Hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan persepektif hukum islam (studi kasus di kampung pisangan kelurahan ragunan kecamatan pasar minggu kotamadya Jakarta Selatan)

(1)

Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DIAN RANA AFRILIA NIM. 1111043100001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015M/ 1436 H


(2)

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya santumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2015 28 Dzulhijjah 1436


(3)

(4)

(5)

i

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan),

skripsi. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan, beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut hukum Islam.

Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kulitatif yaitu mendeskripsikan dengan menggunakan pendekatan “penelaahan”. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif dengan tujuan untuk menemukan kebenaran dari berbagai data yang didasarkan pada norma-norma atau aturan-aturan yang digariskan oleh hukum Islam dan juga pendapat-pendapat para Ulama yang berkaitan dengan masalah roti buaya.

Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan pernikahan adat Betawi menurut hukum Islam bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

Kata Kunci : „Urf, Pandangan Ulama

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo. M.A Daftar Pustaka : 1976-2015


(6)

ii

Alhamdulillahirabbil „alamiin, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA

DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW juga kepada keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.

Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut membantu, khususnya:


(7)

iii

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A., selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu, dan semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik yang telah membimbing semasa kuliah.

5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga dan pikirannya untuk medidik penulis agar kelak menjadi manusia yang berilmu dan berguna.

6. Kepada para tokoh-tokoh yang telah memberikan bantuan yang berharga berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang sudah memberikan waktunya untuk proses wawancara dalam penelitian ini. 7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.


(8)

iv

sehingga penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Untuk mas-masku, Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar penulis tidak berputus asa dan terus berjuang sampai berhasil.

9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje, Iwan, Hamdi, Rifa‟i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.

10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan curahan hati penulis selama mengerjakan skripsi ini.

Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.

Jakarta,03 September 2015


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Review Studi Terdahulu ... 12

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM ‘URF A. Definisi ‘Urf ... 21

B. Pembagian ‘Urf ... 27

C. Kedudukan ‘Urf dalam Penetapan Hukum ... 32

D. Syarat-syarat ‘Urf ... 37

E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf ... 45

F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia ... 49

BAB III : PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN MASYARAKAT A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan ... 53

B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ... 55

C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam Seserahan pernikahan ... 58


(10)

vi

A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang

Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

Pernikahan ... 60

B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan ... 68

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Hukum Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1

Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.”2

Syariat dapat dikatakan adalah hukum yang ditetapkan Allah. Ketika ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang membawanya maka syariat itu dipahami sebagai ketentuan Al-Qur‟an dan Sunnah.3

Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan maupun tekhnis pelaksanaannya. Itulah ajaran pokok agama Islam untuk kepentingan manusia. Segala penjelasan beliau terhadap hukum-hukum itu disebut

1

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.

2

Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.

3

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 27.


(12)

dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak tertutup kemungkinan kecerdasan beliau ikut berperan dalam membentuk aturan, tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4

Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat sunnah. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus kita tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya seseorang diberikan keleluasan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan seperti makan dan minum.5

4

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.

5


(13)

Secara teoritik hukum-hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan mudarat-mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui

ijtihad dan ra’yu.6

Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‟an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7 Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih. Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan (maqashid) dari Syari‟at Islam itu.8

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber

6

Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.

7

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.

8

Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 107.


(14)

hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur‟an.9

Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10 Kedudukan Sunnah sebagai bayani

atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur‟an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.11

Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu; pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrijal-ahkam) dari sumbernya, Al-Qur‟an dan/atau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.

Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (al-Qur‟an dan sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering

9

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.

11


(15)

digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.12

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13

Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil (al-dalil), terdiri dari firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit-unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan penetapannya melalui ijtihad.

Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan hukum yang baru disebut dengan ijtihad (al-ijtihad). Perkembangan dan perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah Hukum Islam.14

12

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.

13

Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.

14

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 31.


(16)

Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan mengalami perubahan jika ’urf yang menjadi dasar mengalami perubahan. Perubahan-perubahan atas hukum-hukum yang dibina atas „urf berubah menurut masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ’urf yang terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian, berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha berdasarkan ‘urf pada masa kini yang urf’nya sudah berubah merupakan suatu kesalahan dalam agama.15

Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat berkembang.

Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai), struktur-struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini

15

Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 49.


(17)

Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang dikaitkan dengan waktu.

Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realitas sosial.16Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:

دئاْ علاو اِّنلاو ا ْحاْلاو ن ْماْلا و نمْ اْلا ّْغت بْسحب ْتفْلا ِّْغت

Artinya: “fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”17

Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi oleh para ahli hukum Islam dari nash’syara, seperti contoh kaidah berikut:

ٌ حم ةد اعل ا

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi

hukum.”18

16

Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.

17

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.

18

Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.


(18)

Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah

امْ اا ّغتب ما ْح اا ّغت ْنتا

Artinya: “tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu

disebabkan oleh perubahan sosial (zaman).”19

Yang dimaksud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah (hukum-hukum berdasarkan hasil pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan masyrakat).20

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.

19

Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.

20

Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 208.


(19)

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain. Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks keindonesiaan.21

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat. Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul sebagai berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

21 Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari


(20)

Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)”.

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah

1. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam seserahannya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :

a. Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai sekarang?

b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?

c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat diakui bahwa :

1. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan


(21)

penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai sekarang.

b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat. c. Untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti

Buaya dalam seserahan pernikahan. 2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan penulisan di atas penelitian diharapkan juga dengan memberi manfaat antara lain:

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan. 2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

peneliti.

3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum fikih.

2) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang status hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.


(22)

3) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya bidang hukum fikih.

D. Review Studi Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan. Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:

NO. NAMA/ NIM JUDUL PEMBAHASAN

1. Muhasim/ 204044103048

Tradisi Kudangan Perkawinan Betawi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Kelurahan Benda Baru Kecamatan Pamulang)

Penulis membahas tentang tradisi perkawinan adat Betawi yang dimana ada tradisi kudangan yaitu permintaan pihak perempuan yang

bersumber dari orang tua dimana ketika masih kecil meminta sesuatu kepada orang tuanya tetapi tidak dapat memenuhinya maka permintaan tersebut dijadikan salah satu syarat


(23)

yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang akan menikahi perempuan tersebut.

2. M. Irfan Juliansah/ 104043101283

Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam

Penulis ini lebih memfokuskan

pembahasannya kepada masalah khitbah, walimah, dan biaya pernikahan dalam pandangan Imam mazhab dengan

menemukan deskripsi yang shahih dan valid mengenai konsep Islam dalam mengatur tentang proses dan tata cara pelaksanaan pernikahan yang sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta terhindar dari campur tangan dan budaya manusia.


(24)

3. Andy Pathoni Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)

Penulis ini

mengetengahkan sebuah tradisi dari perkawinan adat Betawi khususnya daerah kelurahan

Srengseng Sawah dalam hal melaksanakan sambutan khutbah membawa uang belanja dan khutbah menerima uang belanja.

Masih ada beberapa skripsi yang menjelaskan tentang pernikahan adat betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak ada hubungannya dengan skripsi penulis, dan tidak menjelaskan pandangan Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam.

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan


(25)

antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif bertujuan megembangkan konsep sensitivitas pada masalah yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi. Penelitian kualitaif merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan dalam mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk dilaksanakan demi kesejahteraan bersama.22

Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angaka-angka. Hasil penelitan tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan bukti presentasi.23

2. Metode Penelitian

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.

Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran

22

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.

23

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), cet. 2, h. 3.


(26)

mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif.24

3. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan, serta buku-buku, litaratur-liteartur, dan kitab-kitab lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Jenis Data a. Data Primer

Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat yang menggunakanroti buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.

b. Data Sekunder

Al-Qur‟an dan al-Hadits, serta buku-buku lainnya yang dapat mendukung terselesaikannya skripsi ini.

5. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui tekhnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan

24

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), cet. 1, h. 33.


(27)

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25 Dalam hal ini peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan data diantaranya yaitu:

a. Studi Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam.26 Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.

b. Studi Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.27 Dalam studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut sehingga dapat dituangkan ke dalam skripsi ini.

6. Metode Analisis Data

Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan menggunakan instrument analisis induktif yaitu berangkat dari pengetahuan atau

25

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h. 224.

26

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8, h. 67-68.

27

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007), h. 240.


(28)

fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (al-Qur‟an dan al -Hadits) dan juga para pendapat Ulama kemudian pendapat tersebut dikomperasikan dengan motifasi serta alasan masyarakat setempat, kemudian menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan komperatif yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan persamaan serta faktor yang melatar belakanginya.

7. Tekhnik Penulisan

Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulisan membaginya kepada lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian


(29)

seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ‘URF

Bab ini merupakan kajian teori tentang „urf, dengan menelusuri berbagai kepustakaan mengenai „urf. Kajian teori ini dimaksudkan untuk menjadi pisau bedah dan analisis terhadap data-data hasil penelitian. Kajian ini meliputi pengertian „urf dalam Islam, pembagian „urf dalam Islam, dalil-dalil mengenai „urf, syarat-syarat „urf dalam Islam, pandangan ulama mengenai „urf, serta contoh-contoh „urf yang bersifat kontemporer.

BAB III: PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI

YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM

SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN

MASYARAKAT

Bab ini merupakan pembahasan tentang sejarah munculnya adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, dengan menjelaskan beberapa argumentasi dan dasar pemikiran masyarakat yang mempraktekan adat tersebut di lingkungannya, serta mekanisme adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.

BAB IV: ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(30)

Bab ini merupakan bagian analisis yang penulis lakukan terhadap topik inti skripsi dengan menggunakan kajian bab II sebagai deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang menjadi setting di mana analisis ini dilakukan. Dari analisis tersebut kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini mencoba menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama mengenai adat Betawi dalam menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya yang terjadi di kalangan masyarakat dan status hukumnya.

BAB V: PENUTUP

Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil akhir atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam bentuk: kesimpulan dan saran-saran.


(31)

21 A. Pengertian al-‘urf

Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra’, dan fa’ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal), ta’rif (definsi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:

اخ ئ عم ع ق ا طا ف اع فل ا , ب عاش عف م عا اس سا لا د ا عاام

عامس ع غ دا ال ةغ لاام فلا ا

1

Artinya : Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah

(kebiasaan), yaitu:

م س ف لا ف ساام

لاب ةم لا عا طا

علا ة ج

2

Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.

Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

1

Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.

2

Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu, Al Wajiz fii idhohi qawaid al fiqh al Kulliyah, (Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M), h. 276.


(32)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). „Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan, misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.3

Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh

membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat didefinisikan dengan:

ة عةقا ع غ م ك ملا ماا

4

Artinya : Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan nasional.5

Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154, kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna al-„adah.”

3

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.

4

Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet. 3, h. 282.

5Ma‟ruf Amin,


(33)

Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata Islam dengan iman.6

Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.

Adapun menurut Ulama Ushul Fikih, „urf adalah:

عف ا ق ف ق مج ةداع

7

Artinya : Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

6

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.

7

Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al-Mazahib al-arba’ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), juz 1, h. 314.


(34)

Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat.8

Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan Asyab wa al-Nazhair.

Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.

Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan

8Ma‟ruf Amin


(35)

tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:

م

عاا

ا

لا

سا

م

م

ع

ما

ا

سا

ما

ع

ا

م

9

Artinya : Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan telah mantap dalam urusan-urusannya.

Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan demikian, kata „urf itu mengandung konotasi baik.10

Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya dengan ijma’. Namun antara keduanya mendapat beberapa perbedaan yang di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’harus diakui dan diterima smua pihak. Bila ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma’ tidak tercapai. (Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak diterima oleh beberapa orang saja, tidak mempengaruhi kesahihan suatu ijma’). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua orang.

9

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).

10


(36)

2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan atau penolakannya. Sedangkan „urf atau adat terbentuk bila yang melakukannya secara berulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya adalah seluruh lapisan manusia, baik mujatahid atau bukan.

3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’ (menurut pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sesekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang kemudian.11

Adapun tentang pemakaiannya, „urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf

dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada kenyataan bahwa, Imam Syafi‟i ketika di Irak mempunyai pendapat-pendapat yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir. Di kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaulQadim, sedang pendapat di Mesir adalah qaulJadid.

Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum antara lain:

11


(37)

1. Banyak hukum syariat, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam pembagian waris.

2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan, ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12

B. Pembagian al-‘urf

Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:

1. „Urf qauli

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki -laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu’annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan, (mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Dalam kebiasaan sehari-hari (‘urf) orang Arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam

12

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 6, h. 162.


(38)

memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut. Umpamanya dalam memahami kata walad pada surat an-Nisa‟ (4): 176:

فْ ن ا لف تْخأ هلو دلو هل سْيل كله ا ْما إ لاكْلا يف ْمكيتْفي ها لق كنوتْفتْسي

َ تام

امم اّلّلا ام لف ْيتنْثا اتناك إف دلو ا ل كي ْمل إ ث ي وهو

ًااجر ًوْخإ اوناك إو َ ت

ميلع ءْ ش لكب هاو اولضت أ ْمكل ها ي ي ْييّنأْا ّح لّْم كّللف ًء سنو

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal …

Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini (dengan pemahaman „urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara sedangkan anak perempuan tidak dapat.

Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al-Qur‟an, surat an-Nahl (16); 14:

ً يْلح هْنم اوج ّْتْستو اًي ط اًمْحل هْنم اولكْتل ْح ْلا ّس ّلا وهو

كْلفْلا تو ا نوس ْلت

و كْشت ْمكلعلو هلْضف م اوغتْتلو هيف خاوم

Artinya : Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat

memakan ikannya yang segar…

Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang


(39)

kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggat sumpah.

2. „Urf fi’li

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.13

Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu: 1. Al-‘Urf al-Amm

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.

2. Al-‘Urf al-Khash

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi

13


(40)

menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 10 meter.

Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.

Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Al-‘Urf ash-Shahihah(„Urf yang Absah)

Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang.

Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14

2. Al-‘Urf al-Fasidah(„Urf yang Rusak/ Salah)

Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.

14


(41)

Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,

kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).15

Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.

Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-‘urf al-fasid.16

15

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.

16Ma‟ruf Amin,


(42)

C. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum

Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf

yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi sebab terjadinya perbedaan fuqaha terdahulu, sebagaimana halnya perubahan „urf

menurut perjalanan waktu menjadi sebab pula terjadinya perbedaan pendapat ulama yang datang kemudian dengan pendapat ulama pendahulunya.

Dalam hubungan ini, mereka mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17

Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), menerima dan menjadikan „urfsebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada

nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan mereka adalah ‘urf ‘amali yang berlaku.

17

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,


(43)

Para Ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan

bahwa ketika Rasulullah saw. Hjrah ke Madinah, beliau melihat penduduk setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:

م

عم جا لا عم

عم ف ف ف م ف ف س ا

Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al-Bukhari)18

Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha bahwa ‘urf yang shahih dapat dijadikan dasar pertimbangan. Fuqaha dari mazhab yang berbeda memperhatikannya dalam istinbath, saat menerapkan hukum, dan ketika menafsiri teks-teks akad.

Dasar dipertimbangkannya „urf ini kembali kepada prinsip menjaga kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan. Melalui hukum-hukumnya, syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam,

bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.

18Ma‟ruf Amin,


(44)

Bagaimana pun juga,’urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya.19

Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat.20

Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:

1.

Firman Allah pada surah al-A‟raf (7): 199

يلهاجْلا ع ْ

ْعأو فْ عْلاب ْ مْأو وْفعْلا ّخ

Artinya :“Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

Kata al-‘urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.21

2.

Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 233

19

Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih

Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.

20

Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.

21


(45)

ا عْسو اإ سْفن فلكت ا فو ْعمْلاب توْسكو قْ ر هل دولْومْلا لعو

.…

Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…”

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.22

3.

Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 180

                        

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk

ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma’ruf.”

4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang sebidang tanah yang didapatinya:

Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya

berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum

pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu

kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun

menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga

22


(46)

tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang lain secara ma’ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Bukhori 2772 Muslim 1632)23

5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:

،ع م ب محأ بأ ث ح ، ح ب محأ ب ها ع ا ث ، ع لا فعج ب محأ ا خأ

ب كب بأ ا ث :ااق

: اق ها ع ع ، ع ، اع ا ث ، ا ع

د

ا ح م ملا أ ام

ٌ ح لا ع ف

)

Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.

6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah:

لا ف س ع لا

لا لإ ا فس بأ ةأ ما ءاج : لاق ة ئاع ع

ابأ إ :

ا فس

ا ل ا ف ؟ ل ع ع قف أف ، لام م ب أ أ ٌحا ج ع ف ،ٌح حش ٌ ج

ف ف ا فس بأ ام م خأ أ ع ج ح ال" : س ع لا

لا

ع

ل ع

"ف عملاب

24

Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang

cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.”

(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut „urf).

23

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.

24

Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-Risalah,1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.


(47)

Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap „urf dalam penetapan hukum.

7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar dari mafsadah.25

Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan „urf di antaranya adalah yang paling mendasar:

1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat. 3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi

syarat.

4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).26

D. Syarat-syarat ‘Urf

Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung

25

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.

26Ma‟ruf Amin,


(48)

(al-mudharabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan:27

1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup bersama-sama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.

2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:

ا

ما

ع

علا

دا

ةا

طاا

د

ف

ا

ل

دف

ا

Artinya : Sesungguhnya adat yang diperhatikan itu adalah yang berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak kan diperhitungkan.

Umpamanya kalau adat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada

27


(49)

kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang dimaksud dengan kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata uangnya.

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:

علا

ف

لا

ئ

ح

م

ع

اا

لف

ا

ا

ما

ملا

ا

لا

با

ق

د

ملا

ا

خ

Artinya : ‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)

hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.

Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut.

4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’


(50)

yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat. Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma’ walaupun dalam keadaan sukuti.28

‘Urf yang berlaku yang di tengah-tengah masyarakat adakalanya bertentangan dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:

1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.

Apabila pertentangan ’urf dengan nash khusus menyebabkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan dizaman Jahilliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak berlaku dan tidak dapat diterima.

28


(51)

2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat umum.

Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, apabila ‘urf telah ada ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf al-lafdhi

dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf al-lafdhi maka ‘urf bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas ‘urf al-lafdhi yang telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa

nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ’urf kecuali ada indikator yang menunjukan bahwa kata-kata yang itu dimaksudkan sesuai dengan arti etimologisnya.

Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu adalah‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan pendapat Ulama tentang kehujjahannya. Menurut Ulama Hanafiyyah, apabila ‘urf al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan. Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas ‘urf al-‘amali yang berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah riwayat Rasulullah, saw:


(52)

ع ب ع

لا ف خ ا ا ل س لام

Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)

Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna’ (akad yang berkaitan dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna’ ini telah menjadi ‘urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf yang berlaku. Akan tetapi Imam al-Qarafi berpendapat bahwa ‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan hukum umum yang dikandung nash tersebut.

1. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.

Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun yang bersifat’amali (praktik), sekalipun ’urf itu bersifat umum, tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’ telah menentukan hukum secara umum.

Apabila ada ‘urf yang datang setelah ada nash umum dan ‘urf itu bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan ‘urf itu men-naskh-kan (membatalkan) nash; sedangkan ‘urf tidak bisa men-naskh-kan nash. Dalam


(53)

masalah ini para ulama fikih mengatakan. “’urf yang datang kemudian dari nash tidak bisa dijadikan patokan.”

Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-‘amali sekalipun „urf itu baru tercipta maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian, apabila ‘urf yang menjadi ‘illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan seseorang kepada ayahnya.29

Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas,

istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)

29Ma‟ruf Amin,


(54)

bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktudan tempat.30

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaedah ini menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadz shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.

Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “’urf dan adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada ketentuannya.”31

Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut tidak ada. Bahkan dalam pertentangan ‘urf dengan metode ijtihad lainnya, para Ulama mazhab juga menerima ‘urf sekalipun kuantitas penerimaan tersebut berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep ‘urf secara jelas, tetapi Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah tidak demikian.

Ungkapan para Ulama bahwa:

ة كمالا ة م اا غ ب اكحااٌ غ

32

Artinya : Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman dan tempat.

Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan

30

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 157.

31

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih Islami, (t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 105.

32

Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.


(55)

ijtihad, sperti qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah. Adapun hukum-hukum yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath’i, tidak berubah karena perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya riba.33

E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf

Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang hidup. Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Kebudayaan mereka yang paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab.

Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk bangsa yang memiliki rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni bahasa Arab (ayair) merupakan suatu seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa tersebut.34

Pada masa Rasululah SAW, persoalan pada kapasitas masa itu direspon berdasar wahyu sebagai rujukan umat dan kondisi masyarakat relatif stabil. Pada masa Kibar sahabat, Shigar sahabat kemudian tabi‟in dan seterusnya persoalan yang muncul semakin bervariasi seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke generasi. Dan sungguhpun persoalan-persoalan tersebut bermunculan dengan

33Ma‟ruf Amin,

Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 223.

34

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997), cet. 9, h. 29.


(1)

Hasil Wawancara Nama: Bapak Dr. H. Fuad Thohari, MA

Jabatan: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (Tokoh Ulama)

Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga anak-anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak-anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?


(2)

diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan laki-laki yang ingin brtanggung jawab seperti wataknya buaya, jadi tidak keliru.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ? Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja,

karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.


(3)

Hasil Wawancara Nama: Bapak Bapak Abdul Jalil

Jabatan: penghulu (tokoh ulama)

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari nafkah, kemudian memiliki sikap yang tanggung jawab terhadap keluarga, serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya, kalau mencari makan cukup membuka mulutnya saja, mangsa akan datang. Filosofi selanjutnya yaitu buaya dikenal sebagai binatang yang setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang setia dan tidak berkhianat. Menampakan symbol bagi masyarakat Betawi, ada pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi, dengan membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan siakp yang optimis


(4)

dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah. Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak harmonisan, adanya pembicaraan di luar. Maka biasa terjadi kewajiban yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari produkpemikiran manusia yang bersifat dinamis. “sesuatu yang dapat menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya bisa jadi wajib”. Sama seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku. Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ? Jawab : dikompromikan atau dimusyawarahkan dengan keluarg dan bisa

dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis apabila memang hukum ini sudah mengakar di masyarakat.


(5)

Hasil Wawancara Nama: Bapak H. Muhammad Ishak

Jabatan: tokoh ulama Betawi

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian buaya itu ternasuk binatang yang setia, dengan maksud menunjukan lambang calon mempelai pengantin laki-laki supaya bisa setia dengan istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga, kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur agama begitu yang diharapkan oleh sang pengantin.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi ekonomi apabila membebani, maka tidak perlu di adakan.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?


(6)