Ketentuan Perlindungan Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Di

65

BAB III PENGATURAN BERKAITAN MENGENAI ANAK SEBAGAI KORBAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI DALAM UU NO.35 TAHUN 2009

A. Ketentuan Perlindungan Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Di

Dalam UU No.35 Tahun 2009 Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungandari kekerasan dan diskriminasi. 93 Setiap anak yang menerima perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, danatau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum 94 akan mendapatkan perlindungan secara khusus yaitu suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya. 95 Menurut Barda Nawawi Arief pengertian perlindungan hukum dapat dilihat dua makna yaitu : 96 1. Pertama, diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana berarti perlindungan hak asasi manusia HAM, atau kepentingan hukum seseorang. 93 Pasal 1 2, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 94 Pasal 1 15a, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 95 Pasal 1 15, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 96 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.56. 2. Kedua, dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas penderitaankerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana jadi identik dengan penyantutnan korban, bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin, pemberian ganti rugi restitusi, kompensasi, jaminansantunan kesejahteraan sosial dan sebagainya. Hal utama yang harus dibicarakan dalam perlindungan hukum terhadap korban adalah siapa korban itu. Dalam resolusi MU-PBB 034 menyatakakn bahwa korban adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. 97 Pembicaraan mengenai korban dalam hukum pidana pada umumnya diartiakan dengan adanya korban dari kejahatan oleh seseorang yang mengakibatkan pembuatnya dituntut menurut hukum pidana untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut peraturan hukum yang berlaku. 98 Dalam konsep ini pastilah korban yang mengalami kerugian dari pembuat kejahatan tersebut sehingga dinyatakan sebagai korban kejahatan victim of crime dan jika diidentifikasikan tipologi menurut keadaannya disebut sebagai self victimzing victims yaitu mereka yang menjadi korban dikarenakan kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pembuat kejahatan merupakan terdakawa yang akan diadili seseuai dengan peraturan yang berlaku. Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tidak terlepas dari perlindungan korban menurut hukum positif yang berlaku. Menurut Barda 97 Eko Nurharyanto, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkoba dan Psikotropika , Universitas Diponogoro, Semarang, 2002, hlm.75 98 Ibid., hlm.76 Nawawi Arief bahwa perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung artinya dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana, dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakekatnya telah ada perlindungan “in abstrakto” secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak asasi manusia. 99 Dengan kata lain sistem sanksi dan pertanggungjawaban pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian atau penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi atau individual. 100 Berbicara mengenai korban dalam tindak pidana, maka kita akan menyinggung pertama hak dan kewajiban si korban dalam terjadinya tindak pidana. Hak dan kewajiban korban antara lain sebagai berikut: 101 1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya; 2. Berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi; 3. Berhak menolak menjadi saksi apabila hal ini akan mengancam dirinya; 4. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak si pembuat korba dan menjadi saksi; 5. Berhak mendapatkan bantuan hukum; 6. Berpartisipasi dalam masyarakat mencegah pembuatan korban lebih lanjut; 7. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi; 8. Menjadi saksi apabila tidak membahayakan dan ada jaminan keamanan. 99 Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penulisan Buku , Undip, Semarang, 1997, hlm.53. 100 Eko Nurharyanto, Op.Cit., hlm.81 101 Ninik Widayanti, Yulius Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.138 Dalam kejahatan narkotika korban kejahatan menurut Eko Nurharyanto adalah pengguna atau pemakai dalam arti koban dalam pengertian yang luas yaitu bukan semata-mata pada korban kejahatan saja, akan tetapi korban penyalahgunaan kekuasaan, penindasan hak asasi dan proses penegakkan hukum itu sendiri. Di dalam UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. 102 Sedangkan di dalam Undang-Undang tersebut juga menjelaskan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 103 Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa korban penyalahgunaan narkotika merupakan orang yang memperoleh narkotika tersebut dari pihak-pihak yang dengan sadar dan melawan hukum memperluas peredaran narkotika yang tidak difungsikan untuk kegiatan ilegal sehingga memaksa orang lain menjadi pamakai yang dalam kondisi jangka panjangnya dapat berubah menjadi pecandu narkotika yang telah ketergantungan baik secara fisik maupun psikis. Pengguna atau pemakai narkotika ini merupakan korban kejahatan narkotika yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Jadi sangatlah berbeda dengan korban kejahatan pada umumnya. Korban penyalahgunaan narkotika 102 Pasal 1 15, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 103 Pasal 1 13, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memerlukan pengobatan dan perawatan dalam arti medis. Sehingga korban penyalahgunaan narkotika dalam hal ini pengguna atau pemakai tidak perlu harus dengan penjatuhan pidana yang berupa pidana penjara atau pidana kurungan, namun dengan penjatuhan pidana yang berupa pengobatan atau perawatan yang harus ditanggung korban atau keluarganya sudah merupakan pidana yang berat karena pengobatan atau perawatan terhadap pengguna atau pecandu memerlukan biaya yang cukup besar. Menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan Menteri Sosial No.26 Tahun 2014 Tentang Standar Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika Dan Zat Adiktif, korban penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Menurut Pasal 1 Angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika, korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan Narkotika. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika bukanlah merupakan atas kehendaknya sendiri akan tetapi karena korban hasutan, gejolak kejiwaannya, konflik keluarga, lingkungannya bermain yang tidak baik atau pengaruh dari para pengedar narkotika. Suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak haruslah kita menempatkan kedudukannya sebagai korban dari kejahatan itu bukan menempatkan anak menjadi pelaku dari kejahatan itu. Keinginan anak melakukan kejahatan tentu atas dorongan lingkungan disekitarnya yang membentuk kepribadian si anak menjadi nakal. Maka dari itu, peran pemerintah dalam hal perlindungan anak sangat diperlukan. Karena anak sebagai makhluk yang lemah tidak akan mampu menampung tuntutan masyarakat yang ingin memberikan hukuman kepada mereka apabila terbukti mereka melakukan kejahatan. Di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengenai Perlindungan anak secara khusus menjelaskan bahwa Perlindungan Khusus kepada Anak diberikan kepada: 104 a. Anak dalam situasi darurat; b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi danatau seksual; e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak denganHIVAIDS; h. Anak korban penculikan, penjualan,danatau perdagangan; i. Anak korban Kekerasanfisikdanatau psikis; j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak Penyandang Disabilitas; m. Anakkorban perlakuan salah dan penelantaran; n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya. 104 Pasal 59 2, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 1 dilakukan melalui upaya: 105 a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan danatau rehabilitasi secara fisik,psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan d. pemberian perlindungandan pendampingan pada setiap proses peradilan. Perlindungan khusus bagi Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf e dan Anak yang terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. 106 Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No.35 tahun 2009 dimana di dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap korban penyalahgunaan narkotika melalui proses pengobatan dan rehabalitasi. Dalam hal pengobatan diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat memiliki menyimpan, danatau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri. 3. Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, danatau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 105 Pasal 59A, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 106 Pasal 67, UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengenai rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah dan instansi masyarakat yang bertujuan untuk melindungi para pemakai narkotika. Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 antara lain di dalam pasal: Pasal 54 : pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Pasal 55 ayat 1: Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Belum cukup umur di sini dapat dilihat melalui Pasal 55 ayat 1 yang menyebutkan yang dimaksud belum cukup umur dalam ketentuanini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun. Sehingga dengan demikian yang dimaksudkan pecandu yang belum cukup umur adalah pecandu yang belum mencapai 18 delapan belas tahun. Sedangkan yang telah cukup umur adalah mereka yang telah berumur di atas 18 delapan belas tahun. Pasal di atas menunjukkan kebijakan yang diambil berkaitan dengan penanganan pecandu narkotika terhadap anak dibawah umur yang mewajibkan rehabilitasi medis ataupun rehabilitasi sosial. Namun terkait dengan pasal di atas lebih menekankan kepada orang tua ataupun wali si pecandu narkotika, bukan si anak yang menjadi pecandu narkotika, karena si anak masih dianggap masih kurang cakap hukum dan mengerti akan tanggung jawab dari perbuatannya. Melalui pasal inilah muncul pengecualian yang diberikan oleh pemerintah dalam hal tuntutan pidana terhadap seorang anak. Terdapat di dalam salah satu pasalnya yang dirumuskan: Pasal 128 ayat 1 : Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 55 ayat 1 yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 enam bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah. Tetapi di dalam ketentuan lainnya yakni pada pasal 128 ayat 2 ditentukan bahwa anak yang masih dibawah umur, tidak dapat dituntut pidana, selengkapnya pasal tersebut dirumuskan: “Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau wali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat 1 tidak dituntut pidana.” Orang tua yang dimaksudkan di sini adalah orang tua kandung maupun orang tua angkat, orang tua kandung terjadi karena adanya hubungan darah sedangkan orang tua angkat terjadi karena adanya hubungan hukum. Sedangkan wali adalah orang yang secara resmi menjalani kekusasaan orang tua. Melalui pasal inilah dapat kita pahami bahwa rehabilitasi merupakan suatu usaha yang wajib dilakukan oleh orangtua apabila anaknya telah terindikasi sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika. Dalam Pasal 56 dirumuskan juga bahwa: 1. Rehabilitasi medis pecandu Narkotika dilakukan dirumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. 2. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri. Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 57 bahwa: selain melalui pengobatan danatau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagaamaan dan tradisional. Pengobatan dan perawatan terhadap pecandu narkotika khususnya terhadap anak dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Rehabilitasi medis dan sosial yang diberikan kepada anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika diharapkan mampu untuk memulihkan kembali rasa kepercayaan diri anak terhadap lingkungan sekitarnya dengan memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial yang sempat terpuruk dikarenakan narkoba. Tanpa menghilangkan hak-hak anak itu sendiri. Pemberian perlindungan kepada korban narkotika, tentu tidak dapat dibebankan kepada pemerintah saja, peran serta masyarakat pun diharapkan dengan menerima kembali anak yang sempat menjadi korban penyalahgunaan narkotika dalam lingkungan tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua yang harus dijauhi. Perlindungan terhadap korban penyalahgunaan narkotika dalam bentuk rehabilitasi ini pun merupakan upaya kesehatan jiwa dan raga yang ditunjukkan kepada pemakai narkotika yang bertujuan agar pelaku tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkotika. Pasal 131 : Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat 1, Pasal 128 ayat 1, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah. Sengaja tidak melapor merupakan sikap batin yang mendasari perbuatan. Tidak melapor berarti tidak melaksanakan kewajiban memberitahukan hal-hal yang diketahui. Tidak melaporkan dapat dilakukan dengan diam-diam artinya mengacuhkan saja apa yang diketahuinya seolah-seolah tidak terjadi apa-apa, atau bahkan menyembunyikan hal-hal yang diketahui. 107 Peraturan mengenai wajib lapor bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diperkuat pula dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika yang mana dalam Pasal 3 dan 4 ayat 1, 2, dan 3 yaitu: Pasal 3 : Wajib lapor dilakukan oleh: 107 AR.Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, SinarGrafika, Jakarta, 2011, hlm.304-305 a. Orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur; b. Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan keluarganya. Pasal 4: 1 Wajib lapor pecandu narkotika dilakukan di institusi penerima wajib lapor 2 Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis sebagai institusi penerima wajib lapor ditetapkan oleh Menteri. 3 Lembaga rehabilitasi sosial sebagai institusi penerima wajib lapor ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang sosial. Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, danatau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 108 Adapun tujuan pengaturan wajib lapor bagi pecandu narkotika adalah: 109 1. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; 2. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di bawahpengawasan dan bimbingannya; dan 108 Pasal 1Angka 1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika 109 Ibid., Pasal 2. 3. memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Institusi Penerima Wajib Lapor melakukan rangkaian pengobatan danatau perawatan guna kepentingan pemulihan Pecandu Narkotika berdasarkan rencana rehabilitasi. 110 Dalam hal Institusi Penerima Wajib Lapor tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan danatau perawatan tertentu sesuai rencana rehabilitasi atau atas permintaan Pecandu Narkotika, orang tua, wali danatau keluarganya, Institusi Penerima Wajib Lapor harus melakukan rujukan kepada institusi yang memiliki kemampuan tersebut. 111 Adapun daftar Institusi Penerima Wajib Lapor korban penyalahgunaan NAPZA berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor 36HUK2013 tanggal 17 April 2013 yang berada di provinsi Sumatera Utara adalah: 1. PSPP Insyaf Medan, Jalan Berdikari, Desa Lau Bakeri, Kabupaten Deli Serdang; 2. Sibolangit Center, Jalan Jamin Ginting Km.12 Desa Suka Makmur, Kabupaten Deli Serdang. Selain itu daftar Institusi Penerima Wajib Lapor korban penyalahgunaan NAPZA berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 110 Ibid., Pasal 11 Ayat 1. 111 Ibid, Pasal 11 Ayat 2. 293MENKESSKVIII2013 Tentang Institusi Penerima Wajib Lapor yang berada di provinsi Sumatera Utara adalah: 1. RSUP H. Adam Malik 2. Puskesmas Tanjung Morawa 3. RSJ Medan 4. RSU dr. Pirngadi Medan 5. Puskesmas. Paya Lombang, Kab. Serdang Bedagai 6. Puskesmas Stabat, Kab. Langkat 7. Puskesmas Kesatria, Kota Pematang Siantar 8. Puskesmas Bromo, Kota Medan 9. RSUD. Dr. Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar 10. RS Bhayangkara Tk. II Medan 11. RS Bhayangkara Tebing Tinggi Sumut Pecandu Narkotika yang sedang menjalani pengobatan danatau perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, dan lembaga rehabilitasi medis dan sosial, yang sedang menjalani pengobatan danatau perawatan melalui terapi berbasis komunitas therapeutic community atau melalui pendekatan keagamaan dan tradisional tetap harus melakukan Wajib Lapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor . 112 Wajib lapor dilakukan dengan melaporkan Pecandu Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Dalam hal ini laporan dilakukan selain pada Institusi Penerima Wajib Lapor, petugas yang menerima laporan meneruskannya kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Pecandu yang telah melaksanakan wajib lapor dimaksud, wajib menjalani rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasinya. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen. Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lembaga rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen. 113 112 Ibid, Pasal 12. 113 http:dedihumas.bnn.go.idreadsectionartikel20140113841wajib-lapor-pecandu- narkotika, terakhir diakses Senin, 6 April 2015 pukul 19.20 WIB. Dalam batas-batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Narkotika adalah: 114 1. Bahwa Undang-Undang Narkotika juga dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar prilaku hidup masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Negara Pancasila; 2. Bahwa Undang-Undang Narkotika merupakan satu-satunya produk hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara efektif; 3. Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkintidak mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan masyarakat demokrasi modern.

B. Penyelenggara Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan

Dokumen yang terkait

Analisis Pola Asuh Orangtua Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Binaan Al-Kamal Sibolangit Centre

3 75 91

REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 2 12

PENDAHULUAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 16

PENUTUP REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 5

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 12

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 3 14

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 99

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Faktor-Faktor Timbulnya Kejahatan - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabi

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre)

0 0 37

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan - IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Repository -

0 0 13