C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi
1. Rukun Waris
Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat, sujud
dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu tidak di katakan shalat jika tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang
keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya bagian dari sesuatu yng lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.
19
Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila
tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga :
20
1. Al-mawaris yaitu orang yang meninggaldunia atau mati, baik a hakiki
maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang
meninggaalkan harta atau hak. 2.
Al-waris, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
3. Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama
faraid menyebutnya dengan mirast atau irst. Termasuk dalam katagori
19 Komite fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah
H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004, hal. 41 20
Ibid, Hal. 28
warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seprti hak qishas perdata hak menahan barang yang belum dilunasi
pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian. Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,
waris mewarispun tidak dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta
waris maka waris mewarispun tidak dilalukan karena tidak terpenuhinya rukun- rukun waris.
21
2. Syarat waris
Lafal syuruth syarat-syaratadalah bentuk jamak dari syarth. Menurut bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah tanda-tanda kiamat. Allah
SWT berfirman “tidaklah yang mereka tunggu, melainkan hari kiamat kedatangannya kepada mereka yang tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang
tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila kiamat sudah datang ? muhammad 47 : 18.
22
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya _isba tergantung pada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Yang di maksud dengan
adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya _isba.
21 Ibid .
22 Ibid.
Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyarati masyruth yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya syarat,
namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat. Misalnya hubungan suami istri menetapkan adanya talak. Thaharah bersuci adalah syarat sah shalat.
Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan tetapi melakukan tharah berarti ketika hendak melakukan shalat saja.
23
Dengan demikian, apa bila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta
merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit.
Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris juga tidak_isba dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta
merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat
mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan memerlukan syarar-syarat sebagai berikut:
24
Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1 mati hakiki sejati, 2
mati hukmy menurut putusan hakim, dan 3 mati taqdiry menurut pikiran.
23 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy Bandung: Geme
Rislah Press, 1997, hal. 200 24
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal 29
Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu berwujud padanya baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala
seseorang disaksikan meninggal atau dengan pendeteksi dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu
kematian yang disebabkankarena putusan hakim, seperti seorang hakim memvonis kematian si mafqud orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya. Status orang hilang, jika melawati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud
karena berasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata
berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah
kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan pembayaran sanksi dengan al-ghurah hamba sahaya atau budak perempuan yang
disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli si bayi. Dengan demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi
budak dari si bayi.
25
Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup secara hakiki maupun hukmy setelah kematian mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris.
Sebab Allah SWT didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris dengan
25 Ibid, hal. 30
huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud. Kecuali hanya bagi orang yang hidup.
26
Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian. Maksudnya ahli
waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat nasabkerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan dari
Ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada seorangpun Ash-habul furudh atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti
ini di berlakukan karena setiap garis keturunan memiliki _isba yang berbeda- beda.
27
3. Sebab-Sebab Mewariskan
Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i pembuat hukum di jadikan indikasi adanya suatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus
menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaannya karena ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya api
merupakan sebab terjadinya kebakaran.
28
Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat,
karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Ibid.
yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain, juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna “mani” penghalang, karena
mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu yang lain.
29
Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak
mewarisi tidak ada jika jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sabab-sebab mewarisi terbagi menjadi dua: pertama, yang disepakati, kedua, yang tidak
disepakati oleh para ulama faraid. 1.
Sebab-Sebab Mewarisi yang disepakati a.
Kekerabatan Al-qarabah Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain
terdapat dalam firman Allah surat An-nissa ayat 11. Ahli waris yang dapat mewarisi dari aris kekerabatan adalah Ushul leluhur si mayit, furu’ keturunan
si mayit, dan hawasyi si mayit keluarga si mayit dari jalur horizontal. Golonan ushul adalah 1 ayah, kakek, dan jalur keatasnya, 2 ibu, nenek ibu suami dan
ibunya istri dan julur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1anak laki-laki, cucu, cicit, dn jalur kebawahnya. Sedangkan golongan Hawasyi adalah 1 saudara laki-
laki dan saudara perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun
29 Ibid, hal 32
seayah atau seibu, 2 anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3 paman sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung.
30
b. Pernikahan
Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan kekerabatan, hak waris juga berlaku atas dasar perkawinan ; dengn arti bahwa suami ahli waris
bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal. Bagian pertama dari ayat 12 surat An-nissa menyatakan hak kewarisan suami
istri. Dalm ayat itu digunakan kata: azwaj, penggunaan kata azwaj yang secara leksikal berarti pasangan suami istri menunjukan dengan gamblang hubungan
kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan alamiah diantara keduanya,
maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan hukum antara suami istri.
31
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan :
Pertama: antara keduannya telah berlangsung akad nikah yang sah. Tentang akad nikah yang sah di tetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan
30 Ibid, hal. 33
31 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 88
orang-orang yang beragama islam adalah sah apabila menurut hukum Islam. pengetian sah menurut Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun
dan syarat dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun
syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan yang kedua: berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh
hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalm ketentuan ini
adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan masih dalam keadaam masa iddah.
Seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin
menurut jumhur ulama karena halnya hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.
32
c. Wala
Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqaah yakni yang
disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al- maulah dan mukhalafah membebaskan budak denan karena kepemimpinan dank
arena ikatan sumpah. Karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda
32 Ibid, hal. 192
dalam sebab-sebab perwarisan.
33
Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak melalui
pencabutan hak mewakili dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah syari’at
atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat
penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun
setelah seorang tuan membebaskan budaknya, budak itu telah berubah status dari orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara
sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memiliki hak waris atas harta peninggalan si budak adalah sabda Rosulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, “
hak wala itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya” HR mutafaq alaih.
34
Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya
menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewarisi bukan diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari
pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak.
33 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 40
34 Ibid.
2. Sebab-sebab waris yang diperselisihkan
a. Baitul mal
Para ulama fiqh berselisih diantaranya syafi’i, Maliki dan Hanafi dan hanabila tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi.
Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
35
Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dan
tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya, dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul
mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum muslimin pun dibebani membyar
diyah denda untuk saudara sesame muslim yang tidak berkerabat. Dengan demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah golongan yang mewarisi dalam
lingkungan kerabat. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan malikiyah dan imam syafi’i dalam qoul qodim pendapat lamanya ketika berada di Baghdad.
36
Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu
orangpun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal bukan atas dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum
35 Ibid, hal. 41
36 Ibid, hal. 42
muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-syafi’i dalam qoul jadid.
37
Ketiga, baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisasi maupun tidak, ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah.
38
b. Al-hilf wa Al-Mu’aqadash atau janji setia
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain
untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Tujuannya adalah untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa
aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut: Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu,
perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku
dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti
nyawamu.
39
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal. 364
16 bagian, itupun didahulukan penerimanya baru setelah itu dibagikan kepada ahli waris lainnya.
40
Perjanjian seperti ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam waktu yang lama, sampai-sampai Al-Quran merekamnya sebagai salah satu
sebab mewaris yang di benarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:
“
bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang di tinggalkan ibu bapak karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan jika ada orang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya, sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu Q.S. An-Nissa Ayat
33
.
Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayorittas para ulama tidak melaksanakannya. Hanya sebagian ulama hanafiyyah saja yang tetap
memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat atau keterangan atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan
dengan kehidupan sekarang ini, telebih di dasari oleh nash-nash Al-Quran maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya perjanjian itu telah
kehilangan atau setidaknya kurang relevansi.
41
40 Ibid.
41 Ibid.
D. Penghalang Menerima Warisan