majelis hakim menyatakan pendapatnya secara terbuka meski perkara itu belum sampai pada tahap keputusan.
Selama ini, MA telah menerapkan sejumlah pagar untuk mencegah jual beli perkara. Antara lain dengan memberlakukan pengawasan melekat. Di masa
mendatang, pengawasan ini akan diperketat dengan membuka jalur pengaduan langsung dan mendayagunakan lebih jauh melalui sistem administrasi komputer.
Dengan pelayanan komputer, pihak-pihak beperkara tidak perlu datang ke MA. Cukup mengakses situs MA yang akan diberlakukan pada Desember mendatang.
C. Upaya-upaya yang dilakukan Ombudsman Nasional guna mengatasi kendala-kendala yang dihadapinya
Betapapun tajamnya kritik yang dialamatkan kepada pemerintah, semua harus tetap berjalan dalam koridor kebersamaan dengan mengesampingkan egoisme
terhadap kepentingan diri dan kelompok. Dikhawatirkan, ujung kritik yang tanpa etika yang merupakan cermin egoism adalah tenggelamnya visi bersama sebagai
bangsa. Tiadanya visi bersama membuat kita menapak tahun-tahun pascakemerdekaan dengan harap-harap cemas: apakah akan terus mencapai
keberhasilan atau akan menemukan jalan buntu penuh kegagalan.
Kondisi kegagalan kita akan dipicu lagi oleh kondisi kemajemukan Indonesia yang senantiasa mencuatkan motif-motif ideologis transendental yang hendak
merecoki dan menodai wajah kemajemukan yang telah menjadi identitas bangsa. Ini 127
dilatari oleh usia negara Indonesia yang masih muda dan rasa sebagai satu bangsa yang senasib masih dalam tataran proses menjadi diri, sehingga masih rentan
terhadap fragmentasi dan segregasi sebagai akibat belum dapat terkelolanya pluralisme bangsa dengan baik.
124
Ketika persoalan identitas bersama belum matang, revitalisasi danatau dekonstruksi keindonesiaan pun belum berjalan sempurna di tengah karakteristik
primordialisme yang masih menyengat kalbu, maka ancaman konflik dan friksi sosial politik akan tetap menjadi tantangan bersama. Dalam situasi itu pula, rakyat pun
begitu mudah digiring dan dimobilisasi secara politik dan di dalamnya akan mudah diaduk-aduk, sehingga mudah pula melahirkan konflik, friksi, fragmentasi, dan
segregasi. Persoalannya, kapan situasi seperti ini dapat berakhir dan segera lahir masyarakat bangsa yang berkeadaban?
Apakah kita pesimistis dan tak henti-hentinya menyalahi orang lain tanpa upaya keras membangun kebersamaan demi meraih kesuksesan bangsa? Jawabannya,
tentu kita tidak bisa hanya terkungkung dalam pesimisme dan dibalut semangat saling menyalahi, melainkan harus mematrikan optimisme. Dengan kata lain, harapan
optimistik perlu dirajut. Mesti dipahami, warisan terbaik para pendiri bangsa adalah optimisme, atau yang dikatakan Yudi Latif sebagai politik harapan, bukan politik
ketakutan.
124
Ahmad Nurullah dalam Jurnal Nasional, Optimisme Pasca Kemerdekaan, Jum’at 19 Agustus 2011.
128
Republik ini sebenarnya berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas
atau jati diri sebagai bangsa. Dan identitas bangsa akan semakin tenggelam ketika arena sosial politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi
bersama. Watak politik pun menjadi narsistik, dan mengecilkan harapan. Maka, politik harapan perlu dibangun demi memperkuat kembali visi yang
mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat
kapasitas transformatif kekuasaan lewat aktualisasi politik harapan.
Visi yang dibangun dengan berbingkai harapan harus dijadikan sebagai etika masa depan, etika yang tidak mengelakkan tanggung jawab atas sesama dan
masyarakat. Etika yang mengharuskan kita berani mengurai setiap persoalan yang datang menerjang. Kita juga perlu menyadari bahwa krisis dalam aneka macam
bentuk, kapan saja akan datang silih berganti. Karena itu pula, dalam etika masa depan kita membutuhkan karakter-karakter dari dalam diri yang dapat membuat kita
tetap tegak berdiri setiap kali menghadapi persoalan.
Untuk membangun etika masa depan yang sukses, bangsa ini memiliki potensi dahsyat, baik dari sisi sumber daya alam SDA maupun dari sisi sumber daya
manusia SDM. Potensi-potensi itu pula yang menggerakkan keyakinan kita tetap optimistis memandang masa depan. Rakyat negeri ini juga sebenarnya memiliki
129
kekuatan mental, keuletan dan mau maju secara bersama dan mandiri. Tetap eksisnya rakyat di tengah empasan gelombang krisis selama ini adalah bukti. Jika sifat-sifat
seperti itu dikelola dan dibimbing secara tepat, budaya unggul tentu bukan sekadar retorika.
Kini, tergantung sejauh mana proses revitalisasi dikerjakan. Revitalisasi adalah sebuah proses mengubah potensi menjadi aktualisasi, dari patos menjadi etos.
Dengan etos yang ulet, mandiri, bekerja keras, dan berintegritas, segala persoalan yang menghadang, sesungguhnya adalah peluang, bukan ancaman. Untuk itu,
Indonesia yang kini sudah berusia 66 tahun ini harus semakin ditumbuhi semangat optimisme dan fokus menatap masa depan dengan penuh kebersamaan. Ini penting
demi merajut harapan-harapan dengan narasi baru keindonesiaan berdasarkan nilai- nilai bersama, tanpa mencari kambing hitam. Untuk itu, dibutuhkan pembaruan sikap
politik yang lebih beretika dan santun, serta reformasi pikiran terhadap segala nilai manusiawi yang di masa lalu terabaikan.
D. Budaya Hukum dan Budaya Politik Indonesia