Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris memegang peranan penting dalam menjembatani masuknya informasi dari dunia luar. Sebagian besar masyarakat di seluruh penjuru dunia memakai bahasa Inggris untuk komunikasi antar bangsa yang misinya untuk pengembangan dan peningkatan semua bidang, baik bidang teknologi, bisnis, ilmu pengetahuan maupun keagamaan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Seiring dengan tuntutan zaman, masyarakat Indonesia mulai merambah ke dunia interlingual untuk mendapatkan kedudukan terpandang di jajaran internasional. Ironisnya, banyak masyarakat Indonesia yang tidak menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi bangsa Indonesia untuk maju. Seperti telah diutarakan secara singkat di atas, lingkup informasi yang memuat tentang kemutakhiran zaman, yang bisa dengan mudah dan cepat diakses, kebanyakan ditulis atau disampaikan dalam bahasa Inggris. Mengacu pada kondisi ini, tentulah peran penerjemah tulis dan penerjemah lisan sangat dibutuhkan. Untuk mengetahui seberapa penting kedua profesi tersebut, perlu kiranya kita menilik ulang dari induk ilmunya. Secara umum, penerjemahan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu penerjemahan bahasa isyarat, penerjemahan tulis dan penerjemahan lisan. Dari ketiga jenis penerjemahan tersebut, penerjemahan tulislah yang paling sering dipraktikkan di Indonesia. Sebaliknya, penerjemahan bahasa isyarat dan penerjemahan lisan jarang dilakukan. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, penerjemahan bahasa isyarat sempat muncul di layar televisi TVRI. Kemunculannya pada waktu itu sangat membantu para tuna rungu di Indonesia dalam mengikuti berita-berita yang disiarkan oleh TVRI. Dengan alasan yang tidak begitu jelas, penerjemahan bahasa isyarat itu kemudian hilang dari layar televisi. Nasib penerjemahan lisan tidak seburuk nasib penerjemahan bahasa isyarat. Fakta menunjukkan, tipe penerjemahan lisan ini sudah sering digunakan di forum- forum bertaraf internasional seperti Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan KTT Negara-negara Non-Blok di Jakarta. Bahkan, di beberapa pengadilan tinggi di Indonesia seperti Pengadilan Negeri Denpasar Bali, penerjemahan lisan sering dipraktikkan pada saat berlangsungnya persidangan terhadap para pelanggar hukum, yang melibatkan orang asing. Aktivitas penerjemahan lisan juga dapat diamati di layar televisi setiap minggu sore, yang ditayangkan oleh RCTI. Meskipun demikian, kegiatan penerjemahan lisan masih dipandang kurang baik dari segi kuantitas dan kualitas. Pada umumnya, penerjemahan lisan lebih sulit daripada penerjemahan tulis. Ada lima alasan yang mendasari pernyataan ini. Alasan pertama adalah penerjemah lisan harus menuntaskan tugasnya pada saat itu juga, yaitu saat dimulainya proses penerjemahan lisan dengan waktu jeda yang sangat terbatas. Sekali suatu proses dimulai, penerjemah lisan tidak mempunyai kesempatan untuk mengulang, merevisi, ataupun mengevaluasi terjemahannya. Jadi bisa dikatakan bahwa hasil dari suatu penerjemahan lisan adalah “non-correctable and non-verifiable.” Shuttleworth and Cowie, 1997: 84. Memang dalam kasus tertentu, penerjemah mempunyai hak untuk bertanya maupun meminta pembicara untuk mengulangi tuturannya. Namun perlu dicatat, ketidakmampuan penerjemah dalam menangkap maupun menyimak tuturan sumber yang kemudian mengalihkannya ke dalam bahasa sasaran, akan menunjukkan ketidakprofesionalan penerjemah itu sendiri. Alasan kedua adalah bahwa dalam melakukan tugasnya, penerjemah lisan selalu berhubungan langsung dengan penutur. Kehadiran penutur sangat mempengaruhi proses penerjemahan lisan dan hal itu benar-benar dirasakan oleh penerjemah terutama dalam segi mentalitas. Dia mengemban tugas penting dalam menjembatani kesenjangan komunikasi antara penutur dengan pendengar. Alasan ketiga adalah bahwa saat proses penerjemahan lisan berakhir, tidak ada bukti secara fisik yang ditinggalkan. Proses penerjemahan lisan hanya berlangsung sekali dan ‘dinikmati’ secara live oleh pendengar. Alasan keempat adalah bahwa dalam penerjemahan lisan, teks yang dialihbahasakan merupakan tuturan lisan yang disampaikan oleh penutur. Teks tersebut diutarakan sesuai dengan keinginan penutur baik dalam hal penyampaian jalan pikiran maupun cara penyampaiannya. Jadi setiap saat bahasan dalam teks sumber bisa berubah walaupun masih dalam topik yang sama. Oleh karena itu, keterampilan yang dibutuhkan penerjemah lisan adalah keterampilan menyimak dan keterampilan bertutur. Selain itu, sebelum menunaikan tugasnya, penerjemah lisan diharapkan untuk mengetahui jenis teks, karakter penutur, peserta atau pendengar, serta menguasai topik yang akan diterjemahkan, karena pada saat menerjemahkan, penerjemah harus menyesuaikan intonasi, pengucapan, maupun kecepatan penyampaian pesan dengan yang diutarakan oleh pembicara atau penutur. Alasan kelima adalah bahwa selama proses penerjemahan lisan, penerjemah hanya bisa mengandalkan pengetahuan yang dia punya tanpa memperoleh kesempatan untuk menggali lebih dalam lagi mengenai topik bahasan yang dia alihbahasakan. Namun di sisi lain, jalannnya proses penerjemahan lisan masih berada di bawah satu topik yang telah ditentukan dan sudah diketahui sebelumnya oleh penerjemah. Selain itu, pendengar juga berada satu tempat dengan penutur dan penerjemah, yang sebelumnya mereka pun sudah tahu tentang topik yang akan dibawakan, sehingga fungsi mereka lebih cenderung ke pemahamaan yang lebih dalam mengenai topik tersebut. Dalam keadaan ini pula, pendengar bisa menilai secara langsung kerja penerjemah lewat penampilan yang dia bawakan maupun kelancaran saat tuturan sumber diterjemahkan, sehingga mereka bisa membandingkan bagaimana tuturan disampaikan oleh penutur dan penerjemah. Mengingat bentuk bahasa yang dilibatkan dan cara penerjemahan lisan dilakukan serta karakteristik penerjemahan lisan, besar kemungkinan penerjemah akan menghadapi banyak kendala pada saat dia melakukan proses penerjemahan lisan. Karena kedua bahasa yang dilibatkan dalam penerjemahan lisan pada umumnya berbeda baik dalam hal sistem kebahasaan dan budaya, dan terbatasnya waktu yang tersedia bagi penerjemah dalam mengalihkan pesan, penerjemah akan menerapkan strategi-strategi yang berdampak pada kualitas terjemahan yang dihasilkannya. Baik proses penerjemahan lisan, faktor yang terlibat, strategi penerjemahan yang diterapkan, dan juga dampak dari faktor dan strategi penerjemahan tersebut terhadap kualitas terjemahan merupakan hal yang sangat perlu untuk dikaji. Melalui pengkajian itu akan terungkapkan fenomena penerjemahan lisan, yang hingga saat ini belum pernah atau bahkan tidak pernah diteliti di Indonesia. Merujuk pada wacana di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji suatu kasus mengenai kompetensi seorang penerjemah lisan dalam suatu kegiatan rohani yang melibatkan proses penerjemahan lisan yang secara umum dilakukan secara konsekutif bertajuk “Miracle Crusade – This is your day”. Peneliti tertarik untuk mengkaji kegiatan yang dipromotori oleh salah satu gereja besar di Indonesia ini karena selain menarik, dari kegiatan tersebut bisa dengan jelas diamati suatu proses berlangsungnya penerjemahan lisan di negara kita. Kegiatan kebangunan rohani yang diselenggarakan di pelataran pantai Carnival Ancol, Jakarta tersebut melibatkan satu pembicara utama yaitu seorang misionaris dari Amerika bernama Benny Hinn dan seorang penerjemah lisan yang sekaligus berprofesi sebagai pendeta. Tugas penerjemah lisan di sini adalah sebagai penyambung lidah pembicara utama, dalam artian si penerjemah lisan menerjemahkan tuturan Inggris pembicara ke dalam bahasa Indonesia. Karena kegiatan ini merupakan kebaktian penyembuhan, audience atau bisa dikatakan jemaat yang mayoritas orang Indonesia, turut dilibatkan untuk bersaksi di atas mimbar. Kesaksian tentang penyembuhan yang dituturkan dalam bahasa Indonesia wajib diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh si penerjemah lisan mengingat lawan tuturnya adalah seseorang yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Dengan demikian akan menjadi suatu pengalaman yang sangat menantang bagi si penerjemah lisan ketika dalam waktu yang hampir bersamaan harus menerjemahkan dua bahasa sekaligus. Untuk mengetahui gambaran tentang kegiatan tersebut, berikut penggalan tuturan yang diambil dari data rekaman: 1 Pembicara : “What happened to you today?” Penerjemah : “Apa yang terjadi kepadamu hari ini?” Pendengar : “Puji Tuhan aku bisa jalan Aku ngga pakai tabung oksigen lagi” Penerjemah : “Praise God I can walk I don’t need that tank of oxygen anymore” Dari contoh tuturan di atas secara umum bisa dikatakan bahwa penerjemah tampak menguasai dengan baik kedua bahasa dan cukup berkompeten dalam melakukan proses penerjemahan lisan. Berikut contoh yang lain: 2 Pembicara : “You can breathe now?” Penerjemah : “Bernafas dengan hidung. Tadinya ndak bisa.” Pendengar :“Hidungnya sembuh, tenggorokannya bagus, semuanya bagus, leher sampai kepala bagus.” Penerjemah : “Everything now is good. Everything now is good. My mouth, my nose till my ear everything is good now.” Pendengar : “Suaranya bagus, suaranya bagus. Hidung, bagus semua.” Penerjemah : “God is great.God is great” Setelah mencermati contoh 2, apakah kita masih beranggapan bahwa si penerjemah cukup berkompeten? Sekalipun jawabannya tidak, pun itu belum tentu. Mengapa demikian? Banyak faktor yang melatarbelakangi terlontarnya terjemahan dalam suatu proses penerjemahan lisan. Bisa jadi penutur yang berbicara terlalu cepat dan terlalu pelan atau audio yang digunakan kurang menunjang untuk berlangsungnya proses penerjemahan lisan. Selain itu, strategi yang diterapkan oleh penerjemah lisan juga bisa mempengaruhi kualitas terjemahan yang dihasilkan. Hal inilah yang menarik untuk dikaji. Dengan mengamati secara menyeluruh dan mendalam mengenai proses berlangsungnya penerjemahan lisan dalam kegiatan rohani ini, peneliti akan dapat mengetahui derajad profesionalitas penerjemah lisan dalam bidang penerjemahan lisan.

2. Pembatasan Masalah