2004 mengenai keterkaitan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan di beberapa Dunia Berkembang menunjukkan bahwa elastisitas
kemiskinan lebih tinggi ketika pertumbuhan yang dimaksud adalah perubahan pendapatan rata-rata rumah tangga per kapita dibandingkan
dengan pertumbuhan GDP per kapita. Setiap aktivitas yang mampu mendorong peningkatan pendapatan penduduk miskin akan signifikan
menurunkan angka kemiskinan. 11. Berbeda dengan aktivitas budidaya jagung, perkebunan karet dan kelapa
sawit, populasi itik yang tinggi mengindikasikan tingginya tingkat kemiskinan baik di wilayahnya sendiri maupun di wilayah terkait.
Perubahan satu persen pangsa populasi ternak itik di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,52, sementara perubahan satu persen di
wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 1,79 kemiskinan di wilayah sekitarnya. Gambaran kemiskinan yang muncul dari analisis ini adalah,
kegiatan budidaya itik belum berorientasi pada peningkatan pendapatan atau hanya untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Dari data Ditjennak
Kementrian Pertanian RI mencatat bahwa pada tahun 2008 populasi total itik di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar 457 835 ekor. Jumlah ini
10 kali lebih rendah dibanding Provinsi Kalimantan Selatan yang telah mampu menjadikan daging itik sebagai komoditas unggul dan menjadi
sumber pendapatan masyarakat dan wilayahnya. Oleh karena itu, variabel populasi itik lebih menggambarkan wilayah yang jumlah keluarga
miskinnya tinggi. 12. Untuk kegiatan industri, keterkaitan variabelnya dengan kemiskinan adalah
pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan baku kayu, logam dan kulit. Perubahan satu persen pangsa lokal kerajinan rumah tangga berbahan baku
kayu dan logam di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,32 di wilayah penelitian dan satu persen perubahannya pada wilayah terkait
meningkatkan kemiskinan 0,61 kemiskinan di wilayah penelitian. Indikasinya adalah aktivitas kerajinan berbahan kayu dan logam akan
ditemukan tinggi pada wilayah-wilayah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Gambaran keterkaitan ini menunjukkan bahwa lokalisasi keluarga
miskin di Kalimantan Barat ditemukan di sekitar pusat-pusat industri berbahan baku kayu atau logam. Menurut Todaro dan Smith 2003,
kantong-kantong kemiskinan sering dijumpai di sekitar kawasan industri pada negara-negara berkembang, karena tenaga kerja yang dimanfaatkan di
sektor industri ini adalah tenaga kerja berpendidikan rendah dengan upah yang rendah, sehingga sektor ini menjadi target pekerjaan bagi kelompok
miskin yang memiliki karakteristik berpendidikan dan berketerampilan rendah.
13. Perubahan satu persen aktivitas kerajinan berbahan baku kulit di wilayahnya sendiri, berpengaruh nyata menurunkan 0,28 pangsa keluarga miskin di
wilayah penelitian. Artinya industri ini memiliki kemampuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pelaku industri kecilrumah tangga.
Sejalan dengan hasil analisis Siregar et al. 2007 yang menunjukkan peningkatan industri kecil berpengaruh nyata menurunkan kemiskinan.
Untuk itu penting bagi pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, memperhatikan pengembangan industri kecil berbahan baku kulit, baik
dalam bentuk permodalan maupun pengembangan pasar hasil industri. 14. Untuk aktivitas perdagangan, hotel dan restoran, pangsa motel penginapan
kecil lainnya berpengaruh positif, dimana perubahan satu persen pangsa lokal jumlah motelpenginapan lainnya di wilayah terkait meningkatkan
kemiskinan 0,88 jumlah keluarga miskin dan satu persen perubahan jumlah motelpenginapan kecil lainnya di daerah terkait meningkatkan
1,19 jumlah keluarga miskin. Artinya, keberadaan motelpenginapan kecil lainnya dijumpai di wilayah pinggiran yang kurang berkembang.
Identifikasi kantong kemiskinan juga didapatkan dari hasil analisis keterkaitan ini.
15. Pangsa lokal jumlah kios tani non KUD berkorelasi positif dengan tingkat kemiskinan baik dipengaruhi oleh wilayahnya sendiri maupun pengaruh
wilayah terkait. Perubahan satu persen jumlah kios tani non KUD di wilayahnya sendiri meningkatkan kemiskinan 0,34 kemiskinan di wilayah
penelitian dan perubahan satu persen pangsa lokal kios tani di wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 0,96 kemiskinan di wilayah penelitian.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa kios tani non KUD berkembang di wilayah-wilayah perdesaan dimana masyarakat memenuhi kebutuhan untuk
aktivitas pertanian pada kios-kios tani Non KUD. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan kios-kios tani dengan pengembangan
fasilitas kios tani yang berbasis koperasi atau dengan meningkatkan subsidi untuk bahan pertanian. Keuntungan dari strategi ini adalah petani akan
mampu meningkatkan pendapatan dari usaha tani yang dikembangkan karena mampu menekan biaya produksi. Peningkatan laba ini diharapkan
mampu menekan jumlah penduduk miskin pada wilayah tersebut. 16. Untuk izin usaha perdaganganindustri yang dikeluarkan berkorelasi positif
dengan tingkat kemiskinan. Satu persen perubahan pangsa izin usaha yang dikeluarkan untuk perdagangan besar dan kecil pada wilayahnya sendiri
meningkatkan 0,62 kemiskinan di wilayah penelitian, sementara perubahan satu persen pangsa lokal izin usaha perdagangan besar dan kecil
yang dikeluarkan pada wilayah terkait meningkatkan kemiskinan 2,01 pada wilayah penelitian. Keterkaitan ini menggambarkan, bahwa
perdagangan besar dan kecil yang berkembang di suatu wilayah tidak mampu mendorong peningkatan pendapatan keluarga miskin. Pertumbuhan
pendapatan hanya pada kelompok menengah dan atas, sehingga angka kemiskinan belum berubah secara signifikan. Aktivitas perdagangan hanya
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah, tanpa berpengaruh baik terhadap pertumbuhan pendapatan kelompok keluarga miskin.
17. Terkait dengan sumber daya alam, perubahan pangsa luasan lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian pada wilayah terkait sebesar satu persen
meningkatkan kemiskinan 1,13 kemiskinan di wilayah penelitian. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk miskin di
Kalimantan Barat adalah wilayah dengan luasan lahan pertanian non sawah dan lahan non pertanian. Analisis ini, lebih menunjukkan bahwa
ketersediaan lahan sawah ada dalam jumlah yang sangat terbatas, mayoritas lahan yang ada termanfaatkan untuk kegiatan pertanian non sawah dan non
pertanian.
Keterkaitan keseluruhan variabel-variabel pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan dan seberapa besar keterkaitannya dapat
dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30 Model keterkaitan pembangunan manusiasosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
6.2 Arahan Penanganan Kemiskinan di Kalimantan Barat
Penanganan kemiskinan di Indonesia secara umum dilakukan dengan dua model pendekatan, yaitu social safety net dan community development
Yudhoyono dan Harniati 2004. Pendekatan social safety net merupakan upaya peningkatan kemampuan akses individukeluarga miskin untuk memenuhi
kebutuhannya secara langsung, sedangkan pendekatan community development
Idx_Miskf1 WIdx_Miskf1
–
1.34 WIdx_SDMCf2
Idx_SDMCf2
+
1.27
+
0.57 Idx_SDMJP
+
0.56 Idx_SDSFDFLf1
Idx_SDSFDFLf2 Idx
_SDSApkamf1
Idx
_AEPangf3
Idx
_AETUf2
Idx
_AEIRTf2
Idx
_AEIRTf3
Idx
_AEDHRTf2
Idx
_AEDHRTf3
Idx
_AEIUD
WIdx
_SDSWWf2
WIdx
_SDSTdik
WIdx
_SDSFDDf2
WIdx
_SDSFDMTf2
WIdx
_SDSFDFLf2
WIdx
_SDSFDLPf2
WIdx
_AEPangf3
WIdx
_AEBunf2
WIdx
_AETUf2
WIdx
_AEIRTf2
WIdx
_AEDHRf2
WIdx
_AEDHRf3
WIdx
_AEIUD
WIdx_AELahf2
+
0.60
+
0.45
–
0.32
+
0.52
+
0.32
-
0.40
+
0.88
+
0.28
+
0.34
–
0.64
+
1.34
–
1.58
–
1.19
+
1.23
+0.85 -1.20
-1.27 +1.79
+0.61
+
1.19
+
1.13
+
2.01 +0.96
+2.01
adalah pendekatan peningkatan kapabilitas individukeluarga miskin melalui penguatan di tingkat komunitas.
Dua pendekatan tersebut belum cukup menjawab permasalahan kemiskinan di Indonesia, khususnya di Provinsi Kalimantan Barat. Hasil penelitian Suriyanto
2009 di Noyan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat menyebutkan bahwa pendekatan community development seperti Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat PNPM tidak nyata menurunkan kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan di wilayah ini lebih disebabkan pembangunan sosial
dan ekonomi yang belum menyentuh langsung ke masyarakat miskin. Oleh karena itu, sebelum menentukan pola penanganan kemiskinan di suatu wilayah, perlu
mengetahui faktor penyebab kemiskinan dalam dimensi regional. Dalam analisis ini, identifikasi permasalahan di tingkat kabupatenkota telah dikembangkan,
sehingga arahan kebijakan penanganan kemiskinan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Penangan kemiskinan
diproritaskan pada
wilayah kantong-kantong
kemiskinan, baik jumlah maupun proporsi penduduk miskin yang tinggi. Terkait dengan Model Spatial Durbin dari analisis ini, menunjukkan bahwa
wilayah terkait akan saling berinteraksi dan mempengaruhi. Jumlah penduduk miskin di wilayah terkait merupakan parameter yang berpengaruh signifikan
terhadap jumlah penduduk miskin di wilayah tertentu. Artinya, jika ditemukan insiden kemiskinan yang tinggi di suatu wilayah, maka kemiskinan di wilayah
sekitarnya akan meningkat. Oleh karena itu, jika pengurangan kemiskinan dilakukan di kantong-kantong kemiskinan, selain penduduk miskin di wilayah
tersebut berkurang, maka dampak pengurangan kemiskinan akan bersifat spillover
di serentetan wilayah di sekitar kantong-kantong kemiskinan. 2. Pada tipologi di tingkat kabupatenkota yang dihasilkan dari keseluruhan
pencapaian tingkatan indikator kemiskinan, pembangunan manusiasosial, dan aktivitas ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan manusia lebih berperan
nyata menurunkan tingkat kemiskinan. Hal tersebut tampak dari pola yang dihasilkan dari tipologi 1 dan 3. Di tipologi 1, dimana pembangunan
manusianya rendah, tingkat kemiskinannya akan tinggi. Demikian sebaliknya pada tipologi ketiga, dimana tingkat pembangunan manusianya tinggi, maka
tingkat kemiskinannya rendah. Secara rinci, variabel pembangunan manusia yang paling berperan menurunkan tingkat kemiskinan baik di wilayah sendiri
maupun di wilayah terkait adalah variabel-variabel yang berkenaan dengan aktivitas pembangunan di bidang pendidikan, seperti jumlah guru dan akses
penduduk terhadapa fasilitas pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. 3. Pada tipologi 1 nampak bahwa kemiskinan berada pada wilayah yang aktivitas
ekonominya berbasis sektor pertanian. Melihat dari hasil model spatial durbin, maka di tiga wilayah ini perlu memperhatikan pengembangan aktivitas
pertanian seperti produksi tanaman jagung, karet dan kelapa sawit yang signifikan menurunkan kemiskinan, mengingat kontribusi produksi karet dan
kelapa sawit di kabupaten-kabupaten pada tipologi ini cukup signifikan. 4. Pada tipologi 4 nampak bahwa wilayah pada tipologi ini tergolong wilayah
tertinggal, karena rendahnya aktivitas ekonomi dan berdampak pada rendahnya modal pemerintah daerah untuk meningkatkan investasi
pembangunan manusia. Rendahnya tingkat pembangunan manusia juga berpengaruh sebaliknya terhadap tingkatan aktivitas ekonomi di wilayah
tersebut. Rendahnya aktivitas ekonomi dan pembangunan manusia akan menyebabkan wilayah ini semakin tertinggal, terlebih lagi dengan rendahnya
jumlah penduduk di wilayah tersebut. Meskipun kemiskinan di tipologi ini terkategori rendah, tetapi resiko munculnya kemiskinan tetap tinggi, karena
kemampuan sumber daya manusia yang rendah untuk meningkatkan investasi di wilayah tersebut The Vicious Circles.
5. Pada tipologi 2 merupakan pola kemiskinan perkotaan, yaitu kemiskinan karena tingginya jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
karena urbanisasi menjadi ciri perkotaan. Aktivitas ekonomi yang tinggi, serta ketersediaan sarana prasarana, khususnya pendidikan dan kesehatan menjadi
daya tarik kota pull factor bagi penduduk desa yang ingin meningkatkan pendapatan di sektor-sektor perkotaan. Hal ini mengakibatkan tingginya
aktivitas sektor informal yang didominasi oleh penduduk dari kalangan berpenghasilan dan berpendidikan rendah, dan akan memunculkan kantong-
kantong kemiskinan di perkotaan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat untuk memperhatikan keberimbangan
pembangunan antar kota-desa, baik pengembangan aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan manusia.
6. Parameter pada wilayah terkait lebih banyak berpengaruh nyata menurunkan kemiskinan, hal ini menunjukkan bahwa interaksi antar wilayah di Provinsi
Kalimantan Barat sangat tinggi. Oleh karena itu, penanganan kemiskinan melalui pendekatan community development dan regional development
memerlukan kerjasama antar wilayah kabupatenkota. Dengan memperhatikan peluang dan permasalahan setiap wilayah untuk
mengatasi kemiskinan, maka arahan penanganan kemiskinan dan prioritas pada setiap wilayah di Provinsi Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel 46.
Tabel 46 Arahan kebijakan penanganan kemiskinan pada prioritas wilayah tipologi
No. Arahan Kebijakan
Prioritas Wilayah Sasaran Tipologi
1. Peningkatan kemampuan individurumah tangga miskin untuk
memenuhi kebutuhan
makan-minum, kesehatan,
dan pendidikan melalui subsidi atau fasilitasi modal usaha secara
langsung pendekatan social safety net. 1,2,3, dan 4
2. Penataan lokasi pemukiman kumuh dan tempat tinggal
keluarga miskin, seperti akses air bersih dan fasilitas jamban keluarga
yang diprioritaskan
pada kantong-kantong
kemiskinan. 1 dan 2
3. Peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan dan pendidikan
dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan keterkaitan antar wilayah.
1 dan 4 4.
Peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan.
1 dan 4 5.
Pembinaan petani skala kecil untuk meningkatkan hasil produksi pertanian seperti jagung, kelapa sawit dan karet.
4 6.
Pembinaan pelaku industri kecilrumah tangga berbahan baku kulit, berupa permodalan dan pengembangan skala usaha.
1 dan 4 7.
Peningkatan nilai tambah hasil-hasil pertanian melalui peningkatan keterkaitan dengan sektor perekonomian lainnya
pada suatu rangkaian wilayah yang saling terkait. 1 dan 4
8. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah
tertinggal guna mendorong peningkatan perekonomian wilayah, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan urbanisasi
ke wilayah perkotaan. 4
Arahan kebijakan penanganan kemiskinan ditampilkan secara spasial pada Gambar 31. Kabupaten di wilayah pesisir yang berwarna hijau, pembangunan
wilayahnya relatif lebih baik dibanding wilayah tengah dan perbatasan, arahan kebijakan yang diperlukan adalah melalui pendekatan sosial safety net. Kondisi
ini mengindikasikan bahwa permasalahan kemiskinan dan pembangunan di wilayah ini tidak terlalu memprihatinkan. Hal yang berbeda dapat dilihat pada
wilayah tengah dan perbatasan antar provinsi dan antar negara warna merah dan orange, dimana hampir keseluruhan arahan penanganan ditujukan di wilayah
tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada wilayah ini, permasalahan kemiskinan dan pembangunan masih menjadi permasalahan yang krusial untuk
ditindaklanjuti ke arah yang lebih baik. Untuk permasalahan kemiskinan di wilayah perkotaan warna kuning adalah sebagai ekses dari ketimpangan
pembangunan antara kota dan desa, sehingga pendekatan penanganan yang diperlukan adalah mendorong pembangunan yang berimbang antara kota dan
desa, atau melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah yang tertinggal dan jauh dari pusat kota di Provinsi Kalimantan Barat.
Arahan Penanganan : 1. Pendekatan Social Safety
Net .
2. Penataan lokasi tinggal keluarga miskin di kantong-
kantong kemiskinan. 3. Peningkatan ketersediaan
tenaga kesehatan dan pendidikan.
4. Peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas
pendidikan dan kesehatan. 5. Pembinaan petani skala
kecil untuk peningkatan hasil produksi pertanian.
6. Pembinaan pelaku industri kecilrumah tangga, berupa
permodalan dan pengembangan skala usaha.
7. Peningkatan nilai tambah hasil pertanian dengan
membangun keterkaitan dengan sektor lainnya.
8. Mendorong pusat-pusat pertumbuhan baru.
Gambar 30 Peta Arahan Penanganan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat. Secara terperinci arahan kebijakan penanganan kemiskinan di tingkat
kabupatenkota dapat dilihat pada Tabel 47. Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, dan Kota Singkawang adalah kabupatenkota yang
akses ke Kota Pontianak terkategori lebih baik dibandingkan wilayah lainnya.
Lokasi yang strategis ini menempatkan empat wilayah kabupatenkota ini relatif lebih maju dan memiliki kemiripan tingkat pembangunannya dengan Kota
Pontianak. Tingkat kepadatan penduduk antara keempat wilayah tersebut dengan Kota Pontianak menjadi faktor pembeda, sehingga permasalahan kemiskinan dan
pola pembangunan di wilayah ini cenderung serupa. Hal ini juga dapat dilihat dari arahan penanganan kemiskinan di keempat wilayah tersebut dan Kota Pontianak,
dimana arahan penanganan lebih pada pendekatan social safety net. Tabel 47 Pemetaan Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Barat
Kabupaten Kota Tipo-
logi Arahan Penananganan Kemiskinan
1 2
3 4
5 6
7 8
Kab. Sintang 1
√ √
√ √
- √
√ -
Kab. Landak 1
√ √
√ √
- √
√ -
Kab. Sanggau 1
√ √
√ √
- √
√ -
Kota Pontianak 2
√ √
- -
- -
- -
Kab. Kubu Raya 3
√ -
- -
- -
- -
Kab. Pontianak 3
√ -
- -
- -
- -
Kota Singkawang 3
√ -
- -
- -
- -
Kab. Sambas 3
√ -
- -
- -
- -
Kab. Ketapang 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Kab. Kapuas Hulu 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Kab. Sekadau 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Kab. Melawi 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Kab. Kayong Utara 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Kab. Bengkayang 4
√ -
√ √
√ √
√ √
Keterangan : dijelaskan pada Gambar 31.
√ arahan
Wilayah yang memiliki permasalahan kemiskinan dan pembangunan yang lebih kompleks memerlukan arahan penanganan yang lebih serius, seperti terlihat
di Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak,
dan Kabupaten Sanggau. Pendekatan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di wilayah-wilayah tersebut mencakup program-
program social safety net, community development dan pengembangan wilayah. Studi oleh Thamrin et al. 2007 menunjukkan bahwa untuk mengatasi
kemiskinan dan mengurangi ketertinggalan kawasan perbatasan Kabupaten Bengkayang-Malaysia, diperlukan strategi pengembangan kawasan agropolitan
sebagai pusat pertumbuhan baru di Provinsi Kalimantan Barat.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian dan uraian hasil analisis yang dikembangkan pada penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pola spasial kemiskinan di Kalimantan Barat terdiri atas: a wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk tinggi adalah Kota Pontianak
dan Kabupaten Kubu Raya; b wilayah dengan sebaran keluarga miskin rendah dan sebaran penduduk tinggi adalah Kabupaten Sanggau, Kabupaten
Sambas, dan Kota Singkawang; c wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk rendah adalah Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten
Bengkayang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Ketapang; dan d wilayah dengan sebaran keluarga miskin tinggi dan sebaran
penduduk rendah adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Pontianak.
2. Pola spasial pembangunan manusiasosial di Kalimantan Barat terdiri atas: a tingkat pembangunan manusia rendah dan pembangunan sosial tinggi
adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten
Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu; b tingkat pembangunan manusia dan pembangunan sosial rendah adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak,
dan Kabupaten Kayong Utara; dan c tingkat pembangunan manusia tinggi dan pembangunan sosial rendah adalah Kota Pontianak, Kota Singkawang dan
Kabupaten Kubu Raya. 3. Pola spasial aktivitas ekonomi di Kalimantan Barat terdiri atas: a aktivitas
sektor pertanian dan sektor industriperdagangan tinggi adalah Kabupaten Pontianak; b aktivitas sektor pertanian rendah dan sektor industri
perdagangan tinggi adalah Kota Pontianak dan Kota Singkawang; c aktivitas sektor pertanian dan sektor industriperdagangan rendah adalah Kabupaten
Bengkayang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Melawi; dan d aktivitas sektor
pertanian rendah dan sektor industriperdagangan tinggi adalah Kabupaten
Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kayong Utara.
4. Variabel-variabel pembangunan manusiasosial dan aktivitas ekonomi yang siginifikan menurunkan kemiskinan dikategorikan dalam dua kelompok
variabel, yaitu: a variabel-variabel dari wilayah sendiri yaitu jumlah produksi jagung dan jumlah industri kecilrumah tangga berbahan baku kulit; dan
b variabel-variabel pada wilayah terkait yaitu jumlah keluarga miskin di wilayah sekitarnya, jumlah tenaga guru SD sampai SLTA, jumlah TK Negeri,
jumlah SMUSMK dan Perguruan Tinggi Negeri, produksi jagung, karet dan kelapa sawit.
5. Arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Kalimantan Barat adalah yaitu: a peningkatan kemampuan individurumah tangga miskin untuk memenuhi
kebutuhan makan-minum, kesehatan, dan pendidikan melalui pendekatan social
safety net di seluruh wilayah kabupatenkota; b penataan lokasi pemukiman kumuh dan tempat tinggal keluarga miskin, diprioritaskan pada
kecamatan-kecamatan yang ditemukan adanya kantong-kantong kemiskinan yang terdapat di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau,
dan Kota Pontianak; c peningkatan ketersediaan tenaga kesehatan dan pendidikan dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan keterkaitan antar
wilayah khususnya di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau,
Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; d peningkatan akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan di
Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi,
Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; e pembinaan petani skala kecil untuk meningkatkan hasil produksi pertanian seperti jagung, kelapa
sawit dan karet di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten
Bengkayang; f pembinaan pelaku industri kecilrumah tangga berbahan baku kulit, berupa permodalan dan pengembangan skala usaha dan peningkatan
nilai tambah hasil pertanian melalui peningkatan keterkaitan dengan sektor