Penyebab Migrasi TINJAUAN PUSTAKA
jumlah hari dan jam kerja di sektor pertanian jauh dibawah jam kerja normal untuk ukuran kerja penuh, maka agar dapat mempertahankan hidupnya dari hari
ke hari mereka harus dapat mencari pekerjaan di luar sektor pertanian Suharso, 1978. Namun untuk mencari pekerjan di luar sektor pertanian tersebut diperlukan
adanya kecakapan atau ketrampilan tertentu atau bahkan diperlukan sejumlah uang sebagai modal usaha, suatu hal yang sebagian besar dari mereka justru tidak
memilikinya. Tidaklah mengherankan jika mereka terpaksa harus menerima pekerjaan yang biasa disebut dengan istilah pekerja kasar. Seperti buruh
bangunan, penarik becak, buruh pabrik, pedagang keliling, dan sebagainya. Menurut Hardjosudarmo 1965 terjadinya migrasi disebabkan oleh tiga faktor
yaitu: 1
Faktor pendorong push factor yang ada pada daerah asal, yakni adanya pertambahan penduduk yang mengakibatkan timbulnya tekanan penduduk,
adanya kekeringan sumber alam, adanya fluktuasi iklim, dan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan.
2 Faktor penarik pull factor yang ada pada daerah tujuan, yakni adanya
sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, adanya pendapatan- pendapatan baru, dan iklim yang sangat baik.
3 Faktor lainnya other factor, yakni adanya perubahan-perubahan teknologi,
seperti munculnya mekanisasi pertanian yang bias menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk pertanian. Hal ini memaksa
buruh tani untuk pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Selain itu juga karena adanya perubahan pasar, faktor agama, politik, dan faktor pribadi.
Sedangkan menurut Sumaryanto dan Halim 1989 dalam Refiani 2006, arus dan volume migrasi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat daya tarik
pull atau daya dorong push. Daya tarik dapat berupa produktivitas kerja yang lebih tinggi di daerah tujuan atau fasilitas lain yang memungkinkan individu itu
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sedangkan daya dorong pada umumnya berupa suatu set peubah yang menyebabkan individu itu merasa sulit memperbaiki
taraf hidupnya di tempat asal. Sebagai contoh, pemilikan aset yang rendah, kesempatan kerja yang sempit, produktivitas kerja di tempat asal yang rendah, dan
lain-lain. Perbedaan tingkat gerak penduduk di desa-desa berkaitan dengan ketimpangan sosial dan regional.
Munir 1981
mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang melakukan migrasi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong misalnya :
1 Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas
barang-barang tertentu yang bahan bakunya masih sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu dan bahan dari hasil pertanian.
2 Menyempitnya lapangan kerja di daerah asal misalnya pedesaan akibat
masuknya teknologi yang menggunakan mesin-mesin capital intensive. 3
Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama dan suku di daerah asal.
4 Tidak cocok lagi dengan adat, budaya dan kepercayaan di tempat asal.
5 Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa
menegembangkan karir pribadi.
6 Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang
atau adanya wabah penyakit. Sementara faktor-faktor penarik antara lain:
1 Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki
lapangan kerja. 2
Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. 3
Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. 4
Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenagkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah, dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.
5 Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung.
6 Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat
kebudayaan sebagai daya tarik orang-orang dari desa atau kota kecil. Mantra 1994 berpendapat bahwa motivasi seseorang untuk pindah adalah
motif ekonomi. Motif tersebut berkembang karena adanya ketimpangan ekonomi antar daerah. Todaro dan Smith 2004 menyebut motif utama tersebut sebagai
pertimbangan ekonomi yang rasional. Faktor yang mempengaruhi untuk melakukan migrasi ke perkotaan karena adanya dua harapan, yaitu harapan untuk
memperoleh pekerjaan dan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh di pedesaan. Dengan demikian migrasi dari pedesaan ke perkotaan
mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara pedesaan dan perkotaan. Kebutuhan hidup yang terus meningkat menuntut setiap orang terutama para
kepala keluarga untuk mencari penghasilan yang lebih besar. Jika di daerah tempat tinggal dianggap tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang
mempunyai penghasilan yang layak maka mereka akan lebih memilih untuk bermigrasi. Pilihan ini merupakan pilihan terbaik mereka, meskipun belum pasti
apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan atau tidak di tempat tujuan. Wilayah perkotaan dengan proses pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dan fasilitas yang lengkap mendorong setiap orang terutama pengangguran untuk mengadu nasib. Arus masuk migrasi akan semakin banyak dalam waktu
yang relatif cepat. Migrasi masuk ke kota termasuk kota Jakarta sangat erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan yang bersifat bias kota urban bias.
Pembangunan di DKI Jakarta yang memiliki peran dan fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi, telah menarik penduduk desa untuk datang kota ini dalam
upaya mendapatkan kesempatan kerja atau usaha, lebih-lebih ketika lapangan pekerjaan di desa sangat terbatas. Fenomena ini sejalan dengan teori Todaro
2004 yang menjelaskan terjadinya perpindahan penduduk disebabkan oleh tingginya upah atau pendapatan yang dapat diperoleh di daerah tujuan.
Kesenjangan upah atau pendapatan yang besar antara desa dan kota mendorong penduduk desa untuk datang ke kota.
Perusahaan akan selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimal, dengan menjual produk yang dihasilkan di pasar barang dan
memperoleh tenaga kerja di pasar faktor produksi dalam kondisi pasar persaingan sempurna Wiranatakusumah, 1998. Kota merupakan pasar tenaga kerja dan juga
tempat bisnis perusahaan-perusahaan. Dengan demikian kota menjadi tujuan migrasi yang tepat bagi pengangguran. Pengangguran di Indonesia merupakan
akibat perbedaan kerangka kerja dari pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari signifikansi migrasi desa-kota yang meningkatkan angkatan kerja di kota.
Para migran yang masuk ke perkotaan yang tidak terserap di sektor modern harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau bekerja pada usaha-
usaha rumah tangga milik keluarga atau kenalan mereka agar bisa tetap hidup Todaro, 2004. Seperti pedagang keliling, pedagang asongan di trotoar atau
jalanan, pembuatan papan nama, tambal ban dan sebagainya. Sedangkan yang mempunyai ketrampilan khusus akan mencari pekerjaan sebagai mekanik, tukang
kayu, tukang cukur, tukang ojek motor, dan sebagainya.