Hubungan Perikatan Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

10. Melaksanakan hubungan dengan lembaga-lembaga lainnya yang berhubungan dengan transportasi dan aktivitas kepentingan umum. 51

B. Hubungan Perikatan Dalam Perjanjian Pengangkutan Udara

Seperti yang telah banyak pihak ketahui bahwa jasa angkutan atau transportasi adalah sangat penting bagi masyarakat sebagai pengguna jasa, tanpa adanya jasa transportasi akan sulit untuk melaksanakan suatu kegiatan yang sifatnya bepergian ke suatu tempat tujuan. Meskipun demikian, kebutuhan akan jasa angkutan tidak sama seperti kebutuhan bahan pangan atau sejenisnya. Jika dari pemuasan kebutuhan sandang dan pangan, akan langsung dapat untuk menikmatinya, misalnya rasa puas maupun kenyang setelah makan atau membeli pakaian yang baru., maka pemuasan kebutuhan akan jasa angkutan sebenarnya bukan disebabkan kepuasan yang diakibatkan oleh rasa puas yang langsung terhadap jasa angkutan tesebut, melainkan karena rasa puas yang diciptakan sebagai akibat dari penggunaan jasa angkutan itu sendiri. 52 Perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian timbal balik yang terjadi antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu wilayah ke wilayahtempat tujuan tertentu dengan selamat, sementara itu pengiriman mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan Purwosutjipto, 1997:187 53 Hubungan perikatan antara penumpang dengan pengangkut pada umumnya terwujud dalam bentuk tiket penumpang, dimana tiket tersebut 51 M.N. Nasution, Op.Cit., hal 211. 52 Ibid, hal 39. 53 Sinta Uli, Op.Cit., hal 40. Universitas Sumatera Utara diperoleh jika penumpang telah membayar lunas biaya angkutan kepada pihak pengangkut ataupun melalui agen penjualan tiket yang telah ditunjuk oleh pengangkut. Tentang tiket penumpang ini, pengaturannya dapat ditemukan dalam Pasal 530 KUHD antara lain menyebutkan: 54 “bahwa si penumpang dapat meminta kepada pengangkut, agar kepadanya diberikan suatu karcis perjalanan.” 55 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tercantum dalam Pasal 140 mengenai kewajiban badan usaha angkutan udara niaga untuk mengangkut penumpang. Berdasarkan Pasal yang dimaksud badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang atau kargo maupun pos setelah perjanjian angkutan telah menemui kata sepakat. Kemudian perjanjian angkutan tersebut dibuktikan dengan tiket penumpang dan dokumen buatan. 56 Pengertian perikatan yakni hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Perikatan dapat terjadi disebabkan perjanjian ataupun karena undang-undang. Suatu perikatan yang bersumberkan dari perjanjian terjadi, karena hal tersebut memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian sedangkan perikatan yang bersumberkan dari undang-undang lahir karena kehendak pembuat undang- undang dan diluar kehendak para pihak yang bersangkutan. 57 54 Hasim Purba, Op.Cit., hal 141. 55 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang- Undang Kepailitan, cetakan ketigapuluh, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2006, hal 171. 56 H.K. Martono, Op.Cit., hal 67-68. 57 http:staff.blog.ui.ac.iddisriani.latifah20110907sekilas-tentang-perikatan diakses pada tanggal 30 Oktober 2012. Universitas Sumatera Utara Namun demikian, suatu perikatan itu ada disebabkan adanya awal mula yang dinamakan perjanjian. Perjanjian merupakan suatu Peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah, timbul suatu hubungan hukum antara dua orang itu yang disebut dengan perikatan. Perjanjian yang telah dilaksanakan menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. 58 Dalam pengangkutan sendiri terdapat suatu perjanjian pengangkutan, dimana pengertian dari perjanjian pengangkutan tersebut ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyangggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu ke lain tempat, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 59 Dari pengertian tersebut dapat dicermati bahwa orang yang dimaksud adalah penumpang, dalam hal ini penumpang menginginkan keamanan dalam perjalanan hingga sampai ke tempat tujuan kemudian pihak jasa angkutan udara menyanggupi kewajibannya itu sesuai dengan perikatan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam Pasal 1234 KUHPerdata 60 disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Pasal tersebut menjelaskan mengenai prestasi ataupun cara pelaksanaan kewajiban, yaitu berupa: 1. Memberikan sesuatu; 58 http:dokumentasihukum.blogspot.com200702tentang-perikatan-dan-perjanjian.html diakses pada tanggal 30 Oktober 2012. 59 R.Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal 69. 60 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ketigapuluh empat, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2004, hal 323. Universitas Sumatera Utara 2. Berbuat sesuatu; 3. Tidak berbuat sesuatu. Dari tiga macam cara pelaksanaan kewajiban seperti tertera diatas, maka dapat diketahui bahwa wujud dari prestasi yang dimaksud dapat berupa: - Barang - Jasa - Tidak berbuat sesuatu. Kemudian jika kedua hal itu digabungkan, cara pelaksanaan dari wujud prestasi tersebut yaitu: - Barang dilakukan dengan cara menyerahkan - Jasa dilakukan dengan cara berbuat sesuatu - Tidak berbuat sesuatu dengan cara tidak berbuat sesuatu. 61 Dalam pasal 1313 disebutkan: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Pasal 1313 ini menjelaskan tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Selanjutnya, pengertian tersebut tidaklah begitu lengkap, namun demikian melalui pengertian tersebut, terlihat bahwa di dalam perjanjian terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak yang lain. Pasal 1338 mengatur mengenai akibat-akibat perjanjian dimana disebutkan dalam Pasal tersebut antara lain yakni: 61 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal 4-5. Universitas Sumatera Utara “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Pasal 1338 tersebut merupakan Pasal yang populer dikarenakan dalam Pasal inilah disandarkan suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, meskipun ada sarjana yang menyandarkannya pada Pasal 1320, atau pada keduanya. Akan tetapi, apabila dicermati Pasal ini, khusunya ayat 1 ataupun alinea 1, ada tiga hal pokok asas yang terkandung di dalamnya, yakni: 1. Dalam kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan asas kebebasan berkontrak; 2. Dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda; 3. Dalam kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas. Meskipun demikian, kalimat-kalimat yang telah disebutkan tadi merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisah. Sehingga pemisahan atau pemenggalan kalimat tersebut hanya untuk mengetahui kandungan dari Pasal 1338 tersebut. Ayat 2 atau alinea kedua dalam Pasal 1338 menjelaskan bahwa suatu perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal wajar, supaya kepentingan pihak lain dapat terlindungi karena saat perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Kemudian, pembatalan secara Universitas Sumatera Utara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang. Sedangkan, ayat 3 atau alinea kedua, ini merupakan sandaran atas iktikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik. 62 Mengenai pembatalan dan hapusnya suatu perikatan terdapat dalam Pasal 1446 antara lain menyebutkan: “Semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. ” “Perikatan-perikatan yang dibuat oleh perempuan-perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa hanyalah batal demi hukum sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka.” Pasal 1446 ini menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa atau di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, namun apabila dikaitkan dengan Pasal 1331 yang tersebut di dalamnya bahwa: “karena itu, orang-orang yang di dalam Pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal di mana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang- undang.” Semestinya Pasal 1446 ini tidak menyatakan batal demi hukum atas perikatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap atau di bawah pengampuan, melainkan hanya dapat menuntut dengan Pasal 1331. Apalagi memang ketidakcakapan hanya merupakan syarat subjektif dari suatu perikatan. Ketentuan yang tidak berbeda semestinya juga berlaku pada alinea atau ayat 2 dalam Pasal 1446. 63 62 Ibid hal 78-79. 63 Ibid, hal 152-153. Universitas Sumatera Utara

C. Tarif Penumpang dan Barang Dalam Angkutan Udara

Dokumen yang terkait

SKRIPSI PENERAPAN ASAS-ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERATURAN MENTERI NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA.

0 2 12

PENDAHULUAN PENERAPAN ASAS-ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERATURAN MENTERI NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA.

0 4 14

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP PENUMPANG ATAS TERTUNDANYA PENERBANGAN (DELAY) BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA.

1 5 49

Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Lion Air terhadap Penumpang atas Keterlambatan Penerbangan dihubungkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

0 2 2

BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGANGKUTAN UDARA A. Asas dan Tujuan Diselenggarakannya Pengangkutan Udara - Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pem

0 0 32

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara (Studi Pada

0 0 15

Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air Medan)

0 0 9

Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air Medan)

0 0 32

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara (Studi Pa

0 0 15

Analisis Yuridis Penerapan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Atas Keterlambatan Dan Pembatalan Jadwal Keberangkatan Penumpang Angkutan Udara (Studi Pada PT. Sriwijaya Air Medan)

0 0 9