berlaku asas hukum equality before the law setiap orang memiliki kedududukan yang sama di depan hukum.
160
Seandainya proses hukum biasa itu menyatakan sang mantan presidenwakil presiden tidak bersalah hingga tingkat terakhir kasasi di MA,
akan terdapat dua putusan yang berbeda dari lembaga yang sama-sama memegang kekuasaan yudikatif tertinggi Pasal 24 ayat 2 Perubahan Ketiga UUD 1945
antara lain menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan Mahkamah Konstitusi. Walaupun putusan itu tidak akan memulihkan kembali kedudukan
sang mantan presiden seperti sedia kala, tetap saja putusan yang berbeda itu mengundang problem tersendiri, yaitu soal kepastian hukum.
161
b. Asas nebis in idem
Prinsip hukum ini dalam hukum perdata mengandung pengertian sebuah perkara dengan objek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang
sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.
Syarat-syarat diatas harus terpenuhi untuk dapat dikatakan perkara nebis in idem. Jadi, misalkan sebuah perkara dengan objek dan materi perkara yang sama, akan
tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk nebis in idem
.
162
160
Refly Harun, Masalah Impeachment dalam Perubahan UUD 1945, reflyharun.blogspot.com. Akses pada tanggal 1 Maret 2010.
161
Ibid.
162
Miftakhulhuda, Nebis in idem, miftakhulhuda.wordpress.com, Akses pada tanggal 1 Maret 2010.
Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung nebis in idem
, maka hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard. Prinsip hukum demikian secara jelas diatur
dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak
dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya.
163
Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang
menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata untuk melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk
perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar nebis in idem
, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan nebis in idem. Sebuah perkara yang nebis in
idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan
tuntutan jaksa tidak dapat diterima.
164
Mahkamah Konstitusi MK sendiri menganut prinsip nebis in idem sesuai dengan ketentuan yang menyatakan: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan
atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali” Pasal 60 UU MK Sedangkan larangan menguji terhadap
materi muatan yang sama telah dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pengujian terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau
163
Ibid.
164
Ibid.
bagian undang-undang yang telah diputuskan oleh MK dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda Pasal 42 Ayat 2 PMK No.06PMK2005. Dengan demikian, seseorang yang pernah mengajukan
pengujian materi sebuah undang-undang atau oleh pemohon baru, dapat mengajukan untuk kedua kalinya terhadap materi yang sama, asalkan alasan-
alasan yang digunakan untuk menguji norma berbeda dengan sebelumnya. MK dalam sebuah putusannya pada 1 Maret 2006 perkara pengujian UU Pengadilan
Pajak yang diajukan Amiruddin dkk, telah mempertimbangkan bahwa meskipun Pemohon memenuhi syarat kualifikasi sebagai Pemohon, akan tetapi ternyata
Pemohon tidak memiliki syarat-syarat konstitusionalitas yang dapat menjadi alasan permohonan dapat menguji kembali terhadap Pasal 36 ayat 4 UU
Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, MK memutus menyatakan tidak berwenang mengadilinya materi permohonan yang pernah diajukan dan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
165
UUD 1945 maupun UU MK menyebutkan kewajiban MK untuk memutus pendapat DPR dalam bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain.
166
Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah
apakah pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat putusannya? Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan
165
Miftakhul Huda, Majalah Kontitusi BMK, Jakarta No.28-April 2009, hal. 76.
166
Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945 serta pasal 10 ayat 1 dan 2 UU MK
MK disebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat
final. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan putusan. Dengan demikian, apakah hal
ini berarti bahwa kewajiban MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? Dan apakah putusan MK atas pendapat DPR
tidak bersifat final? Sebelum berangkat pada pembahasan masalah kewenangan mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir serta apakah sifat putusan MK juga bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR maka untuk mengerucutkan
permasalahan perlu dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila
putusan MK adalah menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk
melanjutkan proses impeachment ke MPR.
167
Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan hal ini. Kelompok pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari kewenangan-
kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut tidaklah
final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan
meneruskan proses impeachment ke MPR. Hal ini berarti bahwa ada institusi lain
167
Winarno Yudho , op. cit. Hal. 86.
setelah MK yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses
impeachment melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan
MK digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut. Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana
Keputusan yang diambil oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak memiliki sifat final dan mengikat. Secara
sosiologis, dampak atas perbedaan putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
168
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat.Artinya bahwa putusan MK atas pendapat DPR
itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain yang melanjutkan
proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan keputusan dari sisi politis
karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Mengenai kekuatan mengikat dari
putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok ini yang
berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable.
169
168
Ibid.
169
Ibid.
Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden danatau Wakil
Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal ini
dapat dilakukan apakah bukan berarti bertentangan dengan asas nebis in idem? Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan
perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden danatau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses
impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk
meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas nebis in idem.
170
Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden danatau Wakil Presiden sedangkan
Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK
dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas nebis in idem. Namun demikian yang perlu menjadi
catatan adalah bahwa selayaknya pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri hakim
tinggi bila mengajukan banding serta hakim agung bila mengajukan kasasi dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan
hukum antara MK dengan PN PT maupun MA. Sehingga hakim pengadilan
170
Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa pengertian asas nebis in idem dalam hukum pidana hanya terjadi pada saat pelaku, objek pidana dan alasan penuntutannya sama. Dengan demikian,
kondisi ini tidak mungkin dapat terjadi pada perkara impeachment, mengingat model pembuktian di pengadilan negeri dan di Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik yang berbeda.
negeri hakim tinggi maupun hakim agung tidak melakukan review atas putusan MK. Terkecuali memang bilamana ditemukan bukti baru yang menguatkan
kedudukan mantan Presiden danatau Wakil Presiden sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukannya ketika
menjabat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden.
171
c. Asas Supremacy of law Supremasi Hukum