Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
23
sumber daya manusia yang ideal. Paradigma behavioristic yang dipegang guru selama ini, yang wujudnya dalam proses pembelajaran
berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa, telah menunjukkan kegagalannya dalam menghasilkan lulusan pendidikan yang ideal.
Cara pandang behavioristic ini harus secara radikal diganti dengan cara pandang konstruktivistik.
Ciri khas paradigma konstruktivistik adalah aktivitas dan keterlibatan siswa dalam upaya proses belajar dengan memanfaatkan
pengetahuan awal dan gaya belajar masing-masing siswa dengan bantuan guru sebagai fasilitator yang membantu siswa apabila siswa
mengalami kesulitan dalam upaya belajarnya. Dalam kaitannya dengan pemberian bantuan, guru hanya membantu siswa dengan
memberikan arahan atau media dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dikuasai siswa. Namun, tanggung jawab penyelesaian tugas tetap
pada diri siswa. Ada kemungkinan dalam mengerjakan tugas, siswa melakukan beberapa kesalahan tetapi dengan mediasi atau bantuan
baik berupa umpan balik, bimbingan maupun petunjuk yang diberikan guru, siswa dapat mengerjakan tugas-tugas tersebut dan mencapai
tujuan. Pemberian bantuan semacam ini dikenal dengan istilah scaffolding.
Melalui pentahapan atau scaffolding ini diharapkan setiap siswa dapat menguasai kompetensi yang kompleks secara mudah dan tahan
lama. Guru yang telah menerapkan paham konstruktivisme
24
memahami benar bahwa pengetahuan itu dibangun sedikit demi sedikit, dan diperluas atau diperdalam melalui kegiatan mengalami
dalam konteks alamiahnyata. Hal ini akan tercermin dalam skenario pembelajarannya yang didesain secara bertahap dalam bentuk fase-
fase untuk membantu siswa mencapai kompetensi optimal yang harus dikuasai.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa inti dari konstruktivistik adalah membangun pemahaman mereka sendiri dari
pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima
pengetahuan b.
Inkuiri Inquiri adalah kegiatan inti dari pembelajaran berbasis CTL.
Inquiri diawali
dengan pengamatan
untuk memahami
konsepfenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Dengan mengembangkan
keterampilan berpikir kritis, siklus inquiri adalah sebagai berikut: mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara hipotesis,
mengumpulkan data, menganalisis data , dan merumuskan teori. Ada yang beranggapan bahwa inkuiri hanya cocok diterapkan
untuk pembelajaran sains. Pendapat ini tentunya kurang tepat. Inkuiri dapat diterapkan dalam pembelajaran apa saja, tergantung kreativitas
guru. Di tangan guru yang kompeten dan kreatif, semuanya dapat
25
diselesaikan dengan baik. Hal yang perlu ditegaskan dalam inquiri adalah harus terjadi proses perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman dan siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
c. Bertanya Questioning
Questioning atau
bertanya adalah
salah satu
prinsip pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran CTL dipandang
sebagai kegiatan guru untuk mendorong siswa mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, membimbing dan
mengetahui kemampuan berpikir siswa. Bertanya merupakan bagian yang sangat penting dalam belajar. Pertanyaan yang diajukan oleh
siswa merupakan indiaktor bahwa siswa sudah mulai belajar. Tanpa pertanyaan, siswa dapat dikatakan belum belajar. Jika seseorang siswa
bertanya, maka ia sudah melihat permasalahan atau masalah pada sesuatu yang sedang dipelajari. Pemunculan masalah menandakan
bahwa siswa sudah mulai berpikir, dan jika masalah itu dirumuskan menjadi pertanyaan berarti siswa itu berkehendak untuk menemukan
jawaban atas masalah yang ditemukan; berarti pula siswa berkehendak untuk mengembangkan pikiran lebih lanjut. Itulah belajar.
Pertanyaan juga sangat penting dalam proses pembelajaran, Socrates Hasibuan, 1988 mengutarakan bahwa pertanyaan
merupakan “the very core of teaching”. Dalam model pembelajaran
konvensional “pembelajaran berbasis pengetahuan”, guru pada
26
umumnya mengajukan pertanyaan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana materi pelajaran yang diceramahkan guru sudah
dipahami siswa, atau hanya untuk membawa siswa ke pamahaman materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Namun,
pertanyaan yang diajukan dalam proses pembelajaran kontekstual mempunyai tujuan lebih dari itu. Ada tiga tujuan pokok dari
dikemukakannya pertanyaan dalam proses pembelajaran, yaitu: meningkatkan tingkat berpikir siswa, mengecek pemahaman siswa,
dan meningkatkan partisipasi belajar siswa. Pada pembelajaran berbasis
kompetensi, khususnya
pada pembelajaran
yang menggunakan model belajar penemuan discovery-inquiry learning,
tujuan diajukannya pertanyaan dalam kelas lebih banyak lagi, yang utama adalah:
1 mendorong siswa untuk menggali informasi,
2 merangsang rasa ingin tahu,
3 melatih siswa untuk mengidentifikasi dan menemukan masalah,
4 membimbing siswa untuk merumuskan hipotesis,
5 membimbing siswa untuk mengolah data,
6 membimbing siswa untuk menarik kesimpulan berdasarkan data
7 membimbing siswa untuk mentransfer pengetahuan atau konsep
ke masalah baru atau ke penerapan dalam pemecaham masalah. Aspek penting yang perlu ditekankan dari prinsip bertanya ini
adalah bagaimana guru memfasilitasi siswa agar siswa mau dan bisa
27
bertanya, tukar pengalaman, dan berbagi ide. Pertanyaan kreatif diharapkan muncul dari siswa. Sekelompok orang yang terikat dalam
kegiatan belajar d.
Masyarakat Belajar Masyarakat belajar atau learning community adalah kegiatan
pembelajaran yang difokuskan pada aktivitas berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Aspek kerja sama dengan orang lain
untuk menciptakan kerja sama yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community. Hal yang
berbeda dan mendapatkan penekanan dalam pembelajaran yang menerapkan
prinsip masyarakat
belajar adalah
pentingnya membangun tim atau kelompok yang tangguh. Kelompok yang
tangguh adalah kelompok yang tiap anggotanya mau saling berbagi, saling mendukung, saling mau menerima kelebihan dan kekurangan
orang lain. Selain tim yang tangguh, dalam masyarakat belajar juga dituntut
adanya pemilihan tugas yang kompleks dan jelas sehingga layak untuk didiskusikan, diperlukan pengelolaan yang baik agar kegiatan
diskusi dapat dipertanggungjawabkan kualitas hasilnya, jelas penilaiannya. Dan satu aspek lagi yang perlu dipegang teguh adalah
dalam masyarakat belajar kualitas individual tetap menjadi perhatian meskipun bekerja dalam kelompok. Dengan demikian, anggota yang
hanya bergantung pada orang lain tanpa inisiatif dan partisipasi tentu
28
tidak harus dihindari dengan menggunakan teknik diskusi atau pembelajaran yang benar-benar kooperatif bukan sekadar kolaboratif.
Masyarakat belajar adalah salah satu kecakapan hidup yang perlu dilatihkan sejak dini karena pada kenyataannya dalam hidup
bermasyarakat, 99 sukses hidup seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam bekerja sama dengan orang lain.
e. Pemodelan
Teori tentang pentingnya pemodelan dalam pembelajaran kontekstual diadopsi dari teori belajar sosial yang dikembangkan oleh
Bandura Dahar, 1988. Dalam teorinya, Bandura berpendapat bahwa manusia itu belajar dari suatu model dan belajar dari keberhasilan dan
kegagalan orang lain. Sebagai contoh, guru-guru olah raga mendemontrasikan loncat tinggi dan para siswa menirunya. Bandura
menyebut ini no-trial learning, karena siswa tidak harus melalui proses pembentukan shaping process, tetapi dengan segera
menghasilkan respons yang benar Dahar, 1989. Dalam teori pemodelan ini, dikemukakan empat fase belajar dari
model yaitu, fase perhatian attention phase, fase retensi retention phase
, fase reproduksi reproduction phase, dan fase motivasi motivational phase. Fase pertama dalam belajar melalui model
adalah memberikan perhatian pada suatu model. Pada umumnya orang akan memperhatikan apabila model yang ditampilkan itu
menarik, aktual, dan populer. Oleh karena itu, dalam menerapkan
29
pembelajaran dengan teknik pemodelan, seorang guru harus menampilkan model yang benar-benar menarik, aktual, dan populer
agar mendapatkan perhatian dari para siswa, mendapatkan apresiasi positif, dan dapat menumbuhkan minat atau motivasi siswa untuk
mengembangkan yang lebih baik lagi. Fase kedua dalam belajar melalui model adalah fase retensi. Retensi adalah kemampuan
mengingat sesuatu dalam jangka waktu yang lama dalam memori jangka panjang, bukan memori jangka pendek yang mudah dilupakan.
Sebuah model yang menarik, aktual, populer, dan dikuatkan dengan simbol-simbol, media, kata-kata, dan nama-nama yang menarik,
memiliki peranan penting dalam memperkokoh ingatan jangka panjang. Ingatan jangka panjang terkait dengan kegiatan-kegiatan
yang dimodelkan secara konkrit biasanya lebih tahan lama daripada diteorikan atau diceramahkan secara abstrak. Ingatan jangka panjang
terkait dengan aspek-aspek yang dimodelkan akan mendorong siswa untuk menemukan ciri-ciri dari aspek-aspek yang dimodelkan,
menemukan kelebihan dan kekurangan dari model, dan sekaligus dapat memproduksi model lain yang lebih menarik dan inovatif. Fase
ketiga dalam belajar melalui model adalah fase reproduksi. Fase reproduksi ini akan menepis anggapan yang melemahkan teori
pemodelan yang memandang bahwa pemodelan akan melahirkan plagiatisme, melahirkan pembelajar yang hanya pandai meniru. Justru
dari model yang ditampilkan inilah para pembelajar belajar dan
30
menciptakan model baru yang jauh lebih baik. Buah dari reproduksi adalah reinforcement atau penguatan berupa pujian atau bentuk-
bentuk yang lain. Penguatan ini akan memberikan motivasi atau semangat untuk membuat model yang lebih baik. Fase keempat dalam
belajar melalui model adalah fase motivasi. Dari penguatan atau motivasi inilah seorang pembelajar akan berani menampilkan model
yang dibuatnya dengan penuh keberanian. Teknik modeling adalah penggunaan model untuk memperkaya
stuktur pengetahuan atau skemata isi terkait dengan aspek yang akan dikembangkan. Melalui model ini siswa diajak untuk menganalisis
dan mensintesis
kelebihan dan
kekurangan model
dan mengembangkan model lain yang lebih baik.
Pemodelan atau modeling adalah salah satu prinsip penting dalam pengajaran dan pembelajaran kontekstual. Pemodelan diartikan
sebagai kegiatan guru dalam memberikan contoh, memeragakan, atau mendemontrasikan. Tujuan pemodelan adalah agar siswa mengetahui,
melihat, dan dapat melakukan dengan baik hal yang dicontohkan oleh si pemodel. Tujuan pemodelan juga untuk membahasakan gagasan
yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan agar
siswa melakukannya. Ketiga pengertian tentang modeling di atas memiliki prinsip yang sama, yaitu pemberian model untuk dianalisis
31
kelebihan atau kekurangannya dan untuk menciptakan model yang lebih baik.
f. Penilaian Otentik
Di samping istilah penilaian otentik, akhir-akhir ini juga sedang marak dibicarakan istilah penilaian kelas. Apakah sebenarnya
penilaian otentik itu dan apa kaitannya antara penilaian otentik dengan penilaian kelas atau sering juga disebut penilaian berbasis kelas?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini akan dijelaskan pengertian dan hubungan dari kedua istilah tersebut.
Penilaian adalah proses pengumpulan databukti untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa. Berdasarkan definisi tersebut,
maka penilaian kelas dapat diartikan sebagai proses pengumpulan informasi yang dilakukan oleh guru untuk mengukur proses dan hasil
belajar siswa. Definisi ini selaras dengan definisi yang dikemukakan oleh O’Malley dan Valdez Pierce 1996 yang menyatakan bahwa
penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang merefleksikan proses belajar siswa, kemampuan siswa, motivasi dan sikap-sikap siswa
dalam pembelajaran. Definisi ini menyatakan bahwa fokus penilaian kelas adalah proses dan hasil belajar siswa.
Berkaitan dengan penilaian kelas, akhir-akhir ini telah terjadi perubahan paradigma dalam penilaian kelas. Perubahan tersebut
adalah dari penilaian yang bersifat diskrit atau fragmentaris terpisah- pisah ke penilaian yang bersifat otentik atau holistik. Dan penilaian
32
diri sendiri self-evaluation adalah aspek penting, karena siswa harus mengetahui dengan sadar letak keberhasilan atau kemajuannya.
Penilaian kinerja ini dimaksudkan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Penilaian yang demikian inilah yang disebut
dengan penilaian otentik. Penilaian
otentik dapat
didefinisikan sebagai
proses pengumpulan informasi yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui
perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan siswa melalui berbagai teknik pengukuran yang mampu mengungkapkan,
membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan kompetensi telah dikuasai dan
dicapai O’Malley dan Valdez Pierce, 1996. Penilaian otentik untuk mendeskripsikan berbagai bentuk penilaian yang merefleksikan proses
pembelajaran yang dialami siswa, kemampuan siswa, motivasi siswa, dan sikap yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Penilaian otentik
menuntut siswa mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuannya dalam konteks yang bermakna. Penilaian otentik mengamanatkan agar
instrumen penilaian benar-benar dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kelas dan penilaian
otentik memiliki
keterkaitan yang
sangat erat.
Keterkaitannya adalah penilaian kelas, yang fokusnya mengukur
33
proses dan hasil belajar siswa, harus dilaksanakan dengan menggunakan paradigmaprinsip penilaian otentik.
Penilaian otentik yang dilaksanakan dalam pembelajaran didasarkan atas prinsip-prinsip sesuai yang dikemukakan oleh
Nurhadi, dkk. 2004: 52, yakni: 1 harus mengukur semua aspek pembelajaran, 2 dilaksanakan selama dan sesudah proses
pembelajaran berlangsung, 3 menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, 4 tes hanya salah satu alat pengumpul data
penilaian, 5 tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari,
mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, dan 6 penilaian harus menekankan
kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan hanya sekadar keluasannya kuantitas.
Proses penilaian otentik harus dilaksanakan secara terus- menerus, yaitu guru secara terus-menerus berinteraksi dan mengamati
aktivitas siswa dalam berbagai kegiatan pembelajaran. Untuk mewujudkan penilaian yang seperti itu, akhir-akhir ini telah
dikembangkan beragam alat penilaian otentik, yaitu portofolio, performasikinerja, lembar observasi, jurnal, log, dan tes.
g. Refleksi
Refleksi atau reflection adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas
34
atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan.
Dalam menerapkan prinsip refleksi ini diperlukan keterbukaan dari guru untuk menerima kritik dan saran terhadap pembelajaran
yang telah dilaksanakan guna perbaikan pada pembelajaran berikutnya. Dengan memperhatikan prinsip ini sebenarnya guru
dituntut untuk menyiapkan pembelajaran secara baik dan seksama agar respon balik yang kita terima juga baik.