Pemeriksaan Persidangan Independensi Mahkamah Konstitusi

Impeachment Menurut UUD 1945 keputusan atau surat penetapan tersebut dapat dijadikan alat bukti bagi permohonan ke MK. c surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; Hal ini sama dengan berita acara sebagaimana disebut di huruf a. Berita acara rapat pansus DPR yang menghadirkan ahli untuk dimintai keterangannya dalam rapat pansus dapat menjadi alat bukti surat. Sedangkan yang disebut alat bukti petunjuk, dengan merujuk pada pasal 188 ayat 1 KUHAP adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siap pelakunya. 5. Daftar nama calon saksi dan calon ahli Memeriksa apakah dalam permohonan telah dicantumkan daftar nama calon saksi dan calon ahli. Daftar nama ini menjadi penting mengingat prosedur beracara untuk memutus pendapat DPR ini dibatasi oleh waktu, selain itu karena keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli merupakan bahan pertimbangan yang berharga mengingat proses beracara di MK dalam rangka memutus pendapat DPR ini bersifat adversarial.

b. Pemeriksaan Persidangan

Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno Majelis Hakim. Dalam persidangan majelis hakim memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan. Pada pasal 41 ayat 2 UU MK yang mengatur secara umum mengenai pemeriksaan persidangan disebutkan bahwa demi kepentingan pemeriksaan maka majelis hakim wajib untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan. Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 tujuh orang hakim konstitusi. Sidang Pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah dan bersifat terbuka untuk umum. Persidangan berlangsung dalam 6 enam tahap sebagai berikut: a Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan; b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden danatau Wakil Presiden; c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR; d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden danatau Wakil Presiden; e. Tahap V : Kesimpulan, baik oleh DPR maupun oleh Presiden danatau Wakil Presiden;

f. Tahap VI : Pengucapan Putusan.

Alokasi waktu setiap tahapan persidangan ditentukan oleh Mahkamah. Mengenai tanggapan Presiden danatau Wakil Presiden dilakukan dalam persidangan Tahap II. Presiden danatau Wakil Presiden wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap Pendapat DPR. Tanggapan tersebut dapat berupa: a sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan Pendapat DPR; b. materi muatan Pendapat DPR; dan c. perolehan dan penilaian alat-alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR kepada Mahkamah. 130 Selanjutnya, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR danalau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balik. Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada hakim untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden danatau Wakil Presiden. Sidang pembuktian oleh DPR dilakukan dalam persidangan Tahap III, DPR wajib membuktikan dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti sebagai berikut: a. alat bukti surat: b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. petunjuk: e. alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1. 131 Mahkamah melakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti sebagaimana dimaksud yang urutannya dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Dalam pemeriksaan alat bukti yang diajukan oleh DPR, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Presiden danatau Wakil Presiden danatau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan danatau menelitinya. Pembuktian oleh Presiden danatau Wakil Presiden dilakukan pada persidangan Tahap IV, Presiden danatau Wakil Presiden berhak memberikan 130 Pasal 12 ayat 2 PMK No. 21 Tahun 2009 131 Pasal 6 ayat 1 PMK No. 21 Tahun 2009 menyebutkan; Alat-alat bukti yang mendukung Pendapat DPR dapat berupa surat atau tulisan,keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak- pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. bantahan terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian yang sebaliknya. Macam alat bukti yang diajukan oleh Presiden danatau Wakil Presiden pada dasarnya sama dengan macam alat bukti yang diajukan oleh DPR. Mahkamah memberikan kesempatan kepada DPR danatau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh Presiden danatau Wakil Presiden. Setelah sidang-sidang untuk pembuktian oleh Mahkamah dinyatakan cukup, Mahkamah memberi kesempatan baik kepada DPR maupun Presiden danatau Wakil Presiden untuk menyampaikan kesimpulan akhir dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya Sidang Tahap IV. Kesimpulan disampaikan secara lisan danatau tertulis dalam persidangan Tahap V. Penghentian Proses Pemeriksaan Jika Presiden danatau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah. Pernyataan penghentian pemeriksaan dan gugurnya permohonan sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan Mahkamah yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. c. Putusan Yang menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden danatau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum danatau diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden danatau Wakil Presiden. Kewajiban MK adalah untuk memberi putusan atas pendapat DPR ini. Oleh karena itu ada 3 tiga kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK. 132 Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden danatau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum danatau tidak terbukti bahwa Presiden danatau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak. 133 Kemungkinan ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden danatau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum danatau Presiden danatau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR. 134 Putusan Mahkamah terhadap Pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 sembilan puluh hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi BRPK. Putusan Mahkamah yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim RPH dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah mengenai Pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden danatau Wakil Presiden. Putusan Mahkamah bersifat final 132 Pasal 83 ayat 1 UU MK 133 Pasal 83 ayat 3 UU MK 134 Pasal 83 ayat 2 UU MK secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan. 135 4 Implikasi Putusan MK Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan implikasi putusan MK. Kelompok pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari kewenangan-kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut tidaklah final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskan proses impeachment ke MPR. Yang berarti bahwa ada institusi lain setelah MK yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses impeachment melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan MK digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut. Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana Keputusan yang diambil oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak memiliki sifat final dan mengikat. Secara sosiologis, dampak atas perbedaan putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat. Artinya bahwa putusan MK atas pendapat DPR 135 Pasal 19 PMK No. 21 Tahun 2009 itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain yang melanjutkan proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis hal ini sesuai dengan pasal 19 PMK No. 21 Tahun 2009. Mengenai kekuatan mengikat dari putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok ini yang berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable. Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden danatau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal ini dapat dilakukan apakah bukan berarti bertentangan dengan asas nebis in idem? Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden danatau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas nebis in idem. 136 Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden danatau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas nebis in idem. Namun demikian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa selayaknya pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri hakim tinggi bila mengajukan banding serta hakim agung bila mengajukan kasasi dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan hukum antara MK dengan PN PT maupun MA. Sehingga hakim pengadilan negeri hakim tinggi maupun hakim agung tidak melakukan review atas putusan MK. Terkecuali memang bilamana ditemukan bukti baru yang menguatkan kedudukan mantan Presiden danatau Wakil Presiden sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukannya ketika menjabat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden.

2. Problematika dan Kendala Mahkamah Konstitusi dalam Melakukan

Fungsi Impeachment

a. Independensi Mahkamah Konstitusi

136 Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian asas nebis in idem dalam hukum pidana hanya terjadi pada saat pelaku, objek pidana dan alasan penuntutannya sama. Dengan demikian, kondisi ini tidak mungkin dapat terjadi pada perkara impeachment, mengingat model pembuktian di pengadilan negeri dan di Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda.. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C khususnya pada ayat 3, maka diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Adapun kesembilan orang orang hakim konstitusi itu masing-masing tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh Mahkamah Agung dan tiga orang lagi diajukan oleh Presiden. 137 Melihat konfigurasi tersebut tentu akan timbul sejumlah pertanyaan terutama mengenai mengapa para hakim-hakim konstitusi tersebut harus diajukan oleh tiga lembaga yang berbeda dan dengan memberikan porsi yang sama pula. Serta, apakah hal ini merupakan sebuah tanda bahwa para hakim pada Mahkamah Konstitusi merupakan representasi dari ketiga lembaga kenegaraan tersebut yang tentu saja berfungsi untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Karena jika dilihat dari wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sangat berkaitan dengan lembaga tersebut terutama Presiden dan DPR. Terhadap hal ini, Bambang Widjojanto menyatakan bahwa dengan rumusan seperti terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24C ayat 3, maka Presiden akan dapat menentukan arah Mahkamah Konstitusi melalui dua jalur, yaitu jalur kepresidenan dan jalur partainya di DPR. Komposisi keanggotaan seperti itu akan sangat membuka peluang terjadinya monopoli kekuasaan jika pemegang jabatan-jabatan pada masing-masing pengambil keputusan pada tiga institusi negara tersebut berlatar belakang ideologi atau politik yang sama. 138 137 Lihat pula Pasal 4 ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003 138 Bambang Widjojanto, Kompas, senin, 9 Juni 2003, Sebagaimana dikutip oleh Ni’ matul Huda, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia , Gama Media, Yogyakarta, 1999, Hal. 239-240. Artinya, jika seorang Presiden yang telah terpilih berasal pula dari partai politik yang mempunyai suara mayoritas di DPR, maka tentu saja konfigurasi Hakim Mahkamah Konstitusi akan dipenuhi dengan hakim pilihan penguasa. Sehingga sangat dimungkinkan mereka akan dengan mudah dipengaruhi atau terdapat intervensi dari pemerintah. Akan tetapi Laica Marzuki berpendapat bahwa, konfigurasi pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C khususnya pada ayat 3 adalah sudah ideal. Hal itu dengan berbagai pertimbangan bahwa tiga lembaga kenegaraan tersebut merupakan pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan dengan adanya pembagian terhadap tiga lembaga itu, maka tidak terdapat Lembaga yang paling dominan dalam mengusulkan Hakim Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam perjalanannya dapat terjadi keseimbangan dan tidak terjadi subyektivitas dalam penanganan perkara. Sementara itu terkait dengan integritas dan independensi para hakim juga sangat bergantung terhadap integritas masing- masing individu. 139 Sementara itu berkembang pula berbagai wacana yang menyatakan bahwa ke depan para Hakim Konstitusi idealnya dipilih oleh lembaga independen seperti halnya komisi yudisial yang berwenang mengusulkan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran 139 Wawancara dengan Bapak Laica Marzuki, 12 Agustus 2004, di kantor Mahkamah Konstitusi, Yakarta, Sebagaimana dikutip oleh Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia . UII Press, Yogyakarta, 2007, Hal. 78. martabat, serta perilaku hakim. 140 Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, pengangkatan Hakim Mahlamah Konstitusi seperti yang telah berlaku sekarang telah diaplikasikan pula oleh beberapa negara lain.

b. Penyidik dalam Penanganan Kasus Impeachment