28
B. Tinjauan Hukum dan Terminologi dari Pencabutan, Pembebasan,
dan Pelepasan Tanah 1.
Pencabutan Hak atas Tanah Onteigening
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda mengenai Pencabutan hak atas tanah ini disebut dengan istilah Onteigening yang diatur dalam Stb.
1920 nomor 574 yaitu Bepalingen Regelende de Ontenigening en hettijjdelijk in gebruik uemen van goederen ten algemeen nutte.
Sedangkan di dalam ketentuan Undang-undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 diatur didalam Pasal 18 yang menyebutkan :
Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Pasal ini memberi arti bahwa sebagaimana yang disebutkan di dalam Memori Penjelasan UUPA pasal 18 menyebutkan bahwa jaminan bagi
rakyat mengenai hak-hak atas tanahnya, pencabutan hak harus dilakukan, tetapi dengan persyaratan harus disertai dengan pemberian ganti rugi.
Pelaksanan pencabutan hak atas tanah ini sebenarnya baru dapat dilakukan apabila pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan pemerintah sangat membutuhkan sekali tanah yang bersangkutan dimana artinya tidak ada alternatif lain selain tanah dari
seseorang atau masyarakat yang bersangkutan tersebut sangat diperlukan atau dibutuhkan.
Universitas Sumatera Utara
29 Mengenai pencabutan hak atas tanah ini tidak ada diatur dalam UUD
1945.
26
26
UUD 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu. Yang pertama antara tahun 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949, yaitu sejak ditetapkannya oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan
kedaulatan dalam bulan Desember 1949. Kemudian berlaku Undang-undang Dasar Sementara 1950 sampai sekarang. Yang kedua adalah dalam kurun waktu
sejak tahun 1959 sampai sekarang, yaitu sejak diumumkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang kembali kepada UUD 1945.
Jikalau kita telusuri maka tidak satupun peraturan dalam pasal- pasal yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk
melakukan tindakan dan atau perbuatan pencabutan hak-hak atas tanah.Namun kalau kita mengacu kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 yang menentukan “segala Badan Negara dan Peraturan yang masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini”. Berdasarkan Aturan Peralihan ini, maka peraturan yang ada khusus
yang menyangkut masalah pencabutan Hak Milik masih dianggap berlaku seperti yang tercantum dalam Pasal 26 Konstitusi RIS atau juga dalam
Pasal 27 UUDS 1950, dan yang lebih khusus diatur dalam Onteigenningsordonnantie
Stb. 1920-574, yakni undang-undang peninggalan zaman pemerintahan Belanda. Dalam Pasal 27 ayat 1 UUDS
1950 dan atau pasal 26 Konsititusi RIS menegaskan : “Pencabutan hak Milik Onteigening untuk kepentingan umum atas
sesuatu benda atau hak tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang”
Universitas Sumatera Utara
30 Dengan mengacu kepada peraturan ini berarti telah dapat diisi
kekosongan hukum tentang pencabutan hak milik yang tidak diatur dalam UUD 1945, berarti bahwa ketentuan dasar yang diperlukan untuk bisa
dipakai sebagai landasan hukum bagi sahnya suatu perbuatan pencabutan hak milik, yakni yang dirumuskan di dalam suatu undang-undang, secara
juridis formil telah terpenuhi. Pasal 26 Konstitusi RIS dan Pasal 27 UUDS 1950 dapat kita temukan
elemen-elemen pokok yaitu : 1
Pencabutan Hak Milik dilakukan untuk kepentingan umum. 2
Pencabutan Hak Milik harus dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.
3 Tindakan pencabutan Hak Milik dilakukan atas dasar ketentuan
undang-undang. 4
Pencabutan Hak Milik diisyaratkan agar dilakukan harus dengan undang-undang yang mengaturnya, ternyata undang-undang yang
mengatur tentang pencabutan Hak Milik pada ketika itu belum ada. Untuk mengisi kekosongan ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 dapat diberlakukan Onteigenings-ordonantie Stb. 1920- 574.
Pada tahun 1961 pemerintah telah mengundangkan Undang- undang No. 20 Tahun 1961, tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya. Dengan berlakunya undang- undang ini, maka Onteigening-ordonantie dinyatakan tidak berlaku lagi
Universitas Sumatera Utara
31 di seluruh wilayah Indonesia.Undang-undang No. 20 Tahun 21961
adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960. Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya
atas tanah, pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat- syarat, misalnya harus disertai dengan pemberian ganti-kerugian yang
layak.
27
UUPA telah meletakkan suatu kehendak yang pasti bahwa kita tidak mengenal adanya suatu penyitaan tanah seseorang untuk
pembangunan, kecuali karena suatu kejahatan, demikian juga tidak mungkin karena pandangan politik seseorang, tetapi harus dengan suatu
ganti rugi dan ganti rugi tersebut adalah layak, baik ditinjau dari pemerintah ataupun ditinjau dari yang terkena pencabutan.
Elemen-elemen yang harus terkandung dalam Pasal 18 yaitu adanya kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat,
sebagai bagian dari kepentingan umum, maka bagi masyarakat yang dicabut hak atas tanahnya harus diberikan ganti rugi yang layak dan
harus diatur dengan suatu undang-undang.
28
Prinsip pemberian ganti rugi yang layak ini dianut juga dalam Undang-undang
No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
29
Pencabutan hak yang diatur dalam Pasal 18 UUPA jo. Undang- Undang No. 20 Tahun 1961 adalah merupakan tindakan sepihak yang
dilakukan oleh pemerintah, untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat
27
Lihat, penjelasan Pasal 18 UUPA No. 5 Tahun 1960.
28
AP. Parlindungan ,Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah Suatu Studi Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993, hal.5 .
29
Lihat, Pasal 4 ayat 2 huruf c Undang-undang No.24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang
Universitas Sumatera Utara
32 pelaksanaannya harus dilakukan sedemikan rupa seperti adanya
persetujuan kehendak bersama antara yang empunya tanah dengan pemerintah dengan jalan melakukan perbuatan hukum jual beli agar
masing-masing merasa tidak dirugikan . Pencabutan hak-hak atas tanah menurut Undang-undang No. 20
Tahun 1961, hanya boleh dilakukan : 1
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa serta kepentingan bersama dari rakyat demikian pula
kepentingan pembangunan. 2
Sebagai cara yang terakhir untuk memperoleh tanah yang diperlukan, yaitu jika musyawarah dengan pemiliknya tidak
dapat membawa hasil yang diharapkan. Syarat-syarat tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 18 UUPA
maka dapat ditemukan lima syarat untuk pencabutan hak atas tanah : 1
Pencabutan hak atas tanah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan.
2 Pencabutan hak atas tanah harus dengan pemberian ganti
rugi yang layak kepada pemegang hak. 3
Dilakukan menurut cara yang diatur oleh undang-undang. 4
Pencabutan hak dilakukan apabila pemindahan hak menurut cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan misalnya jual beli
atau pembebasan hak
Universitas Sumatera Utara
33 5
Pencabutan hak dilakukan apabila tanah di tempat lain untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang tersebut, substansi hukumnya masih sangat mengandung hal-hal yang sangat
abstrak, terutama mengenai pengertian tentang “kepentingan umum” dan “ganti rugi yang layak”.Dalam rumusan undang-undang tidak jelas dan
tidak ada parameter mengenai batasan kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan
pembangunan serta batasan tentang ganti rugi yang layak. Keadaan yang demikian ini akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam
masyarakat. Akibatnya rumusan undang-undang tersebut tidak mempunyai nilai kepastian hukum dan akhirnya akan menghilangkan
nilai keadilan maupun nilai kegunaanmanfaat dari hukum itu sendiri. Di samping itu undang-undang pencabutan hak juga
mengisyaratkan agar pemindahan hak atas tanah, harus dilakukan dengan persetujuan kehendak dari kedua belah pihak, yaitu pemerintah harus
mengupayakan dengan prosedur jual-beli atau proses pembebasan hak dengan ganti rugi yang layak melalui proses musyawarah. Di lain pihak
apabila cara ini tidak dapat dilakukan, pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan pencabutan hak. Kewenangan ini dipergunakan oleh
pemerintah agar proses untuk mendapatkan tanah dapat dilakukan dengan cepat untuk kepentingan pembangunan tanpa melalui prosedur
yang panjang. Meskipun syarat yang ditentukan untuk itu, substansi hukumnya sangat kabur atau tidak mengandung unsur kepastian hukum.
Universitas Sumatera Utara
34 Pencabutan hak itu merupakan tindakan yang sangat penting
karena berakibat mengurangi hak seseorang, maka yang memutuskannya adalah Pejabar Eksekutif yang tertinggi yaitu adalah Presiden.Dengan
demikian sebagai subyek pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya adalah merupakan wewenang tunggal dari Presiden,
sebagai Pejabat Administrasi Tertinggi. Tujuan dari Undang-Undang Pencabutan Hak, adalah untuk
menyelenggarakan kepentingan umum, maka elemen kepentingan umum inilah yang harus dijadikan pedoman, yaitu sampai dimanakah suatu
perbuatan pemerintah itu memenuhi adanya persyaratan “kepentingan umum” yang dimaksud.
30
Pada umumnya pencabutan hak diadakan untuk keperluan usaha- usaha negara pemerintah pusat dan daerah karena menurut Pasal 18
UUPA No. 5 Tahun 1960 hal itu hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum. Namun, undang-undang ini tidak menutup
kemungkinan mengadakan pencabutan hak guna pelaksanaan usaha- usaha swasta asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum dan
tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan yang empunya.Usaha swasta tersebut rencananya harus disetujui
pemerintah dan sesuai dengan pola pembangunan nasional.
31
Pencabutan hak-hak atas tanah guna usaha swasta dapat dilakukan dengan berpedoman pada pasal 3 Instruksi Presiden Republik Indonesia
30
Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang ada di Atasnya, Ghalia Indonesia , Jakarta , 1979, hal.13.
31
Lihat, Penjelasan Umum bagian 4 sub b Undang-undang No.20 Tahun 1961.
Universitas Sumatera Utara
35 No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah
dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yaitu : 1Yang berhak menjadi subjek atau permohonan untuk mengajukan
permintaan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi pemerintah maupun usaha-usaha swasta, segala sesuatunya dengan
memperhatikan persyaratan untuk dapat memperoleh sesuatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2Usaha-usaha swasta sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, rencana proyeknya harus disetujui oleh pemerintah danatau untuk
pemerintah daerah sesuai dengan rencana pembangunan yang telah ada.
32
Pencabutan hak-hak atas tanah yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah cukup secara langsung dengan mengajukannya kepada
presiden dengan perantaraan Menteri Agraria melalui Kepala Inspeksi Agraria. Permintaan tersebut oleh badan-badan pemerintah harus disertai
dengan rencana peruntukannya dan alasan-alasannya,bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan disertai
dengan nama yang berhak serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut serta benda-benda yang bersangkutan.
33
32
Lihat, Pasal 3 Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973.
33
Lihat Pasal 2 Undang-undang No. 20 Tahun 1961 Sedangkan
untuk pencabutan hak-hak atas tanah guna usaha-usaha swasta untuk kepentingan umum, mereka harus melampirkan penjelasan penetapan
harga terakhir yang pernah ditawarkan kepada pemilik tanah dan benda- benda yang ada di atasnya. Permohonan ini baru boleh diajukan apabila
Universitas Sumatera Utara
36 ternyata tanah yang diperlukan tidak dapat dikuasai melalui cara
persetujuan dengan masyarakat pemilik tanah. Jika izin dari pemerintah pusatdaerah telah diperoleh maka permohonan pencabutan hak dapat
diajukan kepada Presiden sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
34
2. Pembebasan Hak Atas Tanah
Pembebasan tanah berdasarkan PMDN NO. 15 Tahun 1975 adalah
merupakan suatu kegiatan melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hakpenguasa atas tanahnya denga cara
memberikan ganti rugi. Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa : a tanah-tanah yang telah
mempunyai sesuatu hak berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960; b tanah- tanah dari masyarakat hukum adat.
35
Pembebasan hak atas tanah wajib disertai dengan pemberian ganti kerugian dan harus berpedoman pada
peraturan yang berlaku serta dalam penentuan benuk dan besarnya ganti rugi harus diusahakan dengan asas musyawarah antara pihak yang
bersangkutan dengan mempertimbangkan memperhatian harga dasar setempat yang ditetapkan secara berkala oleh Panitia.
36
Tugas Panitia Pembebasan Tanah adalah mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanaman, tumbuhan
dan bangunan-bangunan, mengadakan perundungan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunantanaman, menafsir besarnya
34
Ibid.
35
Lihat, Pasal 1 ayat 1 dan ayat 4 PMDN No.15 Tahun 1975
36
Ibid, Pasal 6
Universitas Sumatera Utara
37 ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak, membuat berita
acara pembebasan tanah disertai fatwapertimbangannya dan menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak
atas tanahbangunantanaman tersebut.
37
Dalam menentukan besarnya ganti rugi, harus terdapat kata sepakat di antara anggota Panitia dengan
memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah.Apabila terjadi perbedaan tafsiran mengenai ganti rugi di antara anggota panitia
pembebasan tanah, dipergunakan harga rata-rata dari masing-masing anggota.
38
Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pembebasan hak atas tanah warga masyarakat yang dilaksanakan dalam rangka upaya
peningkatan fungsi kota dalam tataran ekonomi nasional, para pejabat yang duduk di pemerintahan umumnya melihat setiap masalahh hak
penguasaan atas tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis ipso jure .Sementara itu warga masyarakat kebanyakan melihatnya dari sudut
trasidi, bahwa hak menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih payah warga masyarakat ipso facto menggarap dan atau merawat
tanahnya itu.
39
37
Lihat, Pasal 3 PMDN No. 15 Tahun 1975
38
Ibid, Pasal 6 ayat 3, 4, dan 5
39
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya” ,ELSAM dan HUMA , Jakarta, 2002, hal. 200.
Pernedan konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma tersbut menambah kompleksnya persoalan ini, karena dalam
proses penyelesaian sengketa pemerintah hanya berdasarkan hukum positif yang berlaku. Sedangkan hukum positif tersebut sangat
bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat sesuai dengan rasa
Universitas Sumatera Utara
38 keadilan, pemerintah harus mempunyai political will untuk
melaksanakan substansi peraturan yang berlaku dan memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat living law serta
melihat kenyataan-kenyataan sosial yang ada.
3. Pelepasan Hak Atas Tanah
Menurut Pasal 1 ayat 6 Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 mengatakan bahwa : “PelepasanPenyerahan hak atas tanah adalah
kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar
musyawarah.” Tanah sebagai objek dalam hukum, adalah juga merupakan objek
dari perjanjian-perjanjian yang bermaksud untuk hak milik.UUPA memuat ketentuan yang mengatur pemindahan hak milik atas tanah
ini.Pasal 26 menyebutkan; Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah”.
Menurut ketentuan ini terhadap perbuatan-perbuatan hukum atau perjanjian yang dimaksud memindahkan hak milik atas tanah adalah di
bawah pengawasan pemerintah. Hal ini merupakan kekhususan karena pada prinsipnya undang-undangKUH Perdata memberi kebebasan
kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjiannya.
Universitas Sumatera Utara
39 Selanjutnya tentang formalitas perjanjian yang bermaksud
mengalihkan hak atas tanah diatur dalam PP NO. 10 Tahun 1961 dalam Pasal 19 menyatakan :
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Agraria selanjutnya dalam PP ini disebut Pejabat.Akta tersebut bentuknya di tetapkan oleh Menteri Agraria.”
Ketentuan tersebut di atas mensyaratkan bahwa terhadap perjanjian- perjajian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, harus dibuat di
hadapan PPAT Pejabat Pembuat Akte Tanah. Menurut Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun 1961 tentang
permintaan dan pemberian izin pemindahan hak atas tanah dalam Pasal 1 disebutkan arti “pemindahan hak” yaitu, “Jual-beli termasuk
pelelangan di muka umum, penukaran,penghibahan,pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan
untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain”. A.P Parlindungan mengemukakan bahwa Pasal 19 tersebut di atas
dapat dipenggal sehingga ada 3 tiga perbuatan hukum yang harus dilakukan di hadapan PPAT, yaitu :
1 Perjanjian untuk mutasi hak atas tanah, seperti jual-beli, hibah,
pemasukan dalam perseroan,m tukar-menukar, pemisahan budel.
Universitas Sumatera Utara
40 2
Memberikan sesuatu hak baru aas tanah, dimaksudkan di sini adalah seperti yang terdapat di dalam Pasal 37 UUPA perjanjian
untuk mendirikan hak guna bangunan di atas hak milik, maupun perjanjian mendirikan hak pakai di atas hak milik Pasal 41
UUPA, sehingga kemudian diketahui adanya dua hak di atas suatu bidang yaitu hak guna bangunan atau hak pakai pada hak
milik. 3
Menggadaikan tanah untuk meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.
40
Dengan demikian syarat pengakhiran hak atas tanah di samping harus dipenuhinya syarat-syarat sahnya persetujuan yang di atur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, maka disyaratkan bahwa setiap perjanjian untuk mengalihkan hak atas tanah tanah itu harus dilakukan dihadapan
PPAT. Jadi perbuatan-perbuatan hukum pemindahanperalihan hak atas
tanah seperti jual-beli, penukaran, penghibahan, pada prinsipnya tunduk atau di atur oleh KUH Perdata khususnya ketentuan Buku III Bab I – Bab
IV mengenai ketentuan umum tentang perikatan.Di samping itu ketentuan yang mengatur perbuatan pengalihan ini juga terdapat dalam
ketentuan-ketentuan khusus dalam KUH Perdata seperti ketentuan jual- beli pada Bab V, tukar-menukar pada Bab VI, penghibahan pada Bab X.
C. Panitia Pengadaan Tanah