Dalam batas-batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang terkandung
dalam Undang-Undang Narkotika adalah:
114
1. Bahwa Undang-Undang Narkotika juga dipergunakan untuk
menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar prilaku hidup masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang dijiwai oleh falsafah Negara Pancasila;
2. Bahwa Undang-Undang Narkotika merupakan satu-satunya produk
hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara efektif;
3. Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan
sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkintidak mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi
perlindungan terhadap kepentingan masyarakat demokrasi modern.
B. Penyelenggara Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkotika
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 Tentang Narkotika memang sudah mengatur mengenai upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika
melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati dan mengatur pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
kesehatan serta mengatur rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana narkotika di kalangan masyarakat menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang semakin meluas, terutama di kalangan anak-anak,
remaja, dan generasi muda pada umumnya. Oleh sebab itulah Undang-Undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika yang semakin disempurnakan mengenai isi dan substansinya.
114
Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengendalian Hukum dh Lembaga Kriminologi
UI, Jakarta, 1995, hlm.23-24
Beberapa materi baru di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menunjukkan adanya upaya-upaya dalam memberikan efek
psikologis pada masyarakat agar tidak terjerumus dalam tindak pidana narkotika, telah ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum
mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat mengancam ketahanan nasional.
Dalam pelaksanaannya, hukum dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, dan adil.
Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum yang
berlaku dalam masyarakat negara.
115
Mengenai penegak hukum, Zainuddin Ali berpendapat bahwa penegak hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas
pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya harus memiliki suatu pedoman salah
satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugasnya.
116
Penegakkan hukum oleh para penegak hukum dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang ideal menurut Benthem
adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagian dan memperkecil ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagian yang
115
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.76
116
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.94
sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagian diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.
117
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN sebagaimana yang diatur di dalam pasal 64 Undang-Undang No.35 Tahun 2009
Tentang Narkotika . BNN merupakan lembaga pemerintahan non kementrian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.
118
BNN berkedudukan di ibukota Negara dengan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia yang mempunyai
perwakilan di daerah provinsi dan kabupatenkota.
119
BNN dalam melaksanakan upaya penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika mempunyai tugas:
120
1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
2. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
gelap narkotika dan prekursor narkotika; 3.
Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika;
4. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
5. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
117
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan Teori Peradilan Judicial Prudance Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legisprudence,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.274-275
118
Pasal 64 ayat 2, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
119
Pasal 65 ayat 1 dan 2, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
120
Pasal 70 dan 71, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
6. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat
dalam pencegahan dan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
7. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional
maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
8. Mengembangkan laboraturium narkotika dan prekursor narkotika;
9. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap
perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
10. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang; 11.
Berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika.
Ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan bahwa: “Dalam melaksanakan tugas pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
berwenang melakukakan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
121
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
122
1. Melakukan penyelidikan atas kebeneran laporan serta keterangan
tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika;
2. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
121
Pasal 81, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
122
Pasal 75, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
4. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan
narkotika dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
5. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana
dalam penyalahgunaan narkotika dan perederan gelap narkotika dan Prekursor Narkotika;
6. Memeriksa surat danatau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; 7.
Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
8. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika diseluruh wilayah yuridiksi Nasional; 9.
Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah
mendapatkan bukti awal yang cukup;
10. Melakukan tehnik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan
di bawah pengawasan; 11.
Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 12.
Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat DNA, danatau bagian tubuh lainnya;
13. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
14. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, tanaman;
15. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-
alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika atau Prekursor
Narkotika;
16. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
yang disita; 17.
Melakukan uji laboraturium terhadap sempel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
18. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
19. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika atau Prekursor Narkotika.
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagai mana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
123
123
Pasal 82 ayat 1, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan kementrian atau lembaga pemerintahan nonkementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang: 1.
Memeriksa kebenaran laporan serta keterangan adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika ;
2. Memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika; 3.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
4. Memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika; 5.
Menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6. Memeriksa surat danatau dokumen lain tentang adanya dugaan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; 7.
Meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
8. Menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika.
Penyidik dapat melakukan kerjasama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
124
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan
secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
125
Begitu pula terhadap penyidik pegawai negeri sipil, dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik
124
Pasal 83, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
125
Pasal 84, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
107
Pasal 85, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
126
Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
127
1. Memutus dan memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika; atau
2. Menetepkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Perintah dalam pasal tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa yang benar- benar mengalami sindroma ketergantungan akibat penyalahguna narkoba dan
keadaan tersebut terungkap di persidangan dan Hakim mengetahui betul kondisi terdakwa yang harus dirawat atau diobatiagar kembali pulih
.
Menjalani pengobatan danatau perawatan bagi Pecandu Narkotika diperhitungkan sebagai
masa mejalani hukuman.
128
Rahabilitasi bagi penyalahguna narkoba dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penderita
yang bersangkutan, rehabilitasi dibagi menjadi dua yaitu: 1. Rehabilitiasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara
terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. 2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika
108
Pasal 103 ayat 1, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
109
Pasal 103 ayat 2, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
121
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm.192.
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis Hakim harus
menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 03 tahun 2011 Kemudian untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim juga harus dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan Terdakwa, sehingga diperlukanadanya keterangan ahlisebagai standar dalam proses terapi dan
rehabilitasi. Efektivitas hukum dalam menanggulangi tindak pidana narkotika sangat
ditentukan oleh penegak hukumnya. Hal ini sesuai dengan pemikirann dari Achmad Ali yang mengatakan bahwa efektif tidaknya suatu aturan hukum secara
umum tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya atauran hukum tersebut; mulai dari tahap
pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakkan hukumnya, dan penerapannya terhadapa suatu kasus yang konkret. Efektif atau tidaknya aturan hukum juga
mensyaratkan adanya standar sosio-ekonomi yang minimal di masyarakat.
129
BNN dalam rangka tindakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melakukan upaya preventif yaitu berupa pencegahan, pencegahan disini
adalah kegiatan penyuluhan dan bimbingan untuk memberi pengetahuan dan
129
Achmad Ali, Op.cit., hlm.378
kesadaran, tentang akibat burukbahaya penyalahgunaan napza, untuk meningkatkan ketahanan daya tangkal perseorangan, keluargaatau masyarakat
terhadap masalah penyalahgunaan napza. Upaya pencegahan ini dilaksanakan melalui kegiatan diskusi.
BNN selaku intansi yang diamanatkan oleh undang-undang narkotika berkewajiban melakukan prpgram pencegahan baik itu berupa diskusi,
penyuluhan, dan sosialisasi mengenai bahaya narkotika. Peningkatan kemampuan teknis, penyuluhan sosial, lebih lanjut
dikemukakan bahwa tujuan dari upaya pencegahan ini, yaitu:
130
a. Terhindar dan terbebasnya generasi muda dari penyalahgunaan napza, menumbuhkan, memulihkan, dan mengembangkan keberfungsiaan sosial
eks korban penyalahgunaan NAPZA sehingga dapat hidup secara wajar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat; dan
b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan napza sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial
dan daya tangkal terhadap permasalahan penyalahgunaan napza. Pada pasal 57 Undang-Undang Narkotika disebutkan, selain melalui
pengobatan danatau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
keagamaan dan tradisional. Sedangkan rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
130
Departemen sosial RI, Pola Oprasional Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya napza
, Jakarta , departemen sosial RI, 2003, hlm 119
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA
melalui kegiatan antara lain:
131
1. Membuat forum komunikasi;
2. Melakukan penelitian;
3. Membentuk lembaga rehabilitasi;
4. Mengadakan seminar dan diskusi;
5. Memberikan saran dan pertimbangan dalam program rehabilitasi sosial
penyalahgunaan NAPZA; 6.
Menyediakan sumber daya manusia pelaksana rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA;
7. Melaporkan penyalahgunaan NAPZA kepada pihak yang berwenang;
danatau 8.
Memberikan pelayanan kepada korban penyalahgunaan NAPZA. Dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, pada Pasal 7 ayat 1 menyebutkan: “Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar”. Upaya pencegahan, penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan
peredaran gelap Narkotika diperlukan peran serta masyarakat. Masyarakat perlu mengembangkan program dilingkungannya masing-masing secara bertanggung
jawab dan profesional. Agar program di lingkungan masyarakat dapat berjalan baik diperlukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah
suatu asas penting dalam pengembangan program tersebut yaitu:
132
131
Pasal 30, Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Dan Zat Adiktif Lainnya.
132
Anonim. Narkoba Bagi Generasi Bangsa: Mengenal,Mencegah Mengenal,Mencegah danMenanggulangi PenyalahgunaanNarkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif Lainnya
,Jakarta, 2007 , Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hlm 105.
1. Bekerja bersama masyarakat, sehingga menggeser tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan dari lembaga pemerintah dan
profesional kepada masyarakat; dan 2. Melibatkan semua komponen masyarakatPendapat diatas didalam
Undang-Undang Narkotika terdapat pada Bab XIII tentang peran serta masyarakat, pada Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan
bahwa:“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”.
Masyarakat di dalam pasal ini mempunyai kesempatan untuk ikut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, tetang peran serta masyarakat ini diperjelas kembali didalam Pasal 106 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam
bentuk: a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang
menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika; d.Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN; e.Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. Jelas dalam pasal tersebut diatas bahwa masyarakat mempunyai peran
serta yang cukup aktif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika. Masyarakat harus didorong agar mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Tugas pemerintah sebagai fasilitator mendorong proses membangun kesadaran
masyarakat, membangun sistem, menyusun pedoman, dan melatih tenaga-tenaga masyarakat agar handal. Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan dan pengaruhnya terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-
lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.
133
Edi Suharto mengemukakan bahwa masyarakat diartikan dalam dua konsep, yaitu:
134
a. Masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografis yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga,
perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di daerah pedesaan; dan
b. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan
bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus
para orang tua memiliki anak dengan kebutuhan khusus anak cacat fisik atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
133
Edy Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial Pekerjaan Sosial
,Rafika Aditama, Bandung, 2005, hlm 58- 59
116
Ibid., hlm.39
91
BAB IV PERANAN PUSAT REHABILITASI NARKOTIKA DALAM