BAB III SISTEM PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA
KEUANGAN TERHADAP INDUSTRI JASA KEUANGAN DI INDONESIA
A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia
Awal pembentukan OJK berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang
melatarbelakangi pembentukan OJK, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan
amanat pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank
Indonesia selanjutnya disebut dengan UU BI.
203
Pasal 34 undang-undang tersebut menentukan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuanganyang
independen dan dibentuk dengan undang-undang paling lambat 30 Desember 2010.
204
Pasal 34 UU BI merupakan respons dari krisis Asia yang terjadi pada 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor
perbankan.
205
203
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 36.
204
Bismar Nasution, “OJK Sebagai Suatu Sistem Hukum dalam Pembangunan Ekonomi”Medan : Makalah disampaikan pada Seminar Keberadaan OJK untuk Mewujudkan
Perekonomian Nasional yang Berkelanjutan, 2014, hlm. 1.
205
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm 36. Krisis pada 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan
pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang
lebih tangguh, Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan dapat menjadi obat penyembuh krisis dan sekaligus menciptakan penangkal dalam pemikiran permasalahan-permasalahan di masa
depan.
Ide awal pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi yang dilakukan dalam pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan
Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang
memberikan independensi kepada bank sentral, dimana rancangan tersebut selain memberikan independensi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari
Bank Indonesia.
206
Pada waktu Rancangan Undang-Undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat dari kalangan DPR dan Bank Indonesia, sehingga
disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya.
207
Secara teoritis, terdapat dua aliran school of thought dalam hal pengawasan sektor jasa keuangan.
208
206
Ibid., hlm. 37. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank Bank Sentral Jerman yang pada waktu
penyusunan rancangan undang-undang kemudian menjadi undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang bank Indonesia bertindak sebagai konsultan.
207
Ibid., hlm. 38.
208
Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa
Keuangan”Jakarta:disampaikan pada Seminar Eksistensi dan Tantangan OJK dalam Menata Industri Jasa Keuangan Untuk Pembangunan Ekonomi, 2013, hlm. 1.
Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan
di dalam sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal, dan di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih
tepat apabila dilakukan oleh beberapa institusi. Hal ini dapat dilihat dari contoh- contoh negara yang telah menerapkan sistem pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan seperti Skandinavia,
Inggris, Jepang dan Australia, sementara Amerika Serikat pengawasan terhadap kegiatan sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi.
209
Seiring dengan globalisasi yang terjadi di sektor jasa keuangan, maka perkembangan produk-produk jasa keuangan pun semakin berkembang, sehingga
menyebabkan terjadinya konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait pengaturan dan pengawasan,
karena produk-produk yang dihasilkan sudah sedemikian menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas
perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus diakui bahwa meskipun Indonesia menganut commercial
banking system, namun dengan seiring perkembangan bisnis di dalam industi keuangan, maka secara perlahan Indonesia telah memasuki era universal banking
system.
210
Amanat Pasal 34 UUBI merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Pengintegrasian pengawasan secara maksimal perlu dilakukan agar tujuan dari
Dalam penjelasan Undang-undang OJK di bagian umum disebutkan: Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya
kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling
terkait antar sub-sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaaan, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan
kepemilikan di berbagai subsektor keuangan konglomerasi telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan
di dalam sistem keuangan, diikuti dengan banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard,
belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan
lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
209
Ibid.
210
Rio Fafen Ciptaswara, “Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan” Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 11, Nomor 1,
Januari-April 2013, hlm.34.
pengawasan itu tercapai. Pengawasan lembaga jasa keuangan pada prinsipnya terbagi 2 jenis, yaitu pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga
untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter macro-economic supervision, dan pengawasan yang mendorong agar lembaga
jasa keuangan secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik prudential supervision.
211
B. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan dalam Sistem Keuangan Indonesia