B. Faktor-Faktor Penyebab Anak Nakal
Kenakalan anak sering diartikan terjemahan dari juvenile delinquency. Secara etimologis pengertian juvenile delinquency berasal dari kata juvenile yang
berarti anak, dan delinquency yang berarti kejahatan. Jadi juvenile delinquency adalah kejahatan anak. Dari berbagai pengertian tentang kejahatan anak atau
juvenile delinquency dapat disimpulkan bahwa kejahatan anak atau juvenile
delinquency memiliki arti kejahatan yang dilakukan oleh anak remaja. Dengan
demikian kejahatan anak ataupun kenakalan anak merupakan perbuatan yang melanggar hukum yang dapat dikenai sanksi pidana bagi yang melanggar larangan
tersebut. Menurut Fuad Hasan , Beliau mengartikan kenakalan anak sebagai
perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan oleh orang dewasa diklasifikasikan sebagai tindakan kejahatan.
54
Menurut Paul Moedikdo, kejahatan anak adalah Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak merupakan
kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya dan sebagainya.
55
Psikolog Bimo Waljito merumuskan arti selengkapnya dari juvenile deliquency, yaitu tiap perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang
54
http:arihdyacaesar.files.wordpress.com...krisis-identitas-dan-kenakalan-remaja.doc
, terakhir diakses Kamis, 22 Januari 2015, 22.00 WIB
54
http:reallifethedreamer.blogspot.com201112pengertian-kenakalan-remaja- juvenile.html
, terakhir diakses Kamis, 22 Januari 2015, 23.00 WIB
dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja.
56
Kita ketahui bersama bahwa kenanakaln anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri mereka di dalam lingkungan masyarakat. Menurut
Erikson teori psikososial bahwa selama masa-masa sulit yang dialami remaja, ternyata ia berusaha merumuskan dan mengambangkan nilai kesetiaan
komitmen, yaitu kemampuan untuk mempertahankan loyalitas yang diikrarkan dengan bebas meskipun terdapat kontradiksi-kontradiksi yang terelakkan diantara
sistem-sistem nilai.
57
Jadi, krisis identitas adalah suatu masa dimana seorang individu yang berada pada tahap perkembangan remaja. Ketika itu, remaja
memiliki sikap untuk mencari identitas dirinya. Siapa dirinya saat sekarang dan di masa depan. Namun, terdapat batasan-batasan yang tetap harus dipegang teguh
oleh seluruh lapisan masyarakat tidak terkecuali bagi diri anak. Sehingga suatu kenakalan masih relevan dipergunakan sebagai wahana untuk menentukan atau
mencari jati diri mereka. Bila perbuatan-perbuatan itu maka hal itulah yang dapat membawa diri mereka ke dalam ranah hukum pidana.
Kenakalan anak identik dengan perbuatan yang merugikan entah itu untuk diri sendiri maupun orang lain. Selain itu kenakalan anak juga sering diartikan
sebagai pelanggaran. Sehingga kenakalan anak tersebut sangat dekat pengertiannya dengan kriminalitas. Untuk tujuan-tujuan hukum, maka dibuatlah
suatu perbedaan antara pelanggaran-pelanggaran indeks index offenses dengan status status offenses.
56
Sudarsono, 1991, hlm.22
57
Ibid.
Index offenses adalah tindakan kriminal, baik yang dilakukan oleh remaja
maupun orang dewasa, misalnya : tindakannya seperti perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Status offenses adalah
Tindakan yang tidak terlalu serius, tindakan seperti ini banyak dilakukan oleh anak-anak muda dibawah usia tertentu sehingga pelanggaran tersebut dikatakn
sebagai pelanggaran remaja, misalnya: seperti lari dari rumah kabur, bolos dari sekolah, meminum-minuman keras, pelacuran dan ketidak mampuan
mengendalikan diri.
58
Banyak para pakar yang mengatakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan anak karena expectation gap atau tidak adanya persesuaian antara cita
dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut.
59
Hal ini mengakibatkan hilangnya kontrol dari anak yang mengakibatkan tidak
terkendalinya perbuatan yang mereka lakukan, bahkan terhadap perbuatan yang dilarang menurut hukum yang berlaku.
Secara teoritis upaya penanggulangan masalah kejahatan termasuk perilaku kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat
terarah kepada mengungkapkan faktor-faktor kolerasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen.
60
Fenomena sosial yang terjadi ini termasuk ke dalam salah satu akibat kemunduran kontrol sosial yang terjadi dimasyarakat.
Menurut Reiss bahwa terdapat tiga komponen dari kontrol sosial di dalam menjelaskan mengenai kenakalan anak. Ketiga komponen itu antara lain:
61
1. Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa kanak-kanak;
2. Hilangnya kontrol tersebut;
58
Ibid.
59
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 119
60
Ibid.
61
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1992, hlm. 32
3. Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antar norma-norma
disekolah, orang tua, atau lingkungan terdekat. Reiss membedakan dua macam kontrol sosial, yaitu personal control dan
sosial control . Personal control merupakan kemampuan dari seseorang untuk
menahan diri untuk tidak mencapai kebutuhan dengan cara melanggar norma- norma yang berlaku dalam masyarakat the ability of the individual to refrain
from meeting need in ways which conflict with the norm and rules of the community
.Sedangkan social control kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –
norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif the ability of the social groups or institutions to make norms or rule effective
.
62
Melemahnya sosial kontrol dan personal kontrol ini lah merupakan
penyebab terbesar dari suatu adanya kejahatan atau delinkuensi. Menurut Travis Hirschi bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
untuk menjadi “baik-atau jahat”. Hal tersebut sepenuhnya tergantung terhadap masyarakatnya.
63
Albert Cohen dalam karangannya yang berjudul Delinquent Boys, The Culture of The Gang
menjelaskan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja kelas bawah merupakan pencerminan atas ketidakpuasan norma-norma dan nilai-
nilai kelompok anak-anak kelas menengah yang mendominasi nilai cultural masyarakat.
64
Kejahatan anak yang mereka lakukan merupakan suatu dampak dari akibat kehidupan yang di jalani oleh anak-anak kelas atas berdasarkan
perkembangan trend yang ada. Sehingga mendorong anak-anak kelas bawah mengalami konflik budaya atau status frustration karena tidak dapat untuk
mengikuti perkembangan tersebut dengan melakukan hal-hal yang menyimpang
62
Nandang Sambas, Op.cit., hlm.123.
63
Ibid., hlm. 124.
64
Ibid., hlm. 126.
dari norma yang berlaku untuk dapat menampilkan diri mereka ke depan masyarakat.
Konflik budaya yang dialami oleh anak dan remaja juga dapat ditimbulkan atas kesempatan untuk melakukan penyimpangan norma. Hal ini dapat
dikembalikan lagi pada rendah kontrol sosial yang terjadi dalam masyarakat. Apabila kesempatan kriminal terbuka di hadapan mereka, maka mereka akan
membentuk atau melibatkan diri dalam subkultural kejahatan criminal subculture
sebagai cara untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya.
65
Maka apabila kesempatan kriminal tersebut tidak terbuka, kelompok remaja ini akan melakukan reaksi berupa perkelahian atau kekerasan sebagai
sarana untuk mengeluarkan keinginan yang tidak terbuka tersebut. Apabila obat terlarang atau narkotika terbuka dihadapannya dan adanya kesempatan, maka
kultur penggunaan obat terlarang drug culture akan tumbuh dikalangan mereka. Jika dilihat dari tingkat kenakalan anak baik neglected maupun
delinquency child , faktor-faktor yang dominan yang dapat mempengaruhi tingkah
laku anak adalah:
66
1. Faktor Intern
Faktor intern merupakan faktor-faktor kejahatan yang muncul dari dalam diri anak itu sendiri seperti : moral, dan kemampuan fisik. Berkaitan dengan
kemampuan fisik pada anak, I.B. Suwenda menulis bahwa tumbuh kembang anak sampai masa remaja dapat dibagi dalam beberapa periode masa yaitu:
67
a. Masa janin dalam rahim ibu;
65
Ibid., hlm. 131.
66
Bunadi Hidayat, Op.Cit., hlm.77.
67
Ibid.
b. Masa bayi bayi baru lahir sampai berumur 1 tahun;
c. Masa berumur dua tahun;
d. Masa usia pra sekolah sampai umur 5 tahun;
e. Masa remaja, usia ini dikelompokkan lagi menjadi 3 yaitu:
1 Remaja awal, wanita 10-13 tahun dan laki-laki 10,5-15 tahun;
2 Remaja tengah, wanita 11-14 tahun dan laki-laki 12-15 tahun;
3 Remaja akhir, wanita 13-17 tahun dan laki-laki 14-16 tahun.
Berdasarkan penggolongan yang telah tergambarkan diatas terlihat bahwa kematangan diantara anak laki-laki dan anak perempuan masihlah sangat relatif
sampai pada tingkat remaja akhir. Mungkin pada analisis-analisis di tahun berikutnya hal ini juga akan mengalami perubahan, karena hal ini pada dasarnya
sangat bergantung kepada iklim dan ilmu pengetahuan yan ada. Ada bebarapa hal yang menjadi alasan berubahnya moral dan watak pada
anak dan remaja antara lain:
68
a. Faktor pembawaan sejak lahir atau keturunan yang bersifat biologis
misalnya: cacat fisik, cacat mental dan sebagainya; b.
Pembawaan sifat, watak yang negative, yang sulit diarahkan atau dibimbing dengan baik, misalnya: terlalu bandel, mokong, atau betik;
c. Jiwa anak yang masih terlalu labil, misalnya kekanak-kanakan, manja
dan sebagainya; d.
Tingkat intelegensi yang kurang menguntungkan, misalnya berpikir lamban atau kurang cerdas;
e. Kurangnya tingakat pendidikan anak baik dari visi agama maupun
ilmu pengetahuan f.
Pemenuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan anak atau remaja;
g. Tidak memiliki hobi dan bakat yang jelas dan kuat sehingga mudah
dipengaruhi dan terkontaminasi oleh hal-hal yang negatif; h.
Tingkatan usia yang masih rendah, misalnya dibawah usia 7 tahun yang belum dapat untuk dimintai pertanggung jawaban hukum pasal 4
UU no.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Dari aspek-aspek biologis ini lah dapat memberikan pertimbangan kepada hakim dalam memutuskan pertanggung jawaban pidana terhadap seorang anak.
68
Ibid., hlm.78
Jika saja hakim tidak mempertimbangkan alasan-alasan ini dengan cermat, tentu putusan yang diberikan oleh hakim dapat merugikan bagi perkembangan jiwa
jiwa, fisik, dan masa depan anak. Putusan yang diberikan oleh hakim pada akhirnya haruslah yang benar berpihak kepada anak dan menguntungkan bagi
perkembangan jiwa dan fisik anak ultitum remedium. Sehubungan dengan perkembangan jiwa seorang anak, Made Sadhi Astuti
menulis bahwa seorang dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya jika ia telah berusia 12 tahun karena pada usia tersebut ia sudah memiliki
kemampuan jiwa dan fisik misalnya:
69
a. Secara kejiwaan
1 Sudah dapat membedakan mana baik dan mana yang buruk;
2 Dapat menempatkan dirinya ditengah-tengah orang lain;
3 Jika diajak berbicara, sudah dapat mengerti dan menangkap sisi
pembicaraan tersebut; 4
Sudah dapat berkomunikasi dengan orang lain. b.
Secara fisik Sudah dapat melakukan pekerjaan dalam rangka mengurusi dirinya
sendiri.
2. Faktor Ekstern
Faktor ekstern merupakan faktor yang berasal dari lingkungan di luar diri anak, misalnya: lingkungan orang tua, keluarga, dan masyarakat yang
menguntungkan seperti:
70
a. Cinta kasih orang tua yang kurang harmonis,kesenjangan kasih saying
anatara orang tua dan anak, pemerataan kasih sayang yang tidak seimbang perlakuan yang tidak adil dalam keluarga, terjadi broken
home keluarga yang tidak utuh dan sebagainya;
b. Kemampuan ekonomi yang tidak menunjang atau ada kesenjangan
sosial ekonomi bagi keluarga dan anak;
69
Ibid., hlm.79
70
Ibid.
c. Kesalahan pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak, baik
dalam hal pendidikan keluarga, formal maupun masyarakat, dan akibat rendahnya tingkat pendidikan orang tua. Orang tua yang otoriter,
berbicara kasar, selalu marah-marah, membentak-bentak, menganggap orang tua sebagai subjek yang sentral dari segalanya, sementara anak
hanya dianggap sebagai objek pemecah permasalahan di dalam keluarga;
d. Kurangnya sosok keteladanan yang baik dari orang tua dalam
mendidik dan membimbing anak , termasuk tingkat kejujuran dan kedisiplinan orang tua itu sendiri;
e. Kurang tentramnya rasa tanggung jawab yang terlatih diruah, misalnya
tanpa ada jadwal kegiatan tertentu bagi anak; f.
Lingkungan rumah yang kurang menguntungkan bagi anak, misalnya: 1
Dirumah yang terlalu sempit dan tidaknya memadai ruang bagi anak untuk belajar;
2 Berada ditempat yang kumuh;
3 Berdekatan dengan tempat perjuadian, misalnya: sabung ayam,
taruhan burung merpati, kasino billyard dan sebagainya; 4
Berdekatan dengan tempat keramaian, misalnya: pasar, industry, gedung bioskop, tempat hiburan, lokalisasi, dan sebagainya;
5 Berada di lingkungan anak-anak nakal seperti : begadangan sampai
larut malam, minum minuman keras, menjadi kelompok geng dan sebagainya;
6 Tidak adanya tempat ibadah yang memadai, misalnya: mesjid,
gereja, pura, dan sebagainya; 7
Tidak adanya sarana dan prasarana yang sehat untuk menampung bakat dan prestasi anak;
g. Bergaul dengan teman yang kurang menguntungkan, misalnya: di
masyarakat, disekolah, dan sebagainya.
Dari faktor-faktor intern dan ekstren itulah dapat dipahami penyebab tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan remaja. Dasar pemikiran ini juga
sejalan dengan tulisan Kartini Kartono bahwa anak akan menjadi kriminal dan memperoleh kebiasaan delikuensi, sangat bergantung kepada interaksi yang
komplek dari berbagai faktor penyebab intern dan ekstern sebagai latar belakangnya.
71
71
Kartini Kartono, Patologi Sosial Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm.64.
Adapun menurut Menurut Donald Taft, faktor –faktor yang menyebabkan juvenile delinquency
itu antara lain subjective approach dan objective approach. Rincian dari masing-masing faktor tersebut adalah:
72
1. Subjective Approach
a. The Antropological Approach
, adalah Pendekatan yang membandingkan ciri tubuh seorang penjahat dengan bukan
penjahat.Hasil penelitian menunjukan bahwa seseorang berbuat jahat karena memang telah dibawa sejak lahir;
b. The Medical Approach
, Pendekatan ini berpendapat bahwa ada relasi antara penyakit dengan kejahatan;
c. The Biological App
, Pendekaatan ini mencoba menghubungkan kesarisan dengan kejahatan;
d. The Physiological App
, Pendekatan ini berpendapat bahwa ketidakberfungsian hormon atau kelenjar dapat menimbulkan
kejahatan. Ketegangan Psikologis seperti tidak terpenuhinya kebutuhan atau keinginan dapat mendorong seseorang berbuat
jahat;
e. The Psychiatric App
, Gangguan atau penyakit jiwa mendorong seseorang berbuat jahat;
f. The Psychoanalytical App
, Keinginan yang ditekan karena bertentangan dengan norma akan mencari penyelesaiannya
dengan berbuat jahat;
2. Objective Approach
a. The Geographical App
, Pendekatan ini berpendapat bahwa ada hubungan antara faktor geografis lokasi tempat tinggal atau iklim
cuacadengan kejahatan; b.
The Ecological App , Pendekatan ini berpendapat bahwa ada
hubungan antara kepadatan penduduk, tipe-tipe keadaan sosial dengan kejahatan;
c. The Economical App
, Pendekatan iniberpendapat bahwa ada hubungan antara kondisi ekonomi dengan kejahatan;
d. The Social and Cultural App
, Pendekatan ini berpendapat bahwa ada hubungan keadaan lingkungan,mobilitas sosial atau
perkembangan masyarakat dan kebudayaan dengan kejahatan.
72
http:arihdyacaesar.files.wordpress.com...krisis-identitas-dan-kenakalan-remaja.doc
, Op.cit
.
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penyalahgunaan Narkotika yang