34
Contohnya, mengedarkan narkoba jelas merupakan perbuatan salah dan melanggar hukum. Namun, kenyataannya banyak pengedar narkoba
sukses melakukan kegiatannya bertahun-tahun. Artinya, dia tidak kalah meskipun salah. S
ebab, dia berhasil memenangkan “pertarungannya” dengan penegak hukum dan masyarakat, karena memiliki strategi dan
kekuatan yang cukup untuk menyelamatkan diri dari kekalahan yang menghadang kegiatannya selama itu.
Sedangkan
becik bisa kuwalik
, artinya, kebaikan yang diberikan atau diterima oleh orang lain belum tentu berbuah kebaikan yang setara, artinya
sesuatu yang baik dapat saja dianggap buruk, merusak, dan mungkin sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, seperti ungkapan
welas temahan lalis
belas kasihan membuat sengsara. Paham relativisme ini pula yang membuat orang Jawa khususnya
kalangan rakyat jadi terkesan sering bersikap kompromis. Melakukan semacam persetujuan atau persesuain sebagai bentuk “jalan damai” untuk
menyelamatkan diri dengan cara mengeliminasi tuntutan-tuntutan ekstrim dari berbagai pihak.
b. Pluralisme
Relativisme yang telah berkembang dan berurat akar di Jawa, diam- diam telah menstimulir tumbuhnya kesadaran mengenai
pluralisme
, yaitu padangan atau paham yang meyakini adanya perbedaan-perbedaan nilai
dalam kehidupan. Pandangan dan sikap pluralistik juga tercermin dalam kehidupan beragama. Antar pemeluknya pun terjalin kerukunan dan saling
menghormati, tanpa adanya intervensi dan gangguan yang berarti.
2.2.3 SIKAP HIDUP ORANG JAWA
Sikap hidup orang Jawa diatur di dalam
Serat Sasangka Jati
yang terdapat tentang
Hasta Sila
atau Delapan Sikap Dasar, yang terdiri dari dua pedoman yakni
Tri-Sila
dan
P anca-Sila
. Tri-Sila merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia dan merupakan tiga hal yang
harus dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan, yaitu
eling
atau sadar,
pracaya
atau percaya dan
mituhu
atau setia melaksanakan
35
perintah.
50
Sikap hidup orang Jawa yang etis dan taat kepada adat-istiadat warisan nenek moyangnya, seperti :
a. Mawas Diri
Aja Dumeh
untuk menghindari
Aji Mumpung
Aja Dumeh adalah pedoman mawas diri bagi semua orang Jawa yang sedang dikaruniai kebahagiaan hidup oleh Tuhan YME. Aja Dumeh
adalah suatu peringatan agar seseorang selalu ingat kepada sesamanya.
Aji mumpung
adalah salah satu pedoman mengendalikan diri dari sifat-sifat serakah dan angkara murka apabila seseorang sedang diberi anugerah
kesempatan untuk hidup “di atas”. Orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini telah diatur oleh-Nya sedemikian rupa, sehingga
putaran hidup manusia itu seperti haln ya “roda kereta” yang berputar.
Salah satu bagian dari roda itu kadang-kadang di bawah dan pada suatu saat akan berada di atas.
51
b. Memiliki empatiberbelas kasih
Laku Hambeging Kisma
Pemimpin harus selalu berbelas kasih dengan siapa saja.
Kisma
artinya tanah. Tanah tak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua
dikasihani. Tanah selalu memperlihatkan jasadnya. Meski dicangkul, diinjak,
dipupuk, dibajak,
namun malah
memberikan subur dan menumbuhkan tanam-tanaman. Air tuba dibalas air susu, artinya
keburukan dibalas kebaikan dan keluhuran.
52
c. Harus Adil
Laku Hambeging Tirta
Pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya. Keadilan yang
ditegakkan bisa
memberikan kecerahan
ibarat air
yang membersihkan kotoran. Air tidak pernah
emban oyot emban cindhe
, „pilih kasih‟.
d. Harus Tegas
Laku Hambeging Dahana
Pemimpin harus bisa bersikap tegas seperti api yang sedang membakar. Akan tetapi pertimbangannya harus berdasarkan akal sehat yang bisa
50
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, Yogyakarta : Ombak, 2008, 125-126.
51
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT. Hanindita, 1984, 81- 83.
52
Asep Rachmatullah, Filsafat Hidup Orang Jawa, Yogyakarta : Siasat Pustaka, 2011, 127.
36
dipertanggungjawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di muka bumi.
53
e. Teliti
Laku Hambeging Samirana
Pemimpin harus berjiwa teliti dimana saja berada. Baik atau buruknya rakyat harus diketahui oleh matanya sendiri, tanpa menggantungkan
laporan bawahan saja. Sebab bawahan cenderung selektif dalam memberi informasi untuk dapat menyenangkan pimpinan.
f. Pemaaf
Laku Hambeging Samodra
Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra
mencerminkan pendukung keanekaragaman dalam hidup bermasyarakat yang majemuk.
54
g. Memberi Inspirasi
Laku Hambeging Surya
Pemimpin harus bisa memberi inspirasi kepada bawahannya, seperti matahari yang selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap
makhluk. h.
Menghadirkan damai sejahtera
Laku Hambeging Candra
Pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan yang bersinar terang benderang namun tak panas. Dan bahkan terang
bulan nampak indah sekali. Orang desa menyebutnya
purnama sidi
. i.
Percaya Diri
Laku Hambeging Kartika
Pemimpin harus tetap percaya diri meski dalam dirinya ada kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil, tapi dengan
optimis bisa memancarkan cahayanya sebagai sumbangan bagi kehidupan. j.
Mempunyai Jiwa Satria Menjadi seorang satria adalah idola dari masyarakat Jawa.
55
Jiwa satria ini bahkan lebih diidolakan di atas jiwa Brahmana, sementara Brahmana
adalah tataran kasta yang lebih tinggi dari satria.
56
Menjadi seorang satria
53
Ibid.
54
Ibid, 128.
55
Prapto Yuwono, Sang Pamomong Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai Luhur Manusia Jawa, Yogyakarta : Adiwacana, 2012, 49-.
56
Notohamidjojo, O. Kreativitas yang Bertanggung Jawab, Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2011, 572.
37
dapat dilihat dari isi tembang
Dhandhanggula
yang berbunyi sebagai berikut :
Lir sarkara wasitaning jalmi Ambudiya budining satriya
Memayu yu buwanane Ing reh hardening kawruh
Wruhing karsa kang ambeg asih Sih pigunane karya
Mbrasta ambeg dudu Mangenep nenging cipta
Wruh unggyaning tindak kang ala lan becik Memuji tyas raharja
Tembang itu bermakna sebagai berikut : Bak matahari menyinari insan
Berupayalah berbudi satria
Memayu yu buwanane
Dalam kendali pengetahuan Mengetahui kehendak mengasihi
Kasih sayang berguna untuk bekerja Memberantas kehendak buruk
Mengendapkan nalar budi Untuk melihat segala tindak buruk dan baik
Berharap hati sejahtera Tembang di atas mengingatkan bahwa manusia ditugaskan oleh Tuhan
untuk dua tugas.
P ertama
, sebagai “matahari” yang harus memberikan terang kepada dunia ini. Tugas ini bukan pilihan yang boleh dilakukan
atau bisa juga tidak dilakukan, tetapi tugas ini menyatu dalam pribadi orang Jawa, karena kesadaran bahwa manusia merupakan citra Tuhan.
Sebagai citra Tuhan, orang Jawa harus menjadi terang dunia. Tugas menjadi terang dunia itu dilakukan bukan untuk menerangi dirinya sendiri,
tetapi agar menerangi ciptaan lain pancaran sinar Tuhan.Terang itu berwujud perbuatan baik untuk memelihara dan mengembangkan ciptaan
38
lain seperti Tuhan merawat dan mengembangkan ciptaan-Nya, sehingga dengan demikian nama Tuhan dimuliakan.
Selain itu, tembang di atas juga mengingatkan bahwa agar manusia dapat menjadi terang dunia, ia harus berupaya memiliki jiwa satria.
Kehidupan ideal masyarakat Jawa dimanifestasikan dalam bentuk wayang. Kata wayang bermakna bayang-bayang, menggambarkan bayang-bayang
di dalam kehidupan ini. Itu sebabnya wayang bukan hanya sekedar tontonan, tetapi juga tuntutan bagi masyarakat Jawa tentang kehidupan
yang ideal untuk masyarakat Jawa.
57
Di dalam pewayangan, tokoh wayang dibedakan menjadi satria dan raksasa. Satria adalah gambaran pribadi yang
berperangai dan berperilaku baik, sedangkan raksasa adalah gambaran pribadi yang berperangai dan berperilaku buruk.
Tetapi siapa saja yang menjadi pemimpin akan terlihat dari tingkah lakunya yang kelihatan ketika akan melakukan tugas sebagai seorang
pemimpin sebagai berikut :
58
1. Jangan serakahsewenang-wenang
Jika jadi pemimpin hanya karena akan mencari penghidupan, artinya mencari harta, cari uang, akhirnya dalam bekerja hanya akan didasari
sikap serakah, merasa berkuasa, siapa saya siapa kamu mentang- mentang, adigang, adigung, adiguna
59
, yang hanya menekankan suara yang keras atau lantang, keras suaranya karena merasa sebagai penguasa
dan mempunyai kuasa, lalu bertindak tidak hormat pada sesama serta sewenang-wenang. Pemimpin yang seperti itu menurut filsafat Jawa tidak
benar, tidak baik sebab tidak Njawani. Memang tidak mudah menemukan pimpinan yang bebas dari
57
Ali Mustofa, Antara Filsafat Jawa dan Moral, http:wayangprabu.com20110331
, 2011.
58
Prof. Dr. Soetomo Siswokartono, W.E., M.Pd., Filsafat Jawa, Semarang : Yayasan Studi Bahasa Ja a Y“BJ KANTHIL ,
, 30-31.
59
Disebut adigang, adigung, adiguna artinya orang Jawa dilarang sombong dan membanggakan apa pun yang menjadi miliknya, entah itu kekuasaan, kebesaran, hingga kepandaian. Perilaku
yang seperti itu akan merugikan diri sendiri dan membawa kehancuran. Orang yang berperilaku adigang, adigung, adiguna, umumnya akan menyalahgunakan kekuasaan, membeli hal -hal yang
tidak bisa dibeli, dan memanipulasi segala hal untuk kepentingan pribadinya. Mereka akan menggunakan segala kesempatan untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka tidak lagi
menghargai orang lain dan melupakan hati nurani. Prof. Gunawan Sumodiningrat Ari Wulandari, S.S., M.A., PituturLuhur Budaya Jawa 1001 Pitutur Luhur untuk Menjaga Martabat dan
Kehormatan Bangsa dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal, Yogyakarta : Narasi, 2014, 3.
39
kebutuhan pribadi, tampaknya jarang ada. Sejak era kerajaan, pimpinan di Jawa selalu ada keserakahan. Oleh sebab itu pemimpin Jawa perlu
menerapkan strategi pokok untuk mencapai
memayu hayuning bawana
pada tataran kehidupan, yaitu : 1 strategi mengolah diri pribadi, olah batin dan olah rasa; dan 2 strategi interaksi social; 3 strategi
berinteraksi dengan Tuhan.Ketiga strategi ini, hendaknya dinalar, dirasa, dan dihayati sebagai sebuah perjuangan mencapai kedamaian dunia.
60
2. Membawa damai sejahtera
Jika jadi pemimpinpenguasa itu untuk kehidupan bersama artinya guna kesejahteraan
keluarga, kesejahteraan
rakyat, pemimpin ini dalam melakukan kekuasaanya dengan cinta kasih artinya dengan kasih sayang,
sopan santun, hormat menghormati kepada siapapun. Pemimpin yang seperti
ini pasti
penuh dengan
tanggung jawab
bukan saja
“tanggungjawab”, inilah pemimpin yang sejati yang selalu dicintai oleh masyarakat. Pemimpin seperti ini perlu dicontoh dan bisa menjadi teladan.
3. Bertanggung Jawab
Nasehat selanjutnya, kalau semua orang sudah merasa sampai, artinya kalau sudah merasa mampu mengemban tugas dan tanggung jawab
sebagai seorang pemimpin yang telah diserahkan kepadanya, maka jangan takut menjadi seorang pemimpin;
4. Tidak Menepati Janji
Jika sudah jadi pemimpin kadang lupa dengan janjinya, dan tidak mau kehilangan kedudukan. Tidak mau diganti karena merasa sudah nyaman,
berada dalam posisi yang basah dll. Nasehat yang ada, sebaiknya kamu jangan meniru tingkah laku dan tindakan yang seperti itu, sebab manusia
harus mengakui bahwa kedudukan bisa hilang, jabatan bisa lepas, yang lestari hanya nama dan pelayananan yang baik.
Ananging sapa bae kang dadi pemimpin bakal kadulu saka pakartine budi kang katon nalika wong mau wiwit ngecakaken panguwasane : a Yen dadi
pemimpinpanguwasa amarga arep goleh panguripan, tegese golek banda, golek dhuwit, cak-cakane nggone mimpin bakal kadulu srakah angah-angah, rumangsa
dupeh kuwasa, sapa sira sapa ingsun, adigang, adigung, adiguna, kang kerep
60
Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., Memayu Hayuning Bawana Laku Menuju Keselamatan dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa, Jakarta : Narasi, 2013, 25.
40 andel sora-seru utawa banter swarane, lan andel rosa = dupeh dadi panguwasa,
duwe panguwasa, duwe panguwasa, banjur dak siya lan sewenang-wenang. Pemimpin kaya ngono manut filsafat Jawa iku ora bener, sabab ora njawani; b
Yen dadi pemimpinpanguwasa iku kanggo kahuripan, tegese kanggo mulyane bebrayan, kanggo mulyaning kawula, pemimpin wau anggone ngecakake
panguwasa mesthi ambeg darma, tegese kebak welas asih, tepa salira, menehi pakormatan menyang sepada-pada. Pemimpin kang kaya ngono mesti kebak
tanggung jawab, dudu mung “tanggung menjawab”. Ya pemimpin kang kaya ngene iki sejatine kang tansah digandrungi deneng kawula. Mula patut tinulada
lan dadiya kaca benggala; c Pitutur sabanjure, yen sira kabeh wis rumangsa gadug, tegese wis rumangsa sembada ngemban pakaryan kang dipasrahake, aja
wedi dadi panguwasa; d Mung ya kuwi kang akeh, yen wis dadi pemimpin iku sok lali, lan emoh kelangan kalungguhan. Emoh yen diganti, amarga rumangsa
wis mapan, ana papan teles, lan liya-liyane. Pitutur kang ana, becike sira ora kena niru pakarti lan tumindak kang kaya ngono, sabab manungsa kudu rumangsa yen
drajat bisa oncat, pangkat bisa minggat, kang langgeng mung jeneng lan lelabuhan.
Kehidupan orang Jawa boleh dikatakan penuh dengan
angger-angger
dan
wewaler
, aturan dan larangan, yang tujuan utamanya tiada lain adalah untuk mengatur perilaku individu dan masyarakat agar memperoleh, ketenteraman
dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Tiga nilai dominan yang menjadi acuan hidup orang Jawa, yaitu : 1 kolektivisme kebersamaan; 2
spiritualisme kerohanian; dan 3 rasa kemanusiaan tenggang rasa. Contoh mengenai keberadaan dan kemenyatuan kolektivisme, spiritualisme, dan
kemanusiaan dalam adat tradisi Jawa yang pernah benar-benar mengikat individu dan masyarakat, harus dipatuhi dan diamalkan, antara lain tampak
dalam peristiwa :
61
a Memiliki rasa empati dengan ikut melayat Tradisi kematian
Jika terjadi
sripah
kematian di Jawa, tetangga dalam satu kampung punya kewajiban moral dan sosial untuk melayat. Artinya, ikut
belasungkawa dengan secepatnya datang ke rumah keluarga yang berduka tanpa diundang, membantu meringankan beban penderitaan keluarganya.
b Persaudaraan yang tinggi Rukun Tetangga
Dalam pandangan tradisional, kampung halaman lingkungan tempat tinggal di Jawa senantiasa dipahami sebagai milik bersama. Termasuk
sarana prasarana yang sengaja dibangun untuk kepentingan umum jalan,
61
Iman Budhi Santosa, Spiritualisme Jawa Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran, Yogyakarta : Memayu Publishing, 2012, 13-18.
41
rumah ibadah, saluran irigasi. Kecenderungan tersebut bukan hanya berhenti pada hal-hal yang bersifat material, namun juga sampai pada
aspek-aspek non-material,
seperti kesejahteraan,
keamanan, dan
kerukunan. Dalam struktur kehidupan di Jawa, masyarakat suatu kampung nyaris
terikat dalam semangat persaudaraan yang tinggi. Dan karena terikat dalam semangat persaudaraan itulah, mereka wajib menjaga kenyamanan
dan kerukunan secara bersama-sama. c
Tenggang Rasa Pembagian Kerja Sejak masa lalu, komunitas agraris di tanah Jawa telah mengenal semacam
“pembagian kerja tidak kentara” yang mengisyaratkan adanya semangat kolektivisme, spiritualisme, dan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan semangat patembayatan kebersamaan dan tenggang rasa yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa selama ini.
d Spiritualitas Selamatan
Selamatan merupakan salah satu tradisi yang menonjol dalam masyarakat Jawa. Hampir dalam setiap peristiwa “besar” atau penting selalu diadakan
ritual selamatan. Seperti kelahiran anak, pernikahan, kematian, mendirikan rumah, panen padi, dan lain-lain. Lepas dari wujud ritual yang dilakukan,
selamatan di Jawa jelas merupakan manifestasi spiritualisme yang dimiliki oleh mereka.
2.2.4 MOTIVASI PEMIMPIN JAWA