cincin heterosiklik. Alkaloida merupakan senyawa yang mempunyai aktifitas antimikroba yang menonjol dan telah banyak digunakan secara luas dalam bidang
pengobatan Lenny 2006.
Senyawa-senyawa fenolat ditemukan pada berbagai organisme, mulai dari mikroorganisme sampai tumbuhan tingkat tinggi dan hewan. Semua senyawa fenolat
merupakan senyawa aromatik sehingga menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum ultraviolet. Selain itu, secara hak senyawa fenolat menunjukkan geseran bathokromik
pada spektrumnya bila ditambahkan basa. Karena itu, metode spektrometri sangat penting terutama untuk mengidentifikasi dan analisis kuantitatif senyawa fenolat
Achmad 1986.
Senyawa fenolat merupakan senyawa yang berfungsi sebagai antimikroba dengan mekanisme penghambatan mikroba oleh fenolat yaitu dengan cara merusak dinding sel
pada sel yang sedang tumbuh, mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, merusak sistem metabolisme di dalam
sel dengan cara menghambat kerja enzim Pelczar Chan 2008.
4.2 Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Alpukat Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara In Vitro
Pengujian antimikroba ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat dilakukan terhadap 4 jenis mikroba patogen, yaitu Candida albicans, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii. Dasar pemilihan keempat jenis mikroba uji ini adalah mewakili masing-masing jenis mikroba yaitu mewakili bakteri dari
kelompok Gram positif, Gram negatif, dan khamir patogen.
Hasil uji antimikroba ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat dengan antibiotik pembanding yaitu kloramfenikol 30 µg dan nistatin 10 µg
menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak mampu menghambat pertumbuhan yaitu Candida albicans, Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan Salmonella thypii
dengan kemampuan yang bervariasi. Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antimikroba dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona
Universitas Sumatera Utara
penghambatan pertumbuhan mikroba Gambar 4.2.1. Bentuk zona hambat tersebut berupa cerukan penipisan elevasi koloni bakteri uji.
Gambar 4.2.1 Uji antagonis antara ekstrak metanol biji alpukat terhadap A C. albicans B E. coli C S. aureus, D S. typhii.
Terbentuknya zona hambat menunjukkan bahwa kandungan senyawa aktif pada ekstrak metanol, etil-asetat dan n-heksana mampu menghambat pertumbuhan bakteri.
Zona hambat yang terbentuk dapat diamati mulai hari kedua sampai hari keempat setelah masa inkubasi. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi dan
pelarut yang digunakan. Perbedaan nilai zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat disajikan pada Tabel 4.2.1 berikut ini.
A
B D
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.2.1 Besar zona hambat mm yang dibentuk oleh masing-masing ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana biji alpukat
Mikroba uji Konsentrasi
ekstrak Rata-rata diameter zona hambat
mm Metanol
n-heksana Etil
Asetat Antibiotik
C. albicans 5
10,48 10,67
10,01 10
9,58 11,58
9,35 15
11,86 11,68
10,83 20
17,56 12,72
11,16 Nistatin
10 μg
12,63 E. coli
5 7,50
10,22 8,52
10 7,88
11,18 9,20
15 8,49
11,65 7,62
20 9,65
13,52 8,39
Kloramfenikol 30
μg 29,34
S. aureus 5
12,14 11,72
11,14 10
13,03 12,73
15,21 15
11,39 12,57
14,05 20
14,04 15,8
17,40 Kloramfenikol
30 μg
29,64 S. typhii
5 13
9,08 7,38
10 13,08
8,67 7,99
15 14,32
9,83 7,06
20 16,86
10,63 6,93
Kloramfenikol 30
μg 20,65
Adanya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak terhadap mikroba uji kemungkinan disebabkan karena ekstrak tersebut memiliki aktifitas antimikroba yang
bisa saja menyebabkan perusakan sel dengan cara menghambat pembentukan dinding dan membran sel yang dapat mengganggu permeabilitas sel atau mungkin menghambat
sintesis protein dan asam nukleat sehingga sel tidak dapat lagi melangsungkan hidupnya karena proses utama dalam hidupnya sudah dirusak oleh ekstrak tersebut Ruzin et al,
2003; Berdy 2005. Ukuran zona hambat dapat juga dipengaruhi oleh sensitivitas organisme uji, kemampuan difusi bahan antimikroba ke dalam media dan interaksinya
dengan mikroba uji, dan jumlah mikroba yang diujikan Cappucino Sherman 1996.
Universitas Sumatera Utara
Pada konsentrasi 20 nilai zona hambat terbesar ditunjukkan oleh ekstrak metanol biji alpukat terhadap C. albicans, E. coli, S. aureus dan S. typhii masing-masing
sebesar 17,56 mm, 9,65 mm, 14,04 mm dan 16,86 mm. Ekstrak metanol biji alpukat dengan konsentrasi 5 menunjukkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S. thypii
yaitu 13 mm. Sedangkan ekstrak etil asetat dan n-heksana biji alpukat dengan konsentrasi 5 menunjukkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S. aureus masing-
masing sebesar 11,4 dan 11,72 mm. Kemampuan daya hambat ekstrak metanol, n- heksana dan etil asetat biji alpukat dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada
konsentrasi 5 tidak berbeda jauh masing-masing sebesar 10,48 mm, 10,67 mm dan 10,01 mm. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, nilai zona hambat yang terbentuk
semakin besar.
Diameter zona hambat yang terbentuk memperlihatkan variasi zona. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain besarnya inokulum, waktu
inkubasi, konsentrasi ekstrak, dan daya antibakteri zat berkhasiat. Makin besar inokulum maka semakin kecil daya hambatnya sehingga semakin kecil zona yang
terbentuk. Konsentrasi ekstrak mempengaruhi kecepatan difusi zat berkhasiat. Makin besar konsentrasi ekstrak makin cepat difusi akibatnya makin besar daya antibakteri dan
makin luas diameter zona hambat yang terbentuk Kumala et al. 2008
Ekstrak metanol biji alpukat menunjukkan rata-rata nilai penghambatan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan n-heksana. Metanol merupakan
pelarut yang baik digunakan dalam metode ekstraksi suatu bahan, metanol juga menghasilkan rendemen yang lebih besar jumlahnya dibandingkan pelarut lain
Ahameethunisa Hopper 2010; Khyade Vaikos 2009. Ekstrak biji alpukat fraksi petroleum eter juga diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus
sp. pada konsentrasi 2,5 dengan zona hambat sebesar 9,06 mm Susilowati et al. 1997.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan metanol pada saat maserasi juga akan menyebabkan pH ekstra sel menurun dan akan meningkatkan konsentrasi proton di dalam. Konsekuensinya terjadi
akumulasi proton di dalam sel yang dapat menyebabkan lisisnya sel sehingga senyawa metabolit yang ada berdifusi ke pelarut dan memperbesar kemungkinan ekstrak yang
diperoleh lebih banyak sel Purwoko 2007.
Dari hasil keseluruhan dapat dilihat bahwa ekstrak bakteri dengan menggunakan ketiga pelarut tersebut lebih aktif terhadap bakteri bakteri Gram positif, kemudian
diikuti oleh bakteri Gram negatif, sedangkan terhadap khamir ekstrak biji alpukat menghasilkan zona hambat yang lebih besar. Hal ini mungkin disebabkan karena
senyawa metabolit sekunder yang aktif dalam menghambat C. albicans dapat ditarik dengan baik oleh semua pelarut. Oleh karena penggunaan pelarut yang berbeda,
senyawa metabolit yang dapat ditarik pun berbeda jenis dan sifatnya sehingga menunjukkan aktifitas yang berbeda terhadap mikroba uji.
Dari semua mikroba uji yang digunakan, S. aureus merupakan mikroba yang paling rentan terhadap ekstrak biji alpukat dan antibiotik. Perbedaan efektifitas ekstrak
dalam menghambat mikroba uji kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif ketiga jenis pelarut. Oleh sebab itu aktifitas penghambatan juga berbeda.
Dinding sel S. aureus bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel dengan banyak lapisan peptidoglikan dan relatif sedikit lipid sedangkan E. coli bakteri Gram
negatif mempunyai struktur lebih kompleks, terdapat membran luar yang melindungi peptidoglikan yakni fosfolipid lapisan dalam dan lipopolisakarida lapisan luar Hal
ini mengakibatkan kemampuan yang berbeda-beda antara ekstrak terhadap mikroba uji Pratiwi 2008.
Ekstrak etanol biji alpukat menunjukkan bahwa biji alpukat mengandung polifenol, flavonoid, terpenoid dan fenolik. Aktivitas antibakteri dapat disebabkan
adanya kandungan senyawa kimia yaitu tanin dan flavonoida. Tanin dan flavonoida merupakan golongan senyawa fenol. Golongan fenol diketahui memiliki aktivitas
antimikroba yang bersifat bakterisidal namun tidak bersifat sporisidal Marlinda et al,
Universitas Sumatera Utara
2012. Senyawa fenol bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri mati, juga dapat mempresipitasikan protein secara
aktif dan merusak lipid pada membran sel melalui mekanisme penurunan tegangan permukaan membran sel Pratiwi 2008.
Kemampuan antimikroba ekstrak biji alpukat dibandingkan dengan antibiotik komersial yang sudah banyak digunakan terhadap bakteri dan khamir patogen yaitu
kloramfenikol 30 µg untuk bakteri dan nistatin 10 µg untuk jamur. Kloramfenikol 30 µg dengan konsentrasi 20 untuk ekstak metanol menunjukkan penghambatan terbesar
terhadap S. aureus yaitu 29,64 mm. Zona hambat yang dibentuk nistatin 10µg terhadap Candida albicans sebesar 12,63 mm Gambar 4.2.2. Pelarut DMSO digunakan sebagai
control - tidak menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan mikroba patogen.
Gambar 4.2.2 Besarnya zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik nistatin terhadap A C. albicans dan kloramfenikol terhadap B E. coli C S. aureus
dan D S. thypii.
Antibiotik menghambat mikroba melalui beberapa mekanisme yang berbeda yaitu, antibiotik menghambat sintesis dinding sel mikroba, antibiotik mengganggu
membran sel mikroba, antibiotik menghambat sintesis protein dan asam nukleat mikroba, dan antibiotik mengganggu metabolisme sel mikroba. Antibiotik menghambat
pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik atau bakterisida. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang esensial untuk pertumbuhan. Reaksi mungkin
merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis makromolekul seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur sel seperti dinding sel atau membran sel dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Antibiotik tertentu dapat menghambat beberapa reaksi. Reaksi tersebut ada yang esensial untuk pertumbuhan dan ada yang kurang esensial. Penghambatan pada
beberapa reaksi dapat terjadi secara langsung yaitu antibiotik langsung memblokir beberapa reaksi tersebut, namun masing-masing reaksi memerlukan konsentrasi
antibiotik yang berbeda. Ketergantungan pada konsentrasi ini menggambarkan perbedaan kepekaan reaksi tersebut terhadap antibiotik Suwandi 1992.
4.3 Uji Toksisitas dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test