41
rumah ibadah, saluran irigasi. Kecenderungan tersebut bukan hanya berhenti pada hal-hal yang bersifat material, namun juga sampai pada
aspek-aspek non-material,
seperti kesejahteraan,
keamanan, dan
kerukunan. Dalam struktur kehidupan di Jawa, masyarakat suatu kampung nyaris
terikat dalam semangat persaudaraan yang tinggi. Dan karena terikat dalam semangat persaudaraan itulah, mereka wajib menjaga kenyamanan
dan kerukunan secara bersama-sama. c
Tenggang Rasa Pembagian Kerja Sejak masa lalu, komunitas agraris di tanah Jawa telah mengenal semacam
“pembagian kerja tidak kentara” yang mengisyaratkan adanya semangat kolektivisme, spiritualisme, dan kemanusiaan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan semangat patembayatan kebersamaan dan tenggang rasa yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa selama ini.
d Spiritualitas Selamatan
Selamatan merupakan salah satu tradisi yang menonjol dalam masyarakat Jawa. Hampir dalam setiap peristiwa “besar” atau penting selalu diadakan
ritual selamatan. Seperti kelahiran anak, pernikahan, kematian, mendirikan rumah, panen padi, dan lain-lain. Lepas dari wujud ritual yang dilakukan,
selamatan di Jawa jelas merupakan manifestasi spiritualisme yang dimiliki oleh mereka.
2.2.4 MOTIVASI PEMIMPIN JAWA
Untuk meningkatkan produktivitas tidak cukup hanya kualitas sumber daya manusia saja, pada dasarnya orang Jawa cukup mempunyai motivasi
kerja, namun tidak cukup mampu berorganisasi, sehingga banyak yang gagal menjadi entrepreneur. Karenanya, patut segera diupayakan pengembangan
kemampuan berorganisasi ini, manajemen ini, agar tujuan pengembangan sumberdaya manusia baik secara makro maupun mikro, secara nasional
maupun individual bisa dilaksanakan.
62
62
Darmanto Jatman, Solah Tingkah Orang-Orang Indonesia Esai-Esai Tentang Transformasi Budaya, Semarang : Universitas Diponegoro, 1995, 5.
42
Selain itu untuk menghadapi dan mengatasi permasalahan di dalam jemaat mengenai pendeta, maka ada beberapa motivasi pendeta, sebagai berikut : a
Selaku manusia “biasa” dan warga gereja, seorang pendeta juga membutuhkan dan
berhak menerima
pendampingan dan
pelayanan pastoral
63
; b Pendampingan pastoral kepada para pendeta akan meningkatkan mutu
pelayanan pendeta dan sumber daya manusia gereja, yang akan berdampak positif bagi pengembangan gereja kita di masa depan; c Pendeta itu tidak
boleh dijadikan sekadar objek yang perlu dikasihani, dimana pendeta adalah subjek bagi kehidupannya sendiri dan juga memiliki tanggung jawab sendiri.
Sebab itu, instansi pastoral yang kami usahakan tidak boleh dipandang sebagai sekadar lembaga pelengkap atau penghiburan. Mengikuti pola pelayanan
Tuhan Yesus, kami justru memandang perlu bahwa tanggung jawab dan ke-
subjek
-
an
pendeta dipulihkan dalam pelayanan pastoral. Hal ini tidak berarti pelayanan pastoral itu sama dengan teguran atau peringatan resmi dari
atasan.
64
2.2.5 PEDOMAN HIDUP PEMIMPIN JAWA
Pedoman hidup orang Jawa dalam mencari dan menemukan kebeningan hati yang didambakan seperti kisah-kisah wayang sebagai berikut :
1. Resi Wisrawa-Dewi Sukesi
Bijak Menimbang Perkara yang Baik dan Tidak Baik
65
Banyak orang menilai, memahami, dan menyimpulkan masalah tertentu hanya berlandaskan benar-salah belaka. Padahal, di samping
benar-salah, terdapat juga : baik-buruk, menang-kalah, tepat-tidak tepat,
63
Istilah pastoral dalam tulisan ini dipakai dalam arti positif dan menyeluruh, yaitu : mendampingi untuk bertumbuh, dan bukan dalam arti sempit, yaitu pamerdi atau siasat gereja.
64
Dr. Andar Ismail, 163.
65
Kisah ini berawal ketika Prabu Danapati Wisrana, putra da ri Resi Wisrawa ingin mengikuti sayembara yang dibuat Dewi Sukesi, dimana sayembara itu berisi siapa yang dapat mengubah
wujud Dewi Sukesi dari raseksi raksasa perempuan menjadi putri, akan dijadikan suami, dan dibekteni dihormati, disujudi seumur hidup. Menurut penilai an Resi Wisrawa, Danapati belum
memiliki kesaktian yang mumpuni menguasai dengan baik dan sempurna untuk nyembadani mewujudkan dengan kemampuan diri sendiri syarat yang diajukan Dewi Sukesi. Maka
diputuskan, dirinya saja yang mengikuti sayembara atas nama sang anak. Nanti jika berhasil Dewi Sukesi akan diberikan pada Danapati. Akan tetapi, Dewi Sukesi menolak mentah-mentah karena
dulu sumpahnya hanya akan mengabdi kepada orang y ang dapat mengubah dirinya jadi perempuan biasa. Dan orang itu adalah Resi Wisrawa, bukan Danapati.
43
untung-rugi, pantas-tidak pantas, jujur-tidak jujur, dan masih banyak tolok ukur lainnya.
2. Testimoni Drupadi
Berbuat dan Berkata Jujur
Drupadi merupakan istri Yudhistira, sulung Pandawa, dimana ia belajar dari Yudhistira, suaminya, yang telah mengajarinya berbuat dan berkata
jujur. Dengan kejujuran itu aku mampu menemukan dan mewujudkan kekuatan perempuan yang selama ini tidak pernah dibayangkannya.
3. Guru Drona
Menjadi Guru Teladan
Dalam jagad pewayangan, nama Pendeta Drona, atau menurut lidah Jawa lazim disebut Dahyang Durna, sudah cukup dikenal dan terkenal.
Gara-gara menjadi penasihat Kurawa dan banyak menentukan gerak langkah mereka yang dinilai salah, serakah, dan angkara murka, maka
Durna benar-benar dicap sebagai tokoh jelek di mata orang Jawa. Demikian bencinya orang Jawa dengan Durna, sampai-sampai ketika
terjadi peristiwa sosial yang dinilai buruk, masyarakat sering berucap : “Mesthi ana Durnane …” artinya, ada dalang semacam Durna yang
menganjurkan perbuatan buruk tersebut dilakukan. Padahal, realitasnya Resi Durna adalah satu-satunya guru besar yang
diakui oleh Pandawa dan Kurawa karena telah mengajarkan berbagai ilmu
jaya kawijayan
ilmu kesaktian saat mereka muda dulu. Guru artinya adalah sosok yang
digugu lan ditiru
diikutidipercaya dan ditiru. Dalam pandangan yang lebih modern, seperti Ki Hajar Dewantara, seorang guru
haruslah bisa mewujudkan sikap :
ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani
artinya, guru dituntut pula untuk mampu menjadi pemimpin yang baik. Di depan menjadi teladan, di tengah
membangun semangat, di belakang tidak tinggal diam dan selalu membangkitkan kepercayaan diri.
66
4. Fenomena Semar
Tidak Pamrih
Semar adalah pamomong Pandawa yang jempolan. Namun sesungguhnya, Semar adalah „pesakitan‟, atau narapidana. Sebagai dewa, Ismaya menjadi
66
Iman Budhi Santoso, Manusia Jawa Mencari Kebeningan Hati Menuju Tata Hidup-Tata Krama Tata Prilaku, Yogyakarta : CV. Diandra Primamitra Media, 2013 , 2-47.
44
Semar karena harus menebus dosa. Menjalani hukuman Sanghyang Tunggal gara-gara rebutan tua dengan Tejamaya agar dapat mewarisi
kekuasaan kahyangan serta jagad Tribuwana. Dengan kata lain, Ismaya Semar dan Tejamaya Togog adalah sosok yang semula „haus
kekuasaan‟, akhirnya dapat terjungkal menjadi
batur
Abdi akibat punya pamrih berlebihan, dimana Semar mengabdi pada Pandawa karena pamrih.
5. Durmuka-Drestakesti
Jujur dan Ikhlas
Baik dalam
kasunyatan
hingga kisah wayang, jujur dan ikhlas benar-benar sifat yang terpuji, langka, mahal; namun sering tidak popular. Dalam kisah
Mahabharata, ada empat tokoh Kurawa yang banyak sedikitnya telah menunjukkan sifat jujur dan ikhlas, yaitu Dewi Dursilawati, Yuyutsu,
Durmuka, dan Drestaketi. Empat orang inilah yang lolos dari maut yang sengaja diciptakan trah Bharata di Tegal Kurusetra, sehingga empat orang
ini menerima gelar karena keempat orang ini memiliki „kesaktian‟
melebihi saudara-saudaranya yang lain. 6.
Tragedi Kumbakarna
Memiliki Hati yang Baik
Kumbakarana adalah adinda dari Prabu Rahwana, meskipun berwujud raksasa, namun hatinya baik, dan tidak menyetujui polah-tingkah sang
kakak yang ugal-ugalan sampai mencuri istri orang. 7.
Sukasrana-Kalabendana
Cinta yang Tulus
Sukasrana adalah seorang raksasa
bungkik
yang adik dari Sumantri seorang ksatria. Sebagai wujud cintanya yang tulus kepada Sumantri,
kakaknya, Sukasrana telah berjasa besar memindahkan taman Sriwedari ke keraton Maespati sehingga Sumantri berhasil
sinengkakake ngaluhur
dinobatkan jadi patih oleh Prabu Arjunawijaya. Sedangkan Ditya Kalabendana adalah seorang raksasa kerdil,
wajahnya tenang, jujur, dan bicaranya agak
celat
gagu, paman dari Gatotkaca. Paman Ditya Kalabendana sangat mencintai Gatotkaca,
keponakannya sehingga mau membantu Gatotkaca menjaga ksatrian Plangkawati sekalian menemani Dewi Siti Sendari.
8. Sugriwa-Subali
Jangan Khawatir
Potret kecil dari dunia ini layak dipetik sebagai
gegebengan
45
pegangan, pedoman bagai siapa pun yang fungsi perannya sering disebut dengan ungkapan satiris sebagai „ban serep‟. Persoalannya, mereka yang
kebetulan berada pada posisi ini seringkali
sesambat
, mengeluh dalam hati : “
Kaningaya temen. Urip sepisan mung dadi ban serep, dadi tambel butuh. P aribasan menang melu surak, kalah melu kepidak
… sia-sia benar. Hidup sekali hanya menjadi cadangan, untuk menambal kebutuhan. Ibarat
menang ikut bersorak, kalah ikut terinjak”. Posisi
serep
belum tentu lebih
asor
kalah dibandingkan mereka yang dipercaya sebagai
garu laku, pinitaya dadi cucuk lampah
alat pembajak sawah, dipercaya jadi pemimpin perjalanan atau pun jadi
manggala yuda
senapati perang. Sebab, masing-massing memiliki fungsi peran berbeda. Jika disanepakan dalam proses mengasah benda tajam, yang pertama
ibarat
wungkal kasar
batu asah kasar, yang kedua adalah
wungkal alus
batu asah halus. Yang pertama untuk
mbladhah gaman
menghilangkan bekas kikiran dan menghaluskan benda tajam, yang kedua untuk
menghaluskan serta menajamkan. Semuanya perlu, sehingga orang yang diposisikan seperti itu tidak harus merasa lebih rendah dan merasa
katiyasan
nya kesaktian atau kemampuannya kalah disbanding yang difungsikan sejak awal.
Contoh nyata bahwa orang yang menjadi serep dapat lebih sukses dalam menyelesaikan kisah kehidupan, tampak pada kasus Subali dan
Sugriwa. Sejak kecil, Subali memang punya kelebihan dalam segala hal dibanding adiknya.
Tanpa
tedheng aling-aling
ditutup-tutupi lagi, awalnya yang jadi peran utama adalah Subali. Karena dialah yang lebih sakti, sementara
Sugriwa nyaris hanya jadi
ndherek wonten wingking
ikut serta tetapi posisinya di belakangbukan menjadi inti, tetapi semacam pelengkap.
Alias, jadi ban serep atau pelengkap, atau sekadar
rewang-kadang
membantu saudara. Namun, apa yang terpampang dalam kasunyatan selanjutnya ternyata
meleset dari impian Subali. Gara-gara salah tafsir terhadap apa yang dipesankan kakaknya perihal darah merah dan darah putih yang mengalir
46
dari gua, justru sang adiklah yang memperoleh anugerah dewata. Sungguh di luar dugaan memang, karena Sugriwa yang fungsi perannya dalam
kasus Gua Kiskenda hanya jadi ban serep, ternyata malah berhasil menyunting Dewi Tara dan
sinengkakake ngaluhur
derajatnya dinaikkan oleh dewata serta
mukti wibawa
hidup senang jadi raja Gua Kiskenda. Karena itulah, kita tidak perlu was-was. Siapa pun, kapan pun, dapat
saja berfungsi sebagai orang pertama, atau orang kedua. Namun, karena jasa pemain cadangan, atau ban serep, atau bibit sulaman itulah seringkali
gancaring lelakon
lancarnya suatu proses kejadian dapat sukses terwujud hingga
tancep kayon
akhir pertunjukkan wayang kulit di pagi hari yang ditandai dengan kayonggunungan ditancapkan oleh dalang di tengah-
tengah kelir nanti. 9.
Anggada Duta hingga Pandawa Dadu
Mempunyai Pendirian Teguh
Ungkapan
ela-elu, katut-keplurut, kegandheng-kegeret, kegendeng- keceneng
67
, menggambarkan perbuatan seseorang atau banyak orang yang posisinya mirip gerbong kereta api. Dalam wujud yang lebih hidup, sikap
perbuatannya dapat juga disamakan dengan rombongan itik atau kambing yang tengah digembalakan. Artinya, apa yang diperbuat bukannya murni
atas pendapat pribadi yang kokoh teruji, melainkan hanya karena ditarik atau tertarik sikap pendapat orang lain yang dianggap benar.
Di Jawa, sikap perbuatan
ela-elu
dianggap buruk dan banyak dicela oleh masyarakat sekelilingnya. Karena
ela-elu
dapat dijabarkan
melu- melu
, ikutan,
mrana melu mrana -mrene melu mrene
ke sana ikut ke sana, ke sini ikut ke sini. Sekali waktu ikut si A dan menolak si B, namun lain
waktu justru berbelok ikut si B dan menyalahkan si A. Keadaan tersebut, mungkin karena dia tidak memiliki „daya tawar‟ yang cukup untuk
menolak ajakan si A, sehingga terpaksa mengikutinya. Tetapi, bisa juga lantaran si B memberikan iming-iming yang menggiurkan. Dan ketika apa
yang didambakan pada si A tidak tercapai, segera saja dia putar haluan mengikuti ajakan lain yang dirasa lebih menguntungkan. Inilah sikap yang
67
Ikut ketarik ke sana – ke mari. Gambaran orang yang tidak mempunyai pendirian kokoh
sehingga mudah terpengaruh oleh sikap pendapat orang lain.
47
dimiliki oleh Anggada Duta
68
dan Pandawa Dadu
69
. 10.
Gandarwa
70
Hutan Kamiyaka
Berpegang pada Prinsip
Konon, dalam kisah wayang, Amartapura dulunya adalah hutan Kamiyaka yang juga gudang
memedi
. Namun, Pandawa berhasil menaklukkan para jin penunggunya dan mengubah hutan seram itu
menjadi negeri yang
gemah ripah tata tentrem kertaraharja
makmur, tertata, tenteram, aman, selamat dan sejahtera. Maka, jika para
memedi
berhasil melakukan inkarnasi ke dalam dunia kebudayaan modern, apakah kita harus mengalah dan kalah oleh mereka? Sebab, seperti nasihat para
sesepuh, mengalahkan
memedi
itu sebenarnya mudah. Bekal utamanya adalah „
tatag-teteg-teguh-tanggon
‟ watak atau sifat yang kuat selalu berpegang pada prinsip. Artinya, melawan
memedi
harus dengan cara
memedi
, bukan dengan cara manusia biasa melawan kejahatan harus dengan cara mengenali kejahatan itu sendiri.
11. Sapa Sira Sapa Ingsung
Menciptakan Kerukunan dan Menghargai Orang Lain
Hampir semua
wulang-wuruk
mengenai tata hidup, tata laku, dan tata karma di Jawa bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman hidup lahir
batin, dunia
akhirat. Sedangkan
salah satu
upaya mewujudkan
ketenteraman tersebut adalah dengan menciptakan kerukunan. Di mana inti dari kerukunan dalam filosofi Jawa adalah
ngajeni liyan
menghormati orang lain. Menghargai dan menghormati orang lain dengan cara
68
Ketika Anggada diutus Sri Rama mengukur kekuatan Alengkadiraja, dia ketemu Rahwana. Dalam pertemuan tersebut Rahwana menghasut Anggada dengan memberitahu bahwa yang
membunuh ayahnya, Resi Subali adalah Sri Rama karena bel um pernah mendengar sama sekali kisah tadi, Anggada terkejut dan langsung naik pitam. Ia kembali ke pesanggrahan, dan
mengamuk mau membunuh Sri Rama. Untunglah Anoman da pat menaklukkan dan menyadarkan saudara sepupunya itu. Setelah insyaf, Anggada kembali ke Alengka untuk menebus
kesalahannya. Dari perjalanannya yang kedua ia berhasil mencuri mahkota Rahwana dipersembahkan kepada Sri Rama. Dalam kisah ini, ela-elu-nya Anggada berakhir dengan positif.
Ia berhasil mengubah ela-elu yang dilakukan dengan sikap pil ihan yang tepat sebagai seorang prajurit.
69
Dalam Pandawa Dadu, nasib Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa, d an Drupadi juga jadi ikut buram karena kegandheng-kegeret atau kegendeng-keceneng sikap Yudhistira, sang kakak, yang nekat
melayani Kurawa bermain dadu. Meskipun kalah, demi etos ksa tria yang dibelanya, Yudhistira tidak mau berhenti sampai lincin tandas modal dan kehormatannya, hingga tega menjadikan
istrinya, Drupadi, sebagai taruhan di meja judi. Akibat kekalahan tadi, mereka menerima hukuman pembuangan selama tiga belas tahun.
70
Nama-nama hantu di Jawa.
48
meletakkan nilai atau derajat orang lain lebih tinggi daripada diri sendiri. Maka, seluruh tatanan hidup di Jawa selalu mengandung dua aspek
tersebut :
rukun
dan
ngajeni liyan
. Dan percaya tidak percaya, semangat hidup orang Jawa yang masih
ngenggoni Jawane
menempatkan diri pada adat
tradisi budaya
Jawa adalah
menciptakan
patembayatan
persaudaraan, bukan menumbuhkembangkan sikap perilaku :
sapa sira- sapa ingsun
; siapa kamu, siapa aku. Apabila dicermati, ungkapan
sapa sira-sapa ingsun
setara dengan vonis yang menyatakan : status atau nilai kamu lebih rendah dari diriku,
sedangkan aku lebih tinggi segala-galanya daripada kamu. Dari bahasa saja sudah tampak, bagaimana orang lain dipanggil
sira
kamu dalam posisi rendah, dan aku disebut
sun ingsun
yang berarti lebih tinggi sehingga ungkapan ini sering digunakan raja ketika menyebut dirinya.
Apabila yang bersangkutan masih menghargai orang yang dituju tentu kesetaraan
derajatnya tetap
dijaga. Dengan
demikian, dia akan
menggunakan penyebutan aku dan
sira
, atau
ingsun
dan
panjenengan
kamu dalam bahasa karma inggilbahasa halus di Jawa. Maka, tidak mengherankan jika
unen-unen
ini sering dipakai dalam dialog pewayangan sebagai awal mula terjadinya perang konflik, di
mana orang lain sudah dianggap buruk, salah, menjadi musuh, dan harus diletakkan di bawah. Mengenai kerukunan dan rasa hormat, orang Jawa
sering mengaca pada kisah Pandawa-Kurawa dalam Mahabharata.
71
Ketika terjadi pertikaian atau konflik, akal pikiran waras selalu tidak digunakan lagi. Padahal, yang merasa benar belum tentu pilihannya tepat,
yang salah belum tentu kalah, yang baik bisa saja mengalami jungkir balik. Dan manakala semua itu terjadi, nasihat di Jawa sudah menyatakan :
bener during mesthi pener
,
salah during mesthi kalah
,
becik bisa kuwalik
. Ketika terjadi
congkrah
permusuhan, orang Jawa diharapkan untuk ingat pada unen-unen :
rukun agawe santosa crah agawe bubrah
rukun membuat
71
Meskipun bersaudara karena sama -sama trah Bharata, namun anak-turun Pandu dan Destarata ini tidak pernah rukun. Senantiasa crah, congkrah percekcokan, permusuhan, dan tidak saling
menghormati secara akut. Puncaknya, Kurawa cures mati semuatidak ada yang hidup dan Pandawa sukses menobatkan Parikesit menjadi raja Hastina. Namun, setelah Bharatayuda pun
kebesaran Pandawa juga musnah, dan akhirnya muks a : mati satu demi satu.
49
sentosa, bertengkar membuat rusak semuanya, Terlebih ketika pada relung hatinya yang paling dalam masih tersisa nilai-nilai
tepa salira
,
lembah manah
,
momor momot nggendhong nyunggi
tenggang rasa, bersikap
merendahtidak tinggi
hati, bercampur-lebur
menyatu menggendong-menyunggi,
agaknya sikap
perilaku menghargai
dan menghormati orang lain juga akan bertunas kembali kelak kemudian hari.
2.2.6 KEPEMIMPINAN JAWA