Konsep profil guru pendidikan Agama Islam menurut al-Zarnuji dalam kitab ta'lfm al-muta'Allim dan relevansinya

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Disusun Oleh :

Ansori

106011000073

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat

Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh : Ansori 106011000073

Di Bawah Bimbingan

Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. NIP. 19580707.198713.1.005

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M


(3)

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASYAH

Skripsi berjudul “Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam

Menurut al-Zarnûjî dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasyah pada tanggal 17 Februari 2011 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 17 Februari 2011 Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan

Bahrissalim, M.Ag ... ... NIP:19680307 199803 1 002

Sekretaris(Sekretaris Jurusan/Prodi)

Drs. Sapiuddin Shiddiq, MA. ... ... NIP: 19670328 200003 1 001

Penguji I

Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA. ... ... NIP:19520520 198103 1 001

Penguji II

Drs. Sapiudin Shidiq, MA. ... ... NIP: 19670328 200003 1 001

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. NIP: 19571005 198703 1 003


(4)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

N a m a : Ansori

Tempat/Tgl.Lahir : Bangkalan, 11 Maret 1988

NIM : 106011000073

Jurusan / Prodi : PAI

Judul Skripsi : Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam Menurut al-Zarnuji

dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Relevansinya

Dosen Pembimbing : 1. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta,

Mahasiswa Ybs. Materai 6000 Ansori


(5)

i

Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam

Judul : Konsep Profil Guru Pendidikan Agama Islam Menurut al-Zarnûjî

dalam Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya”

Skripsi ini membahas tentang konsep profil guru pendidikan agama Islam. Pembahasan skripsi ini bertujuan untuk menyingkap profil atau gambaran guru pendidikan agama Islam dalam pandangan al-Zarnûjî yang terdapat dalam

karyanya Ta’lîm al-Muta’allim.

Salah satu unsur terpenting dalam proses pendidikan adalah guru. Eksistensi guru memiliki peran yang amat penting dalam pendidikan. Kemajuan teknologi informasi melalui internet sekalipun menyediakan pengetahuan yang berlimpah, tidak dapat mengantikan kedudukan guru. Internet yang berada di dunia maya sekadar memberikan asupan pengetahuan, tetapi tidak memberikan didikan seperti yang dilakukan guru.

Kata orang Jawa, seorang disebut guru karena orang tersebut memang layak digugu (didengarkan) nasehatnya dan ditiru (diteladani) akhlaknya. Dalam tataran ideal seorang guru memang tidak sekadar mempunyai kecakapan dalam mengajar sebuah ilmu melainkan juga memiliki kecakapan akhlak dalam mendidik siswa.

Al-Zarnûjî adalah tokoh pendidikan yang menuangkan pemikirannya

tentang pendidikan dalam karya monumentalnya, yaitu Ta’lîm al-Muta’allim. Di

dalamnya sarat akan nilai moral baik untuk murid ataupu guru.

Melalui studi pustaka (library research) skripsi ini mencoba mencari

persoalan tentang konsep guru pendidikan agama Islam yang telah digagaskan

oleh al-Zarnûjî. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif

analisis dengan memakai teknik content analisis yaitu teknik analisis dari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsep guru pendidikan agama

Islam adalah: pertama, al-a’lam atau lebih alim (profesional), kedua, al-awra’

atau lebih wara’ (yang dapat menjauhi diri dari perbuatan tercela) ketiga,

al-asanna atau lebih tua (lebih tua umur dan ilmunya), keempat, berwibawa, kelima,


(6)

ii

Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M. A, beserta seluruh staffnya.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Bahrissalim, M.Ag dan

seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA beserta seluruh staffnya.

3. Bapak Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. yang telah sabar dan meluangkan

waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah

memberikan ilmunya kepada penulis, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.

5. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan

Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

6. Kedua Orang Tua penulis (H. Abdussalam dan Hj. Sulaimah) yang telah

merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendo’akan

dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat).


(7)

iii

penulis. Dan tak lupa pula kepada Nurmainnah (Iin) yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah swt. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.

Jakarta, 12 Januari 2011


(8)

iv LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFATAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Guru Pendidikan Agama Islam ... 8

1. Pengertian Guru ... 8

2. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 9

3. Pengertian Guru Pendidikan Agma Islam ... 15

B. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam ... 15

C. Tugas Guru Pendidikan Agama Islam... 19

BAB III SEKILAS TINJAUAN KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM A. Latar Belakang Penyusunan Kitab ... 22

B. Kandungan Kitab Ta’lîm al-Muta’allim ... 23

C. Tinjauan Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim ... 28

BAB IV KONSEP PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT AL-ZARNÛJÎ DAN RELEVANSINYA A. Mengenal al-Zarnûjî ... 46


(9)

v

1. al-A’lam (lebih alim) ... 52

2. al-Awra’ (lebih wara’) ... 56

3. al-Asanna (lebih tua) ... 60

4. Berwibawa ... 62

5. al-Hilm (Santun) ... 65

6. Penyabar ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

DAFATAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah guru. Oleh karena itu guru mempunyai tanggung jawab mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan tersebut, guru harus memenuhi kebutuhan peserta

didik, baik spiritual, intelektual, moral maupun kebutuhan fisik peserta didik.1

Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru yang sarat nilai moral dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.

Guru agama Islam sebagai salah satu komponen proses belajar

mengajar memiliki multi peran, tidak terbatas hanya sebagai ―pengajar‖ yang

melakukan transfer of knowledge tetapi juga sebagai pembimbing untuk

membangkitkan motivasi anak sehingga ia mau belajar agama Islam. Artinya, guru agama Islam memiliki tugas dan tanggung jawab yang kompleks terhadap pencapaian tujuan pendidikan, dimana guru dituntut mempunyai sifat-sifat yang ideal sebagaimana yang dikataka oleh Muhammad Nurdin bahwa:

1

Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 41


(11)

Guru dituntut mempunyai sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, dan menguasai materi yang akan diajarkan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan yang berhasil tidak hanya berasal dari guru yang berkualitas secara intelektual, akan tetapi juga ditopang oleh kepribadian yang anggun

secara moral dan intelektual.2

Selain dituntut untuk memiliki keterampilan dalam mengajar guru agama juga harus memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Dia harus mampu menjadi teladan bagi peserta didiknya dan mampu memecahkan masalah anak didiknya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh

Zakiyah Darajat. Menurutnya ―…Guru agama lebih dituntut lagi untuk

mempunyai kepribadian guru. Guru adalah seorang yang seharusnya dicintai dan disegani oleh muridnya. Guru merupakan tokoh yang akan ditiru dan

diteladani dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik….‖3

Bagaimanakah sosok guru yang diharapkan yang bisa diterima oleh sitiap pihak, baik dari sudut pandang siswa, pemerintah orang tua maupun masyarakat? Menrut Mukti Ali, guru yang bisa diterima oleh setiap pihak adalah sebagai berikut:

Dari sudut pandang siswa, guru ideal adalah guru yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebagai sumber motivasi belajar yang menyenangkan. Pada umumnya siswa mengidamkan gurunya memiliki sifat-sifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, manguasai materi ajar, mampu mengajar dengan suasana menyenangkan. Dari sudut pandang orang tua murid, guru yang diharapkan adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidik bagi anak-anak yang dititipkan untuk dididik. Dari sudut pandang pemerintah, menginginkan agar guru itu mampu berperan secaar profesional sebagai unsur penunjang dalam kebijakan. Dari sudut pandang masyarakat luas, pada hakikatnya guru adalah wakil masyarakat di lembaga pendidikan, dan

wakil lembaga pendidikan di masyarakat.4

Guru mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan anak didik. Dia tidak hanya dituntut mampu melakukan transformasi seperangkat ilmu

2

Muhammad Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Yogyakarta: Primashopie, 2004), h. 201.

3

Zakiyah Darajat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) H. 98.

4

M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 82.


(12)

pengetahuan kepada peserta didik (cognitive domain) dan aspek keterampilan (pysicomotoric domain), akan tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk

mewujudkan hal-hal yang berhubungan dengan sikap (affective domain).

Karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai atau sikap saat ini jauh sebagaimana diharapkan. Banyak dari guru hanya

menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive) dan

meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain).

Guru terkadang dipuji dan disanjung karena keteladanannya dan terkadang dicaci karena kelalaiannya sebagai sosok teladan bagi muridnya.

Oleh karena itu guru di samping sebagai pengajar (transfer of knowledge)

juga sekaligus sebagai panutan (central figure) bagi peserta didiknya. Dengan

demikian, guru menurut Islam memiliki beban yang sangat berat, di samping beban profesional sebagai tenaga pengajar juga beban moral dalam membentuk kepribadian peserta didik. Karena itu, di samping menguasai ilmu yang diajarkan, guru juga harus membekali diri dengan akhlak yang terpuji.

Pribahasa mengatakan ―Guru kencing berdiri murid kencing berlari.‖

Pribahasa tersebut sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Pribahasa tersebut sangat penting untuk dihayati maknanya bagi para guru. Begitu pentingnya akhlak yang terpuji bagi guru karena guru adalah panutan bagi peserta didiknya. Segala ucapan dan tingkah lakunya direkam oleh peserta didiknya terlebih lagi bagi anak kecil yang kelakuannya cenderung meniru apa yang dilihatnya.

Di dalam hadis dijelaskan bahwa ulama –guru yang juga termasuk di

dalamnya—merupakan perwaris para nabi.5 Sedangkan nabi diutus untuk

menyempurnakan akhlak.6 Untuk itu, seorang pendidik harus menyadari betul

keagungan profesinya. Ia harus menghiasi dirinya dengan akhlak mulia dan menjauhi semua akhlak yang tidak terpuji

5

Abî Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‘il al-Bukhârî, Şahih Bukhâri, (Saudi Arabia: Bait al-Afkâr ad-Dauliyah, 2008), Kitab Ilmu bab al-‗Ilmu Qabla al-Qauli wa al-‗Amal, h. 21.

6

Mâlik Ibn Anas, Muwatta’, (Saudi Arabia: : Bait al-Afkâr ad-Dauliyah, 2004), Kitab Husnul Khuluq, hadis No. 1723 h. 389.


(13)

Banyak para filosof muslim memberikan perhatian yang sangat besar –

lewat berbagai tulisannya—terhadap eksistensi guru, termasuk di dalamnya

mengenai hak dan kewajibannya. Mereka banyak menulis tentang beberapa sifat yang harus dimiliki olehnya. Di antaranya adalah Burhanuddin al-Zarnûjî yang hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-12 M pada masa Bani Abbasiyah.

Al-Zarnûjî adalah sosok pemikir pendidikan Islam yang banyak menyoroti tentang etika dan dimensi spiritual dalam pendidikan Islam. Dalam karyanya al-Zarnûjî lebih mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses pendidikan. Beliau mengisyaratkan pendidikan yang penekanannya pada mengolah hati sebagai asas sentral bagi pendidikan.

Al-Zarnûjî dalam kitabnya ―Ta’lîm al-Muta’allim‖ walaupun pada

dasarnya ketentuan terhadap pribadi guru tidak dibahas secara eksplisit, akan tetapi untuk dapat memahami sosok seorang guru menurut beliau, dapat dipahami dari nasehat yang direkomendasikan bagi para penuntut ilmu dalam memilih guru.

Karakter guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî menurut hemat penulis perlu mendapat sorotan yang serius dan sungguh-sungguh. Hal itu, diharapkan bisa memberikan solusi alternatif bagi persoalan guru di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenal lebih jauh tentang karakter guru

versi al-Zarnûjî dan diri pribadinya, maka penulis memberi judul ―KONSEP

PROFIL GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MENURUT

AL-ZARNÛJÎ DALAM KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM DAN

RELEVANSINYA”

B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Kurangnya kesadaran guru pendidikan agama Islam yang hanya

memperhatikan kompetensi profesional dan mengenyampingkan


(14)

2. Kurangnya kesadaran guru pendidikan agama Islam akan pentingnya akhlak yang mulia.

3. Kurangnya perhatian terhadap konsep pendidikan yang telah dikonsep

oleh ulama terdahulu seperti al-Zarnûjî. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Al-Zarnûjî adalah salah satu tokoh pendidikan Islam yang hidup pada zaman pemerintahan Abbasiyah. Pemikirannya dituangkan dalam sebuah

karyanya yang diberi judul Ta’lîm al-Muta’allim yang memuat tentang adab

atau etika murid dalam mencari ilmu dan di dalamnya terdiri dari tiga belas pasal.

Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penelitian ini dibatasi hanya pada seputar konsep guru pendidikan agama Islam menurut al-Zarnûjî

yang terdapat dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim pada bab tiga, yaitu bab

tentang memilih ilmu, guru, dan teman. Yang di maksud dalam profil ini adalah gambaran tentang guru menurut al-Zarnûjî yang termasuk syarat-syarat dan sifat-sifat seorang guru.

Adapun perumusan masalah dalam pembahasan ini adalah

bagaimanakah konsep profil guru pendidikan agama Islam yang baik menurut

al-Zarnûjî dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan relevansinya dalam dunia

pendidikan dewasa ini?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk menyingkap konsep guru pendidikan agama Islam dalam

pandangan al-Zarnûjî yang terdapat dalam kitab Ta’lîm al-muta’allim.

2. Untuk mengetahui apakah konsep guru menurut al-Zarnûjî ini masih

relevan atau tidak.

3. Untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam pemikiran al-Zarnûjî.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang pendidikan.


(15)

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dari para pembaca.

3. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis berikutnya.

4. Memberikan sumbangsih karya ilmiah yang bermanfaat untuk dipersembahkan

kepada para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.

E. Metode penelitian

Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research)

yang bersifat deskriptif analisis dengan uraian metodologi sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Adapun jenis penelitian ini dilakukan dengan mengadakan penelitian

kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel

dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sifat-sifat guru pendidikan agama Islam.

2. Sumber data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer

Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa

karya dari al-Zarnûjî, yakni kitab Ta’lîm al-Muta’allim.

b. Data sekunder

Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai sebuah library research, studi ini difokuskan pada

penelusuran dan penelaahan literatur sarta bahan pustaka lainnya yang relevan dengan masalah yang dikaji, meliputi karya al-Zarnûjî yaitu Ta’lîm al-Muta’allim dengan cara menelusuri bab demi bab yang membahas tentang guru. Sedangkan bahan-bahan tulisan lain yang

berkaitan dengan Ta’lîm al-Muta’allim sebagai sumber sekunder serta


(16)

yaitu membantu bahan pelelitian, pembahasan, dan analisis yang komperhensif dalam penyususnan skripsi ini.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Sebelum data diolah, penulis terlebih dahulu memahami secara

cermat isi dari kitab Ta’lîm al-Muta’allim. Hal ini dikarenakan kitab

Ta’lîm al-Muta’allim masih berbahasa Arab, akan tetapi kitab tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga lebih mempermudah bagi penulis untuk memahaminya.

Setelah data terkumpul kemudian diolah dengan cara membuat ringkasan untuk menentukan batasan yang lebih khusus tentang objek kajian dari buku-buku, terutama yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas

Mengingat penelitian ini difokuskan kepada teks/data yang diperoleh

dari kitab Ta’lîm al-Muta’allim sebagai data primernya, maka penulis

menggunakan metode kontent analysis, yaitu suatu metode penelitian

dengan menganalisis isi buku.7 Untuk membantu keakuratan analisis,

penulis membandingkan pendapat al-Zarnûjî dengan pendapat-pendapat para pakar pendidikan lainnya yang sependapat dengan al-Zarnûjî. Bila ada yang bertentangan maka penulis mengkompromikannya dan apabila tidak bisa dikompromikan maka diambil yang lebih kuat dan kemudian diambil sebuah kesimpulan.

5. Teknik penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

merujuk pada Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Jakarta, tahun 2007.

7

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 8.


(17)

8 BAB II KAJIAN TEORI A. Guru Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Guru

Kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang

mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti

“guru, pengajar”1.

Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi seperti “al-alim (jamaknya ulama) atau al-mu’allim, yang artinya yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan dan ahli

ilmu.”2 Kata ini banyak digunakan para ahli pendidikan untuk menunjuk

pada arti guru.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa guru

berarti “Orang yang pekerjaannya (mata pencaharian, profesinya)

mengajar.”3 Dengan demikian guru secara fungsional menunjukkan

seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman serta keteladanan.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2005 Tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa: “Guru

1

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), Cet. XVIII, h. 581.

2

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 966.

3

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 377.


(18)

adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah.”4

Menurut Hadari Nawawi sebagaimana dikutip Abudin Nata, guru adalah “orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau kelas. Secara lebih khusus lagi, ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak dalam mencapai

kedewasaan masing-masing.”5

Dengan demikian guru bukan hanya seorang pengajar yang hanya memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya di dalam kelas, tapi seorang pendidik profesional yang harus memperhatikan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif pada anak didik agar tumbuh dan terbina menjadi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan berkepribadian. 2. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Sebelum dijelaskan pengertian pendidikan agama Islam, penulis akan menjelaskan pengertian pendidikan secara umum terlebih dahulu.

Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah

“proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang

dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan.”6

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan

ialah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

4

Peraturan Pemerintah R.I Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru, (Jakarta BP. Cipta Jaya, 2009), h. 2.

5

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 62. 6


(19)

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”7

Menurut Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, pendidikan

adalah “menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia.”8

Menurut M. Ngalim Purwanto, pendidikan adalah “segala usaha

orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan atau pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri

sendiri dan bagi masyarakat.”9

Sementara Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan adalah “pengembangan pribadi dalam semua aspeknya. Dengan penjelasan

bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup

pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan

oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.

Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang

agar ia berkembang secara maksimal.”10

Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.”11

Jadi dalam definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, pendidikan setidaknya terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Adanya pendidik atau pembimbing (orang yang lebih dewasa)

7

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (Jakarta: Depdiknas, 2006), hal. 5

8

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, “Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner”, (Jakarta, Bumi Aksara, 2003), Cet. I, hal. 7.

9

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, hal. 10.

10

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, hal. 26-27.

11

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. al-Ma‟arif Bandung1989), Cet. VIII, h. 19.


(20)

2. Adanya peserta didik

3. Adanya bimbingan atau pertolongan

4. Bimbingan itu mempunyai tujuan

5. Adanya alat-alat yang dipergunakan dalam usaha tersebut

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan ialah bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh orang dewasa atau pendidik kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar ia mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Sedangkan kata agama berasal dari bahasa Sanskerta. Menurut suatu pendapat ia terdiri dari kata-kata: a = tidak dan gama = kacau, kocar-kacir, atau tidak teratur. Selain itu ada pula yang mengartikan agama sebagai teks atau kitab suci dan juga tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang berisikan tuntunan hidup bagi

penganutnya.12

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa agama

berarti “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan manusia serta

lingkungannya.”13

Dalam bahasa Arab dipakai kata al-Dîn yang artinya “tunduk,

patuh.”14

Mahmud Saltut dalam bukunya Quraish Shihab, menyatakan

bahwa agama adalah “ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada

Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.”15

Dalam bukunya Quraish Shihab, menurut Muhammad Abdullah

Badran, dalam bukunya al-Madkhal ila al-Adyan, berupaya untuk

12

Supriadi, et. al.,Buku Ajar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Grafika Karya Utama, 2001),Ccet. II, h.33

13 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 12 14

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), Cet. VIII, h. 133.

15


(21)

menjelaskan arti agama dengan merujuk kepada al-Qur‟an ia memulai bahasannya dengan pendekatan kebahasaan.

Al-Dîn yang biasa diterjemahkan “agama”, menurut guru besar al

-Azhar itu, menggambarkan “hubungan antara dua pihak dimana yang

pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” 16 Jika demikian agama adalah ajaran yang mengatur tentang hubungan makhluk dengan khaliknya, hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya, yang mencakup tentang keimanan atau kepercayaan, ibadah dan muamalah.

Kata Islam merupakan bentuk dasar (mashdar, infinitive) dari kata

aslamayuslimu yang berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh atau taat, damai” kata-kata tersebut berakar dari kata salima yang berarti

“selamat, sentosa.”17

Sedangkan Islam, menurut pemakaian bahasa, berarti berserah diri kepada Allah swt. Hal ini dipertegas oleh firman Allah swt berikut ini:

                       

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah swt, padahal kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah swt-lah mereka dikembalikan.” (Q.S Ali Imran/3: 83).

Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah beserah diri, tunduk dan kepatuhan seorang hamba kepada Allah. Jadi manusia yang mengaku Islam haruslah tunduk dan patuh kepada sang Khalik (penciptanya) agar ia senantiasa selamat sentosa.

Sedangkan pengertian agama Islam secara terminologis adalah

agama Allah yang disampaikan kepada Rasul Muhammad saw untuk diteruskan kepada seluruh manusia, yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (akidah), ibadah, muamalah (interaksi sosial) dan

16 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran…,h. 209-210. 17


(22)

akhlak, yang menentukan proses berpikir, merasa, berbuat dan

terbentuknya kata hati.18

Menurut Ţahir bin Şalih al-Jazairî dalam kitabnya Jawâhir al-Kalamiyah bahwa Islam adalah:

َا ّيبَن ِهِبَءاَجاَم َعيِمَج َنأِب ِبلَقلاِب ُقيِدْصَتلاو ِناسِللاب ُراَرْ قِاا َوُه ُماْسِاا

ٌ ْدِصو ٌقَح ملسو هيلع ها ىلص دّمحم

Islam adalah mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati bahwa segala yang datang dari Nabi Muhammad saw. Itu benar

adanya.”19

Jadi agama Islam sebagai agama Allah swt adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah swt (sebagai sumber kehidupan), yang harus dilalui (ditempuh) oleh manusia, untuk kembali atau menuju kepada-Nya.

Oleh karena itu, bila manusia yang berpredikat muslim, benar-benar harus menjadi penganut agama yang baik, yang senantiasa mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah swt tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islam.

Setelah dijelaskan pengertian pendidikan, agama dan Islam maka penulis akan menjalaskan pengertian pendidikan agama Islam. Banyak para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan agama Islam, di antaranya adalah sebagai berikut.

Pendidikan agama Islam adalah “upaya sadar dan terencana dalam

menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan

18 Supriadi, et. al.,Buku Ajar Pendidikan Agama Islam…, h. 42.


(23)

kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan

bangsa.”20

Menurut Ahmad D. Marimba pendidikan agama Islam yaitu

“bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam

menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran

Islam.”21

Zakiah Darajat mendefinisikan pendidikan agama Islam adalah: Pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan itu ia dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di

dunia maupun di akhirat kelak.22

Tayar Yusuf mengartikan pendidikan agama Islam sebagai “usaha

sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi

manusia bertakwa kepada Allah swt.”23 Sedangkan menurut Ahmad

Tafsir pendidikan agama Islam adalah “bimbingan yang diberikan

seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai

dengan ajaran Islam.”24

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap peserta didik agar meraka dapat memahami ajaran Islam seluruhnya serta mengamalkannya.

20

Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. III, h. 130.

21. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam…, hal. 23. 22

. Zakiah Darajat, Ilmu Penididkan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. III, hal. 86-89. 23 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasi Kompetensi…, h. 130. 24 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasi Kompetensi…, h. 130.


(24)

3. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwwa Guru

Agama adalah “guru yang mengajarkan mata pelajaran agama.”25

Menurut H. M. Arifin guru agama Islam adalah: “orang yang

membimbing, mengarahkan dan membina anak didik menjadi manusia yang matang atau dewasa dalam sikap dan kepribadiaannya sehingga

tergambarlah dalam tingkah lakunya nilai-nilai agama Islam.”26

Dari pengertian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa guru pendidikan agama Islam adalah orang yang telah mengkhususkan dirinya untuk melakukan kegiatan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam terhadapa peserta didiknya sebagai pelaksana dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Kedua pengertian di atas menunjukkan bahwa Guru pendidikan agama Islam, yaitu guru yang mengajar materi pendidikan agama Islam sesuai dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di SD, SMP dan SMA. Sedangkan guru agama Islam menunjukkan dua kemungkinan, yaitu guru yang beragama Islam dan guru yang mengajarkan agama Islam dan belum tentu mengajarkan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) seperti di SD, SMP dan SMA.

B. Kompetensi dan Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam

Untuk menjadi pendidik yang professional tidaklah mudah, karena ia dituntut memiliki berbagai kompetensi-kompetensi keguruan. Kompetensi

(professional keguruan) yakni “kewenangan yang ada pada individu yang

memiliki profesi sebagai guru. Kompetensi dari bobot dasar dan

kecenderungan yang dimiliki”.27

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompeten berarti “cakap

(mengetahui); berkuasa (memutuskan, menentukan); berwenang. Sedangkan

25

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 377. 26

H.M. Arifin, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakrta: Bina Aksara, 1987), h. 100. 27

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 170.


(25)

kompetensi berarti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan

sesuatu).”28

Istilah kompetensi sebenarnya memiliki banyak makna yang

dikemukakan beberapa ahli sebagaimana yang termuat dalam buku M. Uzer usman sebagai berikut:

Menurut Broke and Stone sebagaimana dikutip Uzer Usman, kompetensi

merupakan “Descriptive of qualitative or teacher behavior appears to be

entirely meaningful (Gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang

tampak sangat berarti).”29

Sedangkan menurut Mc. Leod, kompetensi merupakan “The state of

legally competent or qualified (Keadaan berwenang atau memenuhi syarat

menuntut ketentuan hukum).”30

Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Atas dasar pengetian ini, ternyata pekerjaan profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus

dalam melaksanakan profesinya.31

Adapun kompetensi guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab.

Dengan gambaran pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.

Mengapa kompetensi dibutuhkan dalam prose pembelajaran? Menurut Alisuf Sabri ada dua alasan, yaitu:

a. Mengajar itu berkedudukan sebagai suatu profesi yang efektifitasnya

akan diukur dari kualitas pelayanan profesional yang diberikan oleh

28 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 584. 29

M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. XIII, h. 14.

30 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, h. 14. 31 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional…, h. 14.


(26)

guru dalam membantu membimbing pertumbuhan dan perkembangan murid-muridnya.

b. Sekolah itu sebenarnya merupakan salah satu tempat bagi anak untuk

belajar memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna bagi

perkembangannya.32

Dengan demikian, lembaga pendidikan yang tidak memperhatikan kompetensi gurunya akan berdampak negatif pada siswa-siswanya atau lembaga itu sendiri.

Di dalam Dunia Pendidikan, komponen-komponen kompetensi tertera di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19, Tahun 2005, Pasal 28, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), ayat 3, disebutkan bahwa seorang pendidik ataupun pengajar harus memiliki 4 (empat) kompetensi, yaitu:

a. Kompetensi Pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran

peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikiya.

b. Kompetensi Kepribadian, adalah kemampuan kepribadian yang

mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.

c. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan menguasai materi

pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

d. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari

masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan

peserta didik, dan masyarakat sekitar. 33

32

Alisuf Sabri, Buletin Mimbar Agama dan Budaya, (Jakarta 1994), h. 14-15.

33

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar nasional Pendidikan, (www.setjendiknas.or.id)


(27)

Selain kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agama Islam, profesionalisme juga tidak kalah pentingnya. Istilah profesionalisme berasal

dari profession dan mengandung arti yang sama dengan kata accupation yaitu

“pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan

atau latihan khusus. Dengan kata lain profesi dapat diartikan sebagai suatu bidang keahlian yang khusus untuk menangani lapangan kerja tertentu yang

membutuhkannya.”34

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata profesional adalah

“bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk

menjalankannya (lawan amatir).35

Dari pengertian di atas dpat diambil kesimpulan bahwa profesionalisme guru agama adalah guru yang memiliki suatu kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kependidikan keagamaan sehingga ia mampu untuk melakukan tugas, peran dan fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan yang maksimal.

Menurut M. Ali Hasan, Ciri khas seorang profesional adalah,” pertama:

menguasai secara baik suatu bidang tertentu, melebihi rata-rata orang

kebanyakan, kedua: mempunyai komitmen moral yang tinggi atas kerja yang

biasanya tercermin di kode etik profesinya.”36

Berdasarkan kompetensi profesional guru secara umum, maka seorang guru agama Islam yang professional diharapkan memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut:

1. Penguasaan materi agama Islam yang komprehensif serta wawasan

dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang yang menjadi tugasnya.

2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode dan teknik)

pendidikan agama Islam, termasuk kemampuan evaluasinya.

3. Penguasaan ilmu dan wawasan kependidikan.

4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian

pendidikan pada umumnya guna pengembangan kependidikan.

34

HM, Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), cet. Ke-3, h. 105.

35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 789.

36

M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 83.


(28)

5. Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya.

6. Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah

dilaksanakan.37

Dengan demikian guru agama Islam yang professional dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya, merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk menghadapi tuntutan zaman yang semakin kompleks seperti sekarang ini.

C. Tugas Guru Pendidikan Agama Islam

Guru akan melaksanakn tugasnya dengan baik atau bertindak sebagai pengaar yang efektif, jika ia mampu melaksanakan fungsinya sebagai guru. Kemudian, apa sajakah tugas guru tersebut? Menurut Zakiyah Darajat, fungsi atau tugas guru meliputi, “pertama, tugas pengajaran atau guru sebagai

pengajar, kedua, tugas bimbingan dan penyuluhan atau guru sebagai

pembimbing dan pemberi bimbingan, dan ketiga, tugas administrasi atau guru

sebagai “pemimpim” (manajer kelas).”38

Al-Qur‟an telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam

pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi

serta aplikasinya.39 Isyarat tersebut, salah satunya, terdapat dalam firman-Nya

berikut ini:                                               

“Tidak mungkin bagi seorang yang diberi kitab oleh Allah,serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia: ‘jadilah kamu

penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Jadilah

kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena

kamu mempelajarinya,’” (Q.S Ali Imran/3: 79).

37

Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, h. 172. 38

Zakiyah Darajat, Metodik khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Sinar grafika Ofset, 2008), Cet. IV, h.265.

39

Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 169.


(29)

Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban oleh Rasulullah saw adalah mengajarkan al-kitab, hikmah, dan penyucian diri sebagaimana difirmankan Allah ini:

                              

Ya Tuhan Kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kita dan hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S

Al-Baqarah/2: 129).

Keutamaan profesi guru sangatlah besar sehingga Allah menjadikannya

sebagai tugas yang diemban Rasulullah saw,40 sebagaimana diisyaratkan

lewat firman-Nya:                                            

Sungguh, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (al-Qur’an) dan Hikamh (Sunnah). Meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S Ali Imran/3: 164).

Dari gambaran ayat-ayat di atas, guru memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah:

1. Fungsi penyucian; artinya seorang guru berfungsi sebagai pembersih

diri, pemelihara diri, pengembang, serta pemelihara fitrah manusia.

2. Fungsi pengajaran; artinya seorang guru berfungsi sebagai penyampai

ilmu pengetahuan dan berbagai keyakinan kepada manusia agar mereka menerapkan seluruh pengetahuannya dalam kehidupan

sehari-hari.41

40 An-Nahlawi, Pendidikan Islam…, h. 169. 41


(30)

Dari kedua pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa tugas guru agama Islam adalah tidak hanya sebaga pengajar yang beridiri di depan kelas untuk mentransfer ilmu pengetahuan akan tetapi dia harus menjaga fitrah manusia sebagai insan kamil.


(31)

22 BAB III

SEKILAS TINJAUAN KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM

A. Latar Belakang Penyusunan Kitab

Sejarah penulisan kitab Ta’lîm al-Muta’allim bermula dari kegundahan

pengarangnya, yaitu Syaikh al-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada masanya yang gagal memperoleh apa yang mereka cari, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam pendahuluannya bahwa “Banyak para pencari ilmu yang ternyata banyak di antara mereka yang mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang diperolehnya.”1

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Menurut al-Zarnûjî karena mereka salah jalan dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat dan tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak

mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang mereka harapakan.2

Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar.

Maka dari itu dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim al-Zarnûjî lebih

memfokuskan pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah

1 Al-Zarnûjî, Ta’lîm al-Muta’allim, (Surabaya: Darul Ilmi), h. 2.

2


(32)

sepantasnya bagi para pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu agar apa yang mereka harapkan bisa tercapai, yaitu mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa mengamalkannya.

Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri al-Zarnûjî untuk

menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ta’lîm al-Muta’allim untuk

membantu para pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang harus mereka penuhi sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab tersebut dapat membantu mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjuk-petunjuk praktis, seperti bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktu-waktu yang ideal untuk belajar, bagaimana metode belajar yang baik dan sebaginya.

Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif belaka, melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama sebelumnya yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di dalamnya.

Oleh karena itu kitab Ta’lîm al-Muta’allim sebaiknya perlu kita kaji dan

pelajari kembali oleh para penuntut ilmu dan para guru karena isinya masih relevan untuk pendidikan masa kini.

B. Kandungan Kitab Ta’lîm al-Muta’allim

1. Isi kandungannya

Kitab Ta’lîm al-Muta’allim adalah kitab yang menjelaskan tentang adab

atau etika pelajar dalam menuntut ilmu. Kitab ini merupakan karya penelitian

atas ulama-ulama sebelumnya yang dianggap berhasil. Dalam kitab Ta‟lîm

diterangkan tiga belas bab3 agar berhasil dalam mencari ilmu. Adapun isi

kandungannya adalah sebagai berikut:

a. Bab tentang hakikat ilmu dan fiqih serta keutamaannya.

Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu.

3 Lihat al-Zarnûjî, Ta’lî


(33)

Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak bias ditawar dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi muslim dan muslimat. Perlu digaris bawahi bahwa dalam bab ini kewajiban yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama. Kemudian setelah meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan mendalam.

b. Bab tentang niat di waktu belajar.

Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab dengan niat itu dapat mengantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridaan Allah akan mendapatkan pahala. Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan niat mendapatkan harta banyak.

c. Bab tentang memilih ilmu, guru dan teman.

Dalam bab ini diterangkan bagaimana memilih ilmu, bagaimana cara memilih guru, dan teman karena hal tersebut bisa mempengaruhi kehidupan peserta didik.

d. Bab tentang menghormati ilmu dan ahlinya.

Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya juga harus dimuliakan.

e. Bab tentang tekun, kontinuitas dan minat (cita-cita).

Bab ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu tidak boleh banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh ilmu yang berkah harus menjauhi maksiat.

f. Bab tentang permulaan, ukuran dan tata tertib belajar.

Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang lebih utama adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar sesuai


(34)

dengan kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan.

g. Bab tentang tawakal.

Dalam bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama dalam mencari ilmu. Selama dalam mencari ilmu jangan sering disusahkan mengenai rezeki, hatinya jangan sampai direpotkan memikirkan masalah rezeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat.

h. Bab tentang masa belajar yang efektif.

Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu tidak terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat (kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan antara magrib dan Isya‟.

i. Bab tentang kasih sayang dan nasihat.

Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya.

j. Bab tentang mencari faedah.

Dalam bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu.

k. Bab tentang wara’ ketika belajar.

Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian dari wara’ adalah menjaga

diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar.


(35)

Dalam bab ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, dan prihatin memikirkan perkara dunia.

m. Bab tentang faktor yang mendatangkan dan penghalang rezeki serta

faktor penyebab panjang dan pendek umur.

Dalam bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rezekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan dosa”. Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, dan sebagainya. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua.

2. Penampilan Materi

Dari segi logika, penampilan materinya bisa dikatakan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan urutannya sebagai berikut: setelah basmalah, hamdalah dan shalawat secukupnya, kemudian menyebutkan judul kitab yang sesuai dengan isinya yang diabstraksikan sebelumnya. Sebelum itu pula dikemukakan alasan penyusunannya. Kemudian menampilkan keutamaan dan pengertian ilmu, hukum mempelajarinya sampai kepada bagaimana cara

mengagungkan ilmu. 4

Materi yang dibahas di dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim mencakup

semua hal yang dibutuhkan oleh para santri dalam menuntut ilmu yang

bermanfaat. Ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskan

tentang pentingnya menuntut ilmu dipaparkan oleh al-Zarnûjî dengan bahasa yang mudah dipahami dan gamblang. Ujaran-ujaran sahabat dan petuah-petuah para salaf saleh juga menghiasi lembaran-lembaran kitab ini sehingga

4 Al-Zarnûjî, Ta’lî


(36)

dapat dijadikan semacam catatan penting atau petunjuk bagi para santri agar meraih ilmu yang bermanfaat. Tidak jarang al-Zarnûjî juga menyampaikan saran-saran berharga bagi para pelajar serta menyarikan nasihat-nasihat bijak dari para salaf saleh tersebut.

3. Segi Kebenaran Isinya

Kitab Ta’lîm al-Muta’allim adalah kitab adab bukan kitab hukum, artinya

penekanannya bukan pada masalah salah dan benar atau shahih dan dha‟if.

Kitab ini menjelaskan adab atau etika yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh al-Zarnûjî, selain mendapatkan apresiasi yang tinggi juga tak dapat dimungkiri ada beberapa

kritik dan saran yang diajukan kepada kitab Ta’lîm al-Muta’allim, antara lain:

kitab tersebut kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang bagi perbedaan pendapat antara guru dan murid. Dalam kitab tersebut, murid sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh

mengkritiknya.5

Kemudian kita bisa melihat, misalnya komentar Dr. Fuad al-Ahnawi sebagai berikut:

Nilai buku kecil ini (Ta’lîm al-Muta’allim) menurut saya tidaklah

tinggi. Formatnya kecil menyerupai satu pasal tentang pendidikan dalam kitab-kitab fiqih. Penulisnya tidak ada membawa soal-soal yang baru. Dia hanya menulis hal-hal yang sudah umum diketahui, dan pendapatnya

diselingi dengan hikayat-hikayat, syair-syair dan matsal-matsal. Dia

memberi konsumsi kepada masyarakat awam mengenai masalah iktiqadiyah

dengan pemikiran-pemikiran imajinatif (waham-waham) yang tidak

mempunyai dasar ilmiyah. Mengenai hal-hal yang menghambat rezeki, penulis mengatakan suatu yang tidak patut bagi seorang ulama. Di antara

yang menghambat rezeki itu dia mengatakan “menyapu rumah di malam

hari, membakar kulit bawang, bersisir dengan sisir patah dan lain-lain.”6

Kemudian komentar dari KH. Kholil Bishri, menurutnya:

Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperti sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep

yang ada pada kandungan Ta’lîm al-Muta’allim, sebaiknya didukung untuk

5

Toto Edi, at.al., Ensiklopedi Kitab Kuning, (Jakarta: Aulia Press, 2007), h.190. 6 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Ma‟arif), h. 238.


(37)

disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah swt belum ada pedoman khususnya selain kitab Ta’lîm al-Muta'alim.7

Terlepas dari pro dan kontra di atas, kita tetap harus memberikan

apresiasi yang tinggi terhadap al-Zarnûjî lewat kitab Ta’lîm-nya karena tujuan

dari beliau menulis kitab tersebut semata-mata karena ingin mengungkapkan bagaimana cara yang sepantasnya bagi seorang pelajar dalam mencari ilmu. Akan tetapi hal ini perlu kita kaji kembali dan disesuaikan dengan kontekas pendidikan masa kini khususnya di Indonesia.

C. Tinjauan Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim

1. Pengertian ilmu dan pembagiannya

Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar dari kata ‘alima

-ya’lamu-‘ilman. Kata ini berarti: “mengerti, memahami benar-benar, mengetahui dan merasakan.”8

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu diartikan dengan “pengetahuan dan kepandaian.”9

Sementara itu menurut al-Zarnûjî sendiri ilmu adala:

ُرْوُكْذَمْلا ِهِب َىِه ْتَماَق ْنَمِل اَهِب ىَلَجَتَ ي ٌةَفِص

suatu sifat yang dengannya dapat menjadi jelas pengertian suat hal yang dimaksud.”10

Dalam ajaran Islam, ilmu itu pada hakikatnya bukanlah teori semata, namun harus diamalkan atau diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki ilmu pengetahuan manusia akan mencapai tingkat kesempurnaan. Dengan ilmu pengethuan Allah swt memberikan

7 KH. M. Kholil Bisri, “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” artikel diakses pada 15 November 2010 dari http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep-pendidikan.html

8

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), h. 965.

9

Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 113.

10

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, penerjemah Muhammadun Thaifuri, (Surabaya: Menara Suci, 2008), h. 13.


(38)

keunggulan kepada Nabi Adam as atas para malaikat. Oleh karenanya para malaikat diperintah oleh Allah agar bersujud kepada Nabi Adam. Dan dengan ilmu pula derajat seseorang akan diangkat oleh Allah swt sebagaimana firman-Nya:















 

“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah/58: 11)

Muhammad bin Hasan bin Abdillah mengatakan dalam syairnya:

ِهِلْهَِا ٌنْيَز َمْلِعْلا َنِاَف ْمَلَعت

#

ِدِماَحَمْلا ِلُكِل ٌناَوْ ُعَو ٌلْضَفَو

“Tuntutlah ilmu, karena sesungguhnya ilmu merupakan perhiasan bagi pemiliknya #

Keunggulan dan pertanda segala pujian.” 11

Perlu digarisbawahi bahwa dalam pembagian ilmu, al-Zarnûjî

membagi ilmu pengetahuan kepada empat kategori. Pertama, ilmu fardhu

`ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim secara

individual. Adapun kewajiban menuntut ilmu yang pertama kali adalah mempelajari ilmu tauhid, yaitu ilmu yang menerangkan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Baru kemudian mempelajari ilmu-ilmu lainnya, seperti fiqih, shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang kesemuannya

berkaitan dengan tatacara beribadah kepada Allah.12

Kedua, ilmu fardhu kifayah, ilmu yang kebutuhannya hanya dalam saatsaat tertentu saja misalnya ilmu tentang waris. Dengan demikian,

seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardhu

kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi, bilamana seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk kampung itu menanggung dosa. Dengan kata

lain, ilmu fardhu kifayah adalah ilmu di mana setiap umat Islam sebagai

11 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.7 12 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 4-5.


(39)

suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu

astronomi, dan lain sebagainya.13

Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tiada bermamfaat dan justru membawa marabahaya, karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi.14

Keempat, lmu jawaz, yaitu ilmu yang hukum mempelajarinya boleh karena bermamfaat bagi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, yang dengan mempelajarinya akan diketahui sebab dari segala sebab (sumber

penyakit). Hal ini diperbolehkan karena Rasullah saw juga

memperbolehkan.15

Jadi tidak semua ilmu itu baik untuk dipelajari, ada ilmu-ilmu yang memang harus kita pelajari dan ada pula ilmu-ilmu yang harus kita hindari. Terlebih lagi di zaman modern seperti saat ini di mana ilmu sudah memiliki banyak cabang. Oleh karena itu kita hars lebih selektif dalam memilih ilmu yang kita pelajari.

Menurut hemat penulis, al-Zarnûjî tidak membagi ilmu kepada ilmu agama atau non agama, karena segala sumber ilmu pengetahuan itu belasal dari Allah akan tetapi ilmu mana yang perlu dipelajari terlebih dahulu seperti ilmu tauhid, ilmu tentang shalat, puasa dan sebagainya dan ilmu-ilmu mana yang perlu dipelajari kemudian.

Pembagian ilmu menurut al-Zarnûjî ini sejalan dengan pendapat imam al-Ghazâlî di mana beliau membagi ilmu kepada empat kategori,

yaitu pertama, ilmu wajib ‘ain, yaitu ilmu-ilmu agama dengan segala

jenisnya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kedua, ilmu

wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, tenun administrasi dan sebagainya.

Ketiga, ilmu-ilmu tercela atau yang haram, seperti judi, sihir, mantera,

13 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 10. 14 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 11.

15


(40)

dan semacamnya. Keempat, ilmu yang jaiz (yang diperbolehkan) seperti,

puisi, sejarah, geografi, biologi dan sebagainya.16

Perhatian al-Zarnûjî terhadap ilmu fiqih sangat kental sekali. Hal ini bisa kita lihat dari sikapnya yang tidak sedikit menyebutkan dan

menjelaskan kata fiqih/tafaqquh secara khusus setelah kata ‘ilmu/ta’allum

di berbagai tempat dalam karyanya Ta’lîm al-Muta’allim. Ia juga banyak

mengutip pendapat fuqaha (ahli fiqih) tentang keutamaan ilmu fiqih.

Seperti yang dikatakan oleh imam Syafi‟i:

ِناَدْبَْاِل ِبِطلا ُمْلِعْلاَو ِناَيْدَْاِل ِهْقِفْلا ُمْلِع ِناَمْلِع ُمْلِعْلأ

“Ilmu itu ada dua macam, yaitu ilmu fiqihuntuk mengetahui hukum-hukum agama dan ilmu kedokteran (pengobatan) untuk memelihara kesehatan badan.” 17

Menurut imam Abu Hanifah ilmu fiqih adalah “ilmu untuk

mengetahui tentang hal-hal yang bermanfaat bagi jiwa (diri) seseorang.”18

Muhammad bin Hasan mengatakan: “Pelajarilah ilmu fiqih, sesungguhnya fiqih merupakan penuntun yang terbaik menuju kebaikan dan ketakwaan serta tujuan paling tepat.”19

Sebagaimana pendapat para ulama di atas bahwa ilmu fiqih itu sangat penting sekali untuk dipelajari karena dalam ilmu fiqih mencakup tentang ibadah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan muamalah (hubunga sesama manusia). Apabila seorang sudah mendalami ilmu fiqih tersebut, maka kehidupannya akan tersusun dengan rapi dan pastinya aka mudah menuju surga-Nya.

2. Tujuan pendidikan

Pendidikan itu mengandung makna proses kegiatan menuju ke arah tujuan, karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan ketidakmenntuan dalam prosesnya.

16

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Dea Press, 2000), h. 43.

17 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 13.

18

Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 14.

19


(41)

Menurut al-Zarnûjî dalam kitab Ta’lîm-nya menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melestarikan agama serta tidak diperbolehkan bertujuan untuk dihormati

masyarakat atau untuk mendapatkan kehormatan di hadapan penguasa.20

Menurut al-Zarnûjî, seyogyanya bagi para pencari ilmu harus berpikir dengan serius, supaya ilmu yang mereka cari tidaklah sia-sia. Jangan samapai ilmu yang ia peroleh digunakan untuk tujuan duniawi

yang hina.21

Dari pendapat beliau di atas, al-Zarnûjî sangat mengecam bagi para penuntut ilmu bila hanya bertujuan untuk keduniawian belaka. Beliau

lebih menekankan pada tujuan ukhrawi karena pada hakikatnya dunia

adalah tempat bagi kita singgah untuk menuju akhirat.

Namun demikian al-Zarnûjî memperbolehkan mencari jabatan dengan pendidikannya dengan syarat hanya untuk menyeru kabaikan dan mencegah kemungkaran, menegakkan kebenaran dan mengagungkan

agama bukan untuk kepentingan hawa nafsunya.22

Pendapat al-Zarnûjî di atas sejalan dengan pendapat para pakar pendidikan Islam lainnya. Menururt M. Arifin, Tujuan Pendidikan Islam adalah “Perwujudan nilai-nilai islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.”23

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, secara praktis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: “1)

20 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h.16. 21 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 19. 22 Al-Zarnûjî, Pedoman Belajar…, h. 19. 23

H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2003), Edisi Revisi. Cet. I, h. 54-55.


(42)

membentuk akhlak mulia, 2) mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, 3) persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya, 4) menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik, 5) mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.”24

Al-Syaibani mengemukakan bahwa tujuan tertingg pendidikan Islam adalah” mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat. Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai

khalifah fil ardh.”25

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, manusia yang sempurna, yaitu manusia yang dewasa jasmani dan rohaninya, baik secara intelektual, moral, sosial dan sebagainya.

Maka dari itulah betapa pentingnya pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang sempurna yang tidak hanya bertujuan untuk kebahagian di dunia saja akan tetapi bahagia dunia dan akhirat. Jangan samapai tujuan pendidikan Islam yang mulia ini yang berorientasi untuk kebahagian akhirat kita nodai dengan hal-hal yang bersifat keduniawian yang hina.

3. Pendidik dan peserta didik

a. Kedudukan pendidik

Pendidik adalah “individu yang mampu melaksanakan tindakan

mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Individu yang dimaksud adalah orang yang dewasa yang bertanggung

24

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 37.


(1)

77 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian tentang konsep profil guru dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa sebagian besar konsep yang ditawarkan al-Zarnuji tampak masih relevan apabila dijadikan pegangan dalam proses pembelajaran. Terkait dengan guru, konsep yang ditawarkan al-Zarnuji, yaitu guru harus ‘alim, wara’, dan lebih dewasa dapat dipandang masih relevan. Guru sebagai seorang pendidik memang harus orang yang ‘alim (ilmuwan) sebagai landasan keilmuannya, harus orang yang wara’, berwibawa, santun, penyabar sebagai landasan moralnya, dan harus orang yang lebih dewasa sebagai landasan bahwa guru sebaiknya adalah orang yang lebih berpengalaman dibanding dengan siswanya.

2. Guru yang mampu memberi pengaruh untuk masa depan anak didik lewat kata- kata atau bahasanya adalah guru yang memiliki pribadi yang hangat dan juga cerdas. Untuk itu adalah sangat ideal bila setiap guru mampu meningkatkan kualitas pribadinya menjadi guru yang cerdas, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosi dan juga cerdas spiritualnya.

3. Konsep guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî melalui kitab Ta’lîm-nya seperti lebih alim, lebih wara’, lebih tua, berwibawa, santun dan penyabar tidak bias ditawar lagi karena hal tersebut merupakan dua kompetensi,


(2)

yaitu kompetensi professional dan kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru.

4. Kepemilikan karakter guru yang efektif akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Melalui guru yang berkualitas, pendidikan bermutu bukan sebuah keniscayaan.

B. Saran

1. Bagi guru agama Islam sebaiknya lebih memperhatikan karakter atau akhlak yang harus ia miliki ketika menjalankan profesinya, karena segala gerak gerik dan tingkah laku guru akan dijadikan patokan tingkah laku semua murid.

2. Pemerintah sebaiknya tidak mengesampingkan karakter yang dimiliki guru dari pada kapasitas keilmuan guru dalam merekrut tenaga kependidikan.

3. Bagi lembaga pendidikan juga perlu memperhatikan karakter atau akhlak yang dimiliki oleh guru dalam merekrut tenaga pendidik.

4. Konsep profil guru yang dikembangkan oleh al-Zarnûjî perlu adanya kontekstualisasi dengan keadaan sekarang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

al-Abrasyi, Muhammad „Atiyyah, Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam,

Penerjemah Bustami , Jakarta: Bulan Bintang, 1970.

_____, al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Qahirah: Dar at-Tarbiyah, 1964.

Ahmad, Muhammad Abdul Qadîr, Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq al-Ta’allum, Mesir: Kairo University, 1986.

al-Ahwani, Ahmad Fuad, al-Tarbiyah fi al-Islâm, Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.th. Ali, M. Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta:

Pedoman Ilmu Jaya, 2003.

Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999. Anas, Mâlik Ibn, Muwattâ’, Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2004.

Ardani, Moh, Akhlah-Tasawuf: Nilai-Nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005.

Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres, 2002.

Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, “Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner”. Jakarta, Bumi Aksara, 2003. _____, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta: Bumi Aksara, cet.

III, 1993.

_____, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakrta: Bina Aksara, 1987.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktis, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, cet. II, 2009.

al-Bukhârî, Abî Abdillâh Muhammad Ibn Ismâ‟il,Shahîh Bukhârî, Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008.

Daradjat, Zakiah at.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. III, 1996.

_____, Ilmu Penididkan Islam,Jakarta : Bumi Aksara, cet. III, 1996.

_____, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Sinar grafika Ofset, cet. IV, 2008.


(4)

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI.

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan. Jakarta:

Depdiknas, 2006.

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. XVIII, 2006.

Edi, Toto at.al.,Ensiklopedi Kitab Kuning, Jakarta: Aulia Press, 2007.

Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003.

Ismâ‟il, Ibrâhîm Ibn, Syarah Ta’lîm al-Muta’allim, Surabaya: al-Hidayah, t.th. Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan

Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, cet. II, 2002.

al-Jazairî, Ṯâhir bin Şâlih, al-Jawâhir al-Kalâmiyah, Surabaya: al-Hidayah, t.th. Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, Amzah, 2005. Kahhalah, Umar Rida, Mu’jam al-Muallifîn: Tarâjim Mușannif Kutub

al-Arabiyah, Beirut: Dâr al-Ihya', t.th.

Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim, Yogyakata: Al-Amin Press, 1997.

Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Bebasis Kompetensi:

Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, cet. III, 2006.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. al-Ma‟arif Bandung, cet. VIII, 1989.

al-Maudûdî, Abu al-A‟la, al-Khilâfah wa al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, cet. III, 1990.

al-Mishri, Abu Ammar Mahmud, Ensiklopedi Akhlak Muhammad saw, penerjemah: Abdul Amin dkk. Jakarta: Pena Budi Aksara, 2009.

Mislikhah, Siti., “Pentingnya Sertifikasi dalam Peningkatan Profesionalisme Guru” Lektur Vol 14 No. 1, Juni 2008.

M. Kholil Bisri “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‟lim al-Muta‟allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” dari, http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep

pendidikan.html 15 November 2010

Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofik dan


(5)

al-Munir, Mahmud Samir, Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah, penerjemah: Uqinu Attaqi, Jakarta: Gema Insani, cet. II, 2004.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.

an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah; Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 1995. an-Naisaburî, Imam Abî Husain Muslim Ibnu Hajjaj bin Muslim

Al-Qasyairî, Şahih Muslim, Riyadh: Darus Salam 1998.

Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. II, 2001.

_____, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Nurdin, Muhammad, Kiat Menjadi Guru Profesional, Yogyakarta: Primashopie, 2004.

Peraturan Pemerintah R.I Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Jakarta BP. Cipta Jaya, 2009.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19, Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, (www.setjendiknas.or.id).

Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. XVII, 2006.

al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

al-Rifa‟I, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, penerjemah: Syihabuddin Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Sabri, Alisuf, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, cet. IV, 2006.

_____, Buletin Mimbar Agama dan Budaya, Jakarta 1994.

Saurah, Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu, Sunan al-Tirmidzî. Beirut: Dar al-Fikri, 1994.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1992.

_____, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentara Hati, cet. X, 2007.


(6)

al-Sijistanî, Imam al-Hafîdz Abî Daud Sulaiman Ibn Asy‟ats, Sunan Abu Daud, Saudi Arabia: Darul A‟lam, 2003.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. V, 2009.

Sulaiman, Fathiyah Hasan, Sistem Pendidikan Menurut al-Ghazali: Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Dea Press, 2000.

Supriadi, et.al., Buku Ajar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV. Grafika Karya Utama, cet. II, 2001.

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.

Sya‟roni, Model Relasi Ideal Guru dan Murid: Telaah atas Pemikiran al-Zarnûjî dan KH. Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: Teras, 2007.

al-Syantanawî, Ahmad, Dâ’irât al-Ma’ârif al-Islâmiyah, 1933.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet. II, 1994.

Tim Penyusun Pusat Bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ketiga, cet. IV, 2003.

_____, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. XIII, 2001.

Wensinck, A. J. (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Leiden: E. J. Brill, 1913-1934. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet.

VIII, 1990.

_____, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, cet. VII, 1992. al-Zarkeli, Khairuddîn, al-A’lâm Qâmus Tarâjum, Beirut: Dar al-Ilm, t.th.

al-Zarnûjî, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, penerjemah Muhammadun Thaifuri. Surabaya: Menara Suci, 2008.