BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS
A. Pengertian Waris.
Hukum waris merupakan bagian dari hukum perdata dimana, dari dahulu sampai sekarang ini, hukum waris Indonesia sangat beraneka ragam
sekali. Adapun garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian : 1.
Hukum waris yang terdapat dalam undang-undang perdata KUH perBW
2. Hukum waris yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam.
3. Hukum waris yang terdapat dalam hukum Islam, yang tersusun
dalam fikih mawarisfaraidh. Adapun pengertian hukum waris dalam KUH perdata, menurut
Hartono Suryopratiknyo hukum waris adalah keseluruhan peraturan dengan nama undang undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang
terhadap harta kekayaan, perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.
10
Hukum kewarisan dalam Islam di kenal dengan “ fikih mawaris”. Mawaris dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata
tunggal “ miras”, artinya harta pusaka atau harta warisan.
11
10 Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
perdataBW, Serang: Darul Ulum Press, 1993, Cet. 2 hal 50 11
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-quran, 1973, cet. Ke-1, h. 496
Menurut etimologi, warisan ialah pindahnya sesuatu dari orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sedangkan menurut terminologi,
warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang ditinggalkannya itu benda bergerak atau tidak bergerak atau berupa hak-hak
syara’.
12
Fikih mawaris dimaksudkan ilmu yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
13
Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid. Dalam bahasa arab perkataan faraid menunjukan bentuk jamak, sedangkan bentuk
tunggalnya faraidah yang beraarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu. Firman allah
Menurut Al-Syaibiti, terdapat ketentuan-ketentuan Al-quran yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdah yang telah dirinci didalam Al-
Quran, seprti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abudy atau di terima secara take for granted. Karena itu realisasinya apa yang ditegaskan didalam Al-
Quran diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan pada ketentuan- ketentuan Allah. Selain Al-Quran, hukum kewarisan juga disandarkan pada
sunnah Rosulullah SAW, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalaf fih.
14
Ayat-ayat al-quran dan sunnah cukup banyak yang menunjuk tentang hukum kewarisan.
1. Al-quran
QS. An-nissa,4 : 11-12
14 Ibid, hal 374
“ maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang di tinggalkan. Jika anak perempuan seorang saja, maka memperoleh separuh harta. Dan
untuk dua orang ibu bapak,masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia di warisi oleh ibu bapak saja maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. pembagian tersebut diatas sesudah di penuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar
hutangnya. tentang orang tua dan anak-anak mu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat banyakmanfaat bagimu. Ini adalah
ketetapan dari allah. Sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana QS. An-nissa; 4 : 11
2. Al-Sunnah
Imam Bukhori menghimpun hadist tentang kewarisan tidak kurang dari 46 hadist. Imam Muslim menyebut hadist tentang kewarisan kurang dari 20
hadist. Berikut dikutip beberapa hadist yang di anggap pokok. a
Hadist riwayat mutafaq alaih atau yang di riwayatkan oleh Bukhori Muslim:
Nabi SAW bersabda :” berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama
dekat kekerbatannya Al Bukhori
15
b
Hadist lain yang isinya menegaskan kembali tentang bagian-bagian warisan yang telah ditegaskan didalam al-quran. Misalnya riwayat dari huzail
ibnu syurabil mengatakan :
dilaksanakan oleh peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarian Islam bukan nasional di Indonesia dalam arti “tertulis yang ditetapkan oleh badan yang
berlaku dan mengikat untuk seluruh warga.”
17
4. Yurisprudensi
Dalam kamus fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi dikemukan yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang
sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikn keputusaan permasalahan yang
sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak menganut “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih
antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan
yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk
tetap dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan kedaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
18
17 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 326
18 Ibid
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi