Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah Di Panti Sosial Bina Remaja (Psbr) Bambu Apus – Jakarta Timur

(1)

PENGARUH TERAPI KELOMPOK BERBASIS

OUTBOUND TERHADAP

PERILAKU

REMAJA

PUTUS SEKOLAH DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA

(PSBR) BAMBU APUS

JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

YUSUF ARIFIN

NIM 1111054100019

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Yusuf Arifin, 1111054100019, Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah di PSBR Bambu Apus Jakarta Timur, di Bawah Bimbingan Amirudin, M. Si

Pada masyarakat modern yang kompleks kemiskinan menjadi problema sosial, seorang merasa miskin bukan karena kurang makan, pakaian atau perumahan akan tetapi harta miliknya dianggap kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan taraf kehidupan yang ada.

Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah bentuk problem yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara berkembang, ini kemudian menimbulkan masalah pendidikan, yang ditinggalkan oleh Remaja guna untuk membantu orang tua. Kehidupan yang kurang harmonis serta kemampuan yang kurang mamadai ini alasan anak di zaman sekarang yang memilih bekerja dibandingkan sekolah.

Terapi kelompok adalah salah satu metode pekerja sosial yang menggunakan kelompok sebagai media proses pertolongan profesional, dalam literatur pekerja sosial metode ini sering disebut sebagai group work atau group theraphy, dengan mengunakan penanganan dengan perbainan atau outbound.

Penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Statistik deskriptif adalah ststistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Tujuan dari penelitian deskriptif adalah melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat jadi peneliti melihat langsung keadaan lingkungan yang diteliti. Jadi dalam penelitian ini peneliti berusaha mendeskripsikan tentang pengaruh terapi kelompok berbasis outbound terhadap remaja putus sekolah.

Hasil penelitian ini menunjukan T-test variabel terapi kelompok tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku remaja dengan nilai signifikan 0,232 yang artinya HO diterima. Berdasarkan hasil analisis korelasi bahwa variabel

terapi kelompok (X) dengan nilai 0,172 memiliki nilai hubungan sangat rendah dengan variabel perilaku remaja (Y).


(6)

ii

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada kita semuanya, terutama memberikan bimbingan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, salawat dan salam kita sampaikan kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya, keluarganya, dan juga umatnya yang istiqomah dijalanya. Alhamdulih berkat izin dan petunjuk Allah swt, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah

di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus – Jakarta Timur”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan kelulusan guna memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Suparto, M.Ed ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Drs. Jumroni, M,Si selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. H. Sunandar, M.A selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Siti Napsiyah, MSW, selaku Ketua Progam Studi Kesejahteraan Sosial, Ahmad Zaky, M.Si, selaku Sekretaris Progam Studi Kesejahteraan Sosial, dan para dosen Progam Kesejahteraan Sosial yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman kepada penulis.


(7)

iii

3. Amirudin, M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberi nasihat dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dilingkungan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) , yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman baru kepada penulis.

5. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, khusunya ibu yarma dan pak yadi yang sangat baik memberi dukungan dan semangat dan telah memberikan fasilitas untuk mendapat referensi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Drs, Mahmud Jalal, MA yang telah memberi dukungan yang tidak pernah penulis lupakan, semoga kebaikan bapak jalal di balas allah dengan berlipat ganda. Amin

7. Dra. Ignatia Sri Wuwuh P, M.Si selaku Kepala Pimpinan PSBR, dan seluruh pejabat dan staf Lembaga Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta Timur yang dengan ramah menyilahkan peneliti untuk melakukan penelitian terkait skripsi penulis. Secara khusus terimakasih kepada bu ning, bu ipeh, bu heri, pak namin, bu habibi dan pak imron yang selalu meluangkan waktu untuk diwawancarai, juga staf yang rajin dan cekatan dalam menanggapi semua keperluan adminitrasi peneliti.


(8)

iv

menyelesaikan skripsi dengan baik. Terimakasih semoga kalian bangga.

9. Untuk semua pihak, teman-teman tersayang dan seperjuangan Kesejahteraan Sosial angkatan 2011.

10. Terimakasih pula atas bantuan, dukungan, serta doa kepada seluruh pihak dalam bantuan penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Jakarta, 27 Juni 2015 Penulis


(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 7

1. Batasan Masalah ... 7

2. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Hipotesis Penelitian ... 11

F. Pedoman Penulisan Skripsi ... 11

G. Sistematika Penulis ... 12

BAB II LANDASAN TEORI A. Terapi Kelompok ... 14

1. Pengertian Terapi Kelompok ... 14

2. Model Terapi Kelompok ... 18

3. Jenis-jenis Kelompok ... 20

4. Terbentuknya Kelompok ... 23

5. Proses Terapi Kelompok ... 24

6. Tujuan Terapi Kelompok ... 26

7. Prinsip-prinsip Terapi Kelompok ... 28

8. Outbound ... 30

B. Teori Kognitif Perilaku ... 31


(10)

vi

C. Pengertian Perilaku Remaja ... 34

1. Penyebab dan Dampak Penyimpangan pada Perilaku Remaja ... 36

2. Cara Mengatasi Penyimpangan Perilaku Remaja ... 39

D. Remaja... 40

1. Pengertian Remaja ... 40

2. Ciri-ciri Masa Remaja ... 42

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 43

E. Putus Sekolah ... 45

1. Pengertian Putus Sekolah ... 45

2. Penyebab Remaja Putus Sekolah ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian. ... 49

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 50

C. Populasi dan Sampel ... 51

D. Variabel Penelitian ... 53

E. Definisi Konseptuan Variabel Penelitian ... 54

F. Definisi Operasional dan Indikator Penelitian ... 55

G. Hasil Uji Validitas pada Skala Terapi Kelompok ... 56

H. Hasil Uji Validitas pada skala Perilaku Remaja ... 58

I. Teknik Pengumpulan Data ... 60

J. Instrument Penelitian ... 61

K. Uji Validitas ... 61

L. Uji Reliabilitas ... 62

M. Teknik Analisis Data ... 63

1. Uji Normalitas Kolmogorov-smirnov ... 64

2. Uji Homogenitas ... 64


(11)

vii

6. Uji Koefisien Determinasi ... 67

BAB IV GAMBARAN UMUM TENTANG LEMBAGA A. Sejarah Berdirinya Lembaga ... 68

B. Tujuan, Visi dan Misi ... 69

C. Struktur Organisasi Lembaga ... 70

D. Progam ... 73

E. Penerima Manfaat ... 78

F. Sumber Daya Manusia ... 82

G. Sarana dan Prasarana Lembaga ... 83

H. Keuangan ... 84

I. Kemitraan dengan Pihak Luar ... 85

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Validias dan Relibilitas ... 87

1. Uji Validitas ... 87

2. Uji Reabilitas ... 90

B. Klasifikasi Responden ... 91

C. Analisis Data Penelitian ... 94

1. Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov ... 94

2. Uji Homogenitas ... 95

3. Uji Koefisien Korelasi ... 96

4. Uji Regresi Linier Sederhana ... 97

5. Uji T-test (Persial) ... 98

6. Uji Koefisien Determinasi ... 99

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 101


(12)

viii DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku ... 103 B. Internet ... 105 C. Skripsi ... 105


(13)

ix

Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...50

Tabel 2 Defenisi Operasional dan Indikator Penelitian ...55

Tabel 3 Blue Print Skala TKOB (Sebelum Validitas Instrument)...57

Tabel 4 Blue Print Skala Perilaku Remaja (Sebelum Validitas Intrument)58 Tabel 5 Blue Print Skala TKOB (Setelah Validitas Instrument)...59

Tabel 6 Blue Print Skala Perilaku Remaja (Setelah Validitas Intrument)..60

Tabel 7 Skala Likert ...63

Tabel 8 Interprestasi Terhadap Koefisien Korelasi ...66

Tabel 9 Komposisi Pegawai Menurut Jabatan Tahun 2014 ...72

Tabel 10 Komposisi Pegawai Menurut Tingkat Pendidikan 2014 ...73

Tabel 11 Komposisi Pegawai Menurut Jenis Kelamin tahun2015 ...82

Tabel 12 Rincian Anggaran dan Realisasi Belanja Tahunh 2012 ...84

Tabel 13 Hasil Uji Validitas Variabel X ...87

Tabel 14 Hasil Uji Validitas Variabel Y ...88

Tabel 15 Hasil Instrument Valid Variabel X ...89

Tabel 16 Hasil Instrument Valid Variabel Y ...90

Tabel 17 Klasifikasi Responden Berdasarkan Usia...92

Tabel 18 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...93

Tabel 19 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan...94

Tabel 20 Hasil Uji Normalitas ...95

Tabel 21 Hasil Uji Homogenitas ...96

Tabel 22 Hasil Uji Koefisien Korelasi ...96

Tabel 23 Hasil Uji Koefisien Regresi Sederhana ...97


(14)

x

Lampiran 1. Surat Bimbingan Skripsi...i

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian/wawancara...ii

Lampiran 3. Surat Telah Melakukan Penelitian...iii

Lampiran 4. Alur Pros Pelayanan dan Pengembangan PSBR ...iv

Lampiran 5. Hasil Uji Validitas ...v

Lampiran 6. Hail Uji Reabilitas ...vi

Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas ...vii

Lampiran 8. Hasil Uji Homogenitas ...viii

Lampiran 9. Hasil Uji koefisien Korelasi ...ix

Lampiran 10. Hasil Uji Regresi Linear Sederhana ...x

Lampiran 11. Hasil Uji T-test ...xi

Lampiran 12. Hasil Uji koefisien Determinasi ...xii


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masyarakat modern yang kompleks kemiskinan menjadi problema sosial, seorang merasa miskin bukan karena kurang makan, pakaian atau perumahan akan tetapi harta miliknya dianggap kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan taraf kehidupan yang ada.1

Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah bentuk problem yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di negara berkembang, ini kemudian menimbulkan masalah pendidikan, yang ditinggalkan oleh Remaja guna untuk membantu orang tua. Kehidupan yang kurang harmonis serta kemampuan yang kurang mamadai ini alasan anak di zaman sekarang yang memilih bekerja dibandingkan sekolah.

Secara garis besar kemiskinan disebabkan olah dua macam yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan disebabkan karena adanya budaya kemiskinan dalam masyarakat. Disebabkan karena seseorang diam, apatis, malas, dan tidak mengembangkan skillnya, sedangkan kemiskinan struktural adalah seorang menjadi miskin karena lebih bersifat kelembagaan atau strukturnya memang bisa menghambat seseorang untuk meraih kesempatan-kesempatannya, sehingga

1Kementerian Sosial RI Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial


(16)

2

masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.2

Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Masa remaja adalah masa peralihan anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis, tetapi juga fisik.3 Bahkan perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Sementara itu, perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu.

Menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pasal 1 menyatakan “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan.

Pada tahun 1974, WHO memberikan defenisi tentang remaja yang lebih konseptual, dalam defenisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Maka secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

Remaja adalah suatu masa ketika:

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual;

2

Gunawan Sumodiningrat, Kemiskinan : Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta:IMPAC, 1999) h.16

3

Sarlito wirawan sarmono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 52.


(17)

3

2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan ekonomi sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.4

Seperti yang ada pada remaja putus sekolah di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta Timur. Keadaan ekonomi yang lemah membuat dan memaksa mereka bekerja demi membantu faktor ekonomi keluarga sehingga meninggalkan pendidikan sekolah.

Dalam hal ini, panti hadir tidak hanya bekerja sebagai wadah pemberdayaan fungsi sosial bagi remaja putus sekolah, melainkan panti pun bertindak sebagai pusat rehabilitasi sosial atas problematika yang ada pada remaja putus sekolah, agar pemberdayaan yang telah terbangun dapat berfungsi secara baik bagi para remaja putus sekolah yang ada di PSBR. Kemudian panti juga menentukan klasifikasinya untuk memilih remaja putus sekolah yaitu antara usia 15-18 tahun.

Banyak cara yang dilakukan panti guna mencapai pembinaan mental yang baik untuk WBS (Warga Binaan Sosial) yang ada. Tidak hanya pembinaan mental secara kerohaniaan saja, melainkan ada juga cara lain diluar itu. Salah satu diantaranya seperti yang ada pada Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus, Jakarta Timur.

4

Sarlito wirawan sarmono, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 52.


(18)

4

Terapi kelompok adalah salah satu metode pekerja sosial yang menggunakan kelompok sebagai media proses pertolongan profesional, dalam literatur pekerja sosial metode ini sering disebut sebagai group work atau group theraphy.5 Alasan memilih pendekatan terapi kelompok atau biasa disebut groupwork berbasis outbound adalah remaja putus sekolah tidak merasa bosan berada di dalam PSBR dan bisa merubah perilaku remaja putus sekolah, dan bisa merasa nyaman berada di PSBR.

Melalui pendekatan terapi kelompok (group work) peneliti berusaha melakukan proses dan tahap-tahap perubahan perilaku sesuai dengan makna sebagai berikut :

“Menurut Gisela konopka Social group work yaitu metode pekerja sosial dengan kelompok yang merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan secara sadar dan ditujukan guna mencapai pengembangan sebesar-besarnya kapasitas individu dengan cara menghubungkan dengan kelompok dan belajar memahami kapan ia harus memberikan sumbangan/partisipasi dan kapan harus menerima” .6

Orientasi metode intervensi pekerja sosial dimana sejumlah kecil orang-orang yang mempunyai minat atau masalah-masalah yang sama mengadakan pertemuan secara teratur dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Berbeda dengan psikoterapi kelompok, dimana tujuan pekerja sosial dengan kelompok (social group work) ini tidak selalu harus berkaitan dengan penyembuhan masalah-masalah emosional tapi juga meliputi pertukaran informasi, mengembangkan

5

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta 2009), h. 36.

6

Gisela Konopka, Social Group Work: a helping proces edisi ke 2, (Prentica-Hall, 1971), h. 1-25


(19)

5

keterampilan-keterampilan sosial, mengubah orientasi-orientasi sosial, mengubah perilaku anti sosial melalui saluran-saluran yang produktif.

Maka pendekatan social group work dari permasalah remaja putus sekolah yang merasa tidak nyaman dan merubah perilaku remaja sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan kelompok-kelompok (terapi kelompok berbasis outbound) sangat tepat dibandingakan dengan pendekatan social case work.

“Menurut Robert L Barker social case work yang ditujukan untuk membantu individu-individu dalam memecahkan permasalahan intrapsikis, antar pribadi, sosial ekonomi dan lingkungan melalui relasi-relasi yang bersifat lawan-muka”.7

Pada tahun 1933, Dr. Kurt Hahn melarikan diri ke inggris dan ia mendirikan pendidikan outbound. Hahn memakai nama outward Bound saat mendirikan sekolahan yang terletak di Aberdovey, Wales pada tahun 1941. Di Indonesia, walau bukan berarti bahwa metode ini diketahui baru masuk pada tahun 1990 dengan nama Outward Bound Indonesia. Outbound mulai dikenal sebagai pelatihan untuk pengembangan diri didalam tim. Outbound merupakan metode pelatihan untuk pengembangan diri (personal development) dan tim (team development) dalam proses mencari pengalaman di alam terbuka.8

Pengertian outbound secara lengkap adalah sebuah kegiatan yang dilakukan di alam terbuka (Outdoor) dengan melakukan beberapa simulasi

7

Robert l Barker, Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 2.(Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 28.

8

Diakses http://reporsitori.usu.ac.id.../Chapter%2011.pdf. Pada minggu, 22 Februari 2015.


(20)

6

permainan Outbound Games baik secara individu maupun kelompok.9 Tidak semua permainan bisa dilakukan dalam proses terapi kelompok berbasis outbound. Karena ini tujuanya untuk merubah perilaku remaja di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta.

Tesis yang ditulis oleh Herman mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Progam Studi Kesejahteraan Sosial (STISIP) Widuri menulis tesis S-2 tahun 2012 dengan judul “Penggunaan Pendekatan Social Group Work Dalam Penanganan Anak Jalanan Pemakai Narkoba” (Studi Kasus di Rumah Belajar Anak (RBA) Yayasan Ilmu (YPI) Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Pendekatan yang dilakukan peneliti adalah pendekatan kualitatif. Realita dilapangan pendekatan Social Group baik digunakan dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial melelui proses saling berbagi pengalaman dan diskusi antara anggota kelompok.

Terkait dengan menariknya penelitian diatas yang berfokus pada diskusi kelompok sebagai penanganan remaja yang mengalami keberfungsian sosial, maka penulis tertarik untuk meneliti terapi kelompok untuk penangan keberfunsian sosial remaja melalui penanganan permainan-permainan atau outbound.

Dari gambaran diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang : Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku

9

Diakses http://reporsitori.usu.ac.id.../Chapter%2011.pdf. Pada minggu, 22 Februari 2015.


(21)

7

Remaja Putus Sekolah di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta

Timur”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk mempermudah penulis agar lebih fokus dalam melakukan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu : Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perubahan Perilaku Remaja Putus Sekolah di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta Timur.

2. Rumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : a. Apakah ada pengaruh Terapi Kelompok berbasis Outbound

Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah

a. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah di PSBR Bambu Apus Jakarta Timur.


(22)

8

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pemberdayaan ilmu sosial terutama pada jurusan Kesejahteraan Sosial tentang pengembangan pendekatan Terapi Kelompok atau social group work dalam penanganan Remaja Putus Sekolah di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus terutama perilaku kurang baik menjadi lebih baik.

b. Manfaat Praktis

1) Sebagai bahan informasi awal untuk penelitian lebih lanjut.

2) Memberikan masukan kepada pimpinan/kepala PSBR “Bambu Apus” Jakarta untuk meningkatkan praktek pekerjaan sosial yang lebih efektif dan efesien terhadap penerima manfaat (Remaja Putus Sekolah).

3) Memberi variasi progam/pelayanan bagi Remaja Putus Sekolah untuk sadar melakukan perubahan perilaku. 4) Mempraktekan pendekatan terapi kelompok berbasis

outbound atau (social group work) dalam penanganan Remaja Putus Sekolah.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan tinjauan pustaka, penulis perlu mencantumkan beberapa skripsi atau karya ilmiah lainya, agar tidak terjadi spekulasi yang


(23)

9

menyatakan bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau “plagiat” dari skripsi atau karya ilmiah orang lain. Adapun beberapa skripsi tersebut antara lain :

1. berdasarkan penelitian yang ditulis oleh Herman mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Progam Studi Kesejahteraan Sosial (STISIP) Widuri menulis tesis S-2 tahun 2012 dengan judul “Penggunaan Pendekatan Social Group Work Dalam Penanganan Anak Jalanan Pemakai Narkoba” (Studi Kasus di Rumah Belajar Anak (RBA) Yayasan Ilmu (YPI) Klender, Duren Sawit, Jakarta Timur. Pendekatan yang dilakukan peneliti adalah pendekatan kualitatif. Realita dilapangan pendekatan Social Group baik digunakan dalam rangka meningkatkan keberfungsian sosial melelui proses saling berbagi pengalaman dan diskusi antara anggota kelompok. Kelemahan Tesis ini adalah hanya tertuju pada target korban yang sudah ditetapkan bukan diarahkan kepada perubahan perilaku anak jalanan yang mereka biasa dengan kebebasan, berperilaku melawan norma, pemakai norma sehingga dari pelayanan yang diberikan kurang mencapai target/keberhasilan.

2. Peneliti yang ditulis oleh Abdul Rahman, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Progam Studi Kesejahteraan Sosial (STISIP) Widuri menulis tesis S-2 tahun 2013 dengan judul “ Intervensi Terhadap Wanita Tuna Susila (WTS) dengan Menggunakan Metode Social Group Work di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW)”Mulya Jaya” Jakarta. Pendekatan yang


(24)

10

dilakukan peneliti adalah adalah pendekatan kualitatif. Kemudian tujuan dibentuknya kelompok social group work yaitu karena kebutuhan kelompok menghendaki perubahan sikap dan perilaku, perlindungan sosial, saling memberi dan menerima, perhatian dan dan ventalisasi dari kepenatan. Kelemahan dari Tesis ini adalah ini pendekatan menggunakan metode social group work terhadap Wanita Tuna Susila adalah karena yang di teliti oleh peneliti ini hanya lah wanita saja tidak ada laki-laki, jadi perubahan hasilnya akan berbeda bila dibandingkan melakukan peneliti yang ada laki-laki dan perempuan.

3. Peneliti yang ditulis oleh Nila Mahmudah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarat Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) menulis tesis S-1 tahun 2013 dengan judul Pengaruh Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial antar individu di Panti Sosial Bina Insan (PSBI) Ceger II-Cipayung. Pendekatan yang di lakukan kuantitatif , kelemahan skripsi ini hanya berfokus kepada interaksi sosial antar individu ke individu yang lain.

Berbeda dengan tiga penulis sebelumnya, penulis lebih menfokuskan pada pengaruh terapi kelompok berbasis outbound terhadap perubahan perilaku remaja putus sekolah karena perilaku menuntun kita untuk mengenal lingkungan disekitar kita serta peran Remaja Putus Sekolah di PSBR yang tinggi dalam berhubungan dengan lingkungan yang positif dan akan meningkatkan rasa memiliki, kerja sama, hubungan timbal balik yang


(25)

11

sinkron, kemudian peneliti menggunakan pendekatan social group work . maka melalui metode terapi kelompok berbasis outbond ini diharapkan Remaja Putus Sekolah di PSBR dapat merubah sikap dan perilaku dengan baik, dan penulis menggunakan metodologi kuantitatif.

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yaitu hipotesis alternatif (H

) yang menyatakan adanya hubungan antar variabel X dan Y. Dan Hipotessis nol (H

) yang menyatakan tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y.10 Hipotesis dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:

H

:

= 0 Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara terapi kelompok berbasis outbound terhadap perilaku remaja H

:

0 Terdapat pengaruh yang signifikan antara terapi kelompok

berbasis outbound terhadap perilaku remaja.

F.Pedoman Penulisan Skripsi

Untuk tujuan mempermudah, teknik penulisan yang dilakukan dalam skripsi ini merujuk pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, dan disertasi) yaitu berpedoman pada Ceqda UIN Jakarta tahun 2007.

10

Suharsimin Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Cet.Ke-14 (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), h. 110.


(26)

12

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab, yang terdiri sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori, mengemukakan teori-teori yang melandasi dan mendukung penelitian. Adapun teori yang digunakan adalah yang berkaitan mengenai pengertian Terapi Kelompok, Model Terapi Kelompok, Terbentuknya Kelompok, Proses Terapi Kelompok, Tujuan Terapi Kelompok, Prinsip-Prinsip Terapi Kelompok, Pengertian Outbound, Teori Kognitif Perilaku, Teori Biospikososial-Spiritual, pengertian remaja, pengertian putus sekolah.

BAB III Metodologi penelitian berisi pendekatan dan jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, desain penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, defenisi operasional, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, uji validitas, uji reabilitas, hasil uji validitas dan realibitas, uji normalitas, uji homogenita, uji korelasi , uji regresi, teknik analisis data,

BAB IV Gambaran Umum Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus Jakarta Timur, meliputi latar belakang berdirinya Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus, Jakarta Timur, visi misi, tujuan dan progam Panti Sosial Bina Remaja, serta sarana dan prasarana.


(27)

13

BAB V Temuan dan Analisa, yang terdiri dari data-data hasil penelitian lapangan yang meliputi klasifikasi responden, , karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, hasil uji validitas, hasil uji reabilitas, hasil uji normalitas, hasil uji homogenitas hasil, uji analisis regresi linier sederhana, hasil uji T-sederhana, dan hasil uji koefisien determinasi.


(28)

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Terapi Kelompok

1. Pengertian Terapi Kelompok

Terapi kelompok adalah salah satu metode pekerja sosial yang menggunakan kelompok sebagai media dalam proses pertolongan profesionalnya. Dalam literature pekerja sosial metode ini sering disebut sebagai group work atau group therapy. Praktik pekerja sosial dalam kelompok bukanlah fenomena baru. Di Amerika misalnya, metode ini telah diterpkan lebih dari setengah abad yang lalu. Pada saat ini para pekerja sosial menyakini bahwa intervensi pekerja sosial yang berbasis pada kelompok sangat efektif dan efesien dalam memecahkan masalah individu maupun masalah sosial.11

Budi Anna Keliat menjelaskan terapi kelompok satu dengan yang lain, saling bergantungan dan mempunyai norma yang punya. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif12, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi terapi kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan

11

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 36.

12

Kompetitif berhubungan dengan kompetisi (persaingan), yang bersifat kompetisi (persaingan), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BALAI PUSTAKA, 2007), h. 584.


(29)

15

menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.13

Terdapat beberapa alasan mengapa kelompok dipandang sebagai media yang penting dalam proses pertolongan pekerja sosial. Diantaranya adalah karena orang-orang yang terlibat dalam kelompok terlibat relasi, interaksi, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Mereka saling berbagi pengalaman, berbagi tujuan, dan berbagi cara mengatasi suatu masalah, yang tidak selalu mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri. Selain itu, metode ini lebih effesien diliat dari segi waktu, tenaga dan dana karena proses pemecahan masalah tidak dilakukan secara satu per satu, melainkan bersama-sama.14

Terdapat beberapa defenisi formal mengenai terapi kelompok, antara lain:

1. Terapi Kelompok adalah metode pekerja sosial dengan pengalaman-pengalaman kelompok digunakan oleh pekerja sosial sebagai medium praktik utama yang bertujuan untuk mempengaruhi keberfungsian sosial, pertumbuhan atau perubahan anggota-anggota kelompok.

2. Terapi Kelompok adalah suatu pelayanan kepada kelompok yang tujuan utamanya untuk membantu anggota-anggota kelompok memperbaiki penyesuaian sosial mereka (social adjustment), dan tujuan keduanya untuk membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat.

13

Budi Anna Keliat dan Akemat, Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004), h. 3.

14

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 37.


(30)

16

3. Terapi Kelompok adalah suatu metode khusus yang memberikan kesempatan-kesempatan kepada individu-individu dan kelompok-kelompok untuk tumbuh dalam setting-setting fungsional pekerja sosial, rekreasi dan pendidikan.

4. Terapi Kelompok memungkinkan berbagai jenis kelompok berfungsi sedemikian rupa, sehingga interaksi kelompok dan kegiatan-kegiatan progam memberikan kontribusi pada pertumbuhan individu-individu dalam pencapaian tujuan-tujuan sosial yang diinginkan.

5. Terapi Kelompok terutama mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara norma, membantu mencegah perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitatif, serta mendorong keterlibatan dan tanggungjawab penduduk dalam aksi sosial.15

Melalui pendekatan terapi kelompok (group work) peneliti berusaha melakukan proses dan tahap-tahap perubahan perilaku sesuai dengan makna sebagai berikut :

“Menurut Gisela konopka Social group work yaitu metode pekerja sosial dengan kelompok yang merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan secara sadar dan ditujukan guna mencapai pengembangan sebesar-besarnya kapasitas individu dengan cara menghubungkan dengan kelompok dan belajar memahami kapan ia harus memberikan sumbangan/partisipasi dan kapan harus menerima” .16

15

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 37.

16

Gisela Konopka, Social Group Work: a helping proces edisi ke 2, (Prentica-Hall, 1971), h. 1-25


(31)

17

Orientasi metode intervensi pekerja sosial dimana sejumlah kecil orang-orang yang mempunyai minat atau masalah-masalah yang sama mengadakan pertemuan secara teratur dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Berbeda dengan psikoterapi kelompok, dimana tujuan pekerja sosial dengan kelompok (social group work) ini tidak selalu harus berkaitan dengan penyembuhan masalah-masalah emosional tapi juga meliputi pertukaran informasi, mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial, mengubah orientasi-orientasi sosial, mengubah perilaku anti sosial melalui saluran-saluran yang produktif.

Maka pendekatan social group work dari permasalah remaja putus sekolah yang merasa tidak nyaman dan merubah perilaku remaja sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan kelompok-kelompok (terapi kelompok berbasis outbound) sangat tepat dibandingakan dengan pendekatan social case work.

“Menurut Robert L Barker social case work yang ditujukan untuk membantu individu-individu dalam memecahkan permasalahan intrapsikis, antar pribadi, sosial ekonomi dan lingkungan melalui relasi-relasi yang bersifat lawan-muka”.17

Dengan demikian pengertian terapi kelompok berbasis outbound dalam penenlitian ini adalah sebuah upaya terapi untuk menfasilitasi kemampuan bersosialisasi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan sejumlah penerima

17

Robert l Barker, Buku Pintar Pekerja Sosial Jilid 2.(Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 28.


(32)

18

manfaat dengan masalah perilaku remaja, dan membentuk dinamika kelompok.

2. Model Terapi Kelompok 1) Model Fokal Konflik

Menurut Whiteaker dan Liebermen‟s, terapi kelompok berfokus pada kelompok dari pada individu. Prinsipnya yaitu, terapi kelompok dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak disadari. Pengalaman kelompok secara berkesinambungan muncul kemudian konfrontir konflik untuk penyelesaian masalah, tugas terapis membantu anggota kelompok memahami konflik dan mencapai penyelesaian konflik.18

2) Model Komunikasi

Model komunikasi menggunakan prinsip-prinsip teori komunikasi dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa disfungsi atau komunikasi tak efektif dalam kelompok akan menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik tidak sekuat dari kohesi atau keterpaduan kelompok menurun. Dengan menggunakan model ini, leader menfasilitasi komunikasi efektif, masalah individu atau kelompok dapat di identifikasi dan diselesaikan.19Leader mengajarkan pada kelompok bahwa:

a. Anggota perlu berkomunikasi

b. Anggota harus bertanggung jawab pada semua level, misalnya komunikasi verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup

c. Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain

18

Sujono Riayadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa, (Jakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 203-204

19

Sujono Riayadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa, (Jakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 204.


(33)

19

d. Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam membantu satu dan yang lain untuk melakukan komunikasi efektif

model ini bertujuan membantu meningkatkan ketrampilan interpersonal dari anggota kelompok. Selain itu, teori komunikasi membantu anggota merealisasi bagaimana mereka berkomunikasi lebih efektif. Selanjutnya leader perlu menjelaskan secara singkat prinsip-prinsip komunikasi dan bagaimana menggunakan didalam kelompok serta menganalisa proses komunikasi tersebut.

3) Model Interpersonal

Sullivan mengemukakan bahwa tingkah laku (pikiran, perasaan, tindakan) digambarkan melalui hubungan interpersonal. Contohnya adalah interaksi dalam kelompok dipandang sebagai proses sebab-akibat dari tingkah laku anggota lain. Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok. Anggota kelompok ini belajar dari interaksi antar anggota dan terapis. Melalui ini kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan perilaku sosial yang efektif dipelajari.20

Perasaan cemas dan kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan merubah tingkah laku/perilaku. Misalnya tujuan salah satu aktivitas kelompok untuk meningkatkan hubungan interpersonal. Pada saat konflik interpersonal muncul, pemimpin menggunakan situasi tersebut untuk mendorong anggota merasa cemas dan menentukan perilaku apa yang digunakan untuk menghindari atau menurunkan cemas pada saat terjadi konflik.

20 Ibid


(34)

20

4) Model Psikodarma

Dengan model ini anggota kelompok termotivasi untuk berakting sesuai dengan peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang pernah lalu. Anggota memainkan peran sesuai dengan yang pernah dialami. Misalnya, penerima manfaat memerankan ayahnya yang dominan atau keras.21

3. Jenis-jenis Kelompok

Secara umum kelompok dapat diartikan sebagai kumpulan dari dua orang atau lebih yang membentuk kesempatan untuk mencapai tujuan tertentu. Hartford mendefinisikan kelompok sebagai kumpulan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang bersatu dikarenakan memiliki tujuan atau perhatian yang sama yang kemudian bersepakat untuk merumuskan norma sebagai basis bagi mereka dalam beraktivitas, mencapai tujuan bersama, dan dalam membentuk perasaan kebersamaan.22

Dalam kaitanya dengan terapi kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang sering digunakan sebagai media pertolongan pekerja sosial. Yaitu:

1. Kelompok percakapan sosial (Social Conversation Group)

Kelompok ini merupakan tipe yang paling terbuka dan informal tidak memiliki rencana kegiatan yang dirumuskan secara jelas dan formal, jika topik-topik kegiatan dirasa membosankan maka setiap anggota berhak mengusulkan untuk menggantinya dengan yang lebih menarik.

2. Kelompok Rekreasi (Recreation Group)

21

Sujono Riayadi dan Teguh Purwanto, Asuhan Keperawatan Jiwa, (Jakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 204

22

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 38.


(35)

21

Tujuan kelompok ini adalah untuk menyelenggarakan kegiatan rekreatif atau latihan olah raga. Seringkali kegiatanya bersifat spontan dan umumnya kelompok ini tidak memiliki pemimpin formal.dasar pemikiran dibentuknya kelompok ini adalah suatu keyakinan bahwasanya kegiatan rekreasi dan interaksi yang terjadi dalam kelompok ini dapat membantu membangun karakter yang dapat mencegah perilaku-perilaku maladaptif.

3. Kelompok Keterampilan Rekreasi (recreation Skiil Group)

Selain tujuan kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan rekreatif, juga untuk meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Berbeda dengan kelompok rekreasi, kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas.

4. Kelompok Pendidikan (Education Group)

Fokus kelompok ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Pimpinan kelompok ini biasanya berasal dari seorang profesional yang menguasai keahlian tertentu.

5. Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan (Problem- solving and Decision-Making Group)

Kelompok ini melibatkan klien/penerima pelayanan dan para petugas pemberi layanan di suatu lembaga kesejahteraan sosialbagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini adalah untyuk menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru.


(36)

22

kelompok mandiri kini semakin populer dikalangan pekerja sosial karena seringkali berhasil menjadi sarana pertolongan individu-individu yang mengalami masalah.

Kelompok mandiri menekankan pada: (1) pengakuan para anggotanya terhadap kelompok bahwa mereka memiliki masalah, (2) pernyataan para anggotanya kepada kelompok mengenai pengalaman-pengalaman masalahnya di masa lalu dan rencana-rencana pemecahan masalah di masa depan, (3) apabila salah seorang anggota kelompok berada krisis, anggota kelompok tersebut disarankan untuk menghubungi anggotra lain yang kemudian mendampinginya sampai krisis tersebut berkurang.23

7. Kelompok Sosialisasi (socialization Group)

Tujuan dibentuknya kelompok ini adalah untuk mengembangkan atau merubah sikap-sikap dan perilaku para anggota kelompok agar lebih dapat diterima secara sosial. Kelompok sosialisasi biasanya menfokuskan pada pengembangkan keterampulan sosial, peningkatkan kepercayaan diri, dan perencanaan masa depan.

8. Kelompok Penyembuhan (Therapeutik Group)

Kelompok terapi umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok ini dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai tingklah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok, penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku.

9. Kelompok Sensitivitas (Sensitivity Group)

23

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 40-41.


(37)

23

Kelompok ini dikenal pula dengan nama kelompok pertemuan (Iencounter Group) atau kelompok pelatihan (Training Group). Dalam kelompok ini setiap anggota berinteraksi satu sama lain secara mendalam dan saling mengungkapkanya masalahnya sendiri secara terbuka. Tujuanya adalah untuk meningkatkan kesadaran interpersonal.

4. Terbentuknya Kelompok

Garland, Jones dan kolodny mengembangkan suatu model terbentuknya suatu kelompok. Menurutnya ada 5 tahap diantaranya :

1. Tahap pra affiliasi (preafiliation)

Pada tahap awal ini para anggota bersikap ambivalent (mendua) terhadap kelompok sehingga mereka masih menjaga jarak dalam melakukan interaksi dengan anggota lainya.

2. Tahap kekuasaan dan kontrol (power and control)

Para anggota menunjukan kekuasaan dan kontrolnya terhadap anggota lain untuk berjuang memperoleh tempat dalam kelompok. Perjuangan ini muncul manakala mereka harus melaksanakan peranan dan tanggung jawab, menetapkan norma-norma dan metode-metode pelaksanaan tugas-tugas kelompok, serta menetapkan pola-pola komunikasi dan alisansi.

3. Keintiman (intimacy)

Kelompok mulai terlihat seperti keluarga, pemimpin terlihat seperti orang tua, dan para anggota tampak laksana saudara kandung. Perasaan kelompok kini mulai terbuka diekspresikan dan


(38)

24

didiskusikan. Kelompok dipandang sebagai suatu tempat untuk pengembangan dan perubahan pribadi.

4. Perbedaan (differentiation)

Kelompok mampu mengorganisasi diri secara efesien. Kepemimpinan mulai dibagi secara merata, dan masalah „perebutan‟ kekuasaan sudah sangat minimal.

5. Pemisahan (separation)

Tahap ini merupakan tahap pengakhiran (terminasi) kelompok. Tujuan kelompok telah tercapai dan para anggotanya telah mampu belajar pola-pola tingkah laku yang baru dan konstruktif. Namun demikian, tidak jarang menimbulkan kesulitan. Para anggota seringkali enggan untk berpisah dengan kelompok dan menunjukan perilaku regresif (mundur) sebagai upaya untuk mempertahankan kehadiran dalam kelompok. Para pemimpin harus mampu memberikan dukungan emosional dan membantu para anggota memahami bahwa mereka kini memiliki kekuatan dan kemampuan untuk memasuki pengalaman sosial baru.24

5. Proses Terapi Kelompok

Proses perencanaan dan pengimplementasian metode terapi kelompok tidaklah terlalu berbeda dengan tahap-tahap praktik pekerjaan sosial pada umumnya. Menurut zastrow mendiskusikan tahap-tahap dalam melakukan terapi kelompok.

1. Tahap Intake

24

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 45-46.


(39)

25

Tahap ini ditandai adanya pengakuan mengenai masalah spesifik yang mungkin tepat dipecahkan melalui pendekatan kelompok. Tahap ini disebut juga sebagai tahap kontrak antara pekerja sosial dengan klien, karena pada tahap ini dirumuskan persetujuan dan komitmen antara mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan perubahan tingkah laku melalui kelompok.

2. Tahap Asessmen dan perencanaan intervensi

Pemimpi kelompok bersama dengan anggota kelompok mengidentifikasi permasalahn, tujuan0tujuan kelompok serta merancang rencana tindakan pemecahan masalah.

3. Tahap penyeleksian anggota

Penyeleksi anggota harus dilakukan terhadap orang-orang yang paling mungkin mendapatkan manfaat dari struktur kelompok dan keterlibatnya dalam kelompok.

4. Tahap pengembangan kelompok

Norma-norma, harapan-harapan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan kelompok akan muncul pada tahap ini, dan akan mempengaruhi serta dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas serta relasi-relasi yang berkembang dalam kelompok.

5. Tahap evaluasi dan terminasi

Evaluasi pada hakikatnya merupakan proses yang dinamis dan berkelanjutan, karena evaluasi tidak selalu dilakukan pada tahap akhir suatu kegiatan. Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring tersebut, dilakukan terminasi atau pengakhiran kelompok.


(40)

26

Terminasi dilakukan dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut:

a. Tujuan individu maupun kelompok telah tercapai. b. Waktu yang ditetapkan telah berakhir

c. Kelompok gagal mencapai tujuan-tujuannya.

d. Keberlanjutan kelompok dapat membahayakan satu atau lebih anggota kelompok.25

6. Tujuan Terapi Kelompok

Menurut Hartford dan Alissi metode terapi kelompok digunakan untuk memelihara atau memperbaiki keberfungsian personal dan sosial para anggota kelompok dalam beragam tujuan, yakni (1) tujuan korektif, (2) tujuan preventif, (3) tujuan pertumbuhan sosial norma, (4) tujuan peningkatan personal, (5) tujuan peningkatan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat.26

Menurut Gerald Corey, tujuan terapi kelompok adalah: (1) individualisasi, (2) mengembangkan rasa memiliki, (3) mengembangkan kemampuan dasar untuk berpartisipasi, (4) meningkatkan kemampuan untuk memberikan kontribusi pada keputusan-keputusan melalui pemikiran rasional dan penjelasan kelompok, (5) meningkatkan repek terhadap keberbedaan orang lain, dan (6) mengembangkan iklim sosial yang hangat dan penuh penerimaan.27

25

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 47-48.

26

Ibid, h. 38 27

Tim STKS Bandung dan Biro Humas-Departemen Sosial RI, Teknik Kelompok, (Jakarta: Pustaka Societa, 2008). H. 58-61.


(41)

27

Menurut Gisela Konofka, tujuan terapi kelompok membagi menjadi 4 bagain yaitu:28

1. Bekerjasama

Ketika sebuah kelompok sudah dibentuk maka diperlukan anggota kelompok adalah bekerjasama dan untuk mengajarkan anggota-anggota kelompok untuk mengenal bahwa anggota-anggota perlu bekerjasama dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kelompok tersebut.

2. Bertukar Perasaan

Bertukar perasaan dalam kelompok sangat diperlukan agar kelompok tersebut lebih mengenal karakter didalam anggota kelompok.

3. Memperkenalkan diri dengan orang lain

Pemimpin kelompok bisa meminta anggotanya untuk memperkenalkan diri dengan berbagai cara. Misalnya, mereka bisa memperkenalkan diri sebagai orang yang mereka inginkan nantinya setelah mengikuti sesi akhir. Sehingga orang lain merasakan apa yang mereka harapkan dari sebuah kelompok dan memberi mereka untuk membuka diri.

4. Kemampuan berhubungan dengan orang lain

Anggota dibantu untuk melakukan sosialisasi (berhubungan) dengan anggota yang lain. Dengan cara latihan berhubungan saling berbicara atau bercakap-cakap satu dengan yang lainnya.

28

Edi Suharto, Pekerja Sosial di Dunia Industri-memperkuat CSR, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 38.


(42)

28

7. Prinsip-prinsip Terapi Kelompok

Setiap jenis kelompok memiliki karakteristik sendiri yang khas sehingga proses pembentukan maupun pelaksanaan kegiatanya memiliki standar tertentu yang spesifik. Dibawah ini dikemukakan beberapa prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan terapi kelompok.29

1. Pertimbangan karateristik kelompok secara tepat dan proposional agar proses kegiatan kelompok berjalan dengan baik, pekerja sosial harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek dalam pembentukan kelompok, seperti komposisi kelompok, ukuran kelompok, dan durasi kelompok.

2. Usahakan agar setiap anggota kelompok mengenal satu sama lain. Gunakan icebreaker exercise atau permainan untuk meningkatkan keakraban.

3. Identifikasi tujuan personal dan tujuan kelompok. Setiap individu yang bergabung dengan kelompok tentunya memiliki tujuan pribadi yang seringkali berbeda dengan tujuan kelompok. Galilah tujuan-tujuan yang bersifat pribadi tersebut dan kemudian diikuti dengan penjelasan mengenai tujuan kelompok.

4. Tumbuhkan fungsi kepemimpinan diantara anggota kelompok. Meskipun untuk beberapa tipe kelompok tertentu diperlukan seorang pemimpin profesional, misalnya pekerja sosial.

5. Gunakan prosedur pembuatan keputusan yang paling sesuai dengan jenis dan masalah kelompok.

29


(43)

29

6. Tumbuhkan suasana kerjasama daripada kompetitif. Pada tahap awal pembentukan kelompok dimana masing-masing anggota masih memiliki „kecemasan‟ pribadi, para anggota biasanya menunjukan „kekuatan‟ dan „pertahanan dirinya masing-masing. Suasana kompetitif yang mengarah pada konflik ini perlu diganti dengan suasana kerjasama dan saling pengertian.

7. Tumbuhkan pemahaman bahwa keberbedaan dan konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah.

8. Usahakan agar anggota kelompok yang menunjukan sikap destruktif dan bermusuhan dapat dikurangi.

9. Ciptakan suasana komunikasi yang terbuka dan jujur. Seperti halnya pada konseling kelompok individu, permasalahan klien tidak akan dapat dipecahkan apabila mereka tidak mau mengakui dan mengungkapkan permasalahan pada konselor. Begitu pula dengan terapi kelompok, individu yang senang sentiasa menyembunyikan masalahnya tidak akan pernah dapat dibantu dicarikan jalan keluarnya, dengan pertolongan pekerja sosial yang ahli sekalipun. 10. Berikan perhatian yang saksama terhadap sesi pengakhiran. Setelah

bertemu dan berinteraksi secara intensif dalam waktu yang relatif lama, para anggota kelompok umumnya menunjukan keegganan untuk berpisah dengan kelompoknya meskipun target dan tujuan perubahan telah tercapai. Karenanya, pekerja sosial harus mengupayakan agar para anggota kelompok dapat mengerti dan


(44)

30

menerima secara rasional bahwa pertemuan kelompok harus diakhiri.

8. Outbound

1. Pengertian Outbound

Pada tahun 1933, Dr. Kurt Hahn melarikan diri ke inggris dan ia mendirikan pendidikan outbound. Hahn memakai nama outward Bound saat mendirikan sekolahan yang terletak di Aberdovey, Wales pada tahun 1941. Di Indonesia, walau bukan berarti bahwa metode ini diketahui baru masuk pada tahun 1990 dengan nama Outward Bound Indonesia. Outbound mulai dikenal sebagai pelatihan untuk pengembangan diri didalam tim. Outbound merupakan metode pelatihan untuk pengembangan diri (personal development) dan tim (team development) dalam proses mencari pengalaman di alam terbuka.30

Pengertian outbound secara lengkap adalah sebuah kegiatan yang dilakukan di alam terbuka (Outdoor) dengan melakukan beberapa simulasi permainan Outbound Games baik secara individu maupun kelompok.31Tidak semua permainan bisa dilakukan dalam proses terapi kelompok berbasis outbound. Karena ini tujuanya untuk merubah perilaku remaja di Panti Sosial Bina Remaja Bambu Apus Jakarta.

1. Terapi Kelompok berbasis Outbound dan Indikasi

Terapi kelompok berbasis outbound dilakukan yang guna melatih kemampuan merubah perilaku klien. Klien yang mempunyai indikasi terapi

30

Diakses http://reporsitori.usu.ac.id.../Chapter%2011.pdf. Pada minggu, 22 februari 2015 pukul 11.00 wib.

31I bid


(45)

31

kelompok berbasis outbound dengan perilaku menyimpang atau hubungan sosial berikut:

1. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal

2. Klien yang mengalami despresi dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan di PSBR.

3. Penyimpangan Perilaku klien yang kurang baik selama di PSBR. B. Teori Kognitif-perilaku

Teori Kognitif-perilaku ini memiliki keterkaitan dengan dua teori yang diperlakukan sama, yaitu model terapi perilaku yang berasal dari teori psikologi dan model terapi kognitif yang berasal dari teori psikologi mengenai persepsi dan proses informasi.32

1. Tentang Teori Kognisi-tingkah laku a) Terapi Kognitif

Konsep terapi kognisi adalah bahwa kognisi merupakan kunci untuk memahami dan gangguan psikologi. Oleh karena itu kognisi didefenisikan sebagai fungsi yang melibatkan tentang inferensi tentang pemahaman seseorang dan tentang terjadinya peristiwa di masa mendatang dan pengontrolanya.33

b) Terapi perilaku

Wolpe mendefenisikan terapi perilaku sebagai conditioning therapy yang melibatkan “penggunaan prinsip-prinsip belajar yang ditegakkan secara eksperimental dengan maksud mengubah perilaku

32

Siti Napsiayah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerja Sosial,

(Jakarta: Lemba penelitian UIN Syarif Hidayatulllah, 2011), h. 39. 33


(46)

32

maladaptif. Kebiasaan-kebiasaan yang tidsk adaptif dilemahkan dan dieleminasi; kebiasaan-kebiasaan adaptif diinisiasi dan dieleminasi.34

Terapi perilaku didasarkan atas berbagai teori belajar dan perilaku yang dipelajari, sementara terapi kognitif didasarkan atas keyakinan bahwa kebanyakan gangguan berasal dari pemrosesan informasi yang salah. Interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa yang tercermin dalam kandungan pemikiran-pemikiran otomatis individu merupakan komponen bias sistematik lain yang mencirikan gangguan-gangguan tertentu seperti:

1. Panik : gejala-gejala tubuh (gejala otomatis) diinterpretasikan sebagai lebih berbahaya daripada kalau tanda-tanda itu jarang atau jumlahnya lebih banyak atau sedikit.

2. Hipokondriasis (hypochondriasi): tambahan ke dalam interpretasi katastofi tentang tubuh menandakan suatu keyakinan bahwa suatu penyakit tertentu lebih mungkin daripada yang sebenarnya ada.

3. Despresi (despression): pandangan negatif terhadap diri sendiri, dunia, dan masa depan.

4. Kecemasan (ianxiety): rasa bahaya secara fisik atau psikologi 5. Keadaan paranoid (paranoid state): bersifat bias terhadap

orang lain.

34


(47)

33

6. Krisis (crisis): peristiwa penting yang menimbulkan keyakinan-keyakinan dasar tentang diri sendiri, yang menimbulkan persepsi tentang situasi sebagai krisis.35

2. Terapi kognitif-perilaku

Pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah mengidentifikasi kandungan pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri (self talk), atau kelengkapan (atributions), melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien.36

1.1Psikologi perilaku

Psikologi perilaku merupakan perspektif yang berpengaruh dan sangat berhasil. Psikologi perilaku menekankan pentingnya perilaku belajar lewat pengkondisian klasikal (classical conditioning), pengkondisian operan (operant conditioning), dan belajar sosial (social learning) pendekatan ini sangat bertumpu pada konsep-konsep yang dapat diuji dan penelitian eksperimental yang diteliti. Psikologi perilaku diterapkan dalam banyak hal, terutama teknik-teknik yang sangat manjur untuk mengubah perilaku manusia.37

35

Siti Napsiayah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerja Sosial,

(Jakarta: Lemba penelitian UIN Syarif Hidayatulllah, 2011), h. 46-47. 36

Siti Napsiayah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerja Sosial,

(Jakarta: Lemba penelitian UIN Syarif Hidayatulllah, 2011), h. 47. 37

Matt Jarvis, teori-teori psikologi (pendekatan modern untuk memahami perilaku, perasaan dan pikiran manusia), (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2000), h. 22-40.


(48)

34

3. Teori Biopsikososial-spiritual.

Secara ringkas teori biospikososial-spiritual melalui: 38

1. Aspek Biologis dapat dilihat dari perkembangan pertumbuhan badan dan kesehatan anak.

2. Aspek spikologis, dapat dilihat dari perhatian, perasaan, semangat melalui motivasi sehingga adanya rasa aman, bahagia dan kepuasan. 3. Aspek sosial, adanya hubungan sosial anak dan teman, keluarga

maupun orang lain dalam lingkungan secara positif,

4. Aspek spiritual, lebih menekankan untuk memberikan kepuasan bathin dalam hubungan dengan kepercayaan yang diajarkan orang tua, keluarga dan lingkungan, maka faktor yang penting dipahami terhadap remaja putus sekolah adalah konsep dirinya, konsep kelompok dan pemaknaan terhadap keluarga (ibu/orangtua).

Teori ini merupakan perspektif yang paling banyak dipergunakan dan diterima dalam berbagai aktivitas profesional pelayanan kemanusian khususnya pekerja sosial.

C. Pengertian Perilaku Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atatu tumbuh menjadi dewasa, istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencangkup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa

38

Miftahul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 35.


(49)

35

dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 15-18 tahun. Jadi perilaku remaja adalah suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dimasa remaja baik positif maupun negatif.39 Menurut Boner, perilaku remaja ialah suatu hubungan atau tingkah laku yang dilakukan dua orang atau lebih sehingga kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain dan sebaliknya, baik dari segi positif maupun negatif.40

Boner membagi ke beberapa faktor yang mendasari perilaku remaja yang positif dan negatif yaitu: Faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan faktor simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.41

1. Faktor imitasi, mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi perilaku remaja. Salah satunya segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Salah satu faktor dari segi negatif yaitu, imitasi yang ditiru adalah tindakan menyimpang. Kecuali daripada itu, imitasi juga dapat melemahkan bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.

2. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang

39

Pusat penelitian permasalahan kesejahteraan sosial badan pelatihan dan pengembangan sosial Depeartemen Sosial RI, Perilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota, (Jakarta: BPPS Depsos RI, 2004), h. 3-5.

40

W.A Gerungan DIPL, Psikologi Sosial,(Bandung: PT Eresco Bandung, 1988), h. 58. 41


(50)

36

menerima dilanda emosi, dimana seseorang menghambat daya berfikir secara rasional.42

3. Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi bersifat lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena itu, kepribadian seseorang dapat terbuka atas dasar proses ini.43

4. Faktor Simpati, Faktor dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain dalam proses memegang keinginan peran yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Inilah perbedaan identifikasi yang didorong oleh keinginan untuk belajar dari pihak lain yang dianggap kedudukanya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh.

1. Penyebab dan Dampak Penyimpangan pada Perilaku Remaja Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyimpangan perilaku pada remaja yaitu sebagai berikut :

A. Faktor internal

1) krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua,

42

Soejono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2006), h. 63.

43

Soejono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2006), h. 63.


(51)

37

tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.

2) Kontrol diri yang lemah( imannya lemah):Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku „nakal‟. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

B. Faktor eksternal

1. Antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan remaja.

2. Teman sebaya yang kurang baik, teman yang selalu mengajak ke dalam hal-hal negatif.

3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.44

Menurut Jensen, banyak sekali faktor yang menyebabkan kenakalan remaja maupun kelainan perilaku pada umumnya. Beberapa teori menjelaskan penyabab kenakalan remaja yaitu:

44

Pusat penelitian permasalahan kesejahteraan sosial badan pelatihan dan pengembangan sosial Depeartemen Sosial RI, Perilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota, (Jakarta: BPPS Depsos RI, 2004), h. 122.


(52)

38

a). Rational Choice yaitu teori ini mengutamakan faktor individu daripada faktor lingkungan, kenakalan yang dilakukan adalah atas pilihan, interes, motivasi atau kemaunya sendiri.

b). Differential Association menurut teori ini, kenakalan remaja akibat salah pergaulan. Anak-anak bakal bergaulnya dengan anak-anak nakal juga.

c). Labelling ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal.

d). Male Phenomenon teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada perempuan. Alasanya karena kenakalan memang adalah sifat laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakkan bahwa wajar kalau laku-laki nakal.

e). Social Disorganization teori ini memandang dari sei budaya yang menyebabkan kenakalan remaja adalah berkurangnya atau menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat.

Jensen membagi kenakalan remaja menjadi emapat jenis yaitu: perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kenakalan yang menimbulkan korban materi cntohnya perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat. Kenakalan yang melawan status misalnya mengingkari status anak sebagai


(53)

39

pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara keluar dari rumah atau membantah perintah mereka. 45

2. Cara Mengatasi Penyimpangan Perilaku Remaja

Adapun beberapa cara untuk mengatasi penyimpangan perilaku pada remaja sebagai berikut :

1. Adanya niat dari diri sendiri untuk berubah jadi lebih baik

2. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.

3. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan hal di atas.

4. Pemberian pendidikan Agama sebagai pedoman hidup si anak nanti dan Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.

5. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.

6. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan

45

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja Edisi Revisib11, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2007). h. 208-210.


(54)

40

harapan.Hal ini bisa dilakukan dengan lebih giat belajar dan mengisi waktu dengan hal-hal yang positif.46

D. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolesence berasal dari kata lain adolescere, (kata bendanya adolescentia, yang berarti remaja), yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini adelescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.47

Menurut kamus besar bahasa indonesia remaja memiliki arti mulai dewasa.48 Masa remaja adalah suatu periode dari masa anak-anak menjadi dewasa ketika manusia menguji berbagai peran yang mereka mainkan dan mengintegrasikan peran-peran itu kedalam suatu persepsi diri, suatu identitas.49

Menurut world Health Organization (WHO), remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari

46

Pusat penelitian permasalahan kesejahteraan sosial badan pelatihan dan pengembangan sosial Depeartemen Sosial RI, Perilaku Remaja di Daerah Pinggiran Kota, (Jakarta: BPPS Depsos RI, 2004), h. 122.

47

Singgih Gunarsa dan Ny. Gunarsa, S,D, Psikologi Remaja. (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1995), h. 45.

48

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 739. 49

Tim Penyusun, intervensi Psikososial (Intervensi Pekerja Sosial Profesional), (Jakarta: Departemen Sosial direktorat


(55)

41

kanak-kanak menjadi dewasa. Terjadilah perahlihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.50

Menurut Papalia dan Olds, masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.51 Sedangkan Hurlock membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 -16 tahun atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16-17 tahun hingga 18 tahun), masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.52

Masa remaja, menurut Tanley Hall, seorang bapak pelopor psikologi perkembangan remaja dianggap sebagai masa topan badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi kalau tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik.53

Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak menjadi dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.

50

Sarlito Wirawan. S, Psikologi Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 9.

51

Papalia, D E.., Olds, S. W..& Feldman, Ruth D.., Human devolment (8th ed), (Bostom: Mc Graw-Hill, 2001), h. 122.

52

Elizabeth B. Hurlock, psikologi perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), Edisi ke-5, h. 207.

53

Agoes Dariyo, psikologi perkembangan remaja, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 13.


(56)

42

2. Ciri-ciri masa remaja.

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.54

a. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal sebagai storm and stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalanya waktu dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah. b. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan

seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

54Mr. Da O’ Do ell,

perlindungan Anak, sebuah Panduan Bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,(UNICEF, 2006), h. 128.


(57)

43

c. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, masa remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

d. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

e. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi, di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi disisi lain takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

3. Tugas-tugas perkembangan remaja a. Pengertian tugas perkembangan

Tugas-tugas perkembangan (devolment task) yakni tugas-tugas atau kewajiban yang harus dilalui oleh setiap individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu sendiri. Dari sejak


(58)

44

kandungan, bayi, anak-anak, remaja, dewasa akhir, setiap individu harus melakukan tugas itu.55

Keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya individu dalam menjalankan tugas perkembangan pada periode selanjutnya.

b. Jenis-jenis tugas perkembangan remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock adalah sebagai berikut:56

1). Berusaha mampu menerima keadaan fisiknya

2). Berusaha mampu menerima dan memahami keadaan seks usia dewasa.

3). Berusaha mencapai kemandirian emosional. 4). Berusaha mencapai kemandirian ekonomi.

5). Berusaha mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagi anggota masyarakat.

55

Agoes Dariyo, psikologi perkembangan remaja, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), h. 77.

56

Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h.10


(59)

45

6). Berusaha memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

7). Berusaha mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki dunia dewasa.

8). Berusaha mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

9). Berusaha memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

E. Putus Sekolah

1. Pengertian Putus Sekolah

Putus sekolah adalah proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak putus sekolah yang dimaksud di sini adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor.57

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia anak putus sekolah adalah anak yang meninggalkan sekolah sebelum tamat, berhenti sekolah, tidak melanjutkan sekolah.58

Dari paparan tentang pengertian putus sekolah maka penulis menyimpulkan bahwa putus sekolah diartikan sebagai seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP maupun SMA untuk belajar dan menerima

57Eddy Pur o o

Evaluasi Anak Putus Sekolah dan Penganguran Kota Blitar, 2006-”. H. -47.

58

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet ke-10, h. 568.


(60)

46

pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah.

2. Penyebab Remaja Putus Sekolah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak putus sekolah (droup out) antara lain adalah:59

a. Latar belakang pendidikan orang tua

Pendidikan orang tua yang rendah sangat berpengaruh terhadap cara pandang dan cara berfikir tentu tidak sejauh darf seluas orang tua yang berpendidikan tinggi. Orang tua yang hanya tamat sekolah dasar atau tidak tamat cenderung kepada hal-hal tradisional dan kurang menghargai arti pentingnya pendidikan. Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah merupakan suatu hal yang mempengaruhi anak sehingga menyebabkan anak menjadi putus sekolah dalam usia sekolah,

b. Lemahnya ekonomi keluarga

Hampir di setiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satu disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua yang memprihatinkan. Disadari bahwa kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginanya dalam melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi ekonomi seperti ini disebabkan berbagai faktor,

59Abdul Rasyid,

Hal-hal yang menjadi faktor penyebab putus sekolah (Jakarta:


(61)

47

diantaranya orang tua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainya.

c. Kurangnya minat anak untuk bersekolah

yang menyebabkan anak putus sekolah bukan hanya disebabkan oleh latar belakang pendidikan orang tua, juga lemahnya ekonomi keluarga tetapi juga datang dari dirinya sendiri yaitu kurangnya minat anak untuk bersekolah atau melanjutkan sekolah. Anak usia wajib belajar semestinya menggebu-gebu ingin menuntut ilmu pengetahuan namun karena sudah terpengaruh oleh lingkungan yang kurang baik terhadap perkembangan pendidikan ank, sehingga minat untuk bersekolah kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya, adapun yang menyebabkan anak kurang mendapat perhatian dari orang tua terutama tentang pendidikanya, juga karena kurangnya orang-orang terpelajar sehingga yang mempengaruhi anak kebanyakan adalah orang yang tidak sekolah sehingga minat anak untuk sekolah sangat kurang.

d. Kondisi lingkungan tempat tinggal anak

Lingkungan tempat tinggal anak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kegiatan dan proses belajar/pendidikan. Oleh sebab itu seharusnya lingkungan tempat tinggal anak atau lingkungan masyarakat ini dapat berperan dan ikut serta di dalam membina kepribadian anak-anak kearah yang


(62)

48

lebih positif. Untuk membina anak kearah yang lebih positif dan bermanfaat adalah dengan adanya saling berhubungan satu dengan yang lainya, sehingga anak timbul saling pengaruh dengan proses pendidikan akan berjalan dengan lancar dan baik. e. Keadaan masyarakat

Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebagian besar kehidupanya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif. Hal ini menunjukan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainya. Orang tua dan sekolah adalah lembaga yang khusus, mempunyai anggota tertentu, serta mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan.


(1)

Lampiran hasil homogenitas

ONEWAY y BY x

/STATISTICS HOMOGENEITY /MISSING ANALYSIS.

Oneway

[DataSet0]

Test of Homogeneity of Variances

perilaku remaja

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3,228 12 28 ,015

ANOVA

perilaku remaja

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1052,087 21 50,099 ,581 ,899

Within Groups 2415,433 28 86,265


(2)

Lampiran koefisien korelasi

CORRELATIONS /VARIABLES=x y

/PRINT=TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.

Correlations

[DataSet0]

Correlations

terapi perilaku

terapi

Pearson Correlation 1 ,172

Sig. (2-tailed) ,232

N 50 50

perilaku

Pearson Correlation ,172 1

Sig. (2-tailed) ,232


(3)

Lampiran hasil uji Regresi Sederhana

REGRESSION

/MISSING LISTWISE

/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT y /METHOD=ENTER x.

Regression

[DataSet0]

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 terapib . Enter

a. Dependent Variable: perilaku b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,172a ,030 ,009 8,373

a. Predictors: (Constant), terapi

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 102,593 1 102,593 1,463 ,232b

Residual 3364,927 48 70,103

Total 3467,520 49

a. Dependent Variable: perilaku b. Predictors: (Constant), terapi

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 46,645 8,347 5,588 ,000

terapi ,153 ,127 ,172 1,210 ,232


(4)

Lampiran Regresi

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 ,172a ,030 ,009 8,373 1,795

a. Predictors: (Constant), terapi kelompok b. Dependent Variable: perilaku remaja

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 102,593 1 102,593 1,463 ,232b

Residual 3364,927 48 70,103

Total 3467,520 49

a. Dependent Variable: perilaku remaja b. Predictors: (Constant), terapi kelompok

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 46,645 8,347 5,588 ,000

terapi kelompok ,153 ,127 ,172 1,210 ,232

a. Dependent Variable: perilaku remaja

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 53,69 59,66 56,64 1,447 50

Std. Predicted Value -2,040 2,087 ,000 1,000 50 Standard Error of Predicted

Value 1,185 2,763 1,593 ,523 50

Adjusted Predicted Value 53,53 60,67 56,62 1,471 50

Residual -24,903 17,628 ,000 8,287 50

Std. Residual -2,974 2,105 ,000 ,990 50


(5)

Deleted Residual -25,429 18,280 ,023 8,593 50 Stud. Deleted Residual -3,301 2,231 -,005 1,045 50

Mahal. Distance ,001 4,354 ,980 1,409 50

Cook's Distance ,000 ,212 ,019 ,037 50

Centered Leverage Value ,000 ,089 ,020 ,029 50

a. Dependent Variable: perilaku remaja


(6)

Papan

Nama

PSBR

Bambu

Apus

Jakarta

GedungPSBRBambuApusJakarta

ParaRemajasedangMengisiAngketPenelitianSkripsi