60 Undang Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB Tentang
Keanekaragaman Hayati, Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pokok Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, Undang Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia, serta Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Berikut ini uraian lebih rinci mengenai tiga sumber hukum utama
yang terkait langsung dengan kawasan konservasi laut.
5.1.2.1 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990
Strategi konservasi pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengacu pada strategi konservasi dunia world conservation strategy yang ditetapkan pada
tahun 1980, dengan mengedepankan misi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. Realitas di lapangan cenderung mengedepankan
fungsi perlindungan dan pengawetan dari pada aspek pemanfaaatannya, serta kurang mengangkat upaya pemberdayaan masyarakat lokal yang secara turun
temurun tinggal di kawasan konservasi, sehingga seringkali terjadi konflik. Secara spesifik, undang-undang ini mengatur tipe dan model kawasan
konservasi di Indonesia, seperti kawasan suaka alam CA dan SM, kawasan
pelestarian alam TN, taman hutan raya, taman wisata alam dan cagar biosfer. Dengan kata lain, dari sudut pandang pemerintah, c.q Departemen Kehutanan,
hanya tipe-tipe kawasan di atas saja yang diatur dalam undang-undang ini. Dari sudut pandang pemerintah daerah dan masyarakat lokal, undang-undang ini dinilai
kurang mengakomodir pembentukan kawasan-kawasan konservasi laut yang kini banyak bermunculan di daerah. Undang-undang ini juga menempatkan
pemerintah sebagai lembaga yang mengatur pelaksana dari pengelolaan baik kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam. Ketentuan ini tercantum
pada pasal 16 menyatakan bahwa: “Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah
”: sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Lebih tegas lagi Pasal 34 ayat 1
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa pengelolaan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah .
61 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengatur pula hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti pada pasal 38 ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah pusat cq Departemen Kehutanan cq Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA dapat menyerahkan sebagian urusan tentang pelaksaanaan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya kepada pemerintah daerah. Untuk lengkapnya pasal itu berbunyi sebagai berikut: “Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Namun dalam pelaksanaannya mandat pasal 38 diatas tidak dapat diterapkan di lapangan dan yang berlaku pengelolaan kawasan konservasi oleh unit pelaksana
teknis PHKA, yakni Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA yang berkedudukan di setiap Provinsi dan Balai Taman Nasional yang berkedudukan di
lokasi kawasan konservasi berada. Pengelolaan kawasan kawasan konservasi
yang bersifat sentralistis, mulai proses perencananan, penganggaran, pengangkatan dan penempatan personil pengelola semuanya dipersiapkan dari
pusat, bahkan lembagaUPT pengelola kawasan konservasi tersebut bertanggung jawab langsung kepada Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan.
Keterlibatan Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal disekitar kawasan sangat minim dan terkesan eksklusif. Jenis KSA yang dikembangkan meliputi
cagar alam dan suaka margasatwa yang menitikberatkan pada aspek perlindungan. Sedangkan aspek pemanfaatan untuk wisata alam dikembangkan di KPA dalam
bentuk taman nasional dan taman wisata alam, yang dikelola dengan sistem zonasi pada taman nasional dan pembagian blok taman wisata alam. Pada konsep
pengelolaan KSA dan KPA tersebut diatas, tidak diatur dengan jelas bagaimana kegiatan perikanan dapat dilaksanakan, dan dalam prakteknya kegiatan perikanan
cenderung dilarang dan sering kali menimbulkan konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat lokal yang tinggal disekitarnya.
Kasus yang sering muncul ketika penetapan kawasan konservasi dilaksanakan setelah masyarakat lokal yang bermata pencaharian nelayan tinggal
secara turun menurun dan merupakan bagian integral di lokasi tersebut dilarang
62 melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sementara itu, tidak ada program yang
secara khusus dan berkeinambungan yang menunjang alternatif mata pencaharian masyarakat.
5.1.2.2 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah