Perubahan iklim global dan bencana alam

24

2.2.2.6 Perubahan iklim global dan bencana alam

Perubahan iklim global global climate change atau gejaga-gejala alam lainnya, seperti ultraviolet dan El Nino dapat menyebabkan kerusakan fisik pada habitat sumberdaya hayati perairan. Dahuri 2003 mengemukakan akar permasalahan dan ancaman terhadap kerusakan sumberdaya hayati laut di atas disebabkan karena : 1 tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dan kemiskinan, 2 tingkat konsumsi berlebihan dan penyebaran sumberdaya yang tidak merata, 3 kelembagaan, 4 kurangnya pemahaman tentang ekosistem, dan 5 kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan dalam menilai ekosistem alam. Akar permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut : 1 Kependudukan dan kemiskinan Padatnya jumlah penduduk di suatu wilayah akan mempengaruhi sumberdaya alam di sekitarnya. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekarang sekitar 200 juta jiwa, dan sebagian besar penduduk tersebut menggantungkan hidupnya secara langsung pada sumber daya alam. Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kualitas hidup akan semakin mendorong peningkatan kebutuhan manusia, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap sumber daya alam seperti sektor perikanan dan kelautan. Diperkirakan sekitar 60 penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir, yang mempunyai ketergantungan pada laut dan sumber daya yang ada di dalamnya Dahuri, 2003. Dengan semakin meningkatnya pemanfaatan sumber daya alam pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestariannya, potensi sumber daya tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun. Lebih parah lagi dengan kondisi neyalan yang sebagian besar masuk dalam kategori masyarakat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagian nelayan terpaksa melakukan cara-cara pemanfaatan yang tidak bijaksana, seperti penggunaan bahan peledak dan racun potasium sianida. 2 Tingkat konsumsi berlebihan dan kesenjangan sumberdaya alam 25 Bertambahnya jumlah penduduk dan teknologi baru yang dikembangkan saat ini cenderung mendorong manusia bersifat boros terhadap sumber daya alam. Akibatnya tingkat pengurasan sumberdaya alam dan tingkat pencemaran di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi, yang pada akhirnya tingkat eksploitasi sumber daya alam pesisir dan laut akan terus meningkat. Hal ini dapat menyebabkan potensi sumberdaya alam mengalami penurunan. Permasalahan lain, di satu sisi penyebaran sumberdaya hayati laut relatif tidak merata, cenderung terlokalisasi, dan terbatas sifatnya, di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk relatif cepat dan cenderung terakumulasi pada tempat-tempat tertentu seperti daerah kota pesisir, yang mempunyai tingkat konsumsi sumber daya akan lebih tinggi, sehingga kerusakan sumber daya alam yang terjadi juga lebih parah. 3 Masalah kelembagaan dan penegakan hukum 1 Konflik pemanfaatan dan kewenangan Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong 26 terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya user conflict dan konflik kewenangan jurisdictional conflict Cicin dan Knetch, 1998. 2 Masalah ketidakpastian hukum Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik open access property resources, tetapi berdasarkan UUD 45 pasal 33 menyatakan bahwa semua sumberdaya termasuk sumberdaya perairan Indonesia adalah milik pemerintah state property , sehingga pemerintah memberikan izin pemanfaatan kepada pihak investor yang memenuhi persyaratan. Investor tersebut mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk memenuhi kepentingannya atau mendapatkan keuntungan jangka pendek. Jika tidak maka pihak lain intruders yang menganggap sumberdaya tersebut open access akan mengeksploitasinya. Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah yang menjadi state property , tetapi juga mengakui hak-hak ulayat common poperty atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat adat yang melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan incremental benefit dari upaya mereka melestarikannya 3 Rendahnya pemahaman tentang ekosistem. Dahuri 2003 mengemukakan bahwa tingginya laju pemanfaatan sumber daya alam untuk pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh tanpa memperhatikan aspek kelestarian, sangat mengancam keberadaan sumber daya tersebut. Hai ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang tentingnya ekosistem alam yang dapat menjaga keseimbangan siklus hidup, sekaligus menjaga sumber kehidupan bagi umat manusia. Pemahaman terhadap ekosistem alam harus dilakukan secara komprehensif, sehingga pemanfaatan dapat dilakukan searif mungkin, dengan mempertimbangkan aspek kelestariannya. Pemahaman tersebut penting untuk mewujudkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, 27 sehingga keberadaan suatu sumberdaya alam pesisir dan laut tidak hanya bermanfaat bagi generasi sekarang, tetapi juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pemahaman yang penting mengenai ekosistem terutama berkaitan dengan aspek daya dukung lingkungan. Jika daya dukung lingkungan terlewati, maka keberadaan suatu sumber daya alam akan terancam kelestariannya, sehingga akan berpengaruh pada upaya pemanfaatannya di masa mendatang. Keterbatasan pengetahuan dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi laut merupakan salah satu program utama dalam implementasikan kebijakan. Oleh karena itu, dalam pertemuan IUCN pada tahun 1968, pidato Prof. Baba Dioum, ahli ekologi dari Senegal, bahwa “Pada akhirnya kita akan melindungi hanya apa yang kita cintai, kita akan mencintai hanya apa yang kita mengerti, dan kita mengerti hanya apa yang diajarkan kepada kita ”. Makna bagian dari pidato tersebut memberikan gambaran bahwa hanya sebagian kecil dari keanekaragaman hayati pesisir dan laut yang mampu dilindungi karena keterbatasan pengetahuan dan sebagian besar dari keanekaragaman hayati pesisir dan laut mengalami laju kepunahan yang sangat cepat. Beberapa pemasalahan yang menyangkut rendahnya pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya hayati laut adalah : {1} Adanya pemahaman yang salah dalam pemanfaatan sumberdaya laut yang diungkapkan oleh Hugo Grotius, seorang bangsa Belanda pada sekitar tahun 1600-an, menyatakan bahwa laut tidak dapat dirusak oleh kegiatan-kegiatan manusia, oleh sebab laut tidak memerlukan usaha perlindungan. Pemikirannya menghasilkan prinsip “kebebasan laut”, sebuah konsep yang selalu mempengaruhi kebijakan-kebijakan terhadap lautan dengan mengabaikan fakta bahwa dampak kegiatan manusia seperti misalnya penangkapan berlebih, kerusakan habitat, habisnya lahan-lahan basah, dan ancaman polusi, mengancam produktivitas laut dalam jangka panjang. {2} Secara sosial-budaya masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat mempunyai perhatian yang rendah terhadap milik bersama. 28 Umumnya manusia paling memperhatikan apa yang menjadi miliknya dan kurang perduli dengan apa yang menjadi milik bersama, atau dengan kata lain, mereka hanya peduli pada apa yang menjadi perhatian masing-masing secara individu. {3} Pada umumnya daerah-daerah pelestarian dan perlindungan laut tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari pengelola perikanan di daerah, setidaknya kawasan-kawasan konservasi lait tersebut tidak diwujudkan dalam bentuk aturan formal secara jelas. 4 Kegagalan sistem ekonomi dan kebijakan penilaian ekosistem Kebijakan ekonomi yang hanya mengejar target produksi melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara terus menerus akan menimbulkan kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, karena ekosistem pesisir dan laut memiliki keterbatasan atau daya dukung. Apabila sistem ekologisnya terganggu, proses produksi bahan baku tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat menghancurkan proses produksi barang-barang ekonomi Dahuri, 2003. Secara umum ada dua sumber permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi laut di Indonesia, yaitu permasalahan internal dan eksternal. Secara internal permasalahan utamanya adalah berbagai kekurangan, seperti sarana pengelolaan, dana, dukungan politis dan peraturan dalam penerapan regulasi. Sedangkan permasalahan eksternal pengelola menghadapi berbagai kendala dari faktor sosial, budaya, politik dan ekonomi yang menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi. Di Indonesia upaya konservasi sering dianggap kurang mendukung dan terpisah dari kegiatan pembangunan ekonomi. Kegagalan konservasi tersebut umumnya karena tidak dapat menambah pendapatan masyarakat, tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dan tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan. Selanjutnya konservasi bukan sesuatu yang menarik dan kurang memberikan keuntungan bagi negara-negara berkembang sehingga sulit mendapat dukungan politis dari masyarakat. 29 2.3 Perikanan Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut 2.3.1 Manfaat dan nilai ekosistem wilayah pesisir Secara global, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penyuplai ikan dunia dengan total penerimaan devisa negara hampir US 2 milyar. Selain itu, sumberdaya di kawasan tersebut menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pesisir. Lebih dari 2 juta orang terlibat secara langsung dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut, yang menghasilkan dampak berganda cukup tinggi bagi masyarakat pesisir. Dari ekosistem terumbu karang, nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dari ikan hias di Indonesia sekitar US 32 jutatahun. Selain jenis ikan, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai ekonomi non- konsumtif, antara lain pariwisata, pelindung pantai, dan keragaman hayati. Nilai keragaman hayati terumbu karang Indonesia, misalnya, diperkirakan sekitar US 7,8 juta. Adapun total nilai ekosistem terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US 466 juta nilai bersih sampai dengan US 567 juta nilai kotor GEFUNDPIMO, 1999. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkaya dalam keanekaragaman hayatinya karena memiliki lebih dari 77 genera dan 450 spesies terumbu karang, serta tercatat memiliki lebih dari 2000 spesies ikan. Selain itu, perikanan Indonesia mewakili lebih dari 37 dari total spesies dunia yang mencakup kawasan perairan laut sekitar 5,8 juta km2. Garis pantai Indonesia menduduki urutan kedua terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang sekitar 81.000 km dan memiliki sekitar 10.000 - 17.000 pulau-pulau kecil yang menyebar di wilayah nusantara Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan menetralkan senyawa kimia beracun tertentu sebelum terdedah ke perairan bebas. Di sisi lain, hutan mangrove dapat menjadi bangunan alami yang meredam gempuran ombak yang mengikis pantai. Hutan mangrove menjadi tempat hidup berbagai jenis makhluk hidup serta daerah asuhan bagi jenis-jenis ikan tertentu dari asosiasi habitat sekitarnya seperti padang lamun dan terumbu karang. Hasil perhitungan GEFUNDPIMO 1999 menunjukkan, nilai manfaat ekosistem mangrove untuk wilayah Indonesia cukup besar, yakni diperkirakan sebesar US 1,8 milyar nilai bersih sampai US2,3 milyar nilai kotor. 30 Hamparan lamun, selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi ikan-ikan, juga berperan dalam mengontrol sedimentasi akibat aliran air permukaan run-off dari daratan. Salah satu sumberdaya penting dari hamparan lamun ini yang kontribusinya tidak bisa diabaikan adalah rumput laut. Perkiraan manfaat konsumsi langsung dari sumberdaya ini adalah berkisar antara 0,5–1 milyar rupiah per tahun. Hasil perhitungan GEFUNDPIMO memperkirakan bahwa nilai kegunaan rumput laut dan ekosistem lamun sekitar US 16 juta, yang meliputi nilai perikanan dan perlindungan pantai serta keanekaragaman hayati. Padang lamun ini pun telah banyak mengalami kehancuran serta mengakibatkan daerah laguna dan pesisir menjadi rentan terhadap erosi dan badai. Nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang cukup penting lainnya adalah pantai. Kawasan pantai banyak memberikan manfaat ekonomi antara lain untuk kegiatan pariwisata dan tempat penetasan telur penyu. Total nilai ekonomi dari kedua pemanfaatan ini sekitar USD 348 juta nilai kotor atau sekitar USD 248 juta nilai bersih GEFUNDPIMO, 1999. Dengan potensi dan kondisi yang demikian, tidak mengherankan jika wilayah pesisir menjadi tujuan utama manusia sebagai tempat bermukim dan mempertahankan hidupnya, sekaligus tempat pengembangan usaha yang besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi. Hal ini didukung dengan fakta bahwa dua pertiga kota-kota besar dunia berada di wilayah pesisir. Selain jaminan ketersediaan sumberdaya untuk kehidupan, wilayah pesisir juga merupakan wilayah yang memiliki mobilitas yang tinggi dalam memacu perekonomian, terutama dalam memfasilitasi arus barang dan jasa. Di Indonesia, sekitar 60 penduduknya tinggal dekat dengan pesisir dan menggantungkan hidupnya di daerah tersebut Dahuri, 2003. Rata-rata kepadatan penduduk di kebanyakan desa pesisir ini lebih dari 100 orangkm 2 . Kehidupan sebagian besar masyarakat ini sangat memprihatinkan karena keterbatasan akses mereka terhadap air bersih, kebersihan, dan fasilitas kesehatan, yang menjadikan mereka sangat rentan terhadap penyakit. Selain itu, kebanyakan masyarakat ini juga sangat rentan terhadap bahaya banjir dan badai. Ditinjau dari pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di daerah darat. Sejak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, jumlah penduduk yang hidup di 31 bawah garis kemiskinan telah meningkat berlipat ganda, dari 17 juta di tahun 1995 menjadi hampir 40 juta dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dari 40 juta penduduk ini, 60 adalah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Pendapatan per kapita penduduk di wilayah pesisir ini juga sangat rendah. Perhitungan terakhir menunjukkan, pendapatan per kapita penduduk di daerah pesisir berkisar antara 40.000-60.000 rupiah USD 5-7 per bulan. Angka pendapatan per kapita ini berada di bawah batasan garis kemiskinan yang diperkirakan oleh pemerintah, yakni sekitar 90.000 rupiahUSD 10 per kapita per bulan. Semakin pesatnya pertambahan penduduk yang menempati wilayah pesisir membuat ancaman terhadap keberadaan sumberdaya pesisir itu sendiri juga semakin besar. Dampaknya adalah terjadinya eksploitasi besar-besaran sumberdaya pesisir, terutama dalam usaha-usaha ekstensifikasi wilayah peruntukan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya pesisir itu sendiri dalam mendukung fungsi pelayanan bagi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif, tidak jelasnya kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir Dahuri et al., 2001.

2.3.2 Pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu