Kriteria dan Indikator Fungsi Kejadian Banjir di Jakarta

Konstruksi dasar perumahan dan inftrastruktur Penurunan infiltrasi dan penurunan muka air tanah; pernurunan aliran debit dan penurunan aliran dasar selama musim kemarau Pengembangan pembangunan dan perdagangan Meningkatkan volume aliran permukaan Konstruksi drainase dan pengembangan saluran air Memicu peluapan banjir di aliran sungai Sumber: Kibler 1992 dalam Rogers 1998

2.3 Jenis Penggunaan Lahan

Harimurti 1999 memberikan definisi dan batasan yang jelas mengenai tipe – tipe penggunaan lahan yang ada di kawasan DAS Ciliwung hulu seperti yang dijelaskan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Jenis Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu No Nama Lahan Definisi 1 Hutan Lebat wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang rimbun dan besarlebat. 2 Hutan Semakbelukar hutan yang telah dirambahdibuka, merupakan area transisi dari hutan lebat menjadi kebun atau lahan pertanian, bisa berupa hutan dengan semakbelukar dengan tajuk yang relatif kurang rimbun. 3 Kebun Campuran daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campuran baik dengan pola acak, maupun teratur sebagai pembatas tegalan 4 Pemukiman kombinasi antara jalan, bangunan, pekarangan, dan bangunan itu sendiri. 5 Sawah daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya diairi sejak saat penanaman hingga beberapa hari sebelum panen. 6 Tegalan daerah yang umumnya ditanami tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tidak ditanami, dengan vegetasi yang umum dijumpai seperti padi gogo, singkong, jagung, kentang, kedelai, dan kacang tanah. 7 Lahan Terbuka daerah yang tidak ditemukan vegetasi berkayu, umumnya hanya jenis rerumputan maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia. 8 Kebun Teh daerah yang digunakan sebagai perkebunan the baik yang diusahakan pemerintah maupun swasta.

2.4 Alih guna lahan

Alih guna lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda Wahyunto et al., 2001. Penelitian Janudianto 2004 menjelaskan alih guna lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian sawah menjadi lahan pemukiman dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan kebun teh.

2.5 Kriteria dan Indikator Fungsi

Hidrologi Kriteria dan indikator kuantitatif diperlukan dalam mempelajari fungsi hidrologi DAS. Kriteria dan indikator yang ditetapkan berdasarkan pemahaman kuantitatif hujan yang terbagi menjadi evapotranspirasi, aliran sungai dan perubahan penutupan serta pola penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik lokal. Fluktuasi debit sungai dan curah hujan dijadikan parameter utama untuk menilai indikator penyangga buffering indicator akibat alih guna lahan. Indikator penyangga buffering indicator cenderung berkorelasi negatif dengan total debit sungai sehingga peningkatan debit akan menurunkan kapasitas menyangga dari sungai Farida et al., 2004. Indikator penyangga menunjukkan tingkat penurunan yang relatif rendah pada kondisi puncak kejadian hujan buffering peak events . Peningkatan total debit tidak selalu diikuti dengan peningkatan debit terendah bulanan akibat adanya variabilitas hujan antar tahun inter-annual.

2.6 Kejadian Banjir di Jakarta

Berdasarkan dokumentasi yang tersedia Bappenas, 2007, Kota Jakarta dilanda banjir pada tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1996, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi pada tahun 1996 selain menggenangi hampir seluruh penjuru kota juga menjadi tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Pada awal 2002 banjir melanda Jakarta dan sekitarnya dan pada awal 2007 banjir kembali melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan cakupan wilayah genangan yang lebih luas. Namun menurut BMG dikutip dari Tempointeraktif.com, Maret 2007, banjir 2007 bukanlah yang terbesar karena bukan hanya dihitung dari curah hujan sesaat, namun dari jumlah curah hujan 29 hari terakhir Data curah hujan kumulatif 5, 10, 20 dan 29 hari terakhir di DKI Jakarta pada tahun – tahun banjir menunjukkan Februari 2006 berturut – turut 221,4mm, 285, 7mm, 341,7mm, 442,1mm. Januari 2002 berturut – turut 232,9mm, 361,7mm, 572,7mm, 668mm. Bulan Februari 2007 berturut – turut 327mm, 401,5mm, 427mm, 427mm. Sebelum banjir besar 2007, banjir terbesar yang pernah melanda DKI Jakarta adalah kejadian banjir Januari 2002 dan awal Februari 2002, dan merupakan banjir terburuk yang pernah melanda DKI Jakarta pada kurun waktu ke belakang www.tumoutou.netpps702_9145nana_mul yana.pdfdiakses April, 2006. Berdasarkan pengamatan data curah hujan yang terekam di beberapa stasiun pada saat terjadi banjir tahun 2002 terlihat bahwa curah hujan harian yang turun di Halim PK dan Ciledug merupakan periode ulang 2 tahunan, di daerah Depok, Citeko, Tanjung Priok, dan Darmaga periode ulang 5 tahun, dan di kantor pusat BMG merupakan priode ulang 10 tahun, dengan demikian waktu frekuensi terjadinya banjir seperti tahun 2002 kisaran waktunya 2 – 5 tahun, sehingga perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Akan tetapi apabila dilihat dari curah hujan kumulatif 2 hari Duration Dept frekuensi DDF curah hujan yang tergolong tinggi dengan kisaran 130 – 295 mm. Akibat curah hujan yang turun selama awal Januari, menyebabkan kondisi tanah jenuh air, sehingga sangat sedikit air yang diinfiltrasikan. Pada tanggal 30 Januari terjadi pengaruh pasang air laut yang tertinggi di pantai utara Jakarta, sehingga curah hujan yang tinggi di bagian hulu DAS Ciliwung bersamaan dengan terjadinya pasang tertinggi sehingga banjir pada akhir Januari merupakan gabungan antara kondisi pasang surut dan pola curah hujan tinggi yang terjadi di bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung serta Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan pola induk yang telah dibuat tahun 1973 dan kemudian disempurnakan tahun 1997 setelah ada banjir besar yang melanda tahun 1996, nampak telah terjadi kenaikan debit rencana pada semua badan sungai yang ada di DKI Jakarta. Master plan Cengkareng Drain telah dinaikkan dari 370 m 3 det menjadi 620 m 3 det, sementara sungai Ciliwung telah dinaikkan dari 370 m 3 det menjadi 570 m 3 det. Perubahan pola induk ini untuk mengantisipasi kenaikan debit sungai akibat perubahan tata guna lahan, khususnya kurangnya daerah resapan dan terlalu dominannya pemukiman akibatnya pesatnya pertumbuhan di kawasan Jabodetabek.

2.7 Deskripsi singkat model GenRiver