97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengadaan tanah merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah dimana pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia telah mengalami proses perkembangan
sejak unifikasi Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan dilakukan dengan cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 1975. Dalam pelaksanaannya maka dibentuk Panitia Pengadaan Tanah yang tugas utamanya adalah mengadakan penelitian atas
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada di atas tanah, , mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah dan menetapkan
besarnya ganti rugi atas tanah. 2.
Frasa “kepentingan umum” tidak mempunyai pengertian atau batasan yang jelas sehingga terdapat beberapa pandangan yang memberikan penjelasan
tentang itu dan salah satunya Parlindungan memberikan catatan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat,
tentunya berdampak untuk kepentingan masyarakat luas dan tidak terbatas pada pemerintah saja, sedangkan dalam kaitannya dengan pencabutan hak,
diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961. 3.
Dalam Penetapan Ganti Kerugian dilakukan dengan cara musyawarah antara Instansi Pemerintah melalui Tim Pengelola Kegiatan dengan
Universitas Sumatera Utara
98 masyarakat dengan Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanahberdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik dan dalam prakteknya di Kecamatan Medang Deras
setelah dilakukan wawancara dengan salah satu masyarakat yang tinggal disana telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang
ada dimana pemberian ganti kerugian dianggap layak walaupun terjadi beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pihak PT.KAI.
B. Saran
1. Perlunya peningkatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengertian
dan pengaturan pengadaan tanah sehingga jika suatu saat tanahnya akan dibebaskan atau dilakukan pengadaan tanah maka masyarakat tidak
kesulitan dalam menangani surat-surat hak atas tanah khususnya hak milik.
2. Kepada pemerintah agar lebih tegas dalam menentukan kriteria atau
batasan-batasan kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi berbagai penafsiran mengenai kepentingan umum
yang pada masa-masa ini menjadi kabur sehingga sering disalahgunakan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan.
3. Kepada pihak Panitia Pengadaan Tanah agar memberikan informasi dan
memberikan penyuluhan terhadap masyarakat yang masih belum mengerti mengenai prosedur dalam pengadaan tanah khususnya dalam proses
pemberian ganti kerugian agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Universitas Sumatera Utara
23
BAB II PERATURAN MENGENAI PENGADAAN TANAH DAN
PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah
1. Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari pengadaan adlaah “Proses, cara, pembuatan, mengadakan, menyediakan”.
20
Dalam penggunaannya menurut Boedi Hasono yang dikutip oleh Sofyan Ibrahim meliputi tubuh, bumi dan air serta ruang angkasa yang ada
di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung Pengertian
Pengadaan Tanah menurut Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 467KPTS1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Pengadaan Tanah
untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan dalam Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum pada Bab I pasal 1 ayat 1 jo
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sekarang menjadi Peraturan presiden Nomor 65 Tahun 2006 pada Bab I Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi
sebagai berikut : “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak
atas tanah”, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadaan tanah adalah cara atau proses untuk mendapatkan permukaan bumi yang disebut tanah.
20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 1001.
Universitas Sumatera Utara
24 berhubungan dengan tanah tersebut. Dengan demikian pengertian tanah
dalam penggunaannya berarti ruang
21
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah
Hak dasar dari setiap orang adalah kepemilikan atas tanah. Jaminan mengenai tanah ini, dipertegas dengan diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
22
21
Sofyan Ibrahim, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dilihat Dari Aspek Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152, hal.153.
22
Maria S.W.Sumarjono, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Bukum Kompas, Jakarta, 2008, hal. vii
Sebelum berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993,tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka landasan yuridis yang
digunakan dalam pengadaan tanah adalah Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
. Pelaksanaan pengadaan tanah menurut Permendagri Nomor 15 Tahun
1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah, yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang atau
penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Sedangkan di dalam Pasal 1 butir 2 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa:
“Pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.
Universitas Sumatera Utara
25 Kemudian untuk musyawarah itu diatur dalam butir ke 5 lima yang
menyatakan bahwa: “Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang
didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.” Setelah berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 istilah tersebut
berubah menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh karena itu, segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau pelepasan
hak atas tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah, yaitu Hukum Perdata.
Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah
ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara
lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
23
Perbedaannya hanya terdapat pada segi-segi intern- administrasinya yaitu pembebasan tanah pada umumnya berdasarkan pada Permendagri
Dan karena dikhawatirkan tidak terdapat kata kesepahaman maka dibentuklah Undang-Undang Pengadaan Tanah..
23
Boedi Harsono, Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka
Pembangunan Nasional Makalah : 1990 , hal.4.
Universitas Sumatera Utara
26 Nomor 15 Tahun 1975, sedangkan pelepasan atau penyerahan hak-hak atas
tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
24
Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 21 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa “apabila upaya penyelesaian yang ditempuh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah, dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan
ke tempat lain, maka Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak sebagaimana diatur dalam
Secara hukum kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, yaitu sebagai peraturan dalam
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang didalamnya mengatur mengenai ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
untuk memperoleh tanah dan pejabat yang berwenang dalam hal tersebut. Menurut Boedi Harsono, oleh karena Keppres Nomor 55 Tahun 1993
merupakan suatu peraturan intern-administrasi, maka tidak mengikat pihak yang mempunyai tanah meskipun ada rumusan yang memberi kesan
demikian, dan karena bukan undang-undang, maka tidak dapat dipaksakan berlakunya pada pihak yang mempunyai tanah.
Oleh karena tidak dapat dipaksakan, maka sebagai konsekuensi dari keputusan administrasi negara yang dimaksud untuk menyelesaikan ketidak
sediaan pemegang hak atas tanah terhadap besarnya ganti kerugian bukan merupakan merupakan keputusan yang bersifat akhir atau final.
24
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,Yogyakarta, 2004, hal.19.
Universitas Sumatera Utara
27 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah
dan Benda-benda diatasnya”.
25
25
Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 21 ayat 1.
Selain itu Keppres Nomor 55 Tahun 1993 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya yaitu Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 yang
memiliki kekurangan atau kelemahan khususnya hal- hal yang mengenai pihak-pihak yang boleh melakukan pembebasan tanah, dasar perhitungan
ganti rugi yang didasarkan pada harga dasar, tidak adanya penyelesaian akhir apabila terjadi sengketa dalam pembebasan tanah, khususnya
mengenai tidak tercapainya kesepakatan tentang pemberian ganti rugi. Oleh sebab itu kedudukan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sama
dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 sebagai dasar hukum formal dalam pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang pada waktu
berlakunya Permendagri Nomor 15 tahun 1975 disebut pembebasan tanah. Namun, seiring berjalannya waktu Keppres Nomor 55 tahun 1993 kemudian
digantikan dengan Peraturan baru dengan tujuan mencari jalan untuk meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul dalam implementasi
pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan umum juncto Perpres
Nomor 65 tahun 2006 dan Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Universitas Sumatera Utara
28
B. Tinjauan Hukum dan Terminologi dari Pencabutan, Pembebasan,