tersebut atau justru Mahkamah Konstitusi sendiri yang mencari bukti-bukti tambahan. Hal ini sangat menarik karena durasi waktu yang sangat pendek.
c. Waktu Penyelidikan 90 sembilan puluh hari
Menurut Pasal 7B ayat 4, MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan
puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Apabila dibandingkan dengan proses peradilan pada umumnya tentu saja waktu
90 hari sangat sempit. Oleh karena itu, sangat wajar apabila timbul sebuah pertanyaan cukupkah waktu 90 hari bagi MK untuk memutus pendapat DPR
tersebut. Kemudan apabila ternyata MK belum dapat memberikan jawaban atas pendapat DPR tersebut dalam jangka waktu 90 hari, apakah MK dapat meminta
tambah waktu lagi, serta dapatkah kasus yang sama diajukan kembali oleh DPR ke MK.
Terhadap permasalahan ini Laica Marzuki menyatakan bahwa waktu 90 hari tiga bulan cukup untuk menyelesaikan permasalahan memutus pendapat
DPR tentang Presiden tersebut. Dengan asumsi bahwa waktu tersebut harus dilaksanakan secara efektif dan kontinyu, bahkan pada hari libur dan tanggal
merahpun, para Hakim Konstitusi terus bekerja.
143
Bahkan terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa dengan durasi waktu 90 hari tersebut tidak ada alasan
bagi MK untuk tidak selesai menyelesaikan tugasnya. Dan seandainya MK tidak dapat menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan itu,
143
ibid..
maka dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi melanggar undang-undang.
144
Akan tetapi tidak dijelaskan apa sanksinya jika Mahkamah Konstitusi tidak dapat
menyelesaikan tugasnya itu dalam jangka waktu 90 hari.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final akan tetapi tidak
dijelaskan daya mengikatnya.
Dalam Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar , memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Merujuk pada bunyi ayat tersebut maka jelas terlihat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final. Akan tetapi kemudian timbul sebuah
pertanyaan apakah selain putusan itu bersifat final juga bersifat mengikat atau tidak bersifat mengikat. Ketentuan ini jika dikaikan dengan Pasal 7B ayat 5
maka akan muncul berbagai permasalahan antara lain, pertama, bagaimana jika seandainya DPR tidak meneruskan usulan tersebut kepada MPR, kedua, apakah
keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus dan wajib diikuti oleh MPR. Hal ini sangat penting karena seandainya keputusan Mahkamah Konstitusi tidak
bersifat mengikat, maka putusannya akan dapat saja dianulir oleh DPR dengan alasan realitas politik di MPR menolak memberhentikan Presiden dan atau Wakil
Presiden.
145
Sehingga timbul pertanyaan selanjutnya, apakah aspek hukum dapat dikesampingkan oleh aspek politik.
144
Taufikurrohman Syahuri,…Op.Cit..
145
Ni’matul Huda,… op. cit. Hal. 238
Terhadap hal ini Laica Marzuki menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bisa dikesampingkan karena forum Rapat Paripurna di MPR
merupakan forum politis. Sehingga keputusan yang dihasilkanpun merupakan keputusan yang bersifat politis. Hal ini berbeda dengan keputusan dalam
persidangan Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan keputusan yang bersifat yuridis.
146
Sementara itu apabila ditelaah lebih lanjut arti penting keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah untuk menciptakan rasa keadilan secara
hukum.
147
Misalnya, dalam hal seorang presiden dan atau wakil presiden tetap diturunkan oleh MPR karena realitas politik menghendaki mereka untuk turun
padahal keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pendapat DPR tidak terbukti. Akan tetapi jika keputusan Mahkamah Konstitusi membenarkan
pendapat DPR berarti hal itu justru akan lebih menguatkan dan memberi justifikasi terhadap penurunan presiden.
e. Pengajuan Kasus Pidana Presiden danatau Wakil Presiden ke