungan

Dari hasil gradasi agregat gabungan spesifikasi 2006 terhadap gradasi kasar dan halus spesifikasi 2010, diketahui bahwa gradasi kasar 2010 cenderung baik dikarnakan batasan yang diberikan menyerupai spesifikasi yang disarankan 2006. Namun gradasi halus 2010 cenderung


(4)

V.1.4 Pengujian Metode Marshall

Berdasarkan pengamatan di Laboratorium dari hasil percobaan Marshall terhadap jenis aspal Penetrasi 60/70 dari 2 (dua) tipe campuran gradasi berdasarkan spesifikasi umum Bina Marga edisi Desember 2006 dan gradasi kasar spesifikasi edisi November 2010 menunjukan hasil yang baik dan memenuhi persyaratan untuk campuran laston .

Hasil pengujian laboratorium perbandingan karakteristik marshall menunjukkan nilai stabilitas, kepadatan, VFB, flow dan MQ yang didapat dengan menggunakan spesifikasi edisi november 2010 lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan spesifikasi edisi desember 2006, sedangkan nilai VIM, VIM PRD, dan VMA menggunakan spesifikasi November 2010 lebih rendah dibanding dengan menggunakan spesifikasi Desember 2006. Nilai stabilitas sisa yang didapat memenuhi batasan yang diberikan spesifikasi baik spesifikasi 2006 maupun 2010. Nilai KAO yang didapat pada pengujian dengan spesifikasi umum Bina Marga edisi Desember 2006 adalah 5.695% sedangkan pada spesifikasi edisi November 2010 didapat nilai KAO 5.485%.

V.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, diusulkan beberapa saran sebagai berikut :

1. Perlu dibuat panduan perencanaan campuran beraspal untuk Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 yang dapat mempermudah pengujian di laboratorium.

2. Perlu dilakukan setingan kembali terhadap pemecah batu untuk menghasilkan gradasi halus spesifikasi umum Bina marga edisi November 2010 yang baik.


(5)

Daftar Pustaka

1. Das, A, 2006, “On Bituminous Mix Design”, Department of Civil Engineering, IIT Kanpur, India.

2. Julaihi, A, 2007, “Perbandingan Ciri-Ciri Marshall Menggunakan Kaeda Pemadatan yang

Berbeza”, PSM Tesis,Fakulti Kejuruteraan Awam Universiti Teknologi Malaysia.

3. Putrowijoyo, R, 2006, “Kajian Laboratorium Sifat Marshall dan Durabilitas Asphal Concrete - Wearing Course (AC-WC) dengan Membandingkan pengunaan antara Semen Portland dan Abu Batu Sebagai”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro. 4. Departemen Pekerjaan Umum, 2006, “Seksi 6.3 Spesifikasi Campuran Beraspal Panas”,

Direktorat Jenderal Bina Marga.

5. Departemen Pekerjaan Umum, 2010, “Seksi 6.3 Spesifikasi Campuran Beraspal Panas”, Direktorat Jenderal Bina Marga.

6. RSNI M-01-2003. ”Metode Pengujian Campuran Beraspal Panas dengan Alat Marshall”, Badan Standardisasi Nasional.

7. Iriansyah, AS, 2003, ” Campuran Beraspal Panas”, Puslitbang Prasarana Transportasi. 8. Sukirman S, 2003, “Beton Aspal Campuran Panas”, Granit, Jakarta.

9. Attharuddin, M, 2011, “ Pengaruh Variasi Gradasi Agregat Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) dengan menggunakan Aspal Penetrasi 60/70, dan Aspal Retona Blend 55”, Tugas Akhir, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.


(6)

12. Dybalsky, JN, 1982, “Cationic Surfaction In Asphalt Adhesion” Symposium Anti-Stripping Additives in Paving Mixtures, AAPT Annual Meeting, Kansas City Missouri. 13. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah.

2002. Manual Pekerjaan Campuran Beraspal Panas.

14. Departemen Pekerjaan Umum. 1999. “Pedoman Perencanaan Campuran beraspal Dengan pendekatan kepadatan mutlak”, No. 025/T/BM/1999, Direktorat Jenderal Bina Marga. 15. Utomo, RA, 2008, “Studi Komparasi Pengaruh Gradasi Gabungan di Laboratorium dan

Gradasi Hot Bin Asphalt Mixing Plant Campuran Laston (AC-Wearing Course) Terhadap Karakteristik Uji Marshall”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Dipenogoro. 16. Putman BJ cs, 2006, “Laboratory Evaluation of Anti-Strip Additivesin Hot Mix Asphalt”,

Department of Civil Engineering, Clemson University

.

17. Hunter, ER cs, 2002, “Evaluating Moisture Susceptibility of Asphalt Mixes”, Department Civil and Architectural Engineering, University of Wyoming