Konsep kepemimpinan menurut saʻîd hawwa dalam kitab al-asâs fî al-tafsîr dan al-islâm

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ryan Alfian

NIM: 1110034000080

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

1.

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2014 2.

J.

Ciputat,28 Oktober


(3)

Skripsi

Diaj ukan kepada Fakultas Ushrrludclin untuk Memenul:i lrersyaratan Meirper*lch

Gelar Sarjana Theoi*gi lslarn {S.,Iii. l}

Cieh:

Rya_n Alfieg

NIM: 11 l0ci34000Sii

PROGRAN{ STUDI TAFSIR }IADiS FAKULTA S {ISH UL [iDDIhi_

trNlvERSrrAS rsLAM NE GER| syARrF H{B,4,YAT[J n-LA,]{

JAKARTA 1436H.nar4 M"


(4)

e,FENuHe{i

t-

srt,?6}

gAl}lryA

DALAM

KrrAB

At--as.as

ri

ax-:ragEyg flpAro.*'&_rsn"6.,r.f relah

diu.jikan dalain sidang mrinaclasl,ah Fakultas Usliujuddin Uil.i

S;,;11jj, F{ida-yaiiiilair 'iakarta pada tanggal28 oktobei"20l4. sliripsi ini telah diterjrna sebagar salah

sa.tra syara't memperoleh gelar sa{ana Thc*l+gr Islaie

{s

rh.i)

pa.4a Fr+gran: *{tr:<_!i

Tafsir-Hadis.

.jakarta, 28 Oktaber 20i4

Sidang ll{unaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Anggota, Penguji I

Ht

Ahmad Rifqi Muchtar. MA NIP: 196908221997W t A{Jz

T

'(L

iii

l/b-td

*

Jauhar Aziz_v" ir,,,tA

NIP: 1982082i 20090

j

i

0l:

I {i03 Pengu.li 11

,Erra

tli,ei;d.

MA

1971{}6A7 199803


(5)

iv

ABSTRAK Ryan Alfian

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB

AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM

Setelah Rasulullah Saw. wafat, banyak permasalahan yang muncul, baik permasalahan dalam bidang agama, sosial, politik, budaya, dan lail-lain. Salah satu permasalahan yang muncul adalah tentang kepemimpinan. Pasca wafatnya Rasulullah, tidak dijelaskan apakah Islam memerintahkan untuk mendirikan negara Islam atau tidak, serta tidak spesifiknya Islam di dalam mengatur urusan politik dan pemerintahan. Skripsi ini mempunyai tujuan membahas tentang kepemimpinan menurut Saʻîd Hawwa. Metode awal yang penulis lakukan adalah dengan menelusuri ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kepemimpinan, dengan merujuk kepada “Tafsir Al-Qur’an Tematik Kementrian Agama RI”. Setelah itu penulis mencoba untuk memasukan

penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tersebut dengan merujuk kepada kitabnya al-Asâs fî al-Tafsîr. Untuk memperluas pandangan Saʻîd Hawwa tentang kepemimpinan, penulis juga merujuk kepada salah satu karyanya yakni kitab al-Islâm. Data yang didapat dideskripsikan, setelah itu menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.

Sa’îd Hawwa di dalam menjelaskan kepemimpinan, dimulai dengan membahas tema khilâfah. Pada pembahasan selanjutnya, adalah hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pemimpin. Seperti, bagaimana cara mengangkat seorang pemimpin, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bagaimana seorang pemimpin bisa diturunkan dari jabatannya, serta apa saja yang menjadi kewajiban dan hak dari seorang pemimpin.

Setelah mendeskripsikan serta menganalisa data yang terdapat dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm, penulis mendapatkan beberapa poin penting dari kedua kitab tersebut, bahwa seorang pemimpin harus beragama Islam, tidak bisa seorang non-Muslim dijadikan seorang pemimpin. Selanjutnya, sekalipun banyak tugas yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin, tetapi jika dikelompokkan ada dua tugas utama dari seorang pemimpin, pertama adalah menegakkan agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dalam lingkup ajaran yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Kemudian hal yang paling sering dibicarakan adalah, bahwa seorang pemimpin harus selalu menegakkan keadilan dalam menetapkan hukum dan aturan, serta harus selalu bermusyawarah di dalam mengambil sebuah keputusan.


(6)

v

Alhamdulillah penulis ucapkan sebagai rasa syukur yang tak terhingga kepada Tuhan seluruh alam, Allâh Swt atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

KONSEP KEPEMIMPINAN MENURUT SAʻÎD HAWWA DALAM KITAB

AL-ASÂS FÎ AL-TAFSÎR DAN AL-ISLÂM.

Salawat teriring salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad Saw. yang kehadirannya di dunia ini menjadi pelita bagi umat serta ajarannya yang senantiasa membimbing kita menuju kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Semoga kita semua umatnya akan mendapat pertolongan dari beliau pada hari pembalasan nanti. Aamiin.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini, banyak pihak yang turut membantu dan memberi andil, baik telah membarikan ilmunya maupun telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis, terutama kepada dosen pembimbing, sehingga tulisan ini dapat penulis selesaikan. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak, diantaranya adalah:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA. Selaku rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu berupaya untuk menyediakan fasilitas yang terbaik bagi para mahasiswa di Fakultas Ushuluddin.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin. Bapak Jauhar Azizy, MA selaku Sekretaris Jurusan Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin, yang telah banyak memberikan waktunya bagi penulis untuk berkonsultasi tentang skripsi yang penulis angkat.

4. Bapak Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. Selaku dosen pembimbing penulis yang sudah memberikan banyak ilmu, arahan dan masukan sehingga


(7)

vi

Semoga ilmu yang bapak berikan akan menjadi ilmu yang bermanfaat untuk penulis.

5. Bapak Eva Nugraha, MA dan Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan, serta kritikan yang membangun sangat penulis rasakan untuk mengahasilkan skripsi yang lebih berkualitas.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Tafsir Hadis yang telah memberikan ilmunya untuk penulis, semoga dengan ilmu yang diberikan ini dapat membimbing penulis pada jalan kebaikan. Penulis berharap semoga semua ilmu yang diberikan oleh seluruh dosen bernilai kebaikan di sisi Allâh Swt.

7. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, tempat-tempat yang selalu memberi kenyamanan, inspirasi dan menjadi saksi, serta banyak membantu dalam menyediakan referensi-referensi disaat penulis menyusun skripsi ini.

8. Kedua orangtua tua tercinta, yang jasanya tak akan pernah terbalas sepanjang masa, ibunda Tihani dan ayahanda Supriyanto Kustanto. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk keduanya. Terimakasih atas segala do’a, nasihat, semangat dan semuanya yang telah diberikan penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya hingga saat ini. Tuhan, izinkan aku untuk meraih kesuksesan hidup sehingga aku dapat mengukir senyum di wajah keduanya. Semoga ayah dan umi selalu berada dalam lindungan Allâh Swt.

9. Kepada segenap keluarga, kerabat, kakanda Nurhaidah, “encang-encing” serta semuanya yang mohon maaf tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas segala dukungan doa dan semangatnya selama penulis menyusun skripsi ini.


(8)

vii

kitab-kitab al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa. Semoga amal kebaikan beliau diganjar pahala oleh Allâh Swt.

11.Teruntuk Fitri Farhani, S.Kep. yang selalu menyemangati penulis dikala suka maupun duka, yang senantiasa sabar dan ikhlas serta banyak meluangkan waktunya untuk menemani penulis di dalam menyusun skripsi ini, serta untuk semua kebaikan yang telah diberikan, semoga skripsi ini menjadi hadiah istimewa untukmu. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan kepadamu yang selalu ada untukku. Semoga apa yang menjadi harapan kita dikabulkan oleh Allâh Swt.

12.Kepada semua teman-teman jurusan Tafsir-Hadis 2010, khususnya kepada teman-teman TH-C 2010, penulis ucapkan terimakasih kepada semuanya. Semoga hari-hari yang pernah kita lewati bersama, akan menjadikan kita semua menjadi satu keluarga yang tak akan saling melupakan. Semoga kita semua menjadi individu yang berguna untuk agama dan masyarakat. 13.Teruntuk teman-teman terbaik yang selalu bersama-sama dan selalu ada

untuk penulis, baik dari semenjak penulis masuk bangku perkuliahan hingga menyusun skripsi ini, yakni kepada sahabat Alamuddin Syah, Ahmad Ubaidillah, Aceng Aum Umar Fahmi, M. Lailu Ramadhona, M. Afwan Al-Muta’ali, Abdus Salam, Abdur Rijal, Januri, Cep Supriadi, Ilmawan Hikmansyah, Adi Sunarya, Aceng Muchtar Rosyadi, Shalahuddin Al-Faruqi, Ahmad Ghazali, geng “Kuya Rangers” dan semuanya, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga persahabatan yang telah kita rajut, akan terus berlanjut untuk selamanya. 14.Kepada semua teman-teman yang tergabung dalam FORMABI (Forum

Mahasiswa Bidik Misi) 2010, penulis ucapakan terimakasih atas persahabatan dan persaudaraan yang telah terbina selama berada di bangku perkuliahan.

15.Kepada seluruh sahabat Alfalah 36. Terimakasih atas segala doa dan motivasinya. Semoga kita semua menjadi manusia yang bermanfaat. Aamiin.


(9)

viii

semangat yang diberikan selama penulis menyusun skripsi ini.

17.Kepada semua kyai, ustadz, guru, kerabat, saudara, sahabat dan semua pihak yang telah membantu dan mendoakan penulis di dalam menyusun skripsi ini, dan mohon maaf tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, bernilai kebaikan di sisi Allâh Swt.

Tangerang Selatan, Oktober 2014


(10)

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis di bawah

ض ḏ de dengan garis di bawah

ṯ te dengan garis di bawah

ظ ẕ zet dengan garis di bawah

ع ، koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em


(11)

ء ʼ apostrof

ي y ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

--- a fathah

--- i kasrah

--- u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

---َ

---ي ai a dan i

---َ

---و au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

--ا â a dengan topi di atas

--ْي î i dengan topi di atas


(12)

yaitu لا dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرو ضلا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.


(13)

LEMBAR PERNYATAAN …...………...…...…... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...…….……..…... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

DAFTAR ISI ………...………...………... xii

BAB I: PENDAHULUAN …………...………...… 1

A. Latar Belakang Masalah ………..…………...… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………..……….………….... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 10

D. Studi Pustaka ……...………..………...11

E. Metodologi Penelitian...………...……...…….…………... 13

F. Sistematika Penulisan …..………....………....…. 15

BAB II: PROFIL SAʻÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA …………...... 16

A. Saʻîd Hawwa... ………...………….... 16

1. Biografi Saʻîd Hawwa ...16

2. Karya-karya Saʻîd Hawwa ... 21

B. Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr…...………. 25

1. Metode dan Corak Penafsiran ... 25

2. Sistematika Penulisan ... 29

3. Referensi Penulisan ... 31


(14)

A. Khilafah ………... 36

B. Al-Khilâfah Al-‘Uzma (Kepemimpinan Tertinggi) ... 41

1. Pengertian Khilafah ... 41

2. Mengangkat Seorang Pemimpin Hukumnya Wajib ... 44

3. Dasar Kewajiban Pengangkatan Seorang Pemimpin ... 45

C. Syarat-syarat yang Harus Dimiliki Seorang Pemimpin ... 50

1. Islam ... 50

2. Laki-laki ... 53

3. Akil Balig ... 54

4. Pandai ... 56

5. Adil ... 57

6. Mempunyai Kemampuan ... 60

7. Sehat Jasmani ... 61

8. Keturunan Quraisy ... 62

D. Pengangkatan Seorang Pemimpin ... 64

1. Mekanisme Pengangkatan Pemimpin yang Sesuai dengan Aturan Agama ... 64

2. Masa Jabatan Seorang Pemimpin ... 65

3. Pencopotan Seorang Pemimpin ... 67

4. Cacatnya Keadilan ... 67

5. Kecacatan Pada Tubuh ... 69

E. Kewajiban dan Hak-hak Seorang Pemimpin... 71

1. Kewajiban-kewajiban Seorang Pemimpin ... 72

2. Hak-hak Seorang Pemimpin ... 77

BAB IV: PENUTUP ……….………...….... 83

A. Kesimpulan …….………... 83

B. Saran ...….………...………... 83 DAFTAR PUSTAKA


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an bagi umat Islam adalah sebagai konstitusi (hukum dasar) untuk

kehidupan di dunia dan akhirat, memuat prinsip-prinsip umum dan membiarkan rinciannya diterangkan oleh sunnah dan ijtihad para mujtahid sepanjang masa. Misalnya al-Qur’an hanya menyebutkan teks atau lafalnya saja, namun dari redaksi dan lafal inilah para mujtahid atau mufasir dapat mengimplementasikan secara rinci makna lafal tersebut menjadi suatu konsep utuh yang dijadikan pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti khalîfah (wakil, pengganti, pemimpin), syûrâ (permusyawaratan, demokrasi), al-‘adl (keadilan), al-mulk

(kedaulatan, kerajaan).1

Dalam firman Allâh Swt. dikatakan bahwa al-Qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah Saw. adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya. Allâh Swt. berfirman dalam surah al-An’âm/6: 115 sebagai berikut:









“Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”2

1 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Jakarta:

Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 180.

2 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2011), h.


(16)

Hamka mengatakan tentang ayat di atas bahwa kebenaran wahyu Ilahi itu tidak perlu diragukan lagi. Kebenaran asli dari Dia dan keadilanpun dari Dia. Tidak ada hakim lain dan hukum lain yang dapat melebihi itu. Undang-undang kebenaran dan keadilan yang diwahyukan Allâh adalah untuk kepentingan umat manusia, bukan untuk mempertahankan kekuasaan Allâh.3

Al-Qur’an membicarakan segala aspek kehidupan tentang manusia.

Bagaimana cara manusia harus berhubungan dengan Allâh (hablun mina Allâh), serta bagaimana manusia berhubungan dengan manusia lain (hablun mina al-Nâs).

Salah satu yang menjadi ajaran serta pembicaraan di dalam al-Qur’an adalah tentang kepemimpinan. Di dalam al-Qur’an terdapat cukup banyak petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, isyarah-isyarah, yang memberikan petunjuk bahwa masalah kepemimpinan dan pemimpin tersebut, adalah merupakan keharusan di dalam masyarakat dan umat. Setidak-tidaknya fardhu kifayah bagi setiap Muslim.4

Allâh Swt. berfirman dalam surah Âli ‘Imrân/3: 104 sebagai berikut:

















“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5

Di dalam ayat ini terkandung perintah Tuhan, kepada setiap Muslim, agar selalu menyeru kepada perbuatan baik dan selalu mencegah dan menjauhi

3 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 8(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 14.

4 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (Palembang: Al-Mukhtar,

1997), h. 11.


(17)

perbuatan munkar, keji dan jahat. Jadi intinya adalah memerintahkan setiap Muslim itu untuk memimpin manusia ke arah perbuatan baik, berfaedah, dan menjauhi kejahatan dan semua perbuatan munkar, buruk, keji, dan tercela.6

Kepemimpinan pada dasarnya adalah rahmat dan karunia Allâh pada seseorang dan sekaligus merupakan amanat Allâh dan umat kepadanya. Pemimpin adalah pemegang amanat dan harapan umatnya untuk memimpin, membelanya dan melindunginya yang semuanya harus dituntaskan dan dipertanggungjawabkan kepada Allâh dan umatnya.7

Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mulia yang mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi pemimpin pada suatu organisasi pada posisi yang terpenting.8

Rasulullah juga membahas tentang kepemimpinan di dalam hadis yang beliau sabdakan yang berbunyi;

ضر ع ْب لا ّْع ْ ع ر د ْب لا ّْع ْ ع كل ثّح ع ْسإ ثّح

ْع لا

ت عر ْ ع ل ْس ْ كو عار ْ ك لأ ل ق سو ْ ع لا ص لا ل سر نأ

ْھأ ع عار ج لاو ت عر ْ ع ل ْس ھو عار س لا ع ي لا م إْل ف

ل ْس ھو تْب

ھو ّلوو جْو تْب ْھأ ع عار ةأْ ْلاو ت عر ْ ع

6 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 11.

7 Mochtar Effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, h. 159.

8 Miftah Thoha, Kepemimipnan dalam Manajemen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,


(18)

عار ْ ف لأ ْع ل ْس ھو ّ س ل ع عار ج لا ّْعو ْ ْع ل ْس

ت عر ْ ع ل ْس ْ كو

9

“Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepadaku Malîk dari ‘Abdullah bin Dinâr dari ‘Abdullâh bin ‘Umâr radiallahu 'anhuma, Rasûlullah Saw. bersabda: "ketahuilah Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."

Membicarakan kepemimpinan memang menarik, dan dapat dimulai dari sudut mana saja ia akan diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia memiliki kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.10

Kepemimpinan di bidang apapun berhubungan dengan ketaatan dan loyalitas. Dalam kepemimpinan rumah tangga, loyalitas pertama adalah kepada Allâh dalam menjalankan hukum di dalam keluarga. Pria sebagai suami adalah pemimpin yang harus ditaati oleh seorang istri dan anak-anaknya sebagai anggota keluarga. Ketaatan kepada suami dan ayah dalam batas-batas yang telah

9 Muammad bin Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Juz 9(Mesir: Dâr uq al-Najâh,

2001), h. 42.


(19)

ditetapkan hukum Allâh, sebagai kepala rumah tangga, merupakan suatu keharusan. Rumah tangga adalah unit terkecil masyarakat.11

Begitu juga di dalam masyarakat, ada yang disebut dengan pemimpin formal seperti lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden; dan warga atau rakyat harus taat kepada pemimmpinnya. Keberhasilan pemimpin sangat ditentukan oleh kepemimpinan informal di rumah tangga dan keberhasilan kepemimpinan rumah tangga adalah anak tangga dasar menuju kepemimpinan masyarakat yang berhasil. Realitas di berbagai negara di seluruh dunia berbicara, kepemimpinan pada umumnya dimulai dari bawah. Keberhasilan dari bawah inilah yang membuat masyarakat memilih seseorang untuk kepemimpinan yang lebih tinggi.12

Di dalam al-Qur’an, minimal terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan kepemimpinan manusia atas manusia lainnya. Kata tersebut adalah khalîfah, imâmah dan imârah/amîr. Kata imâmah atau imâm terambil dari kata amma-ya’ummu, yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Ibu, dinamai dengan

umm, karena anak selalu menuju kepadanya; depan dinamai amâm karena mata selalu tertuju kepadanya dan sebab ia berada di depan. Demikian juga seorang imam dalam salat adalah orang yang posisinya berada di depan makmum dan gerak-geriknya diteladani oleh para makmum. Dengan demikian, secara umum dipahami bahwa seorang imam (pemimpin) adalah orang yang diteladani oleh masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan dalam membimbing masyarakatnya.13

11 Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, h. 182.

12Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), h.

70.


(20)

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan kepemimpinan, bahwa setelah kematian Rasulullah Saw. tidak dijelaskan secara pasti apakah Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan negara Islam. Hal penting lain ialah kurang spesifiknya ketentuan-ketentuan Islam dalam mengatur sistem politik dan pemerintahan.14

Melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, penulis ingin membahas bagaimana konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh di dalam al-Qur’an, dengan mengangkat salah seorang tokoh ulama yaitu Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsirnya yang diberi nama Asâs fî al-Tafsîr dan kitab al-Islâm.

Beberapa alasan penulis mengangkat tokoh Saʻîd Hawwa untuk membahas tema tentang kepemimpinan ialah, Saʻîd Hawwa merupakan tokoh yang terlibat langsung dalam politik dan banyak menulis buku-buku yang banyak membicarakan masalah politik dan kepemimpinan dalam karya-karyanya, serta Saʻîd Hawwa merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh dalam jamaʻâh Ikhwân al-Muslimîn.15

Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Syaikh Saʻîd bin Muammad Dib Hawwa. Beliau dilahirkan di kota Hamat, Suriah, pada tahun 1935 M. Ibunya meninggal dunia ketika usianya baru dua tahun, lalu diasuh oleh neneknya. Di bawah bimbingan bapaknya yang termasuk salah seorang mujahidin pemberani melawan Prancis, Saʻîd Hawwa muda berinteraksi dengan banyak pemikiran.

14 Mhd. Yunus RKT, Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam

(Skripsi: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014), h.3.

15 Muhammad Pisol, Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa (Disertasi:


(21)

Tetapi akhirnya Saʻîd Hawwa bergabung ke dalam jamâ’ah Ikhwân al-Muslimîn pada tahun 1952 M, ketika masih duduk di kelas satu SMA.16

Bergabungnya Saʻîd Hawwa ke dalam jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn membawanya masuk ke dalam banyak perseteruan dengan rezim pemerintah yang berkuasa saat itu. Saʻîd Hawwa semasa kuliah pernah mengikuti tiga kali demonstrasi, pertama ketika Ikhwân al-Muslimîn Suriah menuntut dimasukannya kepanduan di sekolah tsanawiyah, kedua pembelaan terhadap pembantaian Ikhwân al-Muslimîn di Mesir, ketiga peringatan duka atas perjanjian Belfour. Dalam ketiga aksi demonstrasi ini Saʻîd Hawwa menjadi pembicara resmi dari Ikhwân al-Muslimîn.17

Ikhwân al-Muslimîn, yang kalau disalin secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti Saudara-saudara Sesama Muslim, adalah organisasi yang didirikan di Ismailiyah, sebelah Timur Laut Kairo, pada tahun 1928 oleh seorang tokoh agama yang karismatis, Syeikh Hasan al-Banna. Dalam sepuluh tahun pertama sejak didirikan, organisasi itu memusatkan perhatiannya kepada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial.18

Seiring berjalannya waktu, akhirnya Ikhwân al-Muslimîn terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiata-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina.

16 Saʻîd Hawwa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. (Jakarta:

Robbani Press, 1995) (Jakarta: Robbani Press, 1998), h. 6.

17Al-Mustasyar Abdullah Al-‘Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemprer, Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I’tisham

Cahaya Umat, 1998), h. 406.

18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:


(22)

Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan berdirinya negara Islam di Mesir.19

Pandangan keagamaan serta politik dari Ikhwân al-Muslimîn yang paling sentral dan mendasar adalah: Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntunan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup Rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.20

Setelah membahas secara singkat tentang Ikhwân al-Muslimîn,tentu akan menjadi hal yang menarik jika meneliti lebih jauh tentang sosok Saʻîd Hawwa, yang di atas telah dikatakan bahwa ia mempunyai latar belakang yang berasal dari jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn.

Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa ada salah satu kata dalam

al-Qur’an yang beruhubungan dengan kepemimpinan, yakni kata imâmah/imâm.

Salah satu ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat kalimat tersebut adalah surah al-Baqarah/2: 124:





















“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allâh berfirman:

19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 146.


(23)

"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang yang zalim.”21

Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa imâm adalah orang yang ditakuti dan dijadikan suri tauladan. Keimaman Ibrahim adalah keimaman yang langgeng, yang didukung oleh semua pengikut agama kitabi. Nampaknya, pelaksanaan Ibrahim secara sempurna atas beberapa kalimat yang diberikan Rabbnya tersebut merupakan faktor utama yang menjadikannya layak sebagai imâm. Seolah-olah, beliau pada mulanya adalah seorang nabi, kemudian karena beliau melaksanakan

dengan sempurna semua “kalimat”. Maksudnya adalah perintah dan larangan

yang diberikan Allâh kepadanya, maka beliau diberi jabatan rasul pembawa risalah, sebagai imbalan atas kepatuhannya itu. Jadi, mematuhi semua perintah dan larangan Allâh secara sempurna dapat mencalonkan seseorang untuk menduduki jabatan imâm dalam agama Allâh. Betapa kelirunya orang-orang yang merampas jabatan imam dengan cara-cara yang tidak benar. Kemudian, kata janji pada kalimat tersebut dapat diartikan dengan imâmah atau kepemimpinan. Dengan demikian, maka ayat itu berarti, “Orang zalim tidak akan memegang

imâmah atau kepemimpinan dalam agama Allâh.”22

Itulah merupakan sekilas gambaran penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan. Maka selanjutnya, penelitian yang akan dilakukan adalah ingin mengetahui bagaimana konsep kepemimpinan yang ditawarkan oleh Saʻîd Hawwa, dengan merujuk pada kitab tafsir Asâs fî

21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 14.

22 Saʻîd Hawwa, Tafsir al-Asas, Penerjemah Syafril Halim (Jakarta: Robbani Press, 1999),


(24)

Tafsîr karyanya, dengan lebih banyak menggali ayat-ayat al-Qur’an lain yang berkaitan dengan konsep kepemimpinan.

Setelah melihat begitu pentingnya peran pemimpin di tengah-tengah masyarakat, serta setelah kita mengetahui secara sekilas tentang tokoh Saʻîd Hawwa yang merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang jamâʻah Ikhwân al-muslimîn, maka dari itu penulis ingin mengangkat sebuah penelitian

dengan judul “Konsep Kepemimpinan Menurut Saʻîd Hawwa Dalam Kitab

Al-Asâs Fî Al-Tafsîr dan Al-Islâm”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penafsiran yang dikaji pada penulisan ini dikhususkan pada ayat-ayat yang membicarakan tentang kepemimpinan, baik itu kriteria dan syarat-syarat seorang pemimpin, pengangkatan seorang pemimpin, serta hak dan kewajiban dari seorang pemimpin. Untuk memudahkan pembahasan ini, diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi tema pokok pembahasan, perumusan masalah yang ingin dibahas dalam penulisan ini adalah, Bagaimana penafsiran Saʻîd Hawwa terhadap ayat-ayat tentang kepemimpinan dalam kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna dan pesan tentang konsep kepemimpinan, dengan menjadikan kitab al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm

karya Saʻîd Hawwa sebagai rujukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi syarat akhir guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program


(25)

Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan demikian, penelitian ini memiliki manfaat atau kegunaan akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang bagaimana konsep kepemimpinan di tengah masyarakat dalam pandangan Saʻîd Hawwa. Sedangkan kegunaan praktis dalam penelitian ini dapat menjadi solusi alternatif atau dapat dijadikan khazanah pengetahuan dalam membangun masyarakat yang lebih baik dengan cara mengikuti konsep kepemimpinan yang telah diajarkan Allâh Swt. melalui kitab suci al-Qur’an.

D. Studi Pustaka

Penelitian mengenai konsep kepemimpinan bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademis. Penelitian tentang konsep kepemimpinan dalam berbagai perspektif juga bervariasi. Ada beberapa karya yang berkaitan dengan kajian mengenai konsep kepemimpinan, baik dalam bentuk makalah, skripsi, maupun disertasi, diantaranya adalah:

1. Annas Khairullah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripisnya yang berjudul “Ulil Amri Dalam Al-Qur’an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka Dalam Tafsir al-Azhar Surat an-Nisa ayat 59,” skripsi ini menjelaskan bagaimana penafsiran Hamka tentang arti dari ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59. Dimana term ulil amri juga masuk pada pembahasan yang


(26)

berkaitan dengan kepemimpinan. Pembahasannya hanya difokuskan kepada pengertian tentang ulil amri.23

2. Noor Rohman, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur’an; Analisis Tafsir Muhammad Syahrur,” skripsi ini menjelaskan bagaimana konsep kepemimpinan perempuan dalam al-Qur’an, serta tentang konsep kepemimpinan dalam ranah keluarga dan sosial politik, dengan menjadikan kitab Tafsir Muhammad Syahrur sebagai rujukan utama.24 3. Masfufah, Mahasiswa Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN

Syarif Hidayatullah, 2014, skripsinya yang berjudul “Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S. An-Nisa’ (4): 34,” skripsi ini berusaha untuk mengetahui bolehkah seorang perempuan menjadi pemimpin di dalam keluarga dengan bersumber kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir, buku-buku, dan literatur-literatur lainnya.25

4. Septiawadi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, dengan disertasi berjudul

“Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”,

kesimpulan besar dari penelitian disertasi ini adalah, penafsiran sufistik terhadap al-Qur’an yang dilakukan oleh para mufassir adalah dengan

23 Annas Khairullah. “Ulil Amri Dalam Al-Qur’an, Analisis Terhadap Tafsir Hamka

Dalam Tafsir al-Azhar Surat an-Nisa ayat 59”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009).

24 Noor Rohman. Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan Dalam Al-Qur’an;

Analisis Tafsir Muhammad Syahrur”, (Skripsi Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah, 2009).

25 Masfufah. Konsep Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga: Kajian Atas Q.S.


(27)

menggunakan makna isyâri dengan tetap mengacu kepada makna

zâhir, termasuk mufassir di dalamnya adalah Saʻîd Hawwa.26

5. Mhd. Yunus RKT, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014, dengan judul skripsi “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam.” Skripsi ini mengupas secara mendalam tentang masa jabatan atau batas waktu jabatan dari seorang pemimpin.27

6. Muhammad Pisol, Mahasiswa Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2000, dengan judul disertasi “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa.” Disertasi ini membahas pandangan politik Saʻîd Hawwa, di mana Saʻîd Hawwa mengatakan bahwa keterlibtan seseorang dalam politik termasuk urusan kerja jihad yang akan diberi pahala. Saʻîd Hawwa juga membagi negara ke dalam tiga kelompok, yakni negara Islam yang adil, negara Islam yang menyeleweng, dan negara kafir. 28

Dari penelitian-penelitian terdahulu, sejauh penelusuran penulis, belum menemukan suatu karya yang membahas tentang konsep kepemimpinan secara umum, baik itu bagaiamana kita harus memilih seorang pemimpin, apa saja yang menjadi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin, serta apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari seorang pemimpin, dengan bersumber kepada

26 Septiawadi. Penafsiran Sufistik Saʻîd Hawwa dalam Al-Asâs Fî Al-Tafsîr”, (Disertasi

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010).

27 Mhd. Yunus RKT. “Limitasi Kepemimpinan di Indonesia Perspektif Politik Islam”,

(Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga: 2014).

28 Muhammad Pisol. “Jihad Politik: Suatu Analisis Pemikiran Saʻîd Hawwa”, (Disertasi


(28)

kitab suci al-Qur’an. Maka dari itu penulis menilai hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (Library Research). Secara operasional, kajian ini menggunakan dua langkah penelitian:

1. Metode pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari informasi yang diperlukan melalui perujukan ke referensi primer dan referensi sekunder. Referensi primer adalah kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr (1999) dan al-Islâm

(1993) karya Saʻîd Hawwa, serta buku-buku yang berkaitan dengan Saʻîd Hawwa. Sementara referensi sekunder adalah buku-buku yang di dalamnya membicarakan tentang kepemimpinan dan hal-hal yang diperlukan didalam membahas penelitian ini, buku-buku tersebut antara lain, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (2012), Kementrian Agama RI. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam (1997), karya Mochtar Effendy. Wawasan Al-Quran Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat (2013), karya M. Quraish Shihab.

Kepemimpinan dalam Manajemen (2006), karya Miftah Thoha. Islam dan Tata Negara (1993) karya Munawir Sjadzali. Teori Politik Islam (2001) karya M. Dhiauddin Rais. Leadhership (2006) karya Andrew J. Dubrin. Etika Politik Qur’ani: Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-ayat Kekuasaan (2010) karya Muhammad Iqbal.


(29)

Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode

Deskriptif Analisis Isi, yaitu mendeskripsikan data yang ada, kemudian menganalisanya secara proporsional sehingga akan didapat rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.

Secara teknis, skripsi ini merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010-2011.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian dalam skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang sesuai dengan keperluan kajian.

Bab pertama akan memberikan informasi kenapa pembahasan tentang kepemimpinan penulis angkat, serta apa saja tujuan serta manfaat dari pembahasan skripsi ini. Bab pertama terdiri dari pendahuluan, terbagi menjadi enam sub bahasan, yaitu: pertama, latar belakang masalah. Kedua, pembatasan dan perumusan masalah. Ketiga, tujuan dan manfaat penelitian. Keempat, studi pustaka. Kelima, metodologi penelitian. Keenam, sistematika penulisan.

Bab kedua akan menjelaskan bagaimana profil Saʻîd Hawwa serta kitab

tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, dengan membaca bab yang kedua ini, penulis berharap pembaca dapat mendapatkan informasi yang jelas mengenai sosok Saʻîd Hawwa sehingga dapat lebih memahami kenapa tokoh tersebut yang penulis angkat. Bab kedua berisi tentang profil Sa’îd Ḥawwa dan tafsirnya. Pembahasannya meliputi:


(30)

sistematika penulisan, referensi penulisan, serta kelebihan dan kekurangan dari kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr.

Bab ketiga merupakan bab yang akan membahas pandangan serta pemikiran Saʻîd Hawwa terhadap masalah kepemimpinan. Bab ketiga ini membahas kepemimpinan perspektif Saʻîd awwa. Pembahasannya meliputi tentang khilafah atau kepemimpinan, al-Khilafah al-Uzma (Kepemimpinan tertinggi), Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang imam atau pemimpin, pengangkatan seorang khalifah, serta pemilihan imam atau khalifah.

Bab keempat, terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dan penelitian ini dan saran.


(31)

PROFIL SA

ʻ

ÎD HAWWA DAN TAFSIRNYA

A. Saʻîd Hawwa

1. Biografi Saʻîd Hawwa

Saʻîd Hawwa memiliki nama lengkap Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa. Beliau merupakan seorang tokoh yang berasal dari Hamah, Suriah yang lahir pada tahun 1935 M. Saʻîd Hawwa lahir ketika kondisi politik Suriah di bawah kekuasaan Prancis. Ibunya meninggal ketika Saʻîd Hawwa berusia dua tahun. Kemudian Saʻîd Hawwa pindah ke rumah neneknya dengan bimbingan dari ayahnya yang seorang pejuang pemberani yang berjihad melawan Prancis.1 Darah pejuang dalam dirinya mengalir dari ayahnya ditambah situsasi kota Suriah yang berada di bawah kekuasan Prancis, membuat ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tegar dan pemberani.2 Di masa kecil, keluarga Saʻîd Hawwa hidup dalam kesederhanaan. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya terpaksa mengeluarkannya dari sekolah, karena biaya. Waktu itu usia Saʻîd Hawwa baru berusia 8 tahun.3

Pada masa muda Saʻîd Hawwa, berkembang beberapa pemikiran, seperti pemikiran Nasionalis, Baʻats, dan Ikhwân al-Muslimîn. Tahun 1952, ketika masih

berada di bangku ‘Aliyah, Saʻîd Hawwa memilih untuk bergabung dengan barisan

jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Beberapa tahun setelah itu, ia mengikuti kuliah di

1 Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin (Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat, 2003), h. 400.

2 Saʻ îd Hawwa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terjemahan

(Jakarta: Robbani Press, 1995), h. IX.

3 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema


(32)

Universitas Syria dan lulus pada tahun 1961. Kemudian mengikuti wajib militer dan lulus sebagai perwira pada tahun 1963. Setahun kemudian ia melakukan pernikahan dan dikaruniai empat orang anak.4

Dalam perjalanan intelektualnya, Saʻîd Hawwa banyak berguru dan belajar kepada beberapa ulama dan Syaikh yang terdapat di kota Hamah. Di antara ulama yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Muhammad al-Hamîd, Syaikh Muhammad al-Hasyimi, Syaikh ‘Abdul Wahhab Dabuz Wazit, Syaikh ‘Abdul Karîm al-Rifa’i, Syaikh Aẖmad al-Murad, dan Syaikh Muammad ‘Ali al-Murad.5

Al-Mustasyar ‘Abdullah al-‘Aqil6 yang sempat bertemu dengan Saʻîd Hawwa mengatakan, bahwa Saʻîd Hawwa dikenal sebagai seseorang yang penyabar, ramah dan memiliki sifat tawadu’, wara’ dan zuhud. Sikap kesederhanaan sangat tampak seperti dalam penampilan ataupun di tempat kediamannya yang bersahaja yang jauh dari kemewahan. Sikapnya yang ramah dan wara’ membuatnya bersikap longgar bagi siapa saja yang ingin mencetak bukunya atas izin atau tanpa izin.7

Kiprah Saʻîd Hawwa di dunia pendidikan dimanifestasikan dalam lembaga-lembaga pendidikan, seperti pada al-Ma’had al-‘Ilmi di kota al-Hufuf wilayah ihsa selama dua tahun. Selain itu Saʻîd Hawwa juga mengajar di Madinah tiga tahun

4 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401.

5 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 401.

6 Ia juga sebagai penulis buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mereka

telah Pergi. Al-Mustasyar al-‘Aqil adalah alumnus fakulstas Syari’ah al-Azhar tahun 1954.

Sebelumnya ia belajar di Irak (negeri kelahirannya al-Zubair). Sekembali dari pendidikan al-Azhar Kairo ia pernah mengajar di al-Zubair dan kemudian banyak memegang jabatan di berbagai

negara. Terakhir ia menjabat sebagai sekjen OKI. Al-Mustasyar ‘Abdullah Al-‘Aqil, Mereka yang

Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangun Gerakan Islam Kontemporer, vii.

7 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh


(33)

dan disampaikan lewat ceramah, diskusi dan juga dituangkan dalam beberapa buku. Ia termasuk penulis besar pada modern ini, kemampuan menulisnya mengambil tema; dakwah dan gerakan, fiqih, tentang pembinaan jiwa (

rûhiyyah-tasawuf).8

Selain memberikan kuliah, Saʻîd Hawwa dikenal juga sebagai daʻi. Aktifitas dakwahnya tidak hanya di wilayah Suriah, tapi pada umumnya meliputi negara-negara Arab seperti Mesir, Qatar, Yordania dan seterusnya bahkan pernah sampai ke Jerman dan Amerika. Hal itu dilakukan ketika ia berkunjung ke Amerika dan daerah-daerah Eropa. Semangat dakwahnya sangat melekat pada dirinya apalagi ia termasuk sebagai pemimpin Ikhwân al-Muslimîn Suriah.9 Dari sini bisa terlihat bahwa kegiatan dakwahnya yang ia lakukan dapat berkaitan dengan hal kepemimpinan, karena kegiata Ikhwân al-Muslimîn juga mengurusi masalah politik.

Saʻîd Hawwa pernah memimpin demonstrasi menentang undang-undang Suriah pada tahun 1973. Konsekuensinya ia ditangkap dan dipenjara sejak 5 Maret 1973-29 Januari 1978. Dalam masa tahanan ini digunakan untuk menulis kitab tafsir dan buku-buku dakwah ataupun buku-buku gerakan. Pada waktu itu pemerintahan al-Asad membuat undang-undang baru yang menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara. Ketidakpuasan Ikhwân al-Muslimîn bukan saja pada hal yang demikian, namun yang lebih utama lagi al-Asad berasal dari golongan sekte Alawiyah yang dianggap sesat.10

8 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402.

9 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 402.

10 Jonh L. Esposito, Enksilopedi Oxford Dunia Islam Modern, penerjemah Eva Y.N dkk,


(34)

Selesai menjalani kurungan, pada tahun 1979 Saʻîd Hawwa mengadakan perjalanan ke Pakistan, ke Iran. Sewaktu kunjungan kedua di Pakistan, ia

menghadiri pemakaman Abul A’lâ al-Maudûdi. Pada kesempatan lain Saʻîd

Hawwa bersama delegasi Islam Suriah bertemu Khomeini serta Menteri Luar Negeri Iran Ibrahim Yazdi untuk membicarakan bantuan terhadap saudara-saudara muslim di Suriah. Ia sampaikan keadaan yang sesungguhnya yang diperjuangkan oleh Ikhwân al-Muslimîn di Suriah kepada Khomeini dalam rangka mempererat Ukhuwah Islamiyah.11

Pada tahun 1980 atas prakarsa Saʻîd Hawwa, dibentuklah Front Islam Syria (FIS) sebagai sarana untuk menata dan mengevaluasi perjuangan Ikhwân al-Muslimîn yang gagal menentang rezim al-Asad karena sudah banyak anggota Ikhwân al-Muslimîn yang jadi korban. Kekuatan Ikwân al-Muslimîn dan FIS waktu itu sudah kurang berpengaruh sebagai gerakan oposisi. Iran dengan terang-terangan justru mendukung pemerintahan rezim Asad. Baik FIS dan Ikhwân al-Muslimîn, tokoh-tokohnya banyak di pengasingan karena diburu oleh tentara rezim al-Asad. Di samping itu dekrit pemerintah mengancam keberadaan Ikhwân al-Muslimîn. Peristiwa demikian dipicu oleh demonstrasi dan pemboikotan besar-besaran tahun 1980 di Aleppo, Hamah, Homs serta ada upaya pembunuhan terhadap al-Asad.12

11 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 403.

12 Jonh L. Esposito, Dunia Islam Modern Enksilopedi Oxford (Terj), jilid 2, Cet. Ke-2, h.


(35)

Pada pertengahan tahun 1980-an aktifitas Saʻîd Hawwa dengan Ikhwân al-Muslimîn tidak terdengar lagi. Apalgi setelah kecewa terhadap sikap Khomeini yang kurang menguntungkan bagi Ikhwân al-Muslimîn dan FIS.13

Pada tahun 1978 Saʻîd Hawwa terserang stroke hingga sebagian anggota tubuhnya lumpuh. Ia juga mengalami komplikasi penyakit; tekanan darah, gula, ginjal dan sakit mata. Keadaan demikian membuat ia tidak dapat hadir bersama masyarakat lagi karena diopname. Pada bulan Desember tahun 1988 tak kunjung membaik dan masih dirawat di rumah sakit. Tiga bulan kemudian tepatnya tanggal 9 Maret 1989 sang pejuang itu wafat di rumah sakit Amman, Yordania.14 Tokoh pembela Islam, seorang Sufi, pejuang berhati lembut tersebut sudah pergi selama-lamanya dengan banyak meninggalkan buku-buku karyanya yang dapat dikembangkan dan dipelajari.

Ustadz Zuhair al-Syawisy di surat kabar al-Liwa’, yang terbit di Yordania

pada tanggal 15 Maret 1989, berkata, “Allah menetapkan takdir-Nya dan tidak ada

seorangpun mampu menolak takdir-Nya. Allah mengakhiri hidup Saʻîd bin Muhammad bin Dib Hawwa, di Rumah Sakit Islam Amman, Kamis pagi, 9 Maret

1989. Jenazahnya dishalatkan setelah Jum’at di Masjid Al-Faiha’ Al-Syumaisani

dan dikebumikan di pemakaman Sahab, wilayah selatan Amman. Jenazahnya dihadiri dan diiringi puluhan ribu orang. Diantaranya, ustadz Yûsuf al-Adam, Syaikh ‘Ali ‘Al-Faqîr, penyair Abu al-Hasan, Syaikh ‘Abdul Jalîl Rizq, ustadz Fâruq al-Masyuh dan sastrawan ‘Abdullah at-Tantâwi. Masyarakat Yordania yang mulia memperlakukan orang asing yang meninggal dunia di negeri mereka dengan hormat, sama seperti penghormatan mereka kepada orang-orang yang hidup dan singgah di tempat mereka. Ini kedermawanan, keindahan ucapan dan antusias yang simpatik.”15

13Septiawadi, “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwadalam al-Asâs fî al-Tafsîr, (Disertasi

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 39.

14 Al-Mustasyar ʻ Abdullah Al-ʻ Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 409.

15 Al-Mustasyar Abdullah Al-Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh


(36)

2. Karya-karya Saʻîd Hawwa

Pada usianya masih muda, Saʻîd Hawwa untuk pertama kalinya berkenalan dengan pergerakan jamâʻah Ikhwân al-Muslimîn. Pikiran-pikiran dari gerakan ikhwân al-Muslimîn sangat membentuk pola dan kepribadian Saʻîd Hawwa yang kemudian hari ia ikut terlibat bahkan sebagai tokoh dalam pergerakan Ikhwân al-Muslimîn di Suriah. Selain itu, pemikirannya di manifestasikan lewat buku-buku yang tersebar dan dapat dibaca dan dijangkau oleh siapapun. Dari beberapa karya Saʻîd Hawwa bisa dikategorikan bahwa pandangan gerakan Islam Saʻîd Hawwa sealiran dengan tokoh pendiri Ikhwân al-Muslimîn Hasan al-Banna. Faktor guru yang mendidik Saʻîd Hawwa juga berpengaruh membentuk pemikiran keagamaannya. Secara umum pemikiran keagamaan Saʻîd Hawwa bagian dari kelompok Islam Sunni yang dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Pola pemikiran Saʻîd Hawwa dapat dilihat melalui penafsirannya tentang fiqh, aqidah, tasawuf dalam kitab tafsir yang terdiri dari 11 jilid besar.16

Kegemaran Saʻîd Hawwa untuk menorehkan hasil pemikirannya dalam sebuah buku tidak dapat dipungkiri lagi. Publikasi terhadap bukunya tahun 1968 membuatnya digolongkan dalam pemikir Suriah yang menonjol. Semasa dalam tahanan akibat peristiwa Dastur, beliau menulis tafsir yang diberi judul al-Asâs fî al-Tafsîr yang terdiri dari sebelas jilid.17

16 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 39-40.

17 Sa


(37)

Saʻîd Hawwa adalah seorang penulis yang produktif, hasil karyanya meliputi berbagai macam keilmuan. Diantara buku-buku karya Saʻîd Hawwa yang dikutip dari disertasi Septiawadi adalah sebagai berikut:18

1. Al-Islâm

Di dalam buku ini Saʻîd Hawwa mengupas seluk-beluk Islam yang didasarkan kepada sebuah hadis Nabi. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang menerangkan tentang rukun Islam, rukun Iman dan Ihsan. Menurut analisis Saʻîd Hawwa, dalam Islam memuat aqidah yang meliputi syahadat serta pilar iman. Kedua, ibadah yang tercermin pada pilar Islam. Dua hal ini disebutnya sebagai rukun Islam sedangkan bangunan Islam berada di atas rukun-rukun yang disebut tadi. Bangunan Islam meliputi berbagai sistem perihal kehidupan seperti sistem politik, ekonomi, militer, akhlak, sosial, pendidikan dan seterusnya. Aspek Islam satu lagi yaitu kekuatan bangunan Islam agar tetap berdiri kuat yang mencakup jihad, amar ma’rûf nahi munkar serta penegakan hukum.

Tema pokok yang disebut di atas, diuraikan dengan kajian mendalam yang disusun dalam empat bab. Buku al-Islâm ini merupakan satu dari tiga karya lain Saʻîd Hawwa yang membahas seputar prinsip kehidupan muslim. Dua buku yang dimaksud yaitu dengan judul Allâh dan al-Rasûl.

Buku ini menjadi bagian penting dalam pembahasan skripsi ini, karena banyak pemikiran Saʻîd Hawwa yang berhubungan dengan kepemimpinan yang menjadi pembahasan di dalam skripsi ini.

18

Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwadalam al-Asâs fî al-Tafsîr,


(38)

2. Al-Asâs Fî Al-Sunnah

Sistematika penulisan buku ini dibagi ke dalam lima qism (tema kajian).

Qism pertama, tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad sejak berita kelahiran sampai tahun ke 39 H. Dikemukakan kegiatan nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul dan peristiwa yang dialami dalam penyebaran Islam serta peperangan-peperangan dalam Islam. Setelah itu dikemukakan biografi para sahabat, ada tercatat sebanyak 62 sahabat yang disusun pada bagian dari akhir

qism ini. Qism kedua tentang persoalan akidah yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keimanan sebagai misi utama nabi menegakkan akidah Islamiyah. Qism

ketiga tentang ibadah seperti ibadah pokok yang tercakup dalam rukun Islam dan yang terkait dengannya. Qism keempat tentang akhlak, persoalan pergaulan hubungan sosial. Qism kelima tentang hukum keperdataan dan persoalan muamalah.

Karakteristik buku ini terletak dari sumber dan cara pembahasannya. Dalam membahas tema atau sub judul, selalu menggunakan hadis atau berdasarkan riwayat nabi, sahabat, tabi’in dan pendapat ulama. Saʻîd Hawwa tidak sekedar mengemukakan riwayat tapi ada juga disertai dengan komentarnya atau komentar ulama lain. Penyajian sumber khusus dari nabi diberi tanda dan diberi penomoran. Berkenaan dengan cara pembahasan demikian, sangat tepat bukunya dinamai al-Asâs fî al-Sunnah. Artinya semua keterangan pada buku tersebut berasal dan bersumber pada sunnah nabi Muhammad Saw.

Pembahasan-pembahasan seperti mengenai sejarah pertumbuhan Islam dijelaskan dengan sunnah, perkara menyangkut ibadah semuanya dijelaskan


(39)

dengan menyajikan sunnah apa adanya. Dari sini terlihat bahwa Saʻîd Hawwa selain mengusai bidang tafsir, ia juga menguasai bidang hadis. Hal ini ini berbanding lurus dengan uraian pada kitab tafsirnya yang juga banyak diperkuat oleh hadis.

3. Jundullâh Tsaqafatan wa Akhlâqan

Di dalam kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr, Saʻîd Hawwa menjelaskan secara sekilas tentang kitab Jundullâh Saqafatah wa Akhlâqan, dimana salah satu tujuan buku atau kitab tersebut yakni dijelaskan di dalamnya pentingnya al-walâ

(saling tolong-menolong antara umat Islam), juga dijelaskan batasan-batasan al-walâ tersebut.19

Dalam buku ini, Saʻîd Hawwa menyebutkan bahwa tsaqafah seorang Muslim harus mencakup sebelas materi. Seorang da’i yang ulung seharusnya punya bekal yang cukup dari materi-materi ini. Materi-materi itu bisa diringkas menjadi sepuluh: ilmu al-Qur’an, ilmu hadis, ilmu bahasa Arab, ilmu ushul fikih, ilmu akidah, ilmu fikih, ilmu akhlak, ilmu sejarah, ilmu tentang tiga pokok (Allâh, Rasul dan Islam), dan ilmu fikih dakwah.20

4. Hâdzihi Tajrîbat wa Hâdzihi Syahâdatî

Di dalam buku ini diceritakan pengalaman hidup Sa’îd Hawwa, seperti dalam satu jam ia dapat membaca buku sebanyak enam puluh halaman. Di dalam buku ini juga diceritakan kegiatan demosntrasi yang pernah diikuti Sa’îd Hawwa. Juga diceritakan dalam buku ini adalah revolusi militer Amerika di Suriah.21

19 Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid III(Kairo: Dâr al-Salâm, 1985), h. 1426.

20 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 29

21Al-Mustasyar Abdullah Al-‘Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh


(40)

Karya-karya lain dari Saʻîd Hawwa adalah sebagai berikut:22

Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Al-Rasûl Sallallâhu ‘Alaihi Wasallam, Al-Mustkhlâs Fî Tazkiyah al-Anfûs, Allâh Jalla Jalâluhu. Al-Asâs Fî Al-Tafsîr, Min Ajli Khutuwat ilal Amâm ‘ala Tarîqi al-Jihâd al-Mubârak, Durus Fil ‘Amâl Al-Islâmi Al-Mu’asir, Fî Afaqi al-Ta’alîm, Iyâ Al-Rabbaniyyah, Qawaninu Bait al-Muslimîn, Ijâbah, Jundullâh Takhtitan wa Tanzîman, , Sirah bi Lughah Al-Hubb.

Itulah beberapa karya-karya yang dihasilkan oleh Saʻîd Hawwa. Sehingga dapat dikatakan beliau merupakan salah satu ulama yang cukup produktif dengan melihat hasil karya yang telah dihasilkannya cukup banyak.

B.Tafsir Al-Asâs Fî Al-Tafsîr

1. Metode dan Corak Penafsiran

Metode atau metodologi berasal dari dua kata; method dan logos. Dalam bahasa Indonesia Method dikenal dengan metode yang artinya, cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.23

Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan al-Qur’an. Pilihan metode-metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang mufasir, serta latar belakang keilmuan

22 Al-Mustasyar ‘Abdullah Al-‘Aqil, Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh

Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer, h. 405.

23 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:


(41)

dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan, metode-metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir itu untuk kebutuhan penafsir dimaksud. Hanya saja metode-metode tersebut tidak disebutkan dan dibahas secara eksplisit. Setelah ilmu pengetahuan Islam nantinya berkembang pesat, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan metodologi tafsir.24

Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam menelaah, membahas dan merefleksikan kandungan al-Qur’an secara apresiatif berdasarkan kerangka konseptual tertentu sehingga menghasilkan suatu karya tafsir yang representatif. Metodologi tafsir merupakan alat dalam upaya menggali pesan-pesan yang terkandung dalam kitab suci umat Islam itu. Hasil upaya keras dengan menggunakan alat dimaksud terwujud sebagai tafsir. Konsekuensinya, kualitas setiap karya tafsir sangat tergantung kepada metodologi yang digunakan dalam melahirkan karya tafsir tentunya.25

Di dalam penulisan kitab tafsir, ada beberapa metode yang seringkali digunakan penafsir dalam menulis kitabnya. Diantaranya adalah metode tahlîlî,26 ijmâlî,27muqâran,28dan juga metode maudû’î.29

24Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 37-38. 25Abdul Mu’in Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 38.

26

Yakni salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat

al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat

al-Qur’an secara runtun dari awal hingga akhirnya, dan surat-surat sesuai dengan mushaf ‘Utsmani.

(Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î (Kairo: al-Hadârah al-‘Arabiyah,

1977,) h. 23.)

27 Yakni metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan

makna global. Dengan metode ini penafsir menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal

selain seperti apa yang dikehendaki. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî Tafsîr

al-Mawdûʻ î, h. 42.)

28

Yakni metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi)

tafsir al-Qur’an. Penafsiran yang menggunakan menggunakan metode ini pertama sekali

menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran


(42)

Tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr karya Saʻîd Hawwa dapat dikatakan di dalam pembahasannya menggunakan metode tahlîli. Dimana pada penjelasan di atas telah dijelaskan bahwa metode tahlîli yaitu suatu metode penafsiran yang dimulai dari surat al-Fâtihah sampai surat tekahir al-Nâs. Penjelasan uraian penafsiran dikemukakan secara rinci dan panjang.

Penerapan tahlîli sebagai metode yang digunakan tafsir ini, misalnya penafsiran surah al-Baqarah. Pertama, Saʻîd Hawwa membagi surah al-Baqarah dalam tiga kelompok yaitu mukaddimah, kandungan surat dan penutup. Untuk mukaddimah terdiri dari dari 20 ayat pertama, bagian isi dari ayat 21 sampai ayat 284, sedangkan 2 ayat terakhir sebagai penutup surat. Mukaddimahnya terdiri dari tiga faqrah. Untuk faqrah ketiga mengandung tiga majmû’ah. Bagian tengah al-Baqarah terdiri dari tiga qism, yang mengandung beberapa maqta’ dan faqrah.

Ayat yang ditafsirkan disusun dalam kelompok-kelompok ayat untuk memudahkan uraiannya.30

Rangkaian metode penafsiran Saʻîd Hawwa dapat dirumuskan sebagai berikut:31

1. Menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabahnya.

Beberapa ayat tersebut bisa tergabung dalam satu maqta’ dengan beberapa faqrahnya. Pada setiap surat terlebih dahulu dijelaskan keberadaan

mengetahui posisi dan kecenderungan para penafsir sebelumnya yang dimaksudkan dalam objek

kajiannya. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 45)

29

Disebut juga dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan tema-tema

tertentu yang terdapat di dalam al-Qur’an. Ada dua cara dalam tata kerja metode tafsir maudû’î:

pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah

(maudu/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun turunnya berbeda

dan tersebar dalam berbagai surah al-Qur’an. Kedua, penafsiran yang dilakukan berdasarkan surat

al-Qur’an. (Abd al-Hay al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdûʻ î, h. 61-62.)

30 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,

2010, h. 54-55.

31 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,


(43)

surat tersebut baik menyangkut identifikasi surat, tema surat, hubungan dengan surat lain atau kandungan surat secara global. Biasanya disini ditampilkan riwayat bila menyangkut sebab turun dari suatu surat.

2. Menafsirkan ayat.

Bentuk penafsiran yang dikemukakan Sa’îd Hawwa mengenai ayat yang sudah disusun dalam kelompok ayat yaitu dengan menjelaskan makna secara umum atau memberikan pengertian secara global kemudian menerangkan pengertian teks ayat ( makna harfi ) dengan tinjauan bahasa serta uslub ayat. Dalam hal ini ia sering menggunakan rujukan dari kitab tafsir al-Nasâfî dan Ibnu katsîr juga tafsir Sayyid Qutb dan al-Alusi. Dengan demikian makna harfi yang dijelaskan cukup panjang berbeda dengan tafsir Jalalain yang sangat singkat. Penjelasan makna umum dan makna harfi dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat atau potongan ayat yang ditulis dalam kurung.

3. Menjelaskan hubungan susunan ayat (munasabahnya)

Disini Sa’îd Hawwa mengkaji struktur ayat dalam surat. Misalnya hubungan dalam satu kelompok ayat seperti hubungan kesamaan tema dalam satu maqta’, atau satu faqrah. Menerangkan hubungan antar faqrah atau antar

maqta’ bahkan dijelaskan hubungan dengan ayat lain pada surat yang berbeda. 4. Menjelaskan hikmah ayat

Bagian ini dikenal dalam rangkaian penafsirannya dengan fawaid. Dalam poin ini ada juga dibahas tentang munâsabah ayat khususnya hubungan suatu ayat dengan beberapa ayat lain atau dengan hadis nabi. Poin ini merupakan penafsiran yang lebih luas dan komprehensif oleh Saʻîd Hawwa dengan memahami ayat berdasarkan konteks.


(44)

Demikian langkah dari metode penafsiran Saʻid Hawwa yang lebih banyak menyorot aspek munasabah dalam tafsirnya. Dua poin terakhir ini merupakan keunggulan dari tafsir Saʻid Hawwa yang membedakannya dengan mufasir lain baik dari sisi ide ataupun metode.

Selanjutnya untuk mengetahui corak dari kitab tafsir al-Asâs fi al-Tafsîr,

maka tidak terlepas dari beberapa corak kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan kitab tafsir ini. Kitab tafsir yang menjadi rujukan dalam penulisan ini adalah kitab tafsir Ibnu Katsîr, tafsir al-Nasâfî, tafsir Rûh al-Ma’ani dan kitab tafsir fî Zilâl al-Qur’ân. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kitab tafsir

al-Asâs fî al-Tafsîr menampakkan corak tasawuf, aqidah, adabi ijtimâ’i

(sosiologis), pola ra’yi dan ma’tsûr juga memperkaya memperkaya corak penafsiran Saʻîd Hawwa. Tafsir Ibnu Katsîr termasuk tafsir jenis ma’tsûr, sedangkan tafsir al-Nasâfî tergolong tafsir bi al-Ra’yi. Selain itu tafsir al-Nasafi berorientasi aqidah dan tasawuf, sementara itu tafsir Rûh al-Ma’âni merupakan corak tafsir tasawuf. Sedangkan tafsir Sayyid Qutb termasuk tafsir modern yang berorientasi politik, sosial dan dakwah.32

2. Sistematika Penulisan

Kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr merupakan kitab tafsir yang terdiri dari 11 (sebelas) jilid besar. Kitab tafsir yang dijadikan penelitian dalam kajian ini merupakan terbitan dari penerbit Dâr al-Salâm, Mesir, dengan tahun terbit 1985 M/ 1405 H. Dalam jilid pertama kitab tersebut dicantumkan kata pengantar penerbit oleh ‘Abdul Qâdir Maẖmûd al-Bukâr yang terdiri dari dua halaman.

32 Septiawadi, Disertasi: Penafsiran Sufistik Saʻ îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr,


(45)

Kemudian disusul pengantar penyusun (al-Asâs fî al-Manhaj) tentang metode pembahasan mengenai uraian kitab tafsir yang digunakan oleh penulisnya. Masih di dalam jilid satu dikemukakan pengantar kitab tafsir al-Asâs (Muqaddimah al-Asâs fî al-Tafsîr) yang memberikan tentang karakteristik kitab tafsir ini serta keistimewaannya dibandingkan dengan kitab tafsir lain.

Kitab tafsir al-Asâs ini disusun seperti kitab tafsir besar yang lain dengan menguraikan penafsiran secara mendalam dan rinci yang mencapai 11 jilid tebal. Penulisan kitab tafsir ini seperti diterangkan oleh Saʻîd Hawwa dalam pendahuluan kitabnya yaitu ketika ia menjalani masa tahanan politik semasa pemerintahan Hafiz al-Asad dalam kurun waktu 1973-1978 M.33

Secara umum, sistematika penulisan kitab tafsir al-Asâs fî al-Tafsîr yaitu dalam setiap jilid Saʻîd Hawwa selalu mengemukakan pendahulan sebelum masuk dalam penafsiran surat-surat al-Qur’an. Paparan menyangkut kategori surat sesuai yang dibagi menurut jumlah ayat oleh Saʻîd Hawwa. Setiap surat yang ditafsirkan terlebih dahulu pada awal surat dijelaskan munasabahnya dengan surat-surat lainnya. Biasanya dikutip dari penjelasan Sayyid Qutb dalam kitab tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân dan al-Alusi dalam kitab tafsir Rûh al-Ma’âni. Runtutan penafsiran disesuaikan dengan urutan surat-surat seperti yang terdapat di dalam mushaf.

Untuk memudahkan penyajiannya sistematika dengan membagi kelompok-kelompok surat dalam al-Qur’an. Saʻîd Hawwa memberikan pengkategorisasian pada 4 macam atau qism: pertama; Tiwâl, yaitu (surah al-Baqarah samapi dengan surah Barâah), kedua, Mi-in yaitu (surah Yunus sampai dengan surah al-Qasâs), kelompok ini dibagi pula oleh Saʻîd Hawwa menjadi

33 Saʻ îd Hawwa, al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid I(Mesir: Dâr al-Salâm, 1993 M/ 1414 H), h.


(1)

83 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Pada pembahasan dalam tulisan ini telah dijelaskan bahwa kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting di tengah masyarakat. Suatu kepemimpinan akan menentukan nasib ke depan bagi orang-orang atau bangsa yang dipimpinnya. Hal ini amat bergantung kepada individu yang memimpin tersebut.

Menurut Saʻîd Hawwa berdasarkan dua kitab hasil karyanya, yakni al-Asâs fî al-Tafsîr dan al-Islâm, didapatkan kesimpulan bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang beragama Islam. Seseorang yang beragama selain Islam, tidak boleh dijadikan pemimpin. Hal yang paling sering diangkat oleh Saʻîd Hawwa, bahwa seorang pemimpin harus bermusyawarah di dalam setiap mengambil keputusan, serta berlaku adil di dalam menetapkan hukum dengan menggunakan hukum Allâh. Seorang pemimpin mempunyai dua tugas utama, pertama menegakkan ajaran agama Islam, kedua adalah melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan tetap berpedoman pada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Pemimpin dapat diturunkan dari jabatannya, apabila ia telar melanggar syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama.

B. Saran

Pembahasan yang penulis angkat, merupakan pembahasan yang selalu menarik untuk dibicarakan walaupun telah banyak orang yang menulis tentang kepemimpinan ini. Jika dikemudian hari ada peneliti yang ingin mengadakan


(2)

84

penelitian lebih lanjut, penulis berharap peneliti tersebut dapat lebih membahas secara detail dari setiap bagian bahasan, serta dapat memberi informasi baru yang mungkin belum pernah dibahas. Sehingga hal tersebut dapat menambah khazanah bagi para pembaca, khususnya bagi yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana konsep kepemimpinan yang diajarkan oleh agama, serta berbagai konsep kepemimpinan baru yang terus bermunculan di atas bumi ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

al-‘Aqil, Al-Mustasyar ʻAbdullah. Mereka yang Telah Pergi; Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer. Penerjemah Fachruddin. Jakarta: al-I’tisham Cahaya Umat, 2003.

al-Asfahânî, Abi Al-Qâsim Husain Al-Râghib. al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân. Kairo: Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1412 H.

al-Baidhâwî, Nasruddin Abu Al-Khair ‘Abdullâh bin ‘Umar. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, jilid I. Mesir: Mustaf al-Bâb al-Halabi, 1939.

al-Bukhâri, Muammad bin Ismâ’il. Sahîh al-Bukhâri, Juz 9. Mesir: Dâr uq al-Najâh, 2001.

al-Dârimî, Imâm. Sunan al-Dârimî. Riyad: Dâr al-Mughni, 1421 H.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro, 2011.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Effendy, Mochtar. Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam. Palembang: Al-Mukhtar, 1997.

Esposito, John L. Dunia Islam Modern-Ensiklopedi Oxford. Penerjemah Eva Y.N dkk, jilid 1, 5. Bandung, Mizan: 2002.

Fâris, Abu Husain Ahmad Ibnu. Mu’jam Maqâyis al-Lughah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994/1415.

al-Farmâwi, ‘Abdu al-Hay. Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Mawdû’î. Kairo: al-Hadârah al-‘Arabiyah, 1977.

Hamka. Tafsir al-Azhar, juz V. Jakarata: Pustaka Panjimas, 1983. ---. Tafsir al-Azhar, juz 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Hawwa, Saʻîd. al-Asâs fî al-Tafsîr, jilid 1. Kairo: Dar al-Salam, 1985.


(4)

---. al-Asâs fî al-Sunnah, jilid I, Cet. Ke-3. Kairo: Dâr al-Salâm, 1995.

---. al-Islâm, cet. Ke. 2. kairo: Maktabah Wahbah, 2004/1425.

---. al-Islâm, Penerjemah Abdul Hay al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

---. Mensucikan Jiwa – Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu, terj. Jakarta: Robbani Press, 1995.

---. al-Rasûl. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.

Hawwa, Saʻîd. Tafsir al-Asas. Penerjemah Syafril Halim. Jakarta: Robbani Press, 1999.

---. Tarbiyatuna al-Rûhiyyah, Cet. Ke-9. Kairo: Dar Al-Salâm, 2007. Iyazi. Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum. Teheran: Wazarah al-Taqâfah

wa al-Irsâd, 1992.

Jazuli, Ahzami. Fiqh Al-Qur’ân. Jakarta: Kilau Intan, t.t.

Ka’bah, Rifyal. Politik dan Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Khairul Bayan, 2005.

Katsîr, Imâduddîn Abû Fidâ’ Ismâ’il Ibnu. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azîm, jilid I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1980.

Kementrian Agama RI. Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik. Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.

al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsir al-Marâghî , jilid V. Beirut: Dâr al-Fikr, 2001.

Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani, 2006.

Muslim, Abu Husain bin Al-Hajjaj. Sahîh Muslim, jilid II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1994/1414.


(5)

Mustafa, Ibrâhîm. al-Mu’jâm al-Wasit. Mesir: Dâr al-Maʻârif, 1972.

al-Naisâbûrî, Abû Al-Hasân ‘Ali bin Ahmad Al-Wâhidi. Asbâb al-Nuzûl. tkp: Maktabah wa Mathba’ah al-Manâr, t.t.

al-Nasâ’i, Ahmad bin Syuʻaib Abu Abd al-Rahman. Sunan al-Nasâ’i, juz 7. Beirut: Maktab al-Matbûʻah al-Islâmiyah, 1986.

al-Nawawî. Sahîh Muslim bi Syarhi al-Nawawî, jilid XI. Mesir: Al-Mataba’at al -Misriyah, 1392 H.

al-Qurtûbî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurtûbî. Penerjemah Amir Hamzah, vol. 11. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Qutb, Sayyid. Fî Zilâl Al-Qur’ân, jilid V. Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 2000.

---. Tafsir fi Zhilâl al-Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an, Penerjemah As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Ridâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, jilid V. Kairo: Maktabah al-Qâhirah, 1990.

Rivai, Veithzal dan Mulyadi, Dedi. kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press, 2011).

al-Sajastani , Abu Dâwud Sulaimân bin al-Asyʻats. Sunan Abî Dâwud, juz 4. Beirut: Dâr al-Kitâb al-ʻArabî, t.th.

Salim, Abdul Mu’in. Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2002.

---. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.

Septiawadi. “Penafsiran Sufistik Sa’îd Hawwa dalam al-Asâs fî al-Tafsîr”. Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Shihab, M. Quraish. Menabur Pesan Ilahi. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

---. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 2000.


(6)

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI-Press, 1993.

al-Syaibâni, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdullâh. Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5. Kairo: Mu’assasah Qurtbah, t.th.

al-Syaukânî, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Fath al-Qadîr, jilid I.

al-abarî, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr. Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîli al-Qur’ân, jilid V. Kairo: al-Halabi, 1954.

---. Tafsir Al-Tabarî, penerjemah Ahsan Askan, vol. 18. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Taimiyyah, Taqîuddîn Ibnu. al-Siyâsah al-Syar’iyyah fî Islâh al-Râ’i wa al -Râ’iyyah. Arab Saudi: Dâr al-Ma’rifah, 1418 H..

Thoha, Miftah. Kepemimipnan dalam Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.