Faktor Dominan, Strategi dan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut

89 Tujuan utama penetapan DPL blongko sangat jelas, yaitu untuk kepentingan perikanan, sedangkan tujuan penetapan TN Bunaken lebih berorientasi pada pengembangan pariwisata bahari. Kesadaran tentang manfaat konservasi laut telah dimiliki oleh masyarakat Desa Blongko, bahkan mereka menyebut kawasan DPL sebagai daerah tabungan ikan yang harus mereka jaga dan lindungi untuk masa depan anak cucu mereka. Pengembangan kawasan konservasi laut berbasis masyarakat semacam ini agar tetap dipertahankan dan dikembangkan agar dapat mendukung upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, karena secara ekologis akan menghasilkan habitat yang tidak terganggu untuk pemijahan, meningkatkan jumlah stok ikan, serta dapat memperbanyak jumlah induk dan larva ikan. Pengembangan kawasan konservasi laut yang dikembangkan masyarakat tidak hanya terbatas pada pola budaya masyarakat setempat seperti penerapan adat istiadat yang sudah lama dikenal dan dipraktekan, akan tetapi juga mencakup pada pola-pola yang dikembangkan oleh para praktisi lingkungan bersama-sama dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu pada era otonomi daerah ini, pengembangan kawasan konservasi laut dengan rancangan multi-tujuan sangatlah tepat, karena akan menyeimbangkan antara semangat untuk melindungi, memanfaatkan dan melestarikan sumberdaya alam laut di daerah. Perda pengelolaan wilayah pesisir juga sangat dibutuhkan untuk memayungi pengembangan konservasi laut di daerah.

6.4 Faktor Dominan, Strategi dan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut

Strategi dalam pengembangan konservasi laut di Indonesia mengacu kepada strategi konservasi dunia sebagai berikut : 1 Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia 2 Pengawetan keanekaragaman jenis sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe 90 ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia 3 Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam laut dan ekosistemnya, yaitu pengendalian cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam laut dan ekosistemnya yang dilakukan secara serasi dan seimbang, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kenyataannya sering kali kepentingan konservasi dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Oleh karena itu upaya untuk penetapan dan pengembangan konservasi laut harus serius direncanakan dan ditangani dengan baik dan terintegrasi. Untuk melakukan penetapan dan pengembangan kawasan konservasi laut terlebih dahulu kita harus memahami kriteria-kriteria kawasan konservasi laut. Kriteria taman nasional, sebagai bagian dari kawasan konservasi laut adalah adanya keterwakilan, keaslian dan kealamiahan, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya, luasan kawasan, keindahan alam, kenyamanan, kemudahan pencapaian, nilai sejarah dan ancaman manusia. Jadi pengembangan kawasan konservasi di Indonesia membutuhkan pendugaan untuk menganalisa keterwakilan dari habitat yang dilindungi dan mengidentifikasi kesenjangan sistem. Pengelolaan kawasan konservasi laut merupakan proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada pengelola kawasan di lokasi tertentu. Pembagian wewenang dan tanggung jawab dibedakan menurut skala luasan areal kawasan konservasi yang dikelola mulai dari skala sangat kecil yang dikelola desa sampai skala nasional. Kawasan Taman Nasional Bunaken memiliki areal 89.065 ha, meliputi bagian utara seluas 75.265 ha dan bagian selatan seluas 13.800 ha. Bagian utara terdiri dari 5 lima buah pulau: Bunaken, Manado Tua, Siladen, pesisir Tanjung Pisok Kecamatan Bunaken, Kota Manado, Pulau Mantehage, Pulau Nain; dan Desa Tiwoho di daratan Sulawesi Kec. Wori, Kab. Minahasa Utara. Bagian selatan terdiri dari pesisir Tanjung Kalapa mulai dari pesisir Desa Poopoh, Kec. Tombariri, Kab. Minahasa sampai Desa Popareng, Kec. Tumpaan, Kab. Minahasa Selatan merupakan kawasan yang cukup luas sehingga pengelolaannya dilakukan oleh UPT pusat. DPL Blongko 91 memiliki luas areal relatif kecil dan pengelolaannya dilakukan oleh kelompok masyarakat desa. Berdasarkan kajian SWOT terhadap faktor-faktor dominan serta rekomendasi alternatif kebijakan yang dihasilkan bagi pengelolaan Taman Nasional Bunaken dan DPL Blongko antara lain terdapat kesamaan prioritas kebijakan, yakni perlunya peningkatan kerjasama dan membangun co- management dengan seluruh pemangku kepentingan. Hasil analisis SWOT memberikan gambaran yang mengkhawatirkan dengan adanya ketergantungan pengelolaan TN Bunaken dan DPL terhadap kehadiran LSM dan peran negara donor faktor luar negeri, khususnya dalam dukungan pendanaan. Apabila situasi ini dibiarkan berkembang dan dukungan faktor luar negeri semakin berkurang, dikhawatirkan pengelolaan DPL Blongko yang telah dibangun dengan kerja keras semua pihak akan kembali mundur. Untuk mengantisipasi hal ini, maka penggalian sumber sumber pendanaan yang berasal dari dalam negeri, baik yang bersumber dari APBN, APBD, dana swastaperusahaan yang bergerak di bidang sumberdaya alam, serta dana masyarakat perlu digalakkan. Kebijakan Departemen Kehutanan melalui dukungan program dan pembiayaan pengelolaan TN Bunaken perlu dikembangkan dengan membangun program yang lebih menekankan pada pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan serta pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan pemanfatan sumberdaya alam laut secara langsung dari alam serta mengantisipasi tekanan msyarakat terhadap penggunaan dan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak. Dalam upaya keterpaduan program antar sektor, kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Departemen Kehutanan dalam penguatan pengelolaan kawasan konservasi laut yang telah dibangun sejak tahun 2003 di 6 enam taman nasional perlu terus dibina dengan pembagian peran dan tugas yang jelas sehingga dapat menjadi faktor kekuatan untuk mendorong efektifitas pengelolaan taman nasional. Terkait dengan revitalisasi DPL Blongko, dukungan DKP melalui dana pembantuan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Minahasa Selatan untuk mendukung kegiatan pengelolaan DPL Blongko merupakan perhatian 92 pemerintah pusat terhadap upaya konservasi pesisir dan laut di Kabupaten Minahasa Selatan perlu dikembangkan dan secara perlahan peran tersebut dapat digantikan oleh pemerintah daerah. Peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan di bidang konservasi pesisir dan laut agar ditingkatkan dengan memberikan fokus yang lebih besar terhadap program konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam dalam bentuk dukungan dana APBN yang memadai. Sejalan dengan era reformasi dan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pelimpahan sebagian besar wewenang pengelolaan pesisir dan laut kepada daerah otonom merupakan peluang bagi pelaksana pengelola pesisir dan laut secara terpadu. Kewenangan daerah tersebut dijelaskan bahwa daerah otonom memiliki kewenangan terhadap laut dalam hal : 1 Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas 12 mil laut provinsi dan kabupatenkota 13 dari wilayah laut provinsi. 2 Pengaturan kepentingan administratif. 3 Pengaturan tata ruang. 4 Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. 5 Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. Kewenangan ini harus disertai dengan tanggung jawab dalam memelihara kelestarian lingkungannya, dengan terlebih dahulu menyiapkan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia dan pembinaannya. Pelibatan masyarakat luas, pemerintah daerah diharapkan dapat mendorong dan memunculkan calon-calon kawasan konservasi laut baru untuk dijadikan aset dan kebanggaan bagi daerah tersebut. Selain itu pemerintah daerah dapat menggali kearifan tradisional yang dimiliki oleh daerah untuk diangkat kepermukaan sebagai maskot dan kebanggaan daerah. Penerapan UU Nomor 32 Tahun 2004 memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari 93 pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa memperhatikan kaidah- kaidah pembangunan berkelanjutan. Beberapa permasalahan yang menjadi kendala bagi daerah dalam pengembangan konservasi laut, sebagai berikut : 1 Tumpang tindih pemanfaatan ruang dan benturan kepentingan antara berbagai pihak khususnya yang menyangkut pemanfaatan kawasan dan potensi sumberdaya alam di daerah. 2 Kurangnya aspirasi dan pengakuan masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan konservasi laut, sebagai akibat kurang dilibatkannya masyarakat lokal dalam proses penetapan kawasan konservasi laut daerah. Selain ini, penentuan KKL kurang memotivasi dan mendorong partisipasi masyarakat lokal. 3 Meningkatnya gangguan keamanan terhadap fisik kawasan konservasi laut, antara lain penangkapan ikan dengan bahan peledak dan potasium sianida, penambangan karang secara liar, pembuangan limbah, membuang jangkar perahu dan kapal motor secara sembarangan. 4 Terbatasnya database potensi kawasan koservasi laut sebagai akibat kurangnya kemampuan dalam melakukan identifikasi, monitoring dan evaluasi baik dari instansi pengelola maupun instansi pemerintah lainnya, LSM ataupun swasta. Pemanfaatan kawasan konservasi laut belum dapat dimanfaatkan secara optimal guna menarik minat pengunjung dan investor yang lebih intens dalam pendayagunaan dan pemanfaatan wisata alam laut. 5 Berkaitan dengan institusi baik kelembagaan, ketersediaan tenaga kerja, sarana dan prasarana serta penegakan hukum di laut law inforcement saat ini belum berfungsi secara optimal. 6 Peredaran biota laut dilindungi secara ilegal. 7 Penggunaan alat-alat penangkapan ikan yang tidak selektif pukat harimau dan sebagainya. 94 Sejalan dengan penerapan otonomi daerah, pengembangan konservasi laut pada skala besar dan skala kecil sangat tepat, karena akan menyeimbangkan antara semangat untuk memanfaatkan sumberdaya alam laut oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dengan tetap menjaga, memelihara serta menumbuhkan tanggung jawab terhadap kelestarian sumbernya. Target pemerintah Indonesia untuk mengembangan kawasan konservasi laut seluas 10 juta ha pada tahun 2010 pada skala besar nasional maupun skala kecil daerah menunjukkan komitmen yang kuat pemerintah Indonesia untuk mengembangan model pengelolaan KKL pada skala besar nasional maupun skala kecil daerah. Langkah ini perlu dukungan kuat dari berbagai pihak mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi agar pengelolaan kawasan konservasi tersebut efektif. 95 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan