49
sentosa, bertengkar membuat rusak semuanya, Terlebih ketika pada relung hatinya yang paling dalam masih tersisa nilai-nilai
tepa salira
,
lembah manah
,
momor momot nggendhong nyunggi
tenggang rasa, bersikap
merendahtidak tinggi
hati, bercampur-lebur
menyatu menggendong-menyunggi,
agaknya sikap
perilaku menghargai
dan menghormati orang lain juga akan bertunas kembali kelak kemudian hari.
2.2.6 KEPEMIMPINAN JAWA
Kepemimpinan Jawa, meliputi :
a. Psikologi Kepemimpinan Jawa : Mawas Diri
Meniti perjalanan kepemimpinan kita, memang menggoda. Mulai dari tuding-menuding, lengser-melengser, jegal-menjegal, dan akhirnya jatuh
pada persoalan puas dan tak puas. Lima pegangan utama seorang pemimpin, yaitu :
1. pimpinan harus menyingkirkan nafsu
pancadriya
, seperti sifat : a
cengil
upaya menyengsarakan pihak lain; b
panasten
hati mudah terbakar jika orang lain mendapat kenikmatan; c
kemeren
iri hati; d
dahwen
senang mencampuri urusan orang lain; e
gething
kebencian, dan sebagainya.
72
2. pemimpin harus patuh kepada raja yang ada dalam dirinya, yaitu hati
Hati adalah raja tubuh manusia yang amat menentukan segalanya. Hati adalah
penentu segalanya.
Karena itu,
seorang pemimpin
perlu memperhatikan penyakit hati yang mungkin timbul. Di antara penyakit
hati tersebut antara lain, nafsu ingin berkuasa terus-menerus,
kumingsun
sombong diri, dan ingin menang sendiri. Tindakan semacam ini, bukan dilandasi hati yang terdalam nurani.
3. Pemimpin selalu bertindak dengan laku
hening
kejernihan pikir, batin,
heneng
penuh pertimbangan,
hawas
waspada,
eling
ingat kepada Tuhan, dan
wicaksana
bijaksana. 4.
pimpinan harus taat pada nasehat guru Maksudnya, pimpinan perlu memiliki penasihat yang handal. Hanya saja,
72
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Yogyakarta : Cakrawala, 2006, 171-173.
50
seringkali nasehat tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal. Atau, bahkan seringkali nasihat tersebut ada yang memiliki tendensi tertentu,
yang hanya menguntungkan suatu kelompok – ini jelas berbahaya.
5. Pimpinan harus mengasihi terhadap sesama
Kasih sayang adalah sangat mahal bagi seorang pimpinan. Kasih sayang tak hanya diwujudkan dalam bantuan material, melainkan pemberian
keadilan dan kepercayaan pada rakyat. Rakyat menginginkan bahwa keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman adalah milik bersama.
Dari lima hal tersebut, seorang pimpinan dapat melakukan refleksi diri. Hal ini menegaskan bahwa mawas diri adalah kunci keberhasilan seorang
pimpinan. Pimpinan hendaknya mampu mengolah hati dengan cara mawas diri
mulat sarira
. Dalam kaitan ini orang Jawa mengenal tiga falsafah psikologis mawas diri, yaitu sikap
rumangsa handarbeni
,
wani hangrungkebi
,
mulat sarira hangrasa wani
artinya, merasa memiliki, berani membela demi keadilan dan kebenaran, serta mau mawas diri.
Pemimpin yang mampu berbuat demikian, akan
bisa rumangsa
mampu merasakan penderitaan rakyat, dan bukan sebaliknya
rumangsa bisa
ingin disanjung, sombong, dan sok tahu.
73
Tepa selira
adalah bagian dari mawas diri. Secara psikologis,
tepa selira
akan memberikan tuntunan kebijaksanaan seorang pemimpin. Namun demikian,
tepa selira
tak berarti harus meninggalkan aspek lain. Karenanya, pimpinan dituntut benar-benar jeli dalam menerapkan prinsip
ini. Maksudnya, pimpinan memang tak dibenarkan berjiwa balas dendam, karena sifat satu ini hanya akan menyulut permusuhan.
b. Ideologi Pemimpin Jawa