BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Efek Mutagenik
Gambar pengamatan sel pada apusan sumsum tulang femur mencit pada mikroskop cahaya dengan pewarna giemsa dan perbesaran 400x dapat dilihat pada
Gambar 4.1 berikut ini.
A B
C D
Gambar 4.1 Sel-sel yang diamati pada apusan sumsum tulang femur mencit Keterangan gambar:
A : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus MSG 3 g B : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus MSG 6 g
C : Sel eritrosit polikromatik bermikronukleus MSG 9 g D : Sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus
Secara teoritis mikronukleus merupakan kromatin sitoplasmik yang tampak sebagai inti kecil terbentuk dari patahan kromosom yang diasingkan dari
inti nukleus pada tahap anafase pembelahan sel. Setelah mencapai tahap
Universitas Sumatera Utara
telofase, elemen sentris menjadi inti sel anak, sedang fragmen kromosom yang tertinggal tetap berada pada sitoplasma membentuk inti kecil yang disebut
mironukleus. Zat asing bersifat mutagen seperti MSG, berpengaruh pada proses pembelahan sel. Kanker berawal dari kelainan gen yaitu pada kromosom.
Terjadinya kerusakan kromosom yang mengarah ke kanker, dapat
termanifestasikan sebagai terbentuknya mikronukleus Sumpena, dkk., 2009. Jadi terbentuknya mikronukleus setelah pemberian MSG menandakan bahwa MSG
mutagenik. Pada penelitian ini sumsum diambil dari tulang femur atas pertimbangan bentuk tulang femur lurus dan ukurannya relatif besar, sehingga
pengambilan sumsum lebih mudah. Struktur mikronukleus yang teramati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali tampak sebagai bintik hitam
berbentuk bulat atau hampir lonjong, terletak eksentrik atau agak perifer pada sel polychromatic erythrocyte PCE. Pengamatan mikronukleus pada preparat
dilakukan dengan mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Pada sumsum tulang terdapat berbagai variasi tipe sel yang dapat digunakan untuk penghitungan
mikronukleus. Untuk mengurangi jumlah variabel pengganggu yang dapat mempengaruhi pengamatan, maka pemeriksaan mikronukleus hanya dilakukan
pada satu tipe sel yaitu hanya pada sel PCE. Keuntungannya adalah sel PCE pada preparat mudah dikenali dari warnanya yang relatif kontras dibandingkan sel lain.
Sel PCE merupakan sel eritrosit muda yang baru mengalami mitosis dan sintesis deoxyribonucleic acid DNA, mengandung banyak ribosom serta memiliki inti.
Selain warnanya relatif kontras, ukurannya relatif besar dan penyebarannya terbatas dibandingkan dengan sel lain maupun sel eritrosit dewasa atau sel
eritrosit normokromatik NCE. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengamati
Universitas Sumatera Utara
struktur mikronukleus pada sel PCE selanjutnya disebut micronucleus polychromatic erythrocyte MNPCE dan menghitungnya untuk tiap 200 sel PCE.
Nilai frekuensi MNPCE yang cukup tinggi setelah pemberian MSG menunjukkan bahwa mutagenisitas MSG cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada ketentuan
nilai batas ambang frekuensi MNPCE. Akan tetapi mengingat terjadinya kanker melewati proses yang panjang dan dapat berawal dari setitik kelainan, maka
kenaikan frekuensi MNPCE sekecil apapun perlu disikapi. Sel eritrosit adalah salah satu jenis sel yang paling cocok untuk dilakukan
pengukuran pada penginduksian mikronukleus, karena hilangnya inti utama sel tersebut selama pematangan eritroblas, selain itu, pada sumsum eritrosit dibentuk
terus-menerus dari eritroblas Durling, 2008. Jumlah mikronukleus sel-sel eritosit polikromatik pada kelompok
pembanding diinduksi siklofosfamid dan kelompok perlakuan yang diberikan MSG 9 g pada mencit jantan dan betina memberikan hasil yang paling banyak
dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Siklofosfamid merupakan salah satu agen kemoterapi yang bersifat sitotoksik
yang akan bekerja langsung pada ribosanucleic acid RNA atau DNA, dan menyebabkan terjadinya peristiwa pengikatan silang cross-linking pada DNA,
yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya patahan kromosom dan dapat terlihat sebagai mikronukleus Santella, 2002; Purwadiwarsa, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Jumlah rata-rata mikronukleus ±SD pada masing-masing apusan
sumsum tulang femur mencit. Jumlah mikronukleus
Mencit Kelompok
Perlakuan Jantan
Betina I
Pelet 10 g 0 ± 0
0 ± 0 II
MSG 3 g 176,67 ± 3,51
156,33 ± 7,02 III
MSG 6 g 190,33 ± 6,81
183 ± 11,14 IV
MSG 9 g 247,67 ± 33,32
221,33 ± 19,73 V
Pelet, di induksi 263,33 ± 7,51 234,33 ± 4,51
Dengan siklofos- Famid. i.p. 50 mg
kgBB i.p. dosis tunggal.
Untuk lebih jelas, dapat dilihat grafik pada Gambar 4.2 dibawah ini.
Gambar 4.2 Grafik hasil pengukuran jumlah rata-rata mikronukleus pada 200 sel
eritrosit polikromatik
Pada Gambar 4.2 dapat dilihat jumlah mikronukleus mencit jantan dan betina pada sel eritrosit polikromatik kelompok pembanding tidak jauh berbeda dengan
100 200
300
jum la
h m ik
ro nuk
le us
Perlakuan
Perlakuan Vs Jumlah Mikronukleus
Mencit Jantan Mencit Betina
Universitas Sumatera Utara
jumlah mikronukleus pada sel eritrosit polikromatik kelompok pemberian MSG dosis 9 g.
Tabel 4.2Hasil analisis Post Hoc Tukey menggunakan SPSS 18 Mencit Jantan
.
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05 1
2 3
Kontrol normal 3
.00 MSG 3 g
3 176.67
MSG 6 g 3
190.33 MSG 9 g
3 247.67
Pembanding 3
263.33 Sig.
1.000 .818
.738 Tabel 4.3Hasil analisis Post Hoc Tukey menggunakan SPSS 18 Mencit
Betina .
Perlakuan N
Subset for alpha = 0.05 1
2 3
Kontrol normal 3
.00 MSG 3 g
3 156.33
MSG 6 g 3
183.00 MSG 9 g
3 221.33
Pembanding 3
234.33 Sig.
1.000 .076
.599 Berdasarkan grafik yang terdapat pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa
peningkatan jumlah mikronukleus sel eritrosit polikromatik bertambah seiring dengan meningkatnya dosis MSG yang diberikan. Pemberian MSG dosis 9 ghari
pada mencit jantan memberikan efek peningkatan jumlah mikronukleus yang paling kuat jumlahnya 278 dan pada mencit betina juga memberikan efek
peningkatan jumlah mikronukleus yang paling kuat jumlahnya 244,ditunjukkan dalam Tabel 4.2 dan Tabel 4.3, bahwa kelompok pembanding dan pemberian
MSG 9 ghari terdapat dalam satu kolom yang sama, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik jumlah mikronukleusnya dengan
Universitas Sumatera Utara
kelompok pembanding jumlahnya 271 pada mencit jantan dan kelompok pembanding jumlahnya 239 pada mencit betina.
Berdasarkan hasil uji analisis ditunjukkan bahwa MSG berpotensi sebagai mutagenik, karena pemberian MSG pada dosis 3 g, 6 g, dan 9 g, mampu
meningkatkan jumlah mikronukleus secara signifikan dibanding dengan kontrol normal dan peningkatan jumlah mikronukleus tersebut bisa mendekati jumlah
mikronukleus pada kelompok pembanding. Pengujian efek mutagenik pada penelitian ini dilakukan secara in vivo pada
mencit jantan dan betina dengan metode uji mikronukleus menggunakan siklofosfamid 50 mgkgBB yang diberikan secara intraperitonial sebagai
penginduksi mutagenik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap mencit, MSG dengan dosis
3 g, 6 g dan 9 g menyebabkan mutagenik dan aktivitas mutagenik ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah mikronukleus dalam setiap 200 sel eritrosit
polikromatik pada preparat apusan sumsum tulang femur mencit, dimana dapat dilihat dengan terbentuknya mikronukleus yang merupakan salah satu indikator
terjadinya mutasi. Tetapi jumlah mikronukleus yang paling banyak terbentuk adalah MSG dengan dosis 9 ghari dengan jumlah 278 pada mencit jantan dan 244
pada mencit betina. Dari hasil pengamatan rata-rata mencit mengkonsumsi makanan 0,9 ghari dari 10 ghari makanan yang diberikan. Hal ini menunjukkan
bahwa mencit mengkonsumsi MSG sekitar 1 ghari. Dari hasil tersebut, faktor konversi dari dosis mencit dengan berat 20 g terhadap manusia dengan berat
badan 70 kg adalah 387,9 maka dosis kepada manusia yang memberikan efek yang sama yaitu 387,9 ghari. Masyarakat Indonesia rata-rata mengkonsumsi
Universitas Sumatera Utara
MSG sekitar 0,6 gkgBB Prawirohardjono, dkk., 2000. Dari hasil tesebut, jika perharinya manusia dengan berat 70 kg mengkonsumsi 42 ghari, maka pada hari
ke-9 akan menimbulkan terjadinya mutasi dengan terbentuknya mikronukleus yang merupakan gejala-gejala penyebab kanker pada manusia.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN