Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam

lebih dahulu yang menghubungkan dengan pewaris untuk ditempati kedudukannya. Misalnya A meninggal, meninggalkan tirkah sejumlah 21 juta rupiah. Ahli warisnya B cucu perempuan dari pancar perempuan, dan C cucu laki- laki dari pancar perempuan. Maka penyelesaiannya adalah: B asabah bil al-ghair mendapat 13 dari 21 juta rupiah yaitu 7 juta rupiah, dan C asabah bi Al-ghair mendapat 23 dari 21 juta yaitu 14 juta rupiah, karena derajat keduanya sama yaitu menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal mendahului A sebagai kakek mereka. Amir Syarifuddin menyebut cara yang dilakukan sebagian ulama ini ini hampir sama dengan cara pewarisan sistem penggantian menurut BW, yang disebut dengan kewarisan secara biijplaatsvervulling. 69 Menurut Hazairin, hal ini disebut mewaris dengan cara mawali atau penggantian tempat. Dalam hal ini, ia mendasarkan argumentasinya kepada Al-Quran surat Al-Nissa; ayat 33.

B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam

Mengingat persoalan yang menjadi kajian penulis adalah mencari landasan yurisprudensi bagi bentuk penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, penulis secara legal formal dalam memberikan batasan ahli waris 69 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat minangkabau, Jakarta : PT Gunung Agung, 1994, cet I, hal 84 pengganti akan merujuk kepada maksud yang dikandung oleh Kompilasi Hukum Islam tersebut. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan: 1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 70 2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Berdasarkan diktum pasal 185 ayat 1 tersebut dapat dipahami bahwa Kompilasi Hukum Islam secara tegas mendeklarasikan pengakuannya terhadap keberadaan ahli waris pengganti secara formal dan kuat, sehingga dengan penegasan tersebut, kedudukan ahli waris pengganti mendapat legalisasi secara penuh di mana ketentuan seperti itu tidak dijumpai dalam wacana hukum kewarisan Islam klasik. Hal ini terjadi mengingat konsepsi kewarisan Islam yang ada selama ini yang tertuang dalam kitb-kitab fikih tidak pernah menybutkan adanya ahli waris pengganti tersebut secara tersurat explisit. Buku-buku tersebut selama ini hanya merupakan kelanjutan dari doktrin kewarisan yang mulai berlaku sejak awal Islam, yaitu sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya tanpa adanya perubahan terhadapnya. Hal tersebut beralasan 70 Didalam pasal 173 disebutkan ada dua hal yang bisa menjadi penghalang bagi ahli waris untuk mendapatkan warisan, yaitu ; a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris, b. Dipersalahkan karena menganiaya berat pewaris. mengingat nas-nas yang berhubungan dengan persoalan waris telah memberikan penjelasan yang sangat rinci dan jelas, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiran- panafsiran lain dari yang sudah ditentukan. Dengan kata lain dapat dikatakan, mengingat nas-nas tersebut telah memberikan penjelasan yang rinci, maka hal- hal yang tidak termasuk dalam penjelasan tersebut, tidaklah termasuk dalam golongan ahli waris. 71 Prof. Wasit Aulawi dalam suatu seminar mengatakan bahwa tindakan penentuan ahli waris pengganti, merupakan suatu terobosan dalam rangka mengatasi ketimpangan dan ketidak adilan 72 di antara orang-orang yang satu sama lain mempunyai pertalian darah. Orang yang menjadi ahli waris pengganti tersebut juga mempunyai pertaliandarah dengan pewaris sebagaimana orang yang digantikannya KHI. 171; c KHI dalam menentukan bagian yang bisa diterima oleh seorang ahli waris pengganti tidak membeda-bedakan keturunan orang yang digantikan baik ia laki-laki maupun perempuan, dalam arti bahwa keturunan anak perempuan yang meninggal lebih dahulu mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki yang meninggal lebih dahulu untuk menjadi ahli waris pengganti dalam mewarisa tirkah dari pewaris. 71 Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah al- Islamiyyah, Mansurat kulliyah al- Dakwah, h. 166-167 72 Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 10. Maka dengan ungkapan, “ ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris...” dapat dipahami orang yang meninggal terlebih dahulu itu laki-laki bisa juga perempuan. Dalam ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa keturunan anak perempuan mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki untuk menjadi ahli waris pengganti dari orang tuanya yang telah meninggaal terlebih dahulu. Hal yang sama juga diberlakukan kepada ahli waris pengganti dari anak laki-laki dan ahli waris dari anak perempuan, dalam arti keturunan anak perempuan yang menggantikan ibunya meskipun ia laki-laki tidak akan menjadi asabah, karena kelaki-lakiannya, tetapi ia tetap sebagai penerima fard jika ibunya andaikata masih hidup ia menerima warisan dengan fard dan penerima asabah jika ibunya andaikat masih hidup asabah bi al-ghair, karena bersama-sama dengan saudara. Begitu juga anak perempuan dan anak laki-laki dari anak laki- laki yang orang tuannya meninggal lebih dahulu, ia akan menerima asabah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketentuan fard bagi ahli waris perempuan dan asabah bagi ahli waris laki-laki selain saudara laki-laki seibu hanya berlaku secara konsisten pada level kedua yangg menjadi pengganti dirinya, ketentuan fard dan asabah tersebut tidak demikian halnya, karena nasib bagian yang akan diterimanya tergantung status kewarisan pada level pertama. Sebagaiman penulis jelaskan bahwa hal ini berlaku bagi ahli waris pengganti laki-laki dan ahli waris pengganti perempuan. Mengingat adanya kemungkinan ahli waris pengganti bisa melebihi bagian ahli waris pada level pertama orang yang digantikan, KHI memberikan batasan agar ahli waris pengganti tersebut dalam memperoleh warisan tidak melebihi bagian orang yang sederajat dengan yang digantikannya KHI, 185 :2. Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut dapat di pahami bahwa hak untuk menggantikan orang yang lebih dahulu meninggal dunia, ahli waris pengganti tidaklah mempunyai hak yang mutlak, dalam arti bisa saja ia tidak sepenuhnya memperoleh hak yang semestinya akan diterima oleh yang ia gantikan. Penetapan ketentuan tersebut menurut M. Yahya Harahap dilandasi asas kepatutan dan kontribusi. Dari segi kepatutan, tidaklah layak seorang ahli waris pengganti untuk mendapatkan bagian yang melebihi bagian ahli waris langsung dan dari segi kontribusi, ahli waris langsung banyak memberikan kontribusi kepada pewaris dimana kontribusi tersebut banyak yang melekat pada harta warisan 73 . Sehubungan dengan itu, Prof. Wasit Aulawi mengatakan bahwa pembatasan bagi ahli waris pengganti agar tidak boleh melebihi ahli waris langsung merupakan implementasi dari nilai yang terkandung dalam ketentuan 16 takmilah. Berdasarkan ketentuan tersebut, ditarik suatu kesimpulan bahwa 73 M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 38. ahli waris pengganti tidak diperkenankan menerima bagian melampaui bagian ahli waris langsung. 74 Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut, ahli waris pengganti hanya bisa mendapatkan bagian warisan maksimal sama dengan bagian orang-orang sederajat dengan yang digantikannya. Selanjutnya penulis gambarkan perihal ahli waris pengganti dan kemungkinan hak yang bisa ia terima lewat beberapa contoh kasus sebagai berikut: 1. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak laki-laki C. 2. Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli wris dua orang anak perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak perempuan C. 3. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki A, anak perempuan B dan C, A meninggal lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak perempuan D. 4. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorng anak laki- laki A, dan anak perempuan B dan C, A meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai seorang anak laki-laki D. 74 Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 14. 5. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, seorang anak laki-laki A dan anak perempuan B dan C. A meninggal lebih dahulu dari pewaris. Ia mempunyai dua orang anak perempuan D, E dan seorang anak laki-laki F. Jika kita merujuk pada literartur fikih Islam, penyelesaian beberapa kasus diatas, adalah sebagai berikut: Pada kasus pertama dan kedua, seorang cucu C baik laki-laki maupun perempuan, akan terhijab oleh pamannya atau saudara ayahnya yang masih hidup. Pada kasus ketiga, seorang cucu perempuan D akan terhijab oleh keberadaan dua orang anak perempuan, dalam hal ini B dan C sebagai bibinya. Kasus keempat, seorang cucu laki-laki D tidak terhijab walaupun oleh dua orang anak perempuan, ia akan menerima tirkah dengan jalan ashabah, sedangkan pada kasus kelima, cucu D, ashabah. Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 1 dan 2 dapat dikemukakan penyelesaian kasus tersebut sebagai berikut: Pada kasus pertama dan kedua terdapat ahli waris pengganti C. Perbedaannya adalah C yang ada pada kasus pertama adalah lak-laki, sedangkan pada kasus kedua perempuan. Mereka sama-sama menjadi pengganti dari anak perempuan B yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Karena kedua ahli waris pengganti tersebut menggantikan ibunya bint, mereka secara bersama-sama dengan bibinya yaitu A menerima 23 dua pertiga. A dan C dalam hal ini mendapat bagian sama besar, masing-masing 12 x 23. Kasus ketiga dan keempat terdapat ahli waris pengganti D. Perbedaan antara keduannya adalah pada kasus ketiga D berjenis kelamin perempuan, sedangkan pada kasus keempat berjenis kelamin laki-laki. Namun diantara keduanya ada kesamaan, yaitu sama-sam menjadi ahli waris pengganti melalui anak laki-laki ibn yaitu A. Dalam kasus ini ahli waris pengganti dari anak laki-laki A tersebut haruslah didudukkan sebagaimana kedudukan anak perempuan B dan C dengan bersama-sama menerima fard 23 dua pertiga. Tindakan ini ditempuh agar penggantian tersebut diterapkan secara mutlak, tentulah D akan menerima dua bagian dari ashabah yang diterimanya, sedangkan kedua bibinya masing-masing akan menerima satu bagian. Namun apabila D dan E perempuan bersama dengan saudara laki-lakinya F seperti pada kasus kelima, maka bagian ahli waris dari A tersebut tidak perlu dimodifikasi karena bagian 23 dari ashabah tersebut harus di bagi lagi diantara D, E, dan F. Sehingga dengan banyaknya ahli waris pengganti tersebut, meskipun secara komulatif melebihi bagian B dan C masing- masing 12, namun secara riilbagian tiap-tiap individu ahli waris pengganti tidak melebihi bagian B dan C. Untuk itu, dalam kasus ini D, E, dan F secara komulatif menerima penuh bagian orang yang digantikannya. 75 Persoalan lebih lanjut ialah 75 Ibid bagaimana pembagian warisan yang diterima secara komulatif oleh ahli waris pengganti tersebut apabila diantara mereka ada yang laki-laki dan perempuan. Pasal 176 menyebutkan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua bagian sedangkan anak perempuan satu bagian. Prinsip ini bisa dimasukan ke dalam ahli waris pengganti, mengingat penyebutan anak tersebut masih global, yang mengandung kemungkinan anak atau anaknya. Tidak ada penjelasan lain selain kalimat “cukup jelas” terhadap maksud pasal tesebut, maka bagian 23 di bagi berdasarkan ketentuan itu. Bagian D perempuan 14 x23, E perempuan 14 x 23, dan F laki-laki 24 x 23. Hal serupa juga terdapat dalam pasal 182 tentang bagian saudara perempuan apabila bersama dengan saudara laki-laki. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi ahli aris pengganti dari anak perempuan bint apabila diantara penggantinya ada yang laki-laki dan perempuan. 76 Persoalan lain yang bisa menimbulkan interpretasi beragam adalah apabila sesorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak laki-laki A dan B serta anak perempuan C dan D. B meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tapi ia mempunyai anak perempuan E yang akan menggantikan kewarisannya. Dalam kasus ini E akan memeperoleh 26 dua perenam dari ashabah sebagaimana A yang akan memperoleh bagian yang sama dengannya, karena ia menempati posisi B anak laki-laki. Sedangkan C dan D masing- 76 Ibid masing mendapatkan 16 seperenam sesuai dengan prinsip bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Di satu sisi E bisa menerima bagian seperti orang yang berada di level atasnya yaitu A, namun jika ia dihadapkan pada C dan D ia akan terlihat bahwa E mendapatkan bagian lebih besar dari keduanya. Masalah yang harus dipecahkan ialah apakah ia akan dibiarkan dengan bagian 26 karena tidak melampaui bagian A atau dikonversi dengan bagian yang semestinya diterima C dan D. Mengingat tidak adanya penjelasan rinci mengenai hal semacam itu, penulis berpendapat bahwa bagian E yang semestinya 26 dikonversi dengan bagian yang diterima C dan D. Maka bagian A, C, D, dan E adalah A=25, C=15, D=15, dan E=15. Pengkonversian ini didasari asumsi bahwa ; pertama, karena status kewarisan E bukan ahli waris langsung dimana dalam menerima warisan hrus disesuaikan dengan asas kepatutan dan kontribusi, 77 kedua, karena diktum pasal 285 ayat 2 bersifat global yang bisa berarti tidak boleh melebihi semua ahli waris yang berada sederajat dengan ahli waris yang digantikannya dan bisa juga tidak boleh melebihi salah satu dari ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya. Jika dibawa kepada pengertian yang pertama, bagian E tidak perlu direkontruksi, mengingat bagian 26 tersebut tidak melebihi bagian semua ahli waris langsung diatasnya, karena selain dia ada ahli waris yaitu A yang mendapatkan bagian yang sama dengannya. Maka bagiannya harus dikonversi dengan bagian yang semestinya diterima C dan D. 77 Ibid KHI, merekontruksi kewarisan ahli waris pengganti dapat dilihat dari penghilangan beberapa doktrin yang selama ini telah dianggap mapan dikalangan umat Islam. Hal itu terlihat dari penghapusan status fard 16 seperenam sebagai takmilah li al-sulusain seperenam pelengkap bagi cucu perempuan dari anak laki-laki bint al ibn apabila ia mewarisi tirkah bersama seorang anak perempuan kandung pewaris dimana hal itu juga berlaku untuk kewarisan saudara perempuan seayah ukht li al-ab apabila bersama-sama dengan seorang saudara perempuan sekandung ukht syaqiqah 78 mengenai perkataan Zaid, barangkali tim perumus tidak menganggap sebagai sumber signifikan, mengingat dalam penyampaian hukum tersebut ia tidak menyebutkan bahwa hal tersebut dari sabda Nabi sunnah atau hadist. Sedangkan mengenai pendapat kedua tentang kewarisan cucu perempuan dari anak laki-laki, meskipun yang bersangkutan mengklaim bahwa perempuan 16 tersebut sesuai dengan sunnah Nabi, namun pernyataan itu merupakan sesuatu yang masih dipertentangkan dikalangaan sahabat endiri. Sebagai bukti dari hal itu adalah adanya silang pendapat yang mengatakan bahwa cucu tersebut gugur karena dihijab oleh anak perempuan itu sendiri. Melihat adanya pertentangan itu disertai adanya kemungkinan pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad sahabat, perumus KHI rupanya lebih memilih kepada ungkapan umum dalam Al-quran yang hanya mencukupkan diri dengan 78 Ali Muhammad al-Sobuni, Al-Mawaris fi al_Syri’ah al-Islamiyah, Beirut: Alam al Kutub, 1985, cet ke-3, hal 460. menyebutkan anak saja. Sudah barang tentu kata anak tersebut mencakup didalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Dari ungkapan itu bisa ditarik pengertian lain yang meliputi keturunannya masing-masing. Tindakan tersebut dinilai lebih tepat agar diantara orang-orang yang masih dipertalikan dengan hubungan darah tidak tersisih dengan dalih ajaran Islam yang sebenarnya masih bisa direaktualisasikan guna menghadapi problematika sosial yang semakin kompleks. M. Yahya Harahap memandang pemasukan secara positif ahli waris pengganti merupakan tindakan kompromi, karena sejak dahulu umat Islam mengenal ahli waris pengganti. 79 Disamping itu terdapat kompromi terhadap perkembangan peradaban, kemanusiaan, dan keadilan sehingga penyingkiran sebagian ahli waris dan pengukuhan sebagian ahli waris yang lain tidak akan terjadi, karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut. Pasal 171 huruf c menyebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan hubungan perkawinan dengan muwarris pada saat ia meninggal dunia. Dengan ketentuan tersebut, terbuka lebar bagi ahli waris pengganti untuk menerima hak sebagaimana ahli waris langsung, dengan penyebutan hubungan darah tersebut dengan sendirinya sudah tercakup didalamnya anak laki-laki dan perempuan berikut keturunannya masing-masing. Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur mengenai konsep munasakhah-nya 79 M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 33. yang menyebutkan bahwa keturunan seseorang bisa menggantikan kedudukannya manakala orng yang digantikannya sempat hidup meskipun sebentar pada saat muwaris meninggal dunia.

C. Kronologi Penetapan