1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama universal, tidak hanya mengatur bidang ibadah secara khusus mahdhoh tetapi juga ibadah secara umum ghoiru mahdhoh.
Islam mewarnai perilaku manusia dalam berpikir, bertindak dengan batas- batas yang telah ditetapkan tidak lain untuk mencari ridla Allah SWT. Pada
hakekatnya manusia di muka bumi ini untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah dipraktekkan dan dimanifestasikan melalui pengabdian keseluruhan diri manusia beserta segala apa yang dimilikinya.
Ada ibadah melalui bentuk pengabdian badan, seperti shalat, puasa atau juga melalui bentuk pengabdian berupa pengorbanan apa yang kita milikiharta
benda, seperti zakat, shodaqoh, ilmu pengetahuan seperti mengajarmemberi ilmu, di samping ada juga secara bersama-sama badan dan harta, seperti puasa
dan haji. Satu bentuk ibadah melalui pengorbanan dengan harta yang kita miliki untuk kepentingan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keagamaan yang
telah diatur oleh syari’at Islam adalah wakaf.
1
Di Indonesia, Islam merupakan agama yang banyak penganutnya mayoritas, mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu
1
Usman Suparman, Hukum Perwakafan di Indonesia Jakarta: Dar al-Ulum Press, 1994, h.1.
2
membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, salah satunya adalah wakaf. Dalam Islam, wakaf termasuk kategori ibadah kemasyarakatan yang
hukumnya sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena amalan ini tidak dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah
meninggal dunia, maka amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh wakif walaupun ia telah meninggal.
Wakaf merupakan salah satu lembaga keagamaan yang dianjurkan oleh Allah SWT untuk dijadikan sarana penyaluran harta yang dikaruniakan-
Nya kepada manusia. Amalan wakaf amat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.
2
Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta
dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang atau dimiliki sendiri, tetapi harus dinikmati bersama.
Ini mengingatkan pada umat manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta.
Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada
masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda tanah tercakup di
2
Ibid., h.15.
3
dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa dalam benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut.
3
Di dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, ihya-ulmawat membuka tanah baru.
Diantara banyak title perolehan atau peralihan hak yang dikenal dalam Hukum Islam tersebut, maka ternyata wakaf mendapat tempat pengaturan
secara khusus di antara perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini berbentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu lembaga Hukum Islam yang mempunyai titik temu secara konkrit dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia.
4
Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era Indonesia modern adalah ketika Negara ikut
mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat Hukum Positif. Dalam proses
3
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia Jakarta: Depag RI, 2006, h.
89.
4
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teoti dan Praktek Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h.4.
4
perumusan kebijakan tersebut, visi dan arah kebijakan wakaf banyak ditentukan oleh bagaimana rezim berkuasa melihat potensi maupun organisasi
wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan umat Islam pada umumya.
5
Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham
Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Buku III Hukum Perwakafan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan
kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada
seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui
prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.
6
5
Andy Agung Prihatna, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006, h.81.
6
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia Jakarta: Depag RI, 2006, h.37.
5
Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang
mengakibatkan perwakafan
di Indonesia
tidak mengalami
perkembangan yang menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bahkan banyak kita jumpai aset wakaf yang mengalami permasalahan-
permasalahan akibat tidak adanya tertib administrasi, dan salah satunya mengenai perubahan status wakaf seperti dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kenyataan ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan
wakaf dan tujuan dari fungsi wakaf sendiri. Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Buku III Hukum Perwakafan, dan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, perwakafan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum, salah
satunya mengenai paradigma baru terhadap perubahan status wakaf yang sangat menarik penulis untuk menelaah ketentuan ini lebih lanjut, dan
mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi di masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab IV
Pasal 41 telah ada legalitas terhadap tukar menukar benda wakaf setelah
6
terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Agama Republik Indonesia dengan dua alasan, pertama karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan yang kedua
demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar-
menukar. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya pembaharuan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan masyarakat Indonesia
yang mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa benda-benda wakaf tidak boleh diutak-atik, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun.
7
Paradigama baru terhadap perubahan status harta benda wakaf memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya
sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Buku III Hukum Perwakafan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf khususnya yang
berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya. Pada kenyataannya, dalam operasional di lapangan masih ditemukan
masalah-masalah perwakafan yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi, salah satunya wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta
7
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia Jakarta: Depag RI, 2006, h.
99.
7
Pusat. Karena disebabkan untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat bagi kepentingan umum, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik lalu
lintas, keamanan, kemanfaatan, rencana tata ruang dan pengembangan wilayah di Kecamatan Tanah Abang yang setiap tahun semakin ramai dengan
aktivitas masyarakat, dengan begitu tiada pilihan kecuali menukar dan memindahkan wakaf tersebut ke tempat lain.
Upaya atau langkah-langkah para pihak yang terkait dalam menyelesaikan masalah perwakafan yang menyangkut perubahan status wakaf
tersebut perlu diperhatikan, sehingga dapat mempunyai penyelesaian masalah yang sesuai dengan ketentuan hukum, baik dari segi Hukum Islam maupun
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut
proses perubahan status wakaf yang berlangsung, dengan harapan dapat memberikan masukan solusi agar pada masa mendatang dapat dilakukan
perubahan status wakaf yang benar, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan tetap memberikan kemanfaatan bagi kepentingan umum dan
umat Islam secara khususnya. Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merasa
tergerak untuk mengadakan penelitian mengenai: “Hukum Perubahan Status Wakaf Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin
Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat”.
8
B .
Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai hasil yang baik sesuai
dengan tujuan yang dikehendaki, maka penulis akan membatasi pada masalah-masalah tertentu saja, yang ada kaitannya dengan judul skripsi
sehingga masalah-masalah yang diteliti tidak begitu luas. Penulis dalam menyusun skripsi ini membatasi pada hukum melakukan perubahan status
harta benda wakaf, khususnya mengenai tukar-menukar ruislagh tanah wakaf dalam ketentuan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia serta
prosedurnya. 2. Perumusan Masalah
Dalam teori, perwakafan yang telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yakni paham
Syafi’iyyah menyatakan bahwa tidak boleh melakukan perubahan status pada aset wakaf seperti menjual, merubah bentuk, memindahkan atau menukar
dengan benda lain, namun dalam prakteknya, ternyata saat ini ada praktik tersebut di masyarakat, bahkan dilegalkan oleh negara dalam bentuk
perundang-undangan. Dalam teori, prosedur untuk melakukan perubahan statustukar-
menukar harta benda wakaf mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
9
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 51 yang berbunyi sebagai berikut:
Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut:
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan
perubahan statustukar-menukar tersebut; b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor
Departemen Agama KabupatenKota; c. Kepala kantor Departemen Agama KabupatenKota setelah menerima
permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat 4, dan selanjutnya bupatiwalikota setempat
membuat Surat Keputusan; d. Kepala Kantor Departemen Agama KabupatenKota meneruskan
permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan
permohonan tersebut kepada Menteri; e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti
dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan danatau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
namun dalam prakteknya, terdapat pelaksanaan perubahan statustukar- menukar harta benda wakaf yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku tersebut, salah satunya yang penulis kemukakan ialah proses ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al-Istiqomah dan Musholla
Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty.
Perumusan masalah yang jelas diharapkan penelitian ini dapat lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, rumusan masalah
tersebut di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
10
1. Bagaimanakah ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya?
2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan dampaknya? 3. Bagaimanakah proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa
Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan apa reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian