Keaslian Penulisan Metode Penelitian

2. Secara Praktis a. Bagi para penentu dan pembuat peraturan diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap hak anak dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak. b. Bagi orang tua, skripsi ini dapat dijadikan bahan renungan dalam melakukan pengawasan terhadap pergaulan pada anak dengan memberikan pengetahuan sedini mungkin tentang bahayanya narkotika. c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya, hukum pidana tentang kejahatan anak, bahayanya narkotika dan sanksi terhadap anak sebagai penyalahgunaan narkotika. d. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal pemberantasan narkotika khususnya mengenalkan bahayanya narkotika terhadap anak dan remaja.

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis“Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . Topik permasalan ini sengaja dipilih oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menguraikan pembahasannya kearah bagaimana pusat rehabilitasi melakukan rehabilitasi terhadap anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Anak

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penurus bangsa dan penerus pembangunan , yaitu generasi yang di persiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara. 5 Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu. 6 Sekalipun hubungan tersebut tidak berlandaskan atas fondasi hukum yang berlaku, khususnya di Indonesia. Black’s Law Dictionary, menjelaskan: “Child is one who had not attained the age of fourteen years, though the meaning now various in different statutes, e.g. child labor, support, criminal etc .” 7 Yang artinya adalah usia anak 14 tahun dalam konteks ini, sudah dipakai dalam ketentuan yang berbeda, misalnya: untuk 5 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hlm. 1 6 WJS. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 38-39 7 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 55 bekerja, membantu sesuatu, perbuatan yang dapat dikatagorikan tindak pidana dan sebagainya. Perbuatan anak itu sudah mengandung nilai yuridis. Departermen Kesehatan menggolongkan anak menjadi 4 golongan, yaitu: 1. Usia 0 tahun sampai dengan 5 tahun usia balita; 2. Usia 5 tahun sampai dengan 10 tahun usia anak-anak; 3. Usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun usia remaja atau teenager, juvenile ; 4. Usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun usia menjelang dewasa. 8 Penggolongan usia anak dalam konteks ini, sebenarnya tidak dikaitkan dengan dengan tanggung jawab yuridis dari si anak. Hal ini hanya sebagai tolak ukur di dalam dunia kesehatan dalam melihat tumbuh kembang anak. Namun, tidak berlebihan pula jika seorang anak yang telah berusia 10 tahun ke atas remaja menjelang dewasa sudah layak untuk dijatuhi sanksi apabila telah melakukan tindakakan pidana. Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Widowati Sukito yang diuraikan dalam tulisannya: Juvenile delinquency , ditentukan atas dasar umur para pelaku dan atas dasar macam tingkah laku para pelaku untuk diajukan ke pengadilan anak. Kebanyakan negara mempunyai batas umur minimum dan batas umur maksimum seorang anak untuk dapat diajukan ke pengadilan anak dengan pengertian, batas umur minimum hanya berlaku bagi delinquent child. Sedangkan dependant atau neglected child tidak ada batas umur minimum. 9 Dalam perkembangannya anak di klasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu : 8 Muhammad Thohir, Seminar Kesehatan Anak, Rumah Sakit Islam, Surabaya, 1993, hlm. 6. 9 Ibid. hlm. 58 1. Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah atau hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. 10 2. Anak terlantar, yaitu anak yang tidak memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. 3. Anak yang menyandang cacat, yaitu anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. 4. Anak yang memiliki keunggulan yaitu, anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau potensi dan atau bakat yang istimewa. 5. Anak angkat, yaitu anak yang haknya dialaihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan penetapan pengadilan. 6. Anak asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang si anak secara wajar. 11 Mengenai pengertian anak di bawah umur belum dewasa tercantum dalam Pasal 330 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dari dua puluh satu tahun, dan 10 KHI, Pasal 99 11 Pasal 1, UU. No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam bab ini. 12 Jadi yang dimaksud belum dewasadi bawah umur berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata adalah: 7. Belum penuh berumur 21 tahun 8. Belum pernah kawin Sedangkan di dalam Hukum Perkawinan Indonesia mendefinisikan pengertian anak adalah anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 13 Pengertian ini memberikan penjalasan mengenai kemampuan anak itu sendiri. Apabila anak telah mencapai usia 18 tahun namun belum mampu untuk menghidupi dirinya sendiri, maka ia tetaplah dikatakan anak. Begitu pula sebaliknya apabila dia sudah menginjak usia 18 tahun dan telah mampu melakukan perbuatan hukum, maka ia dapat untuk dimintai pertanggung jawaban hukum yang telah dilakukannya. Sementara itu , menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 98 1 dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, 12 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan , Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 98 . 13 Pasal 47, UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan. 14 Pengertin dewasa, menurut hukum positif di Indonesia masihlah sangat rancu. Semuanya terbatasi oleh kepentingan hukum apa yang telah disoroti. Kedewasaan merupakan salah satu unsur pemidanaan yang sangat penting untuk menentukan subjek hukum pidana dan sanksi pidana yang akan diberikan. Anehnya, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Indonesia belumlah memiliki batasan usia minimum yang jelas bagi anak yang dapat diajukan dalam persidangan anak, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara lain. Penentuan batas usia minimum dan maksimum ini diperlukan karena di Negara-negara tersebut membedakan antara delinquent child anak yang melakukan pelanggaran dan neglected child dependant. 15 Sehingga setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum dikeluarkannya Undang- Undang Tentang Peradilan Anak masihlah mengacu terhadap Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Khususnya terhadap Pasal 45, 46, 47 KUHP yang masih memiliki banyak kekurangan. Pasal 45: Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal- pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. 14 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilsai Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 2001, hlm.50 15 Bunadi Hidayat, Op.Cit., hlm. 57. Pasal 46: 1 Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. 2 Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang- undang. Pasal 47: 1 Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. 2 Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun 3 Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan. Maka dari uraian pasal di dalam KUHP menjelaskan bahwa batas usia terhadap anak adalah sebelum anak tersebut berusia 16 tahun. Namun hal lain yang dapat kita ambil dalam pasal-pasal tersebut adalah bahwa pasal tersebut hanya menentukan apa yang terjadi dengan seorang anak di bawah umur apabila anak tersebut melakukan kejahatan ataupun pelanggaran dan pasal-pasal tersebut telah dicabut semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Tentang Peradilan Anak yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Anak . Di dalam hukum acara pidana tidak mengatur peraturan khusus bagi anak-anak. Sehingga anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran akan diadili dengan sebuah proses yang sama dengan orang dewasa. Padahal untuk melakukan pelaksanaan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak dibutuhkan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun lembaga hukum yang mantap dan memadai. Oleh karena itu pengaturan mengenai perlindungan dan peradilan anak diperlukan aturan dan perlakuan secara khusus. 16 Sedangkan di dalam Undang-Undang Tentang Peradilan Anak dikatakan bahwa pengertian dari anak nakal adalah anak yang melakukan pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, dalam perkara anak nakal ini hanya bisa diajukan ke pengadilan apabila telah mencapai umur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 17 Batas umur 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke persidangan anak karena didasarkan atas pertimbangan : sosiologis, psikologis dan pedagogis, yang pada dasarnya anak yang belum berusia 8 tahun, dianggap belum dapat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. 18 Namun setelah di perbaharuinya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak menjadi Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak istilah anak nakal dihapuskan dan diganti menjadi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum memiliki perngertian yang jauh lebih luas daripada anak nakal sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Jika anak nakal memposisikan seorang anak hanya sebagai yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak. Berbeda 16 http:eprints.undip.ac.id1976812790-ki-fh-04.pdf, terakhir diakses pada Senin 2 Maret 2015, pukul 20.15 WIB. 17 Pasal 1 dan 2, UU. No. 3 Tahun 1997 Tantang Peradilan Anak 18 Bunadi hidayat, Op.Cit., hlm.59 dengan anak yang berhadapan dengan hukum yang disebutkan di dalam Undang- Undang No.11 Tahun 2012. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 delapan belas tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar,

2. Pengertian Narkotika dan Golongannya

Dari kata penyalahgunaan narkotika menandakan bahwa narkotika tidak selalu bermakna negatif. Jika narkotika digunakan dengan baik dan benar narkotika akan memberikan manfaat khususnya di dalam bidang kesehatan dalam hal digunakan sebagai obat bius. Di dalam dunia kesehatan narkotika di kenal sebagai NAPZA Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya. Dengan perkembangan teknologi dan industri obat-obatan, maka katagori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti yang tertera dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, megurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan , yang di bedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana yang terlampir di dalam Undang-Undang ini. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannnya dan peredarannya. Namun belakangan diketahui bahwa zat-zat narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan ketergantungan. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang cukup panjang bagi si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan dan pengendalian guna bisa disembuhkan. Melihat, begitu besarnya efek negatif yang timbulkan dari narkotika apabila tidak digunakan sesuai dengan peruntukkannya, maka pemerintah perlulah mengawasi peredarannya di masyarakat. Agar narkotika tersebut tidak dipersalahgunakan oleh sebagian kalangan yang akan merugikan diri mereka sendiri. Oleh karenanya dikeluarlah Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika agar peredarannya di masyarakat dapat diawasi secara ketat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: b. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; d. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan e. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalahguna dan Pecandu Narkotika. Sedangkan untuk pengertian narkotika sering diistilahkan sebagai drug yaitu sejenis zat yang dapat mempengaruhi tubuh si pemakai. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa: 19 a. Pengaruh menerangkan. b. Pengaruh rangsangan rangsangan semangat dan bukan rangsangan seksual. c. Menghilangkan rasa sakit. d. Menimbulkan halusinasi atau khayalan. Sudarto mengatakan bahwa: 20 “Kata narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.” Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa: 21 “Narkotika adalah zat-zat atau obat-obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu morphine, codein, methadone. ” Zat-zat yang sering disalahgunakan dan dapat menyebabkan gangguan dapat digolongkan sebagai berikut: 22 a. Opioda, misalnya morfin, heroin, petidin dan candu; b. Ganja atau kanabis, misalnya mariyuana dan hashish; c. Kokain atau daun koka d. Alkohol yang terdapat dalam minuman keras; 19 Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, Bandung, Citra Aditya, 1995, hlm. 157 20 Taufik Makarao, Suhasril, dan H.Moh Zakky, Op.Cit., hlm. 17. 21 Ibid, hlm. 18 22 Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hlm.6. e. Amfetamin f. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin dan psilosin g. Sedative dan hipnotika, misalnya matal,rivo, nipam; h. Fensiklidin PCP; i. Solven dan inhalansia; j. Nikotin yang terdapat pada tembakau; k. Dan kafein yang terdapat pada kopi. Semua zat ini akan berpengaruh terhadap susuanan saraf pusat otak sehingga disebut sebagai zat psikotropika atau psikoaktif. Holmes membagai psikoaktif ke dalam tiga katagori yaitu: 23 a. Depresan, adalah jenis psikoaktif yang mempunyai pengaruh mengurangi aktivitas fungsional tubuh, yaitu dengan mengurangi dorongan fisiologis dan ketegangan psikologis. Misalnya: Alkohol dan Heroin b. Stimulan, adalah zat yang merangsang atau meningkatkan fungsi kerja tubuh. Ada dua macam yang termasuk pada katagori ini, yaitu amfetamin dan kokain. c. Halusinogen, adalah zat yang efek utamnya mengubah pengalaman persepsi, termasuk perupahan persepsi yang dramatik, yaitu terjadinya halusinasi. Misalnya LSD dan mariyuana. Narkotika akan menimbulkan daya adiksi ketagihan yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran penyesuaian dan daya habitual kebiasaan yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkramannya. Berdasarkan Undang- Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis narkotika di bagi ke dalalm 3 tiga kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Setiap golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu: Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta 23 Ibid, hlm.7. mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan I adalah: 24 1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari : a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. 7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol , dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina : 3-0-Acetiltetrahidro-7α-1-hidroksi-1-metilbutil-6, 14- endoeteno-oripavina. 12. Acetil–alfa–metil fentanil : N-[1-α-Metilfenetil-4-piperidil] asetanilida. 13. Alfa-metilfentanil : N-[1 α-Metilfenetil-4-piperidil] propionanilida 14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-Metil-2-2-tienil etil]-4-piperidil] priopionanilida 15. Beta-hidroksifentanil:N-[1-beta-Hidroksifenetil-4-piperidil propionanilida 24 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. 16. Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-beta-Hidroksifenetil-3-metil-4 piperidil]propionanilida. 17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina 18. Etorfina: Tetrahidro- 7α-1-hidroksi-1-metilbutil-6,14-endoeteno- oripavina 19. Heroina : Diacetilmorfina 20. Ketobemidona: 4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina 21. 3-Metilfentanil: N -3-Metil-1-fenetil-4-piperidil propionanilida 22. 3-Metiltiofentanil: N -[3-Metil-1-[2-2-tienil etil]-4-piperidil] propionanilida 23. MPPP : 1-Metil-4-fenil-4-piperidinol propianat ester 24. Para-fluorofentanil : 4‘-Fluoro-N-1-fenetil-4-piperidil propionanilida 25. PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat ester 26. Tiofentanil : N-[1-[2-2-Tieniletil]-4-piperidil] propionanilida 27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : ±-4-Bromo-2,5-dimetoksi- α – metilfenetilamina 28. DET : 3-[2-Dietilamino etil] indol 29. DMA : + -2,5-Dimetoksi- α –metilfenetilamina 30. DMHP : 3-1,2-Dimetilheptil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H- dibenzo[ b,d]piran-1-ol 31. DMT : 3-[2- Dimetilamino etil] indol 32. DOET : ±-4-Etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina 33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil-1-fenilsikloheksilamina 34. ETRIPTAMINA. : 3-2-Aminobutil indol 35. KATINONA : --S- 2-Aminopropiofenon 36. + -LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N- dietil-6- metilergolina- 8 β–karboksamida 37. MDMA : ±-N, α-Dimetil-3,4-metilendioksifenetilamina 38. Meskalina : 3,4,5-Trimetoksifenetilamina 39. METKATINONA : 2-Metilamino -1- fenilpropan-1-on 40. 4- Metilaminoreks : ±-sis- 2-Amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina 41. MMDA : 5-Metoksi- α-metil-3,4-metilendioksifenetilamina 42. N-etil MDA : ±-N-Etil- α -metil-3,4-metilendioksifenetilamina 43. N-hidroksi MDA : ±-N-[α-Metil-3,4-metilendioksifenetil] hidroksil amina 44. Paraheksil : 3-Heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H- dibenzo[b,d] piran-1-ol 45. PMA : p-Metoksi-α–metilfenetilamina 46. psilosina, psilotsin : 3-[2-Dimetilamino etil]indol-4-ol 47. PSILOSIBINA : 3-[2-Dimetilaminoetil]indol-4-il dihidrogen fosfat 48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1- 1- Fenilsikloheksilpirolidina 49. STP, DOM : 2,5-Dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina 50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -Metil-3,4-metilendioksi fenetilamina 51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1-[1-2-Tensil] piperidina 52. TMA : ±-3,4,5-Trimetoksi- α –metilfenetilamina 53. AMFETAMINA : ±- α–Metilfenetilamina 54. DEKSAMFETAMINA : + - α–Metilfenetilamina 55. FENETILINA : 7-[2-[α-Metilfenetilamino]etil]teofilina 56. FENMETRAZINA : 3-Metil-2-fenilmorfolin 57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-1-Fenilsikloheksilpiperidina 58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina: - -R- α– Metilfenetil amina 59. Levometamfetamina : --N, α–Dimetilfenetilamina 60. MEKLOKUALON: 3-o-klorofenil-2-metil-43H- kuinazolinon 61. METAMFETAMINA : + -S-N, α–Dimetilfenetilamina 62. METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-43H-kuinazolinon 63. ZIPEPPROL:α-α-Metoksibenzil-4-β-metoksifenetil-1- piperazinetano 64. Sediaan opium danatau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika 65. 5-APB: 5-2-Aminopropilbenzofuran; 1-benzofuran-5-ilpropan amina 66. 6-APB : 6-2-Aminopropilbenzofuran ; 1-benzofuran-6-ilpropan-2- amina 67. 25B-NBOMe:2-4-Bromo-2,5-dimetoksifenil-N-[2-metoksifenil metil]etanamina 68. 2-CB:2-4-Bromo-2,5-dimetoksifeniletanamina;4-Bromo-2,5- dimetoksimetamfetamina 69. 25C-NBOMe, nama lain 2C-c-NBOMe: 1-4-Kloro-2,5- dimetoksifenil-N- [2-metoksifenilmetal]-2-etanamia 70. Dimetilamfetamina, nama lain DMA : N,N-Dimetil-1-fenilpropan-2- amina 71. DOC : 1-4-Kloro-2,5-dimetoksi-fenilpropan-2-amina 72. ETKATINONA: 2-etilamino-1-fenilpropan-1-on 73. JWH-018 : 1-Pentil-1H-indol-3-il-1-naftalenil-metanon 74. MDPV: 3,4-Metilendioksipirovaleron, nama lain : 1-3,4- metilendioksifenil-2-1-pirolidinilpentan-1-on; 75. MEFEDRON,namalain 4-MMC: 1-4-metilfenil-2 metilaminopropan- 1- on 76. METILON,nama lain MDMC: 2-Metilamino-1-3,4- metilendioksifenil propan-1-on 77. 4-METILKATINONA, nama lain 4-MEC : 2-etilamino-1-4- metilfenilpropan-1-on 78. MPHP : 1-4-Metilfenil-2-1-pirrolidinil-1-heksan-1-on 79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe : 1-4-Iodo-2,5-dimetoksifenil- N - [2-metoksifenilmetil]etanamina 80. PENTEDRONE : ±-1-Fenil-2-metilaminopentan-1-on 81. PMMA:p-Metoksimetamfetamina;N-metil-1-4Metoksifenilpropan-2- amina 82. XLR-11: 1-5-Fluoropentil-1H-indol-3-il2,2,3,3-tetrametilsiklo propil- metanon Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan II adalah: 25 1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana 2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol 4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 5. Alfentanil : N-[1-[2-4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-iletil]-4- metoksimetil-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida 6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana 9. Benzetidin : asam 1-2-benziloksietil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina 11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol 13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana 15. Bezitramida : 1-3-siano-3,3-difenilpropil-4-2-okso-3-propionil-1- benzimidazolinil-piperidina 16. Dekstromoramida : +-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-1- pirolidinilbutil]-morfolina 17. Diampromida : N-[2-metilfenetilamino-propil]propionanilida 18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di2-tienil-1-butena 19. Difenoksilat : asam 1-3-siano-3,3-difenilpropil-4fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 20. Difenoksin : asam 1-3-siano-3,3-difenilpropil-4-fenilisonipekotik 21. Dihidromorfina 22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol 23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat 24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-2-tienil-1-butena 25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat 26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona 27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol 28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina. 25 Lampiran UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-2-tienil-1-butena 30. Etokseridina : asam1-[2-2-hidroksietoksi-etil]-4fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol 32. Furetidina : asam 1-2-tetrahidrofurfuriloksietil4 fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester 33. Hidrokodona : dihidrokodeinona 34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4- karboksilat etil ester 35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina 36. Hidromorfona : dihidrimorfinona 37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona 38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona 39. Fenampromida : N-1-metil-2-piperidinoetil-propionanilida 40. Fenazosina : 2-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan 41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan 42. Fenoperidina : asam1-3-hidroksi-3-fenilpropil-4-fenilpiperidina-4- karboksilat Etil ester 43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina 44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol 45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima 46. Levofenasilmorfan : 1-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan 47. Levomoramida : --4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-1pirolidinilbutil] morfolina 48. Levometorfan : --3-metoksi-N-metilmorfinan 49. Levorfanol : --3-hidroksi-N-metilmorfinan 50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona 51. Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana 52. Metazosina : 2-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan 53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina 54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina 55. Metopon : 5-metildihidromorfinona 56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina 57. Moramida intermediate : asam 2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat 58. Morferidina : asam 1-2-morfolinoetil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 59. Morfina-N-oksida 60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N- oksida 61. Morfina 62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina 63. Norasimetadol : ±-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana 64. Norlevorfanol : --3-hidroksimorfinan 65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona 66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina 67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona 68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona 69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona 70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina 71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat 73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 74. Piminodina : asam 4-fenil-1- 3-fenilaminopropil- pipe ridina-4- karboksilat etil ester 75. Piritramida : asam1-3-siano-3,3-difenilpropil-41-piperidino- piperdina-4-Karbosilat armada 76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana 77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester 78. Rasemetorfan : ±-3-metoksi-N-metilmorfinan 79. Rasemoramida : ±-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-1-pirolidinil- butil]-morfolina 80. Rasemorfan : ±-3-hidroksi-N-metilmorfinan 81. Sufentanil : N-[4-metoksimetil-1-[2-2-tienil-etil -4-piperidil] propionanilida 82. Tebaina 83. Tebakon : asetildihidrokodeinona 84. Tilidina : ±-etil-trans-2-dimetilamino-1-fenil-3-sikloheksena-1- karboksilat 85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam danatau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan III adalah: 26 1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena : α-+-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-butanol propionate 3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina : 3-etil morfina 5. Kodeina : 3-metil morfina 6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina 26 Ibid. 7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina 8. Norkodeina : N-demetilkodeina 9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina 10. Propiram : N-1-metil-2-piperidinoetil-N-2-piridilpropionamida 11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[S-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]- 6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina 12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medis, kesehatan, jiwa maupun psikososial. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tidak memberikan pengertian dan penjelasan yang jelas mengeani istilah penyalahgunaan, hanya istilah penyalah guna yang terdapat di dalam undang-undang tersebut, yaitu penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau secara melawan hukum. 27 Maka secara sistematis kita dapat mengambil kesimpulan dari bunyi pasal tersebut adalah penyalahgunaan narkotika merupakan penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Karena pada hakikatnya narkotika hanyalah di peruntukkan untuk hal dan tindakan medis dengan pengawasan dan izin dari seorang dokter. Pengertian penyalahgunaan narkotika yang di kemukan oleh Soedjono Dirdjosisworo adalah bentuk kejahatan berat sekaligus merupakan penyebab yang dapat menimbulkan berbagai bentuk kejahatan. 28 Batasan mengenai penyalahgunaan yang diterapkan, baik oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961 maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan 27 Pasal 1 angka 14, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 28 Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, Bandung, Citra Aditya, 1995, hlm. 157 Peredaran Gelap Narkoba dan Psikotropika 1988 United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 , tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan nasional yang dibuat khusus di Indonesia berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, dan merupakan wujud dan bentuk nyata dari pengesahan atau pengakuan pemerintahan Indonesia terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang telah mengubahnya. 29 Konvensi Tunggal Narotika 1961 United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961 secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat 5 sub b bahwa: 30 “A party shall, if in its opinion the prevailing conditions its our country render in the most appropriate means of protecting the public health and welfare, prohibit the production, manufacture, export and import of, trade in, possession or use of any such drug except for amounts which may be necessary for medical and scientific research only, including clinical trials there with to be conducted under or subject to the direct supervision and control of the party” Yang artinya kurang lebih: “Suatu Pihak waib, jika menurut pendapatnya berdasarkan kondisi yang berlaku di negaranya membuat itu cara yang paling tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan, melarang produksi, manufaktur, ekspor, impor, perdagangan, pemilikan, atau penggunaan narkoba apapun kecuali seperti untuk jumlah yang mungkin diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah saja, termasuk uji klinis dengannya akan dilakukan dibawah atau tunduk pada pengawasan dan control langsung dari pihak tersebut.” Menurut Dadang Hawari menyebutkan terdapat tiga kelompok besar penyalahguna narkoba beserta resiko yang dialaminya, yaitu: 31 a. Kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas, dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang 29 http:rakaraki.blogspot.comPensyaratan Reservation dalam Perjanjian Internasional dan Contoh Kasusnya, 08 Desember 2014, 22.00 WIB. 30 Ibid. 31 Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991, hlm. 14 dialaminya tanpa berkonsultasi dengan dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat ketergantungan b. Kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadian anti social psikopatik. Mereka menggunakan narkoba tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga “menularkannya” kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lain dapat “terjebak” ikut memakainya hingga mengalami ketergantungan yang serupa. c. Kelompok ketergantungan reaktif, mereka merupakan yang terdapat di kalangan remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok teman sebaya. Namun di dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi penyalahgunaan narkotika Pasal 1 butir 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menyatakan bahwa : Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainya yang selanjutnya disebut Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dengan maksud bukan untuk pengobatan danatau penelitian serta digunakan tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Sedangkan korban penyalahunaan narkotika adalah seorang yang menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. 32 Zat adiktif memang dapat menimbulkan sejumlah efek diantaranya: a. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat tersebut, dan dengan berbagai cara akan berusaha untuk terus memperolehnya. 32 Pasal 1 3, Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya. b. Memiliki kecenderungan untuk menambah dosis sesuai dengan toleransi tubuh. c. Ketergantungan psikis, sehingga jika pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala kecemasan, depresi, dan kegelisahan d. Ketergantungan fisik, yang apabila pemakaian obat itu dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang sering disebut sebagai gejala putus obat seperti mual, sukar tidur, diare dan demam. Meskipum zat tertentu sangat bermanfaat bagi pengobatan, namun jika disalahgunakan, atau penggunaanya tidak sesuai dengan standar pengobatan, akan berakibat sangat merugikan bagi si pemakai maupun orang lain di sekitarnya, bahkan masyarakat umum. Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi mengkhayal, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi merangsang bagi para pemakainya. 33 Dalam hal penyalahgunaan narkotika, pemerintah telah mengatur suatu proses pembinaan yang dapat membantu masyarakat khususnya anak untuk dapat mencegah sedini mungkin diri mereka agar tidak terjerat dengan penyalahgunaan narkotika. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Atas UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di dalam Pasal 49 bahwa: 33 http:e-journal.uajy.ac.id223232TA12681.pdf , terakhir diakses Sabtu, 21 Februari 2015 pukul 15.45 WIB. 1 Pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan oleh Menteri. 2 Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi upaya: a. memenuhi ketersediaan Narkotika untukkepentingan pelayanan kesehatan danataupengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah penyalahgunaan Narkotika; c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika; d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitiandanatau pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi yang berkaitan dengan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

4. Pengertian Rehabilitasi dan Jenisnya

Dalam ilmu victimologi, pecandu narkotika merupakan “self victimzing victims ”, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Pasal 54 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa: Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pacandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. 34 Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. 34 Pasal 103 ayat 2, UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terdapat setidaknya dua jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa: Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi medis bagi tersangkaterpidana pecandu narkotika ini sejalan sejalan dengan program wajib lapor bagi pecandu narkotika dalam Perarturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Diharapkan dengan kesadaran pecandu atau keluarganya untuk melaporkan diri sehingga semakin banyak pecandu narkotika yang menerima perawatan terkait perilaku ketergantungannya. 35 Dengan diharapkan semakin banyak para tersangkaterpidana pecandu narkotika yang melaporkan dirinya ke lembaga medis atau lembaga sosial setempat, sebagai institusi yang menerima laporan, akan semakin sedikit jumlah pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika. Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa: Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika 35 Lampiran Peraturan Mentri Kesehatan No.46 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Pengadilan dapat kembali melakasanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menyatakan bahwa : Rehabilitasi sosial adalah proses refungsional dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun yang menjadi standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA yaitu: 36 1. Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA; 2. Memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik; 3. Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA; dan 4. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA. Rehabilitasi tersebut benar-benar diperhitungkan sebagai sebagai suatu bentuk dalam menjalani hukuman. Korban kecanduan narkotika selain sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang harus dijatuhi pidana seperti halnya terhadap pelaku tindak pidana yang lainnya juga harus menjalani pengobatan atau perawatan melalui fasilitas rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi medis dan sosial, sehingga masa menjalani pengobatan dan perawatan ini diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. 36 Pasal 2, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya

G. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mencapai suatu kepastian. Namun demikian menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan antara lain, kesatu suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, kedua suatu teknik yang umum dalam suatu ilmu pengetahuan, ketiga cara tertentu untuk melaksnakan suatu prosedur. 37 Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Spesifikasi penelitian a. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Peranan Pusat Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre. b. Penulis juga menggunakan metode penelitian hukum empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek dilapangan yang penulis lakukan di Pusat Rehabilitasi Narkotika Sibolangit Centre. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan. 37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, Hal 5. 2. Metode Pendekatan Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah bagaimana peranan pusat rehabilitasi dalam memberikan rehabilitasi kepada anak sebagai korban penyalahgunaan narkoba. 3. Lokasi Penelitian Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre di Jalan Medan-Brastagi Km. 45 Desa Suka Makmur, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. 4. Alat Pengumpul Data Sumber Data di dalam skripsi ini, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan pendapat para ahli. Penulisan skripsi ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh penulis, dan data sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka melalui cara penelitian kepustakaan library Research. Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 5. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana proses menjalankan rehabilitasi yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Analisis deskriptif artinya penulis berusaha semaksimal mungkin umtuk memaparkan data-data yang sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia bagaimana hukum di Indonesia memandang tentang penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. Pengaturan mengenai rehabilitasi kepada anak sebagai cara yang diambil oleh pemerintah untuk menghilangkan sifat nakal dari dalam diri anak yang telah bertentangan dengan peraturan dan kaidah-kaidah yang dianggap baik di masyarakat. Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai peranan pusat rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika melalui wawancara dan hasil observasi akan ditarik kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.

H. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Analisis Pola Asuh Orangtua Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Binaan Al-Kamal Sibolangit Centre

3 75 91

REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 2 12

PENDAHULUAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 16

PENUTUP REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 5

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 12

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 3 14

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 99

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Faktor-Faktor Timbulnya Kejahatan - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabi

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre)

0 0 37

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan - IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Repository -

0 0 13