Stres Kerja Guru Kelas Autis Berdasarkan Peristiwa Pengalaman Pribadi

begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara Sucipto, 2014. Menurut Depdiknas RI 2008, Rasio minimum luas ruang kelas adalah 3 m 2 peserta didik, untuk rombongan belajar dengan peserta didik kurang dari 5 orang, luas minimum ruang kelas adalah 15 m 2 . Lebar minimum ruang kelas adalah 3 m. Ruang kelas memiliki jendela yang memungkinkan pencahayaan yang memadai untuk membaca buku dan memberikan pandangan ke luar ruangan. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya, dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan.

5.2 Stres Kerja Guru Kelas Autis Berdasarkan Peristiwa Pengalaman Pribadi

Berdasarkan hasil penelitian mengenai peristiwa pengalaman pribadi yang dilakukan oleh peneliti terhadap ketiga infoman, dalam hal ini mencakup peristiwa traumatis seperti diserang, dicekik, dipukul, ditarik, didorongditolak oleh individu autistik. 2 dua guru mengaku pernah mengalami cidera dikarenakan kemarahan, kesedihan, ketakutan anak yang berlebih seperti dicekik, dipukul, didorong, ditarik, mereka bahkan pernah diludahi dan dikoyak baju hingga berulang kali. Sementara seorang guru lainnya mengaku belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa traumatis yang diarahkan kepadanya oleh individu autistik seperti hal nya 2 dua guru kelas autis lainnya. Sementara itu hasil penelitian mengenai peristiwa pengalaman pribadi yang berhubungan dengan keluarga ataupun rekan kerja, 2 dua orang guru kelas autis Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa, jika sanak keluarga mereka sakit ataupun tertimpa musibah, mereka cenderung biasa saja. Dalam hal ini diartikan bahwa kejadian diluar sekolah tidak mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar. Seperti halnya Informan ketiga, beliau mengaku sedang mengalami konflik keluarga dengan suaminya hingga memutuskan perpisahan. Namun beliau tetap santai, tanpa membawa beban yang ada ke sekolah. Sehingga tidak ada yang mengetahui, termasuk kepala sekolah perihal konflik keluarganya tersebut. Sementara itu, seorang guru lainnya mengatakan hal itu jika istri atau rekan serumah sedang sakit ataupun sedang ada musibah akan sangat mengganggu proses belajar mengajar, karena otomatis tidak tenang dan merasa khawatir serta cemas melihat kondisi istri atau keluarga sakit apalagi jika sampai dirawat. Terlihat bahwa informan kedua dan ketiga dapat menanggapi masalah keluarga dengan baik, sehingga tidak melampiaskan emosional ke lingkungan kerja, berbeda halnya dengan informan pertama, yang akan terlihat cemas dan khawatir jika keluarga sedang dalam masalah. Meskipun tak sepenuhnya stressor yang dialami guru berasal dari individu autistik, namun yang menjadi penting adalah solusi yang dilakukan oleh guru kelas autis untuk mampu beradaptasi dengan situasi yang dialami. Hal ini sesuai dengan penelitian Putranto 2013 yang menyatakan bahwa 33,61 faktor utama penyebab stres adalah karena beban pekerjaan. Hasil penelitian dari Sakti 2014, yang mengutip penelitian yang dilakukan oleh Chambers Rogers sebagian besar guru di berbagai belahan dunia mengalami Universitas Sumatera Utara tingkat kecemasan tinggi yang disebabkan oleh stres yang dialami ketika sedang mengajar dan beban kerja yang dihadapi oleh para guru. Untuk menjadi pengajar atau guru kelas autis, harus melewati beberapa pembekalan pendidikan serta pelatihan khusus. Karena menjadi guru autis bukanlah perkara mudah, perasaan stres seringkali dialami oleh guru. Stres yang berkepanjangan dapat berakibat buruk pada kondisi fisik dan mental apabila seorang guru tidak memiliki strategi yang baik dalam memanajemenkan stres yang dialami. Seorang pendidik harus mempunyai dasar latar belakang pendidikan guru, namun untuk menjadi berhasil diperlukan kesabaran, hanya saja setiap individu memiliki tipe kepribadian yang berbeda-beda sehingga tingkat kesabaran, kreativitas, kemampuan bersosialisasi dan kemampuan individu dalam menyikapi suatu masalah menjadi berbeda-beda pula Sakti, 2014. Dalam dunia pendidikan luar biasa, subjek didik yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemampuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau lingkungan sekitar sehingga tugas guru menjadi semakin berat dengan dituntut keahlian serta keterampilan tertentu. Hal tersebut tidak mudah dan tidak jarang dapat menyebabkan stres kerja pada guru. Kecerdasan emosional dan efikasi diri memiliki pengaruh terhadap kesehatan psikologis, khususnya stres kerja Anitasari, 2009. Hal ini juga dijelaskan seperti dalam penelitian yang dilakukan Anitasari 2009 yang menyatakan bahwa 57 guru SLB di Kota Malang memiliki stres kerja. Universitas Sumatera Utara Dari hasil wawancara juga diketahui pengaruh terbesar dari stres kerja adalah kondisi lingkungan kerja dan peristiwa pengalaman pribadi yang berhubungan dengan individu autistik. Seperti suasana kerja panas ketika listrik padam, pengap akibat ruangan tertutup dan tidak terjadi sirkulasi udara serta over crowded, belum lagi ketika lampu mati, cahaya dari luar tidak masuk ke dalam, karena gedung untuk kelas autis berada diantara gedung-gedung yang lain. Akan sangat sulit ketika individu autistik diajak belajar diluar, karena ada beberapa dari individu autistik tidak mau jika di bawa keluar ruangan untuk melakukan aktivitas belajar mengajar. Dari hasil wawancara juga didapati bahwa guru sering kesulitan menghadapi individu autistik yang memiliki sifat kecemburuan sosial. Individu tersebut tidak mau, jika guru yang mengajarinya, juga ikut mengajari siswa lain. Hal itu membuat guru kewalahan karena mereka juga harus mengajari individu autistik lain. Belum lagi dengan individu autistik lainnya yang super aktif, guru mengatakan bahwa ada satu orang individu autistik yang sangat senang manjat lemari. ketika dilakukannya kegiatan belajar mengajar. Guru mengaku kewalahan saat menyuruh siswa tersebut turun, sementara dikelas itu hanya beliau sendiri. Dari hasil wawancara lainnya juga guru mengaku pernah dipukul, dicekik, ditarik kaki, dikoyak baju hingga berkali-kali, dan juga pernah diludahi oleh individu autistik tersebut. Namun guru tidak bisa bertindak lebih seperti halnya menghadapi anak normal. Situasi tersebut menyebabkan guru mengalami ketidaknyamanan dan merasakan suatu situasi yang menekan dan kecemasan akan diserang. Universitas Sumatera Utara Hal ini sesuai dengan penelitian Situngkir 2010 yang mengutip hasil penelitian Caroline mengenai faktor-faktor penyebab stres kerja pada terapis dari anak Autistic Spectrum Disorder yang mengatakan bahwa terapis anak autis adalah salah satu dari pekerja yang memiliki tingkat stres cukup tinggi, karena para terapis ini bekerja dengan anak yang memiliki kebutuhan khusus, atau berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Faktor-faktor penyebab stres pada masing-masing partisipan memiliki variasi dan kombinasi yang beragam. Ketiga partisipan mengalami stres terhadap suara yang tinggi dan kuat, tekanan, frustasi yang bersumber dari konflik, serta ketakutan dan kecemasan. Faktor lain yang menjadi penyebab stres bagi para terapis, misalnya hubungan dengan rekan sekerja, lama bekerja sebagai terapis, anak autis, dukungan keluarga, kepadatan jadwal dan rutinitas kerja, serta ketidaksesuaian beban kerja dengan gaji yang didapat. Peristiwa traumatis individu bertanggung jawab terhadap semakin kuatnya sikap-sikap negatif yang ada. Stres yang berlangsung setiap hari dapat membebani pikiran dan melemahkan daya tahan tubuh terhadap stres. Suatu peristiwa yang menyebabkan seseorang menjadi stres, belum tentu menimbulkan gangguan yang sama pada orang lain. Setiap individu dapat mengembangkan bentuk-bentuk gangguan psikologis tertentu bila dihadapkan pada stres, meskipun hal tersebut tidak mengenai kepekaan perasaan yang spesifik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Situngkir 2010, menunjukkan bahwa terapis anak autisme di Yayasan Terapi Anak Autisme Kecamatan Baru di Medan tahun 2010 mengalami stres kerja. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti di UPT. SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi terhadap 3 tiga guru kelas autis, diketahui bahwa para guru mengalami stres kerja. Faktor penyebab stres kerja yang dialami oleh ketiga guru kelas autis yaitu faktor kondisi lingkungan kerja meliputi bising yang ditimbulkan oleh suara gaduh siswa, sirkulasi udara kurang, ruang kelas sempit, serta peristiwa pengalaman pribadi yang dalam hal ini peristiwa traumatis seperti diserang, dicekik, dipukul, ditarik, didorongditolak, diludahi yang dialami oleh para guru dalam menghadapi individu autistik,. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN