40
B. ANALISIS PRODUK EKSTRUSI
1. Kadar air produk ekstrusi Hasil ANOVA terhadap kadar air ekstrudat sebelum dan sesudah
pengeringan dapat dilihat pada lampiran 18 dan 19. Jenis dan tingkat substitusi tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai kadar air sebelum
pengeringan p 0.05. Pada nilai kadar air setelah pengeringan, jenis substitusi berpengaruh secara nyata p 0.05, tetapi tingkat substitusi tidak
berpengaruh secara nyata p 0.05. Interaksi antara jenis substitusi dan tingkat substitusi tepung tidak berpengaruh secara nyata baik pada kadar air
sebelum pengeringan maupun kadar air setelah pengeringan p 0.05. Gambar 15 Penampakan produk ekstrusi pada berbagai sampel
Gambar 16 Kadar air setelah pengeringan produk ekstrusi
41 Nilai kadar air produk ekstrusi setelah pengeringan berbeda nyata
antara jenis substitusi tepung beras dengan tepung kentang berdasarkan uji lanjut dengan LSD lampiran 19b. Proses penguapan untuk mengurangi
kadar air produk ekstrusi dipengaruhi oleh tingkat kemudahan molekul – molekul air dalam bentuk terikat untuk lepas dari ruang di antara struktur
molekul produk. Kadar air setelah pengeringan produk ekstrusi substitusi tepung kentang lebih tinggi dari ekstrudat substitusi tepung beras karena
daya ikat air pada ekstrudat substitusi tepung kentang lebih tinggi daripada ekstrudat substitusi tepung beras.
Nilai kadar air produk sebelum pengeringan merupakan nilai kadar air produk ekstrusi yang dihasilkan setelah produk keluar dari mesin ekstrusi.
Nilai kadar air sebelum pengeringan adalah 4,47 sampai 6,10 lampiran 1. Jika nilai tersebut dibandingkan dengan nilai kadar air adonan
sebelum dimasukkan ke dalam mesin ekstrusi, maka terjadi kehilangan air sebesar 54 sampai 66 selama proses ekstrusi. Jenis tepung substitusi
tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air sebelum pengeringan. Hal ini berbeda dengan kadar air setelah pengeringan dimana jenis tepung
subsitusi berpengaruh. Kehilangan air ekstrudat setelah pengeringan adalah sebesar 3,71 sampai 4,35 yang berarti jauh lebih kecil daripada saat
kehilangan air selama proses ekstrusi. Dengan demikian tampaklah jelas bahwa kadar air ekstrudat sebelum pengeringan dipengaruhi oleh kadar air
bebas adonan sedangkan kadar air ekstrudat setelah pengeringan dipengaruhi oleh kadar air terikat pada produk di mana setiap jenis
substitusi memiliki daya ikat air yang berbeda. Kadar air produk sebelum pengeringan dipengaruhi oleh penguapan air
di dalam adonan selama proses ekstrusi. Sedangkan pada kadar air produk setelah pengeringan dipengaruhi oleh penguapan molekul air produk
ekstrudat selama proses pengeringan di dalam oven. Oleh karenanya kadar air produk sebelum pengeringan dipengaruhi oleh karakteristik adonan.
Jenis tepung substitusi merupakan bagian yang mempengaruhi karakteristik
42 dari adonan, akan tetapi variabel ini tidak berpengaruh secara nyata pada
kadar air produk sebelum pengeringan. Dengan demikian, jenis tepung substitusi mungkin menghasilkan karakteristik adonan yang tidak berbeda
sehingga berakibat juga pada pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar air ekstrudat sebelum pengeringan. Dalam hal ini, karakteristik adonan yang
dimaksud adalah kemampuan mengikat air dalam bentuk bebasnya pada saat proses pencampuran maupun melepaskan air dalam bentuk bebasnya
selama proses ekstrusi. Pengaruh kondisi proses ekstrusi terhadap kadar air sebelum pengeringan mungkin dapat diabaikan karena pada percobaan
kondisi proses ekstrusi dibuat seragam pada berbagai sampel. Kadar air produk ekstrusi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kerenyahan produk ekstrusi. Semakin rendah kadar air produk ekstrusi maka semakin renyah ketika digigit, tetapi kadar air
bukanlah satu – satunya yang mempengaruhi kerenyahan produk ekstrusi. Kadar air maksimal berdasarkan SNI 01-2886-2000 untuk produk ekstrusi
adalah 4 . Secara umum, kadar air produk ekstrusi sebelum pengeringan pada grafik adalah 4.48 sampai 6.17 wb. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengurangan kadar air dengan cara dikeringkan di dalam oven. Pengeringan pada oven bersuhu 120
o
C selama 10 menit. Hasil kadar air setelah pengeringan adalah berkisar 0.77 sampai 1.72 wb. Dengan
demikian, produk ekstrusi setelah pengeringan telah memenuhi syarat SNI yang dianjurkan.
2. Derajat Gelatinisasi Hasil analisis derajat gelatinisasi produk hasil ekstrusi digunakan untuk
mengetahui persentase pati yang mengalami gelatinisasi. Hasil analisis ini dapat dilihat pada gambar 17. Analisis statistik lampiran 20 menunjukkan
bahwa derajat gelatinisasi ekstrudat dengan tingkat substitusi tepung sebesar 5 dan 10 tidak berbeda signifikan, tetapi jenis substitusi tepung
berbeda menghasilkan ekstrudat dengan derajat gelatinisasi yang berbeda.
43 Dari hasil ANOVA juga didapatkan adanya interaksi yang signifikan antara
jenis tepung dengan tingkat konsentrasinya dalam hal derajat gelatinisasi. Dari grafik pada gambar 17, sampel AB mengalami peningkatan nilai
derajat gelatinisasi dengan bertambahnya konsentrasi substitusi tepung terigu. Sebaliknya pada sampel AD dan AC, nilai derajat gelatinisasi justru
menurun dengan bertambahnya konsentrasi substitusi tepung. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa nilai derajat gelatinisasi tertinggi
untuk tepung substitusi terdapat pada sampel AB jagung : tepung terigu yaitu
sebesar 85.47 dan 93.91 , namun tetap lebih rendah dari kontrol AA sebesar 93.67 . Derajat gelatinisasi terendah terdapat pada sampel AC
jagung : beras, yaitu sebesar 72.24 dan 69.51 .
Gelatinisasi yang terjadi selama proses ekstrusi pada penelitian dapat dipengaruhi oleh viskositas setiap sampel. Menurut Whistler dan BeMiller
2009, sifat viskositas pati gandum lebih rendah dari beras dan kentang dengan nilai viskositas puncak pati gandum 250 BU, beras 500 BU, dan
kentang 2900 BU. Namun, viskositas tersebut merupakan nilai viskositas pasta pati di mana air tersedia dalam kondisi yang banyak atau pati
Gambar 17 Grafik derajat gelatinisasi produk ekstrusi
44 merupakan bagian yang terdispersi. Menurut Yang dan Tang 2002,
perilaku reologi pati sangat berbeda ketika digunakan pada proses di mana air tersedia dalam kondisi yang rendah 10 – 20 atau bahkan tanpa air
seperti yang terjadi di dalam proses ekstrusi. Dalam proses ekstrusi di mana kadar air adonan rendah, gelatinisasi yang terjadi merupakan proses
degradasi polimer pati akibat gesekan dan suhu yang tinggi melting. Lebih lanjut dikatakan bahwa reologi pati dalam kondisi kandungan air rendah
dapat bergantung pada berat molekul dari pati, semakin rendah berat molekul maka semakin rendah viskositas. Bahkan viskositas dan shear
effect akan menurun jika kadar air meningkat karena tingginya kadar air dapat berlaku sebagai lubricant dan menyebabkan ekstrudat yang keluar
tidak mengembangpuffing. Oleh kerena itu, nilai viskositas pati dalam kondisi kadar air tinggi tidak dapat digunakan untuk menganalisis
gelatinisasi proses ekstrusi dengan kadar air rendah. Viskositas berhubungan dengan shear effect di mana kenaikan
viskositas menyebabkan kenaikan shear effect karena pada viskositas lebih tinggi terjadi friksi lebih besar baik antar partikel adonan maupun antara
partikel adonan dengan ulir ekstruder. Menurut Bhattacharya dan Hanna 1987, tingginya shear effect menyebabkan tingginya energi mekanik yang
diperoleh sehingga derajat gelatinisasi juga lebih tinggi. Kemungkinan tingginya viskositas adonan sampel substitusi tepung terigu dalam penelitian
ini akan lebih besar mengingat adanya kandungan gluten dari tepung terigu. Guy 2001 mencatat bahwa protein sereal seperti gluten dapat membentuk
adonan yang bersifat viskoelastis. Menurut data Spesific Mechanical Energy SME yang dicatat oleh Guy 2001, dari yang tertinggi hingga yang
terendah, adalah tepung gandum 620 – 700 kJkg; jagung 400 – 450 kJkg; dan beras 380 – 450 kJkg. Sementara itu, catatan lain
menyebutkan SME pati gandum sebesar ± 0,042 kWhkg lebih tinggi dari SME jagung dan kentang, yaitu ± 0,039 kWhkg dan 0,03 kWhkg secara
berturut – turut dalam 25 glicerol Mitrus, 2005.
45 Dengan demikian, berdasarkan pengaruh viskositas setiap sampel,
shear effect yang terjadi, dan kombinasi nilai SME di atas mungkin dapat menjelaskan mengapa kenaikan tingkat substitusi tepung terigu
menyebabkan kenaikan derajat gelatinisasi sedangkan kenaikan substitusi tepung kentang dan beras menyebabkan penurunan derajat gelatinisasi.
3. Bulk density Berdasarkan ANOVA lampiran 22, baik jenis tepung substitusi
maupun tingkatkonsentrasi substitusi tepung tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai densitas produk ekstrusi p 0.05. Artinya, jenis substitusi
tepung memberikan respon nilai densitas yang tidak berbeda, baik pada tingkat 5 dan 10 . Nilai densitas produk ekstrusi hasil percobaan adalah
0,077 gml - 0,085 gml lampiran 5. Bulk Density merupakan ukuran kepadatan yang dinyatakan dalam
satuan berat per volume. Pada produk ekstrusi, bulk density juga dapat digunakan untuk menilai tingkat porositas produk, produk yang lebih
banyak memiliki rongga maka memiliki nilai bulk density yang rendah demikian sebaliknya. Nilai bulk density juga berhubungan dengan derajat
gelatinisasi produk ekstrusi. Semakin tinggi nilai derajat gelatinisasi maka semakin rendah nilai bulk density-nya. Schwartz 1992 mengemukakan
bahwa gelatinisasi yang tinggi menyebabkan tingginya volume dan rendahnya densitas pada produk ekstrusi chip. Namun demikian, densitas
ekstrudat hasil percobaan tidak berbeda nyata pada taraf 5 meskipun terdapat interaksi yang nyata terhadap nilai derajat gelatinisasinya. Hal ini
berarti proses gelatinisasi setiap bahan baku ekstrudat tidaklah cukup untuk menjelaskan keadaan ini. Perlu dilakukan analisis terhadap struktur-mikro,
baik pada bahan baku produk maupun pada ekstrudat untuk mendapatkan data yang lebih akurat untuk menjelaskan fenomena ini.
46 4. Analisis tekstur hardness obyektif
Nilai tekstur kekerasan pada percobaan disajikan pada gambar 18. Berdasar ANOVA Lampiran 21, baik jenis substitusi maupun tingkat
substitusi berpengaruh secara nyata terhadap nilai tekstur produk ekstrusi. ANOVA juga menunjukkan terdapat interaksi yang signifikan antara jenis
substitusi dengan tingkat substitusi terhadap nilai tekstur. Pada gambar 18, kenaikan tingkat substitusi dari 5 menjadi 10 tidak merubah kekerasan
ekstrudat dengan jenis substitusi tepung terigu AB, sedangkan menyebabkan penurunan tekstur produk dengan substitusi kentang. Menurut
Q-B.Ding et al.2005, nilai kekerasan berasosiasi dengan pengembangan dan struktur sel dari ekstrudat. Namun demikian, perbedaan tekstur
ekstrudat pada penelitian ini tidak dapat sepenuhnya dimengerti. Secara umum dapat dikatakan bahwa kenaikan tingkat substitusi menyebabkan
penurunan kekerasan ekstrudat terutama ekstrudat dengan substitusi tepung kentang.
Gambar 18 Grafik tekstur hardness produk ekstrusi
47 5. Derajat Pengembangan Produk
Pengukuran derajat pengembangan produk terbagi menjadi dua, yaitu secara vertikal dan secara horisontal. Alasannya, bentuk produk ekstrusi
tidak bulat sempurna, melainkan berbentuk elip. Penyebab perbedaan bentuk produk dengan bentuk dari cetakan belum dapat dipastikan, sehingga
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisanya secara ilmiah. Penentuan posisi vertikal dan horisontal dari produk dapat dilihat pada
gambar 19.
Nilai derajat pengembangan vertikal berdasarkan ANOVA Lampiran 25 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata baik pada perlakuan jenis
substitusi maupun tingkat substitusi tepung. ANOVA juga menunjukkan tidak terdapat interaksi yang signifikan antara jenis substitusi tepung dengan
tingkat substitusinya terhadap nilai derajat pengembangan vertikal. Hal ini berarti semua sampel memiliki nilai derajat pengembangan vertikal yang
tidak berbeda berdasar uji statistik. Derajat pengembangan vertikal berkisar 308.57 sampai 334.53 lampiran 8.
ANOVA Lampiran 26 menunjukkan adanya interaksi antara jenis substitusi dengan tingkat substitusi tepung terhadap derajat pengembangan
horisontal. Interaksi ini menandakan bahwa penggunaan substitusi tepung memberikan respon yang berbeda terhadap derajat pengembangan
horisontal pada setiap tingkat substitusi. Pada gambar 20, kenaikan tingkat substitusi dari 5 menjadi 10 tidak merubah derajat pengembangan
horisontal ekstrudat dengan substitusi tepung terigu dan kentang, sedangkan menyebabkan kenaikan derajat pengembangan horisontal dengan substitusi
horisontal
vertikal
Gambar 19 Posisi vertikal dan horisontal pada produk ekstrusi
48 beras. Namun nilai semua sampel substitusi lebih tinggi dari nilai ekstrudat
kontrol 501,80.
Derajat pengembangan produk ekstrusi merupakan perbandingan antara diameter produk ekstrusi dengan cetakannya die yang dinyatakan dalam
persen. Menurut Bhattacharya dan Hanna yang diacu di dalam Schwartz et al 1992, produk ekstrusi berbasis jagung mengalami peningkatan
pengembangan ketika bahan lebih tergelatinisasi sebagai akibat peningkatan suhu. Hal ini berarti bahwa derajat pengembangan dipengaruhi oleh tingkat
gelatinisasi dari adonan bahan. Namun, data derajat pengembangan horizontal hanya sesuai dengan data nilai derajat gelatinisasi pada tingkat 5
. Pada tingkat 5 derajat gelatinisasi tertinggi pada substitusi tepung terigu dan terendah pada substitusi tepung beras. Demikian juga pada
derajat pengembangan horizontal di mana tertinggi adalah tepung terigu dan terendah tepung beras. Pada tingkat 10 , derajat pengembangan horisontal
hanya memberikan perbedaan yang nyata dengan substitusi tepung beras sekalipun derajat gelatinisasinya menunjukkan perbedaan yang nyata pada
Gambar 20 Grafik derajat pengembangan horisontal
49 semua substitusi. Dengan demikian, pengaruh derajat gelatinisasi hanya
nampak pada derajat pengembangan horisontal pada kenaikan tingkat substitusi tepung beras dari 5 menjadi 10 .
6. Water Absorption Index WAI Berdasarkan ANOVA Lampiran 23 baik perlakuan jenis substitusi
maupun tingkat substitusi tepung, tidak berpengaruh nyata terhadap WAI. Interaksi antara jenis substitusi dengan tingkat substitusi terhadap nilai WAI
produk juga tidak berbeda secara nyata. Hal ini berarti, jenis substitusi tepung memberikan respon yang tidak berbeda terhadap nilai WAI pada
setiap tingkat substitusi. Dengan demikian, nilai WAI setiap kelompok sampel produk ekstrusi dapat dianggap tidak berbeda secara statistik. Nilai
WAI berkisar dari 4.43 mlg sampai 5.96 mlg lampiran 3. Water Absorption Index WAI merupakan nilai berat gel yang
dihasilkan dalam setiap satuan berat produk. Gel merupakan konsistensi molekul air di dalam molekul padat sehingga gel ekstrusi terbentuk sebagai
akibat ikatan antara molekul air dengan molekul hidrofilik penyusun produk ekstrusi. Pada produk ekstrusi, molekul hidrofilik tersebut sebagian besar
terdiri dari molekul – molekul yang berasal dari pecahan pati selama proses pemasakan di dalam barrel atau dengan kata lain pati yang telah
tergelatinisasi. Nilai WAI juga merupakan ukuran volume pati setelah mengalami penggelembungan dalam air berlebih dimana mempengaruhi
integritas pati dalam dispersi larutan Mason dan Hoseney di dalam Q-B. Ding et al., 2005. Menurut Wulandari 1997, semakin meningkat jumlah
pati yang tergelatinisasi pada proses ekstrusi suhu dan tekanan tinggi akan menyebabkan semakin banyak pati yang mengalami dekstrinisasi. Selain
itu, Gomes dan Aguilera 1983 menyatakan bahwa penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik yang mengikat molekul air dan
pada kapasitas pembentukan gel dari makromolekul. Dengan demikian, pati
50 yang terdekstrinisasi inilah yang disebut sebagai makromolekul hidrofilik,
berperan dalam penyerapan air, dan berperan dalam menentukan nilai WAI. Nilai WAI yang tidak berbeda nyata pada percobaan menunjukkan nilai
gelatinisasi yang tidak cukup untuk membuat adanya perbedaan pada nilai WAI. Dalam hal ini, pati yang terdekstrinisasi pada setiap jenis tepung
substitusi memiliki jumlah yang relatif sama sekalipun mengalami tingkat gelatinisasi yang berbeda. Jika tidak demikian, terdapat faktor – faktor lain
di luar derajat gelatinisasi yang mempengaruhi nilai WAI sehingga mendistorsi pengaruh dari gelatinisasi. Faktor tersebut dapat berupa
kesalahan teknis pada percobaan atau hasil produk ekstrusi setiap jenis tepung substitusi tidak homogen.
7. Water Solubility Index WSI Berdasarkan ANOVA Lampiran 24, nilai WSI tidak berbeda nyata
baik pada perlakuan jenis substitusi maupun tingkat substitusi yang digunakan serta tidak terdapat interaksi yang nyata antara kedua variabel
tersebut. Artinya, nilai WSI pada setiap golongan sampel dapat dianggap tidak berbeda secara statistik. Nilai WSI pada penelitian ini adalah 0.038
g2ml – 0.043 g2ml lampiran 4. Water Solubility Index WSI adalah nilai berat bahan kering yang
diperoleh setelah penguapan air dari supernatan produk ekstrusi yang diperoleh dari pengukuran WAI dalam setiap satuan volume tertentu. Bahan
kering yang diperoleh akan berbentuk seperti lapisan film tipis pada cawan pengeringan. Bahan kering yang diperoleh ini adalah molekul – molekul
dari produk ekstrusi yang bersifat larut di dalam air. Seperti halnya pada nilai WAI, nilai WSI juga dipengaruhi oleh molekul – molekul yang bersifat
hidrofilik. Namun pada kasus WSI, molekul – molekul hidrofilik merupakan molekul yang dapat terdispersi di dalam air. Keadaan ini
memerlukan ukuran rantai molekul yang lebih kecil sehingga mudah terdispersi di dalam air. Molekul – molekul ini merupakan hidrokoloid yang
51 dapat berasal dari senyawa turunan protein, turunan selulosa, pektin, alginat,
dan polisakarida lainnya sehingga setelah mengalami proses pengeringan akan membentuk suatu lapisan film. Beberapa protein yang dapat
membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, dan protein kacang Krotcha et al., 1994. Nilai WSI memang sering digunakan
sebagai indikator degradasi dari komponen molekul, mengukur tingkat konversi pati selama ekstrusi yang mana sejumlah polisakarida yang mudah
larut dilepaskan dari komponen pati setelah ekstrusi Kirby, Ollet, Parker, dan Smith di dalam Q-B. Ding et al., 2005.
Carboniere et al. 1973 di dalam Appruzzese 1998 mempelajari perubahan sifat fungsional berbagai pati selama ekstrusi. Hasil studi tersebut
mengindikasikan bahwa WSI menurun seiring dengan meningkatnya kandungan amilosa, sedangkan WAI meningkat seiring dengan
meningkatnya kandungan amilosa. Adanya retrogradasi struktur amilosa dan amilopektin mungkin dapat menjelaskan keadaan tersebut. Menurut
Rooney dan Huang 2002, amilosa lebih memiliki kecendrungan untuk mengalami retrogradasi daripada amilopektin. Retrogradasi merupakan
kebalikan dari gelatinisasi. Secara sederhana, polimer pati terlarut dan sisa fragmen granular yang tidak larut berasosiasi kembali setelah proses
pemanasan. Selama terjadinya retrogradasi, pasta pati berubah menjadi bentuk jel dan opak. Seiring dengan waktu, jel menjadi seperti karet dan
memiliki kecendrungan untuk melepaskan air. Pada percobaan ini hasil analisis WSI sesuai dengan nilai WAI secara
statistik. Hal ini karena pengukuran nilai WSI dan WAI diambil dari satu sampel yang sama, walaupun nilai di antara keduanya berkorelasi negatif.
Oleh karena itu, nilai WSI dapat ikut menjelaskan mengapa nilai WAI tidak berbeda nyata baik dari segi jenis tepung substitusi yang digunakan maupun
tingkat substitusinya pada taraf 5.
52 8. Uji Organoleptik
Uji organoleptik sangat penting untuk mengukur atribut sensori produk pangan bagi alat sensori manusia. Hasil uji organoleptik pada penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 8. Secara keseluruhan overall, tidak termasuk nilai kelengketan, tingkat penerimaan panelis LoA terhadap produk secara
berturut – turut dari yang tertinggi adalah AB2 3.60, AD2 3.52, AB1 3.51, AD1 3.49, AA 3.47, AC1 3.24, dan AC1 3.24. Nilai standar
untuk Level of Asceptance perusahaan adalah 3.5, artinya untuk produk di bawah 3.5 perusahaan berasumsi bahwa produk akan sulit untuk dipasarkan.
Dengan demikian, produk yang dapat diterima adalah AB2, AD2, dan AB1, yaitu untuk substitusi menggunakan tepung terigu 10 , tepung kentang
10, dan tepung terigu 5. Tingkat kelengketan adhesiveness dimaksudkan untuk mengetahui
tingkat penerimaan panelis terhadap kelengketan produk di gigi ketika dikunyah. Penilaian ini diperlukan karena produk ekstrusi yang dihasilkan
memiliki kecendrungan untuk menempel di gigi ketika dikunyah. Tingkat kelengketan tertinggi tingkat penerimaan terendah terdapat pada sampel
AA, yaitu untuk produk yang 100 menggunakan grit jagung, sedangkan tingkat kelengketan terendah terdapat pada sampel AC1, yaitu produk
dengan menggunakan substitusi tepung beras 5. Tekstur yang paling disukai oleh panelis adalah tekstur dengan nilai
tertinggi yaitu terdapat pada sampel AB2 substitusi terigu 10 dengan nilai 3.71 menurut uji sensori secara subyektif. Karakteristik kerenyahan
sampel AB2 memiliki 3 titik pecah rupture point dan waktu tahan untuk patah kurang dari 25 detik lampiran 9 berdasarkan uji tekstur secara
obyektif. Rata – rata titik puncak tertinggi kekerasan untuk substitusi terigu 10 sebesar 0.88 kgf lampiran 6. Sementara itu, karakteristik
kerenyahan tekstur secara obyektif untuk sampel AB2 adalah kurang dari 3 titik pecah, sedangkan titik pecah lebih dari 3 terdapat pada sampel AA,
AC1, AC2, AD1, dan AD2.
53
Sampel Nilai
LoA Level of Asceptance Tekstur
Rasa Keseluruhan Aftertaste Tingkat Kelengketan overall
AA 3.63
3.29 3.1
1.38 3.47
AB1
3.63 3.38
3.29 1.83
3.51
AB2 3.71
3.46 3.42
1.79 3.60
AC1 3.35
3.10 3.02
2.00 3.24
AC2
3.31 3.19
3.02 1.58
3.23
AD1 3.60
3.25 3.40
1.83 3.49
AD2 3.69
3.29 3.25
1.67 3.52
Keterangan: AA = kontrol 100 grit jagung, AB1= grit jagung + 5 tepung terigu, AB2 = grit jagung + 10 tepung terigu, AC1 =
grit jagung + 5 tepung beras, AC2 = grit jagung + 10 tepung beras, AD1 = grit jagung + 5 tepung kentang, AD2 =
grit jagung + 10 tepung kentang. Tabel 8 Nilai penerimaan produk ekstrusi pada berbagai atribut sensori
54
V. KESIMPULAN DAN SARAN