Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Jakob Sumardjo, manusia adalah satu mankeind is one, artinya kemanusiaan itu satu, dari dulu sampai sekarang. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi atau daya-daya yang sama. Manusia itu memiliki perasaan, pikiran, insting dan kemauan. Tetapi meskipun demikian, dalam perkembangannya tidaklah sama, dan inilah yang menyebabkan manusia berkembang menjadi dirinya sendiri yang unik, yang beda dengan manusia lainnya. Namun perbedaan-perbedaan itu masih memiliki dasar yang sama, misalnya, manusia tidak menyukai kebohongan, pembunuhan, keserakahan dan kemunafikan. 1 Manusia adalah makhluk mulia dan unik, yang diciptakan Allah SWT untuk beribadah pada-Nya. Dalam perjalanan hidup di dunia, manusia tidak akan terlepas dari berbagai ujian, baik itu yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Apapun bentuk ujiannya, manusia diharapakan oleh Allah SWT untuk bersabar dalam menghadapinya. Dalam pandangan agama Islam, keberadaan ujian adalah hal yang pasti bagi seluruh manusia, Allah SWT menyebutkan bentuk-bentuk ujian-Nya dalam firman-Nya; Jakob Sumardjo, Menjadi Manusia, Bandung; Rosda, 2001, h.74. “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. QS al-Baqarah [2] : 155 Di antara ujian yang kerap dialami oleh sebagian manusia adalah kekurangan pada fungsi bagian organ tubuh, seperti kurang dalam pendengaran, penglihatan dan penciuman. Tidak sedikit masyarakat khususnya di Indonesia yang diuji dengan kurangnya fungsi pendengaran pada organ tubuhnya. Menurut data tahun 2000 M, populasi penduduk Indonesia lebih kurang 220.000.000, enam juta diantaranya adalah penyandang tunarungu bisu-tuli dan kurang mendengar dari usia balita hingga lansia. Data ini menunjukkan presentasi populasi penyandang cacat cukup besar seiring pertambahan penduduk setiap tahun. Jika bayi sejak lahir menyandang tunanetra, ia akan belajar melalui pendengarannya, disebabkan kesulitannya memahami gerak suatu benda dan mengenal warna. Karenanya dalam mengenal sesuatu ia menggunakan pendengarannya, tentu saja hasilnya sangat terbatas. Dari sisi proses belajar, terdapat perbedaan yang mencolok antara tunanetra dan tunarungu. Bagi penyandang Tunanetra, setelah besar ia akan mengetahui nama-nama benda, meski ia sendiri tidak melihatnya. Lain halnya dengan orang yang sejak lahir menyandang tunarungu, ia amat kesulitan menyebut nama-nama benda. Karenanya pendengaran adalah anugerah teragung yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Ini sesuai dengan Firman Allah SWT; ﺝ ﺥ + , -.ﺵ 0,ﺝ 1 2 3 45-6 , Dan Allâh mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. QS: An-Nahl: 78 Setiap bayi yang lahir dari rahim ibunya, belum memiliki pengetahuan apa-apa tentang alam yang baru ditempatinya. Allâh SWT dengan kuasa dan kasih sayang-Nya membekalinya pendengaran, penglihatan dan hati. Kemudian dilengkapi dengan akal, agar ia mengenal dan memahami hakikat kehidupan. Dengan mendengar, seseorang dapat belajar bahasa, khususnya bahasa lisan. Sehingga dengan kemampuan itu manusia dapat berkomunikasi, bersosialisasi, dan belajar dengan baik, yang akhirnya dapat digunakan untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ini sangat urgen karena pelaku utama atau pembuat sejarah di atas hamparan bumi ini adalah manusia. Tanpa diciptakannya manusia oleh Allah SWT tidak akan ada bahasa, pakaian, komputer dan lainnya, dengan kata lain jika tidak ada manusia tidak akan ada peradaban. 2 Komunikasi adalah suatu bagian penting dalam hidup. Dengan berkomunikasi, kita berbagi informasi dengan orang lain, berbicara dan mendengarkan. Anak-anak belajar berkomunikasi sejak saat mereka dilahirkan. Nurcolis Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta; Paramadina 2000, h. 8-22 Mereka mendengarkan dan mereka dapat mengenali suara orang tua mereka. Mereka juga belajar berbicara dengan meniru, bunyi-bunyi yang mereka, dengar. Anak-anak dengan gangguan pendengaran akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, karena mereka tidak bisa mendengar semua atau sebagian dari bunyi-bunyi di sekitarnya, termasuk suara mereka sendiri. Untuk lebih memahami pentingnya komunikasi dalam masyarakat, Keterbatasan dalam pendengaran yang dialami oleh para penyandang tunarungu, adalah salah satu masalah besar yang dialami mereka dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan informasi dan teknologi. Karena akibat ketunarunguannya, mereka sulit mengembangkan kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi secara efektif dan kreatif, salah satu faktornya adalah indera pendengarannya tidak dapat dimanfaatkan secara penuh. Sehingga ini merupakan kendala berarti dalam mengembangkan kepribadian, kecerdasan, dan penampilannya sebagai makhluk sosial. Kehidupan anak-anak tunarungu tidak bisa terlepas dari kehidupan anak- anak pada umumnya. Mereka pada intinya memiliki perasaan dan kebiasaan yang sebetulnya sangatlah menarik untuk diperhatikan. Disamping mereka memiliki rasa temperamental yang sangat tinggi, mereka juga memiliki rasa kepedulian yang luhur terhadap teman-teman mereka, karena mereka mengetahui dan merasakan masalah yang sama. Jika diamati lebih mendalam, penyandang tunarungu mengalami permasalahan-permasalahan yang tidak terlepas manusia normal yang hidup berdampingan dengan mereka. Pada umumnya anak tunarungu banyak mengalami masalah yang kompleks, yang berlatar belakang pada ketunaan yang disandangnya, disamping itu masih banyaknya pandangan orang tua terhadap anaknya yang menyandang ketunarunguannya itu sebagai beban yang berat, atau mereka yang bersikap apatis bahkan over protective. Sesungguhnya sikap-sikap yang demikian akan menghambat proses sosialisasi anak tunarungu untuk berinteraksi aktif di masyarakat, sehingga mereka akan merasa terasing di lingkungannya. Masalah lain yang muncul akibat ketunarunguannya, yakni yang berkaitan dengan masalah kejiwaan. Dimana pada anak tunarungu seringkali dihinggapi perasaan kegoncangan akibat keterbatasan yang dimilikinya. Mereka beranggapan bahwa dirinya tidak berguna lagi, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Dalam dunia sunyi, para tunarungu berjuang melawan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dalam persaingan keras di tengah masyarakat umum yang majemuk berlapis-lapis status sosialnya, ruang geraknya sangat terbatas dan sempit sehingga para tunarungu terpinggir. Dengan susah payah bertatih-tatih menggeluti pendidikan hingga berhasil menggapai gelar kesarjanaan. Sejak itu hingga saat ini telah berkembang pesat alumni SLB-B di Indonesia telah mampu mengenyam pendidikan terpadu di sekolah menengah umum dan perguruan tinggi. Namun itu belum cukup karena mereka itu pada umumnya berasal dari keluarga golongan menengah ke atas sementara masih meluas golongan miskin tidak mampu bersaing. Untuk berprestasi apapun mesti melalui persaingan keras padahal di negeri ini aksesibilitas sarana komunikasi kurang memadai. Kegoncangan pada diri seseorang merupakan hambatan dan gangguan di dalam beraktivitas bagi penyandangnya. Tentu saja hal tersebut dapat menghambat perluasan pengalaman, gangguan emosi, dan perkembangan inteligensinya. Karena itu, anak tunarungu membutuhkan bantuan yang lebih dibandingkan dengan anak normal. Salah satu bentuk dari bantuan tersebut adalah berupa pemberian bantuan bimbingan agama. Bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan secara terus-menerus dan sistematis kepada individu dalam masalah yang dihadapinya. Agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya, kemampuan untuk menerima dirinya sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat . 3 Bimbingan juga merupakan media yang memegang peranan penting dalam proses pendidikan terutama dalam rangka menumbuhkan rasa percaya diri. Menerima keadaan diri sebagai modal untuk menggali potensi serta mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu hak hidup yang dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali oleh anak yang mempunyai kebutuhan khusus adalah hak untuk mendapatkan pengajaran dan bimbingan. Hak untuk mendapatkan pengajaran dapat diperoleh di sekolah. Selain itu sekolah juga merupakan tempat pembentukan karakter serta sarana bersosialisasi untuk mempersiapkan diri menuju jenjang yang lebih tinggi. 3 M.Umar dan Sartono, Bimbingan dan Penyuluhan, Bandung: Pustaka Setia, 1998, Cet Ke 1, h.12 Untuk memfasilitasi sekolah bagi anak berkebutuhan khusus termasuk tunarungu untuk mendapatkan pendidikan yang layak, maka pemerintah dibantu oleh pihak swasta membentuk sekolah luar biasa yang biasa disingkat SLB. Sekolah ini mempunyai cara serta kurikulum yang disesuaikan bagi anak berkebutuhan khusus agar dapat mandiri serta mensejajarkan diri dengan anak normal. Pendidikan luar biasa bertujuan membantu anak didik yang menyandang kelainan fisik atau mental atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir dan batin yang baik. Dari pihak pemerintah, terlihat ada upaya untuk mensejahterakan para penyandang cacat dan menempatkan mereka dalam posisi yang sama dengan orang normal lainnya, salah satunya dengan adanya hari internasional penyandang cacat atau yang disingkat dengan HIPENCA yang diperingati setiap tanggal 3 Desember yang ditetapkan melalui resolusi Dewan Perserikatan Bangsa-bangsa nomor 4713 1992. Tujuan diselenggarakanya HIPENCA adalah mengoptimalkan kerjasama yang sinergis dalam rangka upaya mengukuhkan konsistensi dan kesadaran bersama untuk mewujudkan kesetaraan hak kedudukan dan peranan serta peluang yang lebih bermakna bagi penyandang cacat sebagai subjek di tengah masyarakat 4 . 4 Majalah Peduli Umat, Mewujudkan Kesetaraan Penyandang Cacat dan Masyarakat, Edisi 8tahun 2003, h. 5. Namun tidak cukup di situ saja, karena para penyandang cacat membutuhkan perhatian yang kongkrit dalam bentuk bimbingan yang intensif bagi mereka, karena bimbingan agama bertujuan untuk membantu pemecahan problem perseorangan dengan melalui keimanan menurut agamanya 5 . Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, maka diperlukan adanya bimbingan agama yang dilakukan dengan kesabaran dan metode khusus dengan menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana, agar dapat mudah dimengerti oleh anak tunarungu tesebut. Salah satu sarana dan prasarana untuk menunjang keberhasilan bimbingan agama tersebut, dapat berbentuk suatu lembaga formal maupun nonformal, seperti Pusat Sosial Bina Rungu Wicara “MELATI” Jakarta Timur selanjutnya dalam skripsi ini disebut PSBRW MELATI PSBRW MELATI merupakan suatu media bimbingan rehabilitasis anak penyandang cacat yang bukan hanya dalam bimbingan umum, namun juga pada bimbingan agama, mental dan spriritual. Dengan demikian anak tersebut selain memiliki pengetahuan umum yang luas juga memiliki agama yang kuat. Bimbingan agama yang dimaksud dalam skripsi ini adalah upaya yang dilakukan dalam kegiatan bimbingan agama melalui proses belajar mengajar, dimana bimbingannya dilakukan oleh Pembimbing Agama. Wacana ini sungguh sangat menarik untuk diteliti, disamping karena berkenaan dengan penyandang tunarungu, juga karena berkaitan dengan bimbingan agama, sesuai dengan studi yang penulis tempuh. Untuk itu penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan metode bimbingan agama 5 H. M. Arifin, Teori-teori Konseling Agama dan Umum, Jakarta: Golden Trayon Press, 1994, Cet Ke-1, h.19. melalui kegiatan mengajar yang dilakukan oleh Pembimbing Agama di PSBRW MELATI Cipayung Jakarta Timur.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah